Tampilkan postingan dengan label Lucky Kuswandi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lucky Kuswandi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 23 Maret 2017

GALIH & RATNA (2017) REVIEW : Pengingat Masa Remaja yang Manis

GALIH & RATNA (2017) REVIEW : Pengingat Masa Remaja yang Manis


Telah ada sepasang sejoli lain yang lebih ikonik dan muncul jauh sebelum Cinta dan Rangga di Ada Apa Dengan Cinta?. Sepasang sejoli ini muncul dari karakter yang dibuat oleh Eddy D. Iskandar lewat tulisannya di sebuah karya novel berjudul Gita Cinta Dari SMA. Kisahnya pun pernah divisualisasikan oleh Arizal di tahun 1979. Muda-mudi di kala itu pun begitu menggilai kisah cinta dua insan manusia ini. Galih dan Ratna, kisah cinta mereka bersemi di bangku SMA dan abadi dikenang sepanjang masa.

Kisah manisnya masih memberikan rasa yang tak pernah lekang oleh zaman. Hingga di generasi yang sudah berubah segala kebiasaannya ini, rasanya perlu dikenang lagi kisah cinta mereka. Maka, datanglah Lucky Kuswandi membawakan kisah cinta bahagia mereka dengan caranya sendiri. Lucky Kuswandi mengadaptasi bebas sumber utama kisah cinta Galih dan Ratna ini dan mempersembahkannya sebagai surat cinta kepada generasi remaja millenial untuk merasakan degupan cinta yang bahagia.

Bukan lagi ‘Gita Cinta Dari SMA’, tapi ‘Galih & Ratna’ sebagai tajuk pilihan sekaligus cara untuk membedakan karya milik Lucky Kuswandi dengan film sebelumnya. Karya milik Lucky Kuswandi ini tak serta merta mengadegankan ulang panel-to-panel yang hanya menimbulkan efek nostalgia. Galih & Ratna lebih kepada rejenuvasi atas karya lama milik Arizal berdasarkan novel milik Eddy D. Iskandar. Tetapi, inilah ‘Galih & Ratna’ yang meskipun mendapatkan pembaharuan tetap memiliki rasa manis yang sama. Mengingatkan kepada siapa saja yang menontonnya tentang masa remajanya yang bahagia. 


Klise, poin utama yang keluar sesaat mengetahui bahwa ‘Galih & Ratna’ ini adalah sebuah film kisah cinta remaja. Secara konflik dan cabang cerita, ‘Galih & Ratna’ memang tak punya kisah yang baru apalagi kisahnya tak lain juga disadur dari sumber yang sama. Lucky Kuswandi memang tak menegaskan untuk memberikan pembaharuan dalam plot ceritanya, tetapi mengembalikan sebuah rasa, kenangan, yang pernah setiap orang rasakan saat remaja.

Setiap orang pasti pernah menyatakan bahwa masa remaja adalah masa yang paling indah dan atas pernyataan itulah Lucky Kuswandi bermain saat mengarahkan Galih & Ratna. Film ini digunakan sebagai sebuah pertanda akan zaman remaja yang selalu menjadi pijakan untuk diingat tentang masa lalu. Dengan film ‘Galih & Ratna’, penonton yang sudah jauh melewati masa-masa ini bisa kembali teringat betapa manisnya merasakan cinta pertama dengan segala komplikasinya. 


Maka terwakililah kenangan memadu kasih saat remaja lewat karakter Galih dan Ratna yang merasakan adanya rasa pada pandangan pertama. Ketika itu, Ratna (Sheryl Sheinafia) adalah murid baru dari Jakarta yang pindah di sebuah sekolah di Bogor. Saat dia baru saja datang dan memperkenalkan diri di depan kelas, Galih (Refal Hady) dengan mudahnya terpesona dengan paras cantik Ratna. Galih dan Ratna memiliki atraksi yang sangat besar satu sama lain dan ingin merealisasikan perasaannya agar jadi satu.

Di suatu sore, di sebuah toko kaset tua peninggalan ayah Galih, Ratna datang untuk ingin tahu siapa Galih. Setelah itu, mereka berdua semakin akrab dan tiba saatnya Galih ingin menyatakan perasaannya kepada Ratna. Melalui sebuah kompilasi kaset pita, Galih menggunakannya sebagai perwakilan suara hatinya kepada Ratna. Tetapi, problematika Galih dan Ratna tak hanya tentang kisah cintanya, tetapi juga problematika pribadi yang membuat mereka tak bisa merajut kasih dengan tenang. 


Plot cerita utama di ‘Galih & Ratna’ memang hanya sekedar bagaimana keduanya saling memadu kasih. Tetapi, bukankah memang ketika dua orang sedang merajut kasih, seakan-akan dunia milik berdua? dan poin itulah yang berusaha disampaikan oleh Lucky Kuswandi. ‘Galih & Ratna’ memang tak bisa lepas dengan pandangan sebuah plot yang generik, tetapi pengarahan Lucky Kuswandi berhasil memberikan sentuhan yang begitu manis. Sehingga, performa plotnya yang sudah menjemukan ini bisa menjadi sebuah angin segar di film-film dengan genre yang serupa.

Manis-manis jambu, begitulah ‘Galih & Ratna’ sebagai film kisah cinta remaja. Film ini dapat menimbulkan rasa manis yang muncul perlahan-lahan dan membuat penontonnya tersipu malu. ‘Galih & Ratna’ bisa digunakan sebagai sebuah memoir masa remaja yang dirindukan oleh banyak orang, apalagi bagi penonton yang sudah lewat masa remajanya. ‘Galih & Ratna’ milik Lucky Kuswandi ini bukan hanya sekedar pemicu rasa nostalgia atas film terdahulunya, tetapi lebih kepada sebagai pengingat masa-masa remaja penontonnya.

Meski disadur dari sumber yang sama, Lucky Kuswandi membuat ‘Galih & Ratna’ sebagai sebuah film adaptasi dengan interpretasi bebas. Muncullah pembaharuan yang terjadi di dalam konfliknya agar memiliki relevansi dengan masa remaja generasi millenial. Sehingga, ‘Galih & Ratna’ tak hanya sebagai mesin pengingat kenangan bagi penontonnya yang sudah tumbuh dan berkembang dengan ‘Gita Cinta di SMA’, tetapi juga sebagai tontonan alternatif remaja yang ingin merasakan pahit manisnya cinta. 


Meski kisahnya ringan dan mendayu-dayu tetapi ‘Galih & Ratna’ tak melupakan bagaimana karakternya yang remaja ini juga sedang proses untuk memiliki kedewasaan. Sehingga, film ini tak sekedar kisah cinta yang manis, tetapi juga ada rasa pahit dalam proses berceritanya. Setiap karakternya berkembang mencari jati diri dan apa yang mereka inginkan dalam hidup mereka. Pesan lain dalam ‘Galih & Ratna’ adalah menceritakan tentang tujuan dan apa yang diinginkan setiap orang dalam hidupnya.

Kehadiran Galih & Ratnabisa menjadi jawaban atas film kisah cinta remaja yang dibuat dengan sangat baik. Akhirnya penonton remaja bisa memiliki film untuk mencurahkan kegalauan hati dengan representasi di film yang tepat. ‘Galih & Ratna’ memang klise, tetapi ada rasa manis yang muncul dan berhasil membuat hati penontonnya tersipu malu. Meski dengan sumber yang sama dengan film di tahun 1979, Lucky Kuswandi lebih membuat ‘Galih & Ratna’ sebagai sebuah film adaptasi bebas interpretasi. Tujuannya bukan hanya sebagai pengingat memori penonton yang sudah lewat masa remajanya, tetapi juga menunjukkan adanya relevansi kepada remaja masa kini. Dan Lucky Kuswandi berhasil mengemas ‘Galih & Ratna’ yang membuat degupan di hati.  

Minggu, 12 Maret 2017

REVIEW : GALIH & RATNA

REVIEW : GALIH & RATNA


"Fokus dengan apa yg membuat kita bahagia bukan pada apa yg seharusnya membuat kita bahagia."

Menjumpai film percintaan remaja buatan dalam negeri yang enak ditonton itu sulitnya bukan kepalang. Bagai mencari jarum diantara tumpukan jerami. Dari sisi kuantitas sih stoknya melimpah ruah. Cuma dari sekian banyak judul, film yang tidak mengakibatkan migrain atau gerutuan berkepanjangan saat menontonnya bahkan kalah jumlah dari jemari tangan. Plot mengada-ada, karakter konyol jauh dari kesan membumi, dan dialog-dialog ala pujangga yang bikin lelah telinga dilontarkan tiap menit adalah beberapa penyebab mengapa film percintaan remaja setempat sulit membuat penonton di luar pangsa pasarnya ikut klepek-klepek. Terakhir kali menyaksikan perwakilan genre ini yang terhitung “pas di hati” adalah lima bulan silam lewat Ada Cinta di SMA – sebuah film romantis menyenangkan yang sayangnya dipandang sebelah mata lantaran dibintangi oleh personil CJR (dunno why!). Dalam kurun waktu semenjak film tersebut rilis, beberapa film sejenis berlalu lalang namun tak satupun meninggalkan kesan sampai akhirnya tibalah film terbaru arahan Lucky Kuswandi, Galih dan Ratna, yang menyerupai oase di gurun tandus. Galih dan Ratna membuatku tertawa oleh kejenakaannya, tersenyum kerena keromantisannya, sekaligus rindu manisnya masa-masa SMA. Jatuh hati! 

Kendati melompat kegirangan begitu mendapati betapa lezatnya Galih dan Ratna buat dikudap, sejatinya bukanlah sesuatu yang terlalu mengejutkan mengetahui sajian ini akan meninggalkan after taste kuat. Betapa tidak, materi sumbernya adalah novel legendaris dari era 70-an karya Eddy Iskandar, Gita Cinta Dari SMA, yang lantas diterjemahkan pula ke film layar lebar laris manis berjudul serupa dan mengorbitkan kedua bintang utamanya, Rano Karno serta Yessy Gusman. Karakter yang mereka perankan amat ikonik yakni Galih dan Ratna yang merupakan Rangga dan Cinta bagi generasi remaja tiga dekade silam. Dalam versi 2017, sekalipun garis besar cerita berikut jajaran karakter intinya mengadopsi dari karya populer terdahulu, Lucky Kuswandi tidak serta merta sekadar copy paste lalu disesuaikan dengan kondisi zaman. Galih dan Ratna lebih cocok disebut sebagai ‘adik’ ketimbang ‘kloningan’. Disamping plot utama mengenai kisah kasih dua sejoli terhalang perbedaan kasta sosial (dirombak dari sebelumnya, beda suku) dan satu dua lagu tema diaransemen ulang, nyaris tidak ada lagi persamaan dijumpai dari kedua film tersebut. Malah, sesuai dengan judulnya, latar belakang kedua karakter utama mendapat lebih banyak kulikan ketimbang versi lawas. 

Galih (Refal Hady) masihlah siswa SMA yang cerdas, hanya saja sekali ini dia bukan siswa populer dan cenderung tertutup. Impiannya terhalang oleh restu dari sang ibu (Ayu Dyah Pasha) yang menginginkan Galih untuk fokus di jalur akademik sehingga mampu memasuki universitas pilihan tanpa harus menghabiskan banyak biaya mengingat kondisi finansial keluarga mereka serba pas-pasan. Sementara Ratna (Sheryl Sheinafia) tetaplah siswi pindahan yang cantik dari keluarga terpandang, hanya saja sekali ini dia lebih spontan dalam bertindak dan mimpinya mengenai masa depan masih diawang-awang. Perkenalan keduanya secara resmi dimulai di lapangan belakang sekolah saat Ratna menunjukkan ketertarikkan pada walkman milik Galih. Dari obrolan singkat mengenai musik yang mereka dengarkan bersama, penonton bisa menyimpulkan bahwa keduanya saling cocok. Hanya butuh alasan lain untuk mengeratkan hubungan mereka. Fathan Todjon selaku penulis skrip bersama Lucky menghadirkan alasan tersebut dalam bentuk sebuah toko kaset milik mendiang ayah Galih yang telah tergerus modernitas dan terancam gulung tikar bernama Nada Musik. Ratna iseng mampir kesana, lalu malah dibuat kesengsem oleh idealisme Galih. Percikan-percikan asmara diantara mereka kian menguat sampai akhirnya Galih memberanikan diri untuk membuat mixtape sebagai bentuk pernyataan cintanya kepada Ratna. 


Melihat Galih ‘menembak’ Ratna menggunakan mixtape, seorang kawan nyeletuk, “ah, terlalu mengada-ada. Masa jaman serba digital begini masih ada yang mau nembak pakai mixtape? Muternya gimana coba?.” Untuk sesaat, saya membenarkan komentarnya sampai kemudian teringat pernah menjumpai seorang penggila musik idealis yang mengagungkan format fisik (termasuk kaset yang telah dianggap punah oleh banyak orang sejak beberapa tahun lalu!) dan mendengar tanggapan Ratna ke salah satu teman sekelasnya, “jika dia memang mencintaