Tampilkan postingan dengan label Pidi Baiq. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pidi Baiq. Tampilkan semua postingan

Rabu, 07 Februari 2018

DILAN 1990 (2018) REVIEW : Kompilasi Rayuan Maut Yang Manisnya Sementara

DILAN 1990 (2018) REVIEW : Kompilasi Rayuan Maut Yang Manisnya Sementara


Menjadi sebuah novel yang laris manis, Dilan 1990 karangan dari Pidi Baiq ini tentu dengan mudah menjadi buah bibir di berbagai kalangan. Banyak hal yang berusaha disampaikan oleh Pidi Baiq lewat bukunya, terutama tentang nostalgia masa-masa putih abu-abu dengan kisah cinta monyetnya. Bukunya pun tak hanya berhenti di seri pertama, tetapi juga memiliki seri lain untuk melengkapi kisah Dilan dan Milea sebagai dua sejoli yang sedang mabuk cinta.

Dengan bekal hal-hal yang sudah menjadi buah bibir, akan dengan mudah bagi buku milik Pidi Baiq ini untuk segera mendapatkan lirikan dari produser untuk diadaptasi menjadi film. Tentu saja, di tahun 2017, film ini dihebohkan lewat pemilihan Iqbaal Ramadhan sebagai Dilan yang dianggap fansnya tidak cocok. Meski begitu, pembuatan film tetap dilaksanakan hingga Januari 2018 film pun dirilis. Film ini disutradarai oleh Fajar Bustomi berkolaborasi dengan sang empunya Dilan yaitu Pidi Baiq. Serta gadis cantik bernama Milea diperankan oleh Vanesha Prescilla sebagai ajang debutnya.

Segmentasinya tentu adalah para remaja yang di masanya sedang berkutat dengan masalah percintaan, perjombloan, dan segala hal yang berbau serupa. Belum lagi, target generasi 90an yang juga ingin merasakan kembali suasana remaja sekolah menengah umum yang bisa dirangkul untuk menonton film Dilan 1990 ini. Hingga, tentu saja film ini berpotensi menjadi sebuah film yang fenomenal dan mendatangkan banyak sekali penonton.


Secara kuantitas hingga hari kesebelas, Dilan 1990 sudah hampir mencapai 4 juta penonton. Lantas, apakah Dilan 1990 ini bisa menjadi sebuah terobosan baru dalam film kisah cinta remaja yang ada? Maka, jawabannya adalah belum bisa. Dilan 1990 tak memberikan sebuah babak penceritaan yang segar bagi penonton remaja maupun penonton generasi 90an. Dengan segala kefenomenalannya, tentu Dilan 1990 masih memiliki potensi yang lebih bisa digali lagi dari performanya saat ini.

Problematika Dilan 1990 sebagai sebuah film adaptasi adalah bagaimana penonton awam yang tak mengenal Dilan 1990 pun tak merasa memiliki urgensi untuk mengetahui siapa Dilan dan Milea. Dilan 1990 ini hanya akan mengindahkan para penggemar bukunya yang sedang menunggu di mana letak kutipan kata-kata favorit mereka di dalam buku untuk siap dikatakan oleh pemainnya. Lantas, Dilan 1990 pun terlalu tenang meskipun sebenarnya dia memiliki konflik yang perlu untuk ditampilkan.


Kisah mereka hanya terpaku tentang bagaimana Milea (Vanesha Prescilla), seorang anak baru di sebuah sekolah menengah umum di Bandung yang sedang berusaha beradaptasi di sana. Hingga sebulan Milea berada di sekolah tersebut, ada sosok tengil yang berusaha keras untuk mendekati dirinya meskipun Milea seharusnya sudah punya kekasih di Jakarta. Dia adalah Dilan, lelaki tengil itu ternyata adalah seorang panglima jendral dari geng motor terkenal di Bandung.

Tak hanya terkenal sebagai panglima jendral sebuah geng motor di Bandung, Dilan pun terkenal sebagai pembuat onar di sekolah. Meski begitu, sikapnya berbeda jika sudah berhadapan dengan sosok cantik Milea. Dengan Milea, keunikan sosok Dilan pun terbongkar. Sifat pembuat onarnya tak lagi terlihat kentara lalu Milea mengenalnya sebagai sosok yang manis. Meskipun sudah punya kekasih, Milea tetap merasakan getaran lain saat bertemu dengan Dilan.

Di sinilah Dilan 1990 berkutat, berusaha menampilkan bagaimana Dilan dan Milea saling bercengkrama, mengalami masa penjajakan sebelum pada akhirnya mereka merasakan debaran asmara. Dilan 1990 hanya sibuk untuk mengeluarkan gombalan-gombalan maut yang kekinian dan relevan dengan remaja zaman sekarang. Dialog-dialognya bukan dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang puitis atau bahkan secara hiperbolis dikatakan sebagai dialog jenius. Unik adalah kata yang pas untuk mewakili dialog-dialog yang ada di film ini


Kekuatan Dilan 1990 hanyalah keunikan dialognya yang mungkin akan berhasil merebut hati saat penempatannya bisa pas. Saat satu jam pertama, Dilan 1990 mengeluarkan segala sinarnya. Menjadi sebuah film remaja yang manis dan menyenangkan dengan segala tingkah laku Dilan dan Milea yang unik. Tetapi, durasi 115 menitnya baru saja diambil setengah, hingga di satu jam berikutnya Dilan 1990 sudah tak tahu harus berbuat apa untuk menenangkan penontonnya yang sudah gelisah kebosanan.

Permainan kata-kata dari Dilan untuk merayu Milea tak lagi punya makna. Kesan manisnya pun dengan cepat memudar dan membuat penontonnya sudah tak lagi ingin mendengarkan kata-kata manis dari mulut Dilan. Kesan canggung di antara keduanya pun semakin terasa. Dilan dan Milea tak lagi bisa memikat penontonnya seperti saat mereka masih berada di satu jam pertama. Plotnya yang sederhana pun semakin menipis tanpa ada sebuah letupan berarti yang bisa menjaga penontonnya.

Banyak beberapa adegan yang hadir tanpa memiliki arti. Hanya sebuah adegan tak berarti untuk semakin melengkapi durasi. Hal ini berdampak dengan bagaimana Dilan 1990 pada akhirnya sudah tak lagi punya hasrat untuk bisa dikagumi. Sehingga, penyelamat utama dari film ini hanyalah performa secara terpisah dari Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla yang berhasil menghidupkan karakter Dilan dan Milea dengan apik.


Beberapa detil kecil dari ekspresi Iqbaal Ramadhan saat memerankan Dilan ini muncul dengan natural dan dengan mudah mematahkan anggapan penggemarnya yang meremahkan Iqbaal sebagai sosok Dilan. Iqbaal Ramadhan tumbuh menjadi aktor remaja yang sangat menjanjikan setelah debut akting remajanya lewat film Ada Cinta di SMA bisa memukau banyak penontonnya. Meski terkadang ikatannya dengan Vanesha Prescilla masih naik dan turun, tetapi mereka berdua adalah nyawa dari Dilan 1990.

Dengan berbagai kelemahannya, Dilan 1990 mungkin akan memuaskan penggemarnya dan bahkan remaja masa kini yang suka dengan kata-kata rayuan di dalam film ini. Tetapi sayangnya, Dilan 1990 yang sangat mahsyur ini masih jauh untuk bisa menetapkan dirinya sebagai trademark generasi millenial sebagai perwakilan pasangan remaja yang bisa disandingkan dengan Rangga dan Cinta atau bahkan Adit dan Tita. Dilan 1990 hanyalah sebuah kumpulan rayuan gombal yang terlalu berlebihan. Seperti rayuannya, Dilan 1990 hanya memunculkan nuansa manis yang sifatnya sementara.

Senin, 05 Februari 2018

REVIEW : DILAN 1990

REVIEW : DILAN 1990


“Milea, kamu cantik. Tapi aku belum mencintaimu. Nggak tahu kalau sore. Tunggu aja.” 

Pada kuartal awal tahun 2018 ini, khalayak ramai menjadi saksi atas lahirnya pasangan fiktif baru yang fenomenal dalam perfilman Indonesia selepas Cinta-Rangga (Ada Apa Dengan Cinta?, 2001), Tita-Adit (Eiffel… I’m in Love, 2003), dan Aisha-Fahri (Ayat-Ayat Cinta, 2008). Mereka adalah Milea-Dilan, karakter utama dalam film Dilan 1990 yang diekranisasi dari novel laris manis bertajuk Dilan: Dia adalah Dilanku Tahun 1990 rekaan Pidi Baiq. Seperti halnya ketiga film yang telah terlebih dahulu mencuri hati masyarakat Indonesia tersebut, Dilan 1990 pun sanggup menciptakan gelombang hype luar biasa besar yang kemudian mendorong publik yang didominasi oleh remaja usia belasan untuk rela mengantri panjang demi menyaksikan jalinan kisah asmara Milea dengan Dilan. Alhasil, rekor demi rekor terus diciptakan oleh Dilan 1990 yang berpotensi membawanya meraih predikat “film romantis terlaris sepanjang masa di Indonesia” (dengan catatan, sanggup melewati Habibie & Ainun yang merengkuh 4,5 juta penonton). Kesuksesan besar ini tentu pada akhirnya mendatangkan tanya: apa sih istimewanya Dilan 1990 sampai-sampai begitu diburu? Dari sisi bisnis, jawabannya mudah saja yakni ketepatan strategi promosi. Sedangkan dinilai dari filmnya itu sendiri, Dilan 1990 terhitung berhasil menjelma sebagai film percintaan yang manis sekalipun bagi saya pribadi tidak betul-betul mengesankan.  

Dalam Dilan 1990, kita mengikuti narasi Milea (Vanesha Prescilla) mengenai seseorang yang telah merebut hatinya semasa mengenakan seragam putih abu-abu di Bandung pada tahun 1990. Orang tersebut adalah Dilan (Iqbaal Ramadhan), ‘panglima tempur’ di sebuah geng motor dan murid berandalan di sekolahnya. Mereka berdua, tentu saja, tidak lantas saling jatuh cinta saat pertama kali berjumpa. Milea telah memiliki seorang kekasih di Jakarta bernama Beni (Brandon Salim) dan rekam jejak Dilan sebagai tukang bikin onar membuat Milea agak ragu-ragu kala didekati Dilan. Terlebih, Dilan juga bukan satu-satunya laki-laki yang menaruh rasa padanya karena ada pula Nandan (Debo Andrios), sang ketua kelas, dan Kang Adi (Refal Hady), sang guru les privat. Yang kemudian perlahan tapi pasti membuat hati Milea luluh terhadap Dilan adalah tekad kuat yang ditunjukkan oleh Dilan untuk mendapatkan Milea. Tidak ada hadiah-hadiah mahal yang diberikan kepada sang pujaan hati melainkan sebatas lontaran kata-kata puitis dengan penyampaian yang bisa dibilang unik, seperti disisipkan pada buku teka-teki silang atau ‘dipaketkan’ bersama tukang pijat. Berbagai upaya Dilan untuk menggaet Milea ini akhirnya menunjukkan titik terang pasca Milea mendapat perlakuan menyakitkan dari Beni sehingga membuat Milea memiliki ketegasan untuk lebih memilih Dilan dan meninggalkan Beni.


Diejawantahkan oleh Fajar Bustomi dan Pidi Baiq ke dalam bahasa gambar, Dilan 1990 mampu tersaji sebagai tontonan percintaan yang sejatinya cukup manis. Generasi sosial media yang menjadi pangsa pasar utamanya, terutama penonton perempuan, bakal meleleh tiap kali sosok Dilan meluncurkan rayuan-rayuan mautnya kepada Milea, sementara mereka yang telah berusia lanjut (eh, maksud saya, di atas 25 tahun) akan tersenyum-senyum gemas karena apa yang dialami oleh Dilan dan Milea sedikit banyak mengingatkan pada masa remaja dimana berpacaran tampak seperti hal terindah yang bisa dilakukan. Pada dasarnya, sepanjang durasi mengalun, penonton sebatas menyaksikan upaya si panglima tempur dalam merebut hati perempuan yang ditaksirnya melalui untaian kata-kata puitis namun receh dan gaya pendekatan yang agak-agak nyeleneh. Tidak lebih dari itu. Kalaupun ada konflik seperti Beni yang geram mendapati kekasihnya mendua, kehadiran Kang Adi, pertikaian antara Dilan dengan gurunya, sampai Anhar (Giulio Parengkuan) yang melecehkan Milea, hanya dipergunakan sebagai selingan semata tanpa pernah benar-benar memperoleh kesempatan untuk dikembangkan lebih lanjut. Itulah mengapa bagi saya Dilan 1990 terasa kurang menggigit sekalipun sulit disangkal bahwa film ini memang manis. Ketiadaan fluktuasi dalam jalinan pengisahan menyebabkan film sempat berada dalam tahapan melelahkan utamanya begitu menginjak pertengahan durasi. 

Yang lantas menghindarkan film ini dari terperosok ke dalam jurang lebih dalam dan tetap terasa enak untuk dinikmati disamping pengarahan dari duo sutradara yang mampu menjaga ritme penceritaan adalah performa jajaran pemainnya. Kredit terbesar tentu sudah sepatutnya disematkan kepada Iqbaal Ramadhan beserta Vanesha Prescilla yang mampu tampil meyakinkan sebagai pasangan menggemaskan bernama Dilan dan Milea. Iqbaal berhasil membuktikan bahwa dia bukanlah pilihan yang keliru dalam melakonkan sang panglima tempur. Tengok saja gayanya yang tengil sedikit urakan, gombalan-gombalan yang kerap meluncur begitu saja dari mulutnya, sorot mata tajamnya, dan interaksinya bersama Vanesha yang kadang kikuk. Penonton laki-laki remaja akan terinspirasi, sedangkan penonton perempuan akan dibuatnya berulang kali salah tingkah. Ya, salah tingkah seperti Vanesha Prescilla tiap kali berada di sisi Iqbaal. Di tangan aktris pendatang baru ini, sosok Milea terasa sangat hidup. Sikapnya yang malu-malu kucing, kepolosannya, serta auranya yang menenangkan. Dia menunjukkan alasan mengapa Milea bisa diperebutkan oleh banyak laki-laki. Chemistry yang dirangkainya bersama Iqbaal berada dalam level sangat baik sehingga penonton pun dapat meyakini bahwa mereka berdua adalah muda-mudi yang tengah dimabuk cinta.

Acceptable (3/5)