Tampilkan postingan dengan label Remaja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Remaja. Tampilkan semua postingan

Senin, 05 Februari 2018

REVIEW : DILAN 1990

REVIEW : DILAN 1990


“Milea, kamu cantik. Tapi aku belum mencintaimu. Nggak tahu kalau sore. Tunggu aja.” 

Pada kuartal awal tahun 2018 ini, khalayak ramai menjadi saksi atas lahirnya pasangan fiktif baru yang fenomenal dalam perfilman Indonesia selepas Cinta-Rangga (Ada Apa Dengan Cinta?, 2001), Tita-Adit (Eiffel… I’m in Love, 2003), dan Aisha-Fahri (Ayat-Ayat Cinta, 2008). Mereka adalah Milea-Dilan, karakter utama dalam film Dilan 1990 yang diekranisasi dari novel laris manis bertajuk Dilan: Dia adalah Dilanku Tahun 1990 rekaan Pidi Baiq. Seperti halnya ketiga film yang telah terlebih dahulu mencuri hati masyarakat Indonesia tersebut, Dilan 1990 pun sanggup menciptakan gelombang hype luar biasa besar yang kemudian mendorong publik yang didominasi oleh remaja usia belasan untuk rela mengantri panjang demi menyaksikan jalinan kisah asmara Milea dengan Dilan. Alhasil, rekor demi rekor terus diciptakan oleh Dilan 1990 yang berpotensi membawanya meraih predikat “film romantis terlaris sepanjang masa di Indonesia” (dengan catatan, sanggup melewati Habibie & Ainun yang merengkuh 4,5 juta penonton). Kesuksesan besar ini tentu pada akhirnya mendatangkan tanya: apa sih istimewanya Dilan 1990 sampai-sampai begitu diburu? Dari sisi bisnis, jawabannya mudah saja yakni ketepatan strategi promosi. Sedangkan dinilai dari filmnya itu sendiri, Dilan 1990 terhitung berhasil menjelma sebagai film percintaan yang manis sekalipun bagi saya pribadi tidak betul-betul mengesankan.  

Dalam Dilan 1990, kita mengikuti narasi Milea (Vanesha Prescilla) mengenai seseorang yang telah merebut hatinya semasa mengenakan seragam putih abu-abu di Bandung pada tahun 1990. Orang tersebut adalah Dilan (Iqbaal Ramadhan), ‘panglima tempur’ di sebuah geng motor dan murid berandalan di sekolahnya. Mereka berdua, tentu saja, tidak lantas saling jatuh cinta saat pertama kali berjumpa. Milea telah memiliki seorang kekasih di Jakarta bernama Beni (Brandon Salim) dan rekam jejak Dilan sebagai tukang bikin onar membuat Milea agak ragu-ragu kala didekati Dilan. Terlebih, Dilan juga bukan satu-satunya laki-laki yang menaruh rasa padanya karena ada pula Nandan (Debo Andrios), sang ketua kelas, dan Kang Adi (Refal Hady), sang guru les privat. Yang kemudian perlahan tapi pasti membuat hati Milea luluh terhadap Dilan adalah tekad kuat yang ditunjukkan oleh Dilan untuk mendapatkan Milea. Tidak ada hadiah-hadiah mahal yang diberikan kepada sang pujaan hati melainkan sebatas lontaran kata-kata puitis dengan penyampaian yang bisa dibilang unik, seperti disisipkan pada buku teka-teki silang atau ‘dipaketkan’ bersama tukang pijat. Berbagai upaya Dilan untuk menggaet Milea ini akhirnya menunjukkan titik terang pasca Milea mendapat perlakuan menyakitkan dari Beni sehingga membuat Milea memiliki ketegasan untuk lebih memilih Dilan dan meninggalkan Beni.


Diejawantahkan oleh Fajar Bustomi dan Pidi Baiq ke dalam bahasa gambar, Dilan 1990 mampu tersaji sebagai tontonan percintaan yang sejatinya cukup manis. Generasi sosial media yang menjadi pangsa pasar utamanya, terutama penonton perempuan, bakal meleleh tiap kali sosok Dilan meluncurkan rayuan-rayuan mautnya kepada Milea, sementara mereka yang telah berusia lanjut (eh, maksud saya, di atas 25 tahun) akan tersenyum-senyum gemas karena apa yang dialami oleh Dilan dan Milea sedikit banyak mengingatkan pada masa remaja dimana berpacaran tampak seperti hal terindah yang bisa dilakukan. Pada dasarnya, sepanjang durasi mengalun, penonton sebatas menyaksikan upaya si panglima tempur dalam merebut hati perempuan yang ditaksirnya melalui untaian kata-kata puitis namun receh dan gaya pendekatan yang agak-agak nyeleneh. Tidak lebih dari itu. Kalaupun ada konflik seperti Beni yang geram mendapati kekasihnya mendua, kehadiran Kang Adi, pertikaian antara Dilan dengan gurunya, sampai Anhar (Giulio Parengkuan) yang melecehkan Milea, hanya dipergunakan sebagai selingan semata tanpa pernah benar-benar memperoleh kesempatan untuk dikembangkan lebih lanjut. Itulah mengapa bagi saya Dilan 1990 terasa kurang menggigit sekalipun sulit disangkal bahwa film ini memang manis. Ketiadaan fluktuasi dalam jalinan pengisahan menyebabkan film sempat berada dalam tahapan melelahkan utamanya begitu menginjak pertengahan durasi. 

Yang lantas menghindarkan film ini dari terperosok ke dalam jurang lebih dalam dan tetap terasa enak untuk dinikmati disamping pengarahan dari duo sutradara yang mampu menjaga ritme penceritaan adalah performa jajaran pemainnya. Kredit terbesar tentu sudah sepatutnya disematkan kepada Iqbaal Ramadhan beserta Vanesha Prescilla yang mampu tampil meyakinkan sebagai pasangan menggemaskan bernama Dilan dan Milea. Iqbaal berhasil membuktikan bahwa dia bukanlah pilihan yang keliru dalam melakonkan sang panglima tempur. Tengok saja gayanya yang tengil sedikit urakan, gombalan-gombalan yang kerap meluncur begitu saja dari mulutnya, sorot mata tajamnya, dan interaksinya bersama Vanesha yang kadang kikuk. Penonton laki-laki remaja akan terinspirasi, sedangkan penonton perempuan akan dibuatnya berulang kali salah tingkah. Ya, salah tingkah seperti Vanesha Prescilla tiap kali berada di sisi Iqbaal. Di tangan aktris pendatang baru ini, sosok Milea terasa sangat hidup. Sikapnya yang malu-malu kucing, kepolosannya, serta auranya yang menenangkan. Dia menunjukkan alasan mengapa Milea bisa diperebutkan oleh banyak laki-laki. Chemistry yang dirangkainya bersama Iqbaal berada dalam level sangat baik sehingga penonton pun dapat meyakini bahwa mereka berdua adalah muda-mudi yang tengah dimabuk cinta.

Acceptable (3/5)


Rabu, 29 Maret 2017

REVIEW : DEAR NATHAN

REVIEW : DEAR NATHAN


“Saya seneng, kamu ngomong pakai aku kamu. Berasa kayak orang pacaran beneran.” 

Baru beberapa hari lalu diri ini berjingkat-jingkat kegirangan lantaran mendapati film percintaan remaja buatan dalam negeri yang kualitasnya melampaui semenjana dalam Galih dan Ratna, tanpa disangka-sangka kegirangan tersebut bakal terpicu lagi oleh Dear Nathan. Berbeda halnya dengan Galih dan Ratna yang materi sumbernya amat meyakinkan – pijakannya adalah film romantis klasik, maka Dear Nathan yang mempergunakan novel teenlit laris manis rekaan Erisca Febriani hasil kompilasi dari tulisannya di situs Wattpad sebagai rujukan utama boleh dibilang agak meragukan. Meragukan dalam arti naga-naganya film akan susah dinikmati penonton yang bukan berasal dari pangsa pasar utamanya atau dengan kata lain remaja usia belasan yang masih mengenakan seragam sekolah. Ya, telah menjadi rahasia umum bahwa film romantis khusus remaja Indonesia dewasa ini acapkali mempunyai kecenderungan mengalienasi penonton diluar pangsa pasar utamanya sampai-sampai munculnya sikap meremehkan terhadap Dear Nathan pun amat bisa dipahami. Ditemani skeptisisme kala melangkahkan kaki memasuki gedung bioskop demi menyaksikan Dear Nathan, sebuah tamparan kecil mendarat ke diri ini begitu lampu bioskop dinyalakan pertanda pertunjukkan telah usai. Rupanya, Dear Nathan bukanlah film menye-menye kosong nan menyebalkan seperti disangkakan dan malah justru sebaliknya, ini adalah tontonan yang manis, lucu, dan cukup emosional. Dear Nathan pun bolehlah diajak bergabung ke dalam kelompok ‘film percintaan remaja buatan sineas Indonesia yang enak buat ditonton’ yang anggotanya terhitung sedikit itu. 

Dear Nathan adalah kisah asmara antara seorang siswa berandalan dengan seorang siswi taat aturan. Si cowok adalah Nathan (Jefri Nichol) yang tersohor di sekolahnya lantaran kerap bikin onar, sedangkan si cewek adalah siswi baru yang berusaha mengukir prestasi, Salma (Amanda Rawles). Perjumpaan keduanya dimulai tatkala Salma telat datang ke sekolah dan Nathan membantunya menyelinap masuk demi menghindarkan Salma dari hukuman. Sikap Salma yang berbeda terhadap Nathan (menurut Nathan, Salma melihatnya sebagai manusia) membuat berandalan sekolah ini jatuh hati. Dia berusaha menaklukkan hati si murid baru bahkan secara terang-terangan menyatakan rasa cintanya. Hanya saja, sulit bagi Salma untuk benar-benar menentukan pilihan hatinya. Di satu sisi, dia ingin menghindar dari masalah yang kerap bersanding erat bersama Nathan. Namun di sisi lain, dia pun tidak bisa menyangkal bahwa dirinya menaruh perasaan pada Nathan. Kebimbangan Salma kian menjadi-jadi saat sang ketua OSIS, Aldo (Rayn Wijaya), turut memberi perhatian lebih terhadapnya. Apakah dia akan menetapkan pilihannya ke Nathan yang jelas-jelas penuh masalah atau malah Aldo yang di permukaan tampak mempunyai ‘boyfriend material’? Dalam kebimbangannya, serentetan kejadian mendorong Salma untuk lebih dekat pada Nathan yang membuatnya bisa melihat sosok Nathan dari sudut pandang berbeda dan perlahan tapi pasti kian memperkuat percikan-percikan asmara diantara mereka. 

Berkaca pada sinopsis, materi cerita Dear Nathan sejatinya klise. Entah sudah berapa kali film percintaan remaja mengusung tuturan soal kisah kasih antara si badung dengan si rajin berlatar masa-masa SMA. Tengok saja kawasan Asia yang semenjak popularitas serial Meteor Garden mengangkasa, berderet-deret film berjalur romantis mempergunakan template senada. Salah satu yang terbaru dan meninggalkan kesan mendalam di hati adalah Our Times (2015). Memboyong materi cerita yang tidak lagi asing di telinga semacam ini cenderung beresiko. Apabila si pembuat film kurang mahir bercerita, film akan berakhir bak epigon. Butuh kecakapan dalam mengolahnya agar meninggalkan cecapan rasa kuat di akhir, membuatnya terasa segar sekaligus memposisikannya menjulang diantara film-film sejenis. Dan beruntunglah bagi Dear Nathan, tim yang solid menyokongnya dari berbagai lini sehingga mampu meninggalkan cecapan rasa kuat di akhir sekalipun bahan obrolannya tidak lagi baru. Indra Gunawan yang sebelumnya mengobrak-abrik emosi penonton melalui Hijrah Cinta yang kurang mendapat sorotan, menempati kursi penyutradaraan. Dia bertugas mengejawantahkan skenario racikan Bagus Bramanti (Mencari Hilal, Talak 3) dan Gea Rexy ke dalam bahasa gambar. Dalam Dear Nathan, Indra mempertegas bahwa sosoknya sudah saatnya diperhitungkan. Keterampilannya menggulirkan penceritaan di Dear Nathan paling kentara mencolok di 30 menit awal yang mengasyikkan sekaligus menit-menit jelang film tutup durasi yang bukan saja emosional tetapi juga manis. Sikap penuh keragu-raguan seketika terhempas hanya beberapa saat usai film memulai langkah pertamanya.


Membawa nada penceritaan yang cerah ceria bak remaja-remaja yang tengah dimabuk asmara, Dear Nathan tidak ingin melenakan penonton sekadar dengan tangkapan gambar indah maupun deretan dialog ala pujangga tanpa konteks jelas. Plot dan karakter pun dianggap penting. Penonton telah dikondisikan untuk menaruh kepedulian kepada kedua karakter utamanya sedari awal. Demi memperkuat karakteristik dari masing-masing tokoh, si pembuat film pun memanfaatkan barisan karakter pendukung. Keberadaan teman-teman sekolah Nathan maupun Salma bukan sekadar pemanis belaka. Begitu halnya dengan sosok keluarga. Dari mereka, kita bisa melihat Nathan dan Salma menggunakan berbagai jenis kacamata dan memahami motivasi atas setiap tindak tanduknya. Ada dinamika tersendiri dalam sosok keduanya yang sedikit banyak membantu mereka terhindar dari karakter tipikal khas film sejenis. Kita terpikat pada Nathan yang bengal, kita terpikat pada Salma yang polos, dan hasil akhirnya, kita terpikat pada kisah asmara yang merekatkan keduanya. Kesanggupan kita untuk terhubung ke para karakter juga dipicu oleh bangunannya yang membumi. Sosok Nathan dan Salma ada di sekitar kita (atau malah diri kita!), lalu konflik yang melingkungki keduanya pun mudah dijumpai. Ketika penonton sudah membentuk ikatan bersama karakter kunci, maka mudah saja bagi si pembuat film untuk membius kita dengan rentetan konflik yang menghadang para tokoh. Muncul kebahagiaan menyimak dua sejoli ini berduaan, muncul ketidakrelaan melihat jurang pemisah diantara mereka kian menganga lebar, dan muncul kehangatan menyaksikan salah satu dari mereka akhirnya berkonsiliasi dengan masa lalu. Lebih dari sekadar film percintaan, Dear Nathan turut mengapungkan isu mengenai perundungan, prasangka, dan keluarga disfungsional yang alih-alih mendistraksi malah kian memperdalam plot utama. 

Jalinan pengisahan yang telah dirangkai dengan begitu apiknya kian terangkat berkat barisan pemain yang suguhkan lakon solid. Jefri Nichol dan Amanda Rawles merupakan bukti nyata kejelian tim casting dalam memilih pemain. Mereka tidak semata-mata cocok secara perawakan, tetapi juga sanggup untuk menghidupkan sosok Nathan dan Salma. Jefri Nichol melebur secara meyakinkan ke dalam jiwa Nathan, membuat penonton tetap dapat jatuh hati lalu bersimpati kepada Nathan. Gelegak emosinya di paruh akhir bersama Surya Saputra yang memerankan ayahanda Nathan menjadi salah satu bagian terbaik dari film dan terbilang berhasil memaksa penonton untuk mengeluarkan sapu tangan dari saku celana demi mengusap bulir-bulir air mata. Performa Jefri Nichol bisa terasa maksimal – bahkan dia amat bersinar disini – lantaran disandingkan dengan lawan main yang juga klop. Disamping Surya Saputra, ada pula Ayu Dyah Pasha, Karina Suwandi, Diandra Agatha, Beby Tsabina, serta tentunya, Amanda Rawles yang jalin chemistry apik bersama Jefri Nichol. Seperti halnya Jefri Nichol, Amanda Rawles pun tampak effortless memerankan Salma. Dalam interpretasi kurang tepat, Salma berpotensi terperosok menjadi karakter menjengkelkan apalagi acapkali dia plin plan atas keputusannya. Namun Amanda Rawles berhasil melakonkannya dengan amat baik yang membuat Salma mudah untuk disukai (senyum-senyum canggungnya bikin gemes!) dan kita pun memahami kegamangan hatinya dalam menentukan pilihan. 

Melihat sokongan tidak main-main dari beragam departemen, tidak mengherankan jika pada akhirnya Dear Nathan sanggup terhidang sebagai film percintaan remaja yang menyenangkan. Mendatangkan gelak tawa, mengundang sunggingan senyum dan menghadirkan kehangatan. Bagus!

Outstanding (4/5)


Minggu, 12 Maret 2017

REVIEW : GALIH & RATNA

REVIEW : GALIH & RATNA


"Fokus dengan apa yg membuat kita bahagia bukan pada apa yg seharusnya membuat kita bahagia."

Menjumpai film percintaan remaja buatan dalam negeri yang enak ditonton itu sulitnya bukan kepalang. Bagai mencari jarum diantara tumpukan jerami. Dari sisi kuantitas sih stoknya melimpah ruah. Cuma dari sekian banyak judul, film yang tidak mengakibatkan migrain atau gerutuan berkepanjangan saat menontonnya bahkan kalah jumlah dari jemari tangan. Plot mengada-ada, karakter konyol jauh dari kesan membumi, dan dialog-dialog ala pujangga yang bikin lelah telinga dilontarkan tiap menit adalah beberapa penyebab mengapa film percintaan remaja setempat sulit membuat penonton di luar pangsa pasarnya ikut klepek-klepek. Terakhir kali menyaksikan perwakilan genre ini yang terhitung “pas di hati” adalah lima bulan silam lewat Ada Cinta di SMA – sebuah film romantis menyenangkan yang sayangnya dipandang sebelah mata lantaran dibintangi oleh personil CJR (dunno why!). Dalam kurun waktu semenjak film tersebut rilis, beberapa film sejenis berlalu lalang namun tak satupun meninggalkan kesan sampai akhirnya tibalah film terbaru arahan Lucky Kuswandi, Galih dan Ratna, yang menyerupai oase di gurun tandus. Galih dan Ratna membuatku tertawa oleh kejenakaannya, tersenyum kerena keromantisannya, sekaligus rindu manisnya masa-masa SMA. Jatuh hati! 

Kendati melompat kegirangan begitu mendapati betapa lezatnya Galih dan Ratna buat dikudap, sejatinya bukanlah sesuatu yang terlalu mengejutkan mengetahui sajian ini akan meninggalkan after taste kuat. Betapa tidak, materi sumbernya adalah novel legendaris dari era 70-an karya Eddy Iskandar, Gita Cinta Dari SMA, yang lantas diterjemahkan pula ke film layar lebar laris manis berjudul serupa dan mengorbitkan kedua bintang utamanya, Rano Karno serta Yessy Gusman. Karakter yang mereka perankan amat ikonik yakni Galih dan Ratna yang merupakan Rangga dan Cinta bagi generasi remaja tiga dekade silam. Dalam versi 2017, sekalipun garis besar cerita berikut jajaran karakter intinya mengadopsi dari karya populer terdahulu, Lucky Kuswandi tidak serta merta sekadar copy paste lalu disesuaikan dengan kondisi zaman. Galih dan Ratna lebih cocok disebut sebagai ‘adik’ ketimbang ‘kloningan’. Disamping plot utama mengenai kisah kasih dua sejoli terhalang perbedaan kasta sosial (dirombak dari sebelumnya, beda suku) dan satu dua lagu tema diaransemen ulang, nyaris tidak ada lagi persamaan dijumpai dari kedua film tersebut. Malah, sesuai dengan judulnya, latar belakang kedua karakter utama mendapat lebih banyak kulikan ketimbang versi lawas. 

Galih (Refal Hady) masihlah siswa SMA yang cerdas, hanya saja sekali ini dia bukan siswa populer dan cenderung tertutup. Impiannya terhalang oleh restu dari sang ibu (Ayu Dyah Pasha) yang menginginkan Galih untuk fokus di jalur akademik sehingga mampu memasuki universitas pilihan tanpa harus menghabiskan banyak biaya mengingat kondisi finansial keluarga mereka serba pas-pasan. Sementara Ratna (Sheryl Sheinafia) tetaplah siswi pindahan yang cantik dari keluarga terpandang, hanya saja sekali ini dia lebih spontan dalam bertindak dan mimpinya mengenai masa depan masih diawang-awang. Perkenalan keduanya secara resmi dimulai di lapangan belakang sekolah saat Ratna menunjukkan ketertarikkan pada walkman milik Galih. Dari obrolan singkat mengenai musik yang mereka dengarkan bersama, penonton bisa menyimpulkan bahwa keduanya saling cocok. Hanya butuh alasan lain untuk mengeratkan hubungan mereka. Fathan Todjon selaku penulis skrip bersama Lucky menghadirkan alasan tersebut dalam bentuk sebuah toko kaset milik mendiang ayah Galih yang telah tergerus modernitas dan terancam gulung tikar bernama Nada Musik. Ratna iseng mampir kesana, lalu malah dibuat kesengsem oleh idealisme Galih. Percikan-percikan asmara diantara mereka kian menguat sampai akhirnya Galih memberanikan diri untuk membuat mixtape sebagai bentuk pernyataan cintanya kepada Ratna. 


Melihat Galih ‘menembak’ Ratna menggunakan mixtape, seorang kawan nyeletuk, “ah, terlalu mengada-ada. Masa jaman serba digital begini masih ada yang mau nembak pakai mixtape? Muternya gimana coba?.” Untuk sesaat, saya membenarkan komentarnya sampai kemudian teringat pernah menjumpai seorang penggila musik idealis yang mengagungkan format fisik (termasuk kaset yang telah dianggap punah oleh banyak orang sejak beberapa tahun lalu!) dan mendengar tanggapan Ratna ke salah satu teman sekelasnya, “jika dia memang mencintaimu, dia akan mencari cara untuk mendengarkannya.” Kehadiran mixtape justru memperkuat sisi romantis dari film. Menunjukkan adanya kesungguhan cinta diantara kedua karakter utama mengingat untuk sekadar ‘nembak’ dan ‘menerima tembakan’ saja membutuhkan daya juang lebih. Galih bersusah payah memilah-milah lagu yang cocok untuk mengutarakan isi hatinya lalu dilanjut proses mengompilasi ke bentuk kaset yang rumit, dan Ratna, berusaha keras untuk mencari tape demi mendengar surat cinta sang kekasih. Adegan saat Ratna akhirnya berhasil mendengarkan mixtape pemberian Galih di angkot merupakan salah satu momen emas dalam Galih dan Ratna. Hati ini berdesir dibuatnya. Adegan lanjutannya berupa penyampaian jawaban pun tak kalah manis. Tanpa tersadar, seuntai senyum telah mengembang di bibir. 

Ya, Galih dan Ratna manis bukan disebabkan kedua insan manusia yang tengah dimabuk asmara hobi saling melempar gombalan satu sama lain tiada berkesudahan. Manisnya terbentuk dari situasi dan keyakinan penonton bahwa kedua karakter memang saling jatuh cinta – atau dengan kata lain, chemistry ciamik. Refal Hady dan Sheryl Sheinafia mempersembahkan duet maut layak dikenang. Untuk ukuran pendatang baru, Refal tampil memikat sebagai Galih. Menguarkan aura misterius mengundang keingintahuan akan sosoknya. Emosinya dalam momen puncak, terpancar nyata. Sedangkan Sheryl membuktikan bahwa lakon bagusnya di Koala Kumal tahun lalu bukanlah semata-mata keberuntungan pemula. Di tangannya, sosok Ratna yang sepintas lalu tampak tipikal gadis rumahan terasa memiliki kompleksitas. Ada kegetiran tersembunyi dibalik sikap cueknya. Ketika mereka berdiri sendiri, masing-masing suguhkan akting solid dan ketika mereka dipersatukan, chemistry-nya sungguh menggigit. Itulah mengapa, mencuat kecemasan dalam adegan yang berlangsung di meja makan dan stasiun kereta karena emosi penonton telah terinvestasikan kepada dua sejoli ini. Memunculkan pengharapan, kisah kasih antara Galih dengan Ratna akan beroleh restu dari orang tua masing-masing khususnya ayah Ratna (Hengky Tornando) yang jarang berada di sisi putrinya serta enggan memahami kemauan sang putri. 

Menariknya, Lucky tak melulu berbincang soal cinta di Galih dan Ratna – walau sah-sah saja, toh ini film roman. Tak luput diselipkannya beberapa sorotan ke fenomena sosial masyarakat sekitar dan sejumput kritik seperti generasi muda yang mengalami ketergantungan terhadap sosial media, adanya kesadaran berpolitik di kalangan murid SMA, menjajikannya bisnis berbasis agama, sikap otoriter orang tua pada penentuan masa depan anak, sampai peran serta guru di sekolah. Penyampaian Lucky terbilang halus tak berasa ceriwis, namun cukup efektif dalam menyentil. Daya pikat lain yang dipunyai Galih dan Ratna adalah film mempunyai barisan lagu pengiring bagus yang berkontribusi menghidupkan suasana romantis nan melankolis, lalu pembawaannya seringkali ringan serta cenderung ceria. Serentetan humor-humor segar banyak disempalkan disana sini dari teman-teman sekelas dua karakter utama yang ajaib, sosok guru dalam wujud Pak Dedy (Joko Anwar) yang galak-galak ngangenin, hingga Tante Ratna (Marissa Anita) yang energinya berlebih. Manjur dalam mengundang gelak-gelak tawa renyah sekaligus membangkitkan kenangan-kenangan menyenangkan semasa masih mengenakan seragam putih abu-abu. Kangen! Jika memang ada keadilan di muka bumi ini, seharusnya mudah saja bagi Galih dan Ratna untuk mendapatkan ratusan ribu atau malah jutaan penonton. Apalagi filmnya amat menarik dan tidak meninggalkan efek migrain maupun gerutuan berkepanjangan kala menyantapnya.

Outstanding (4/5)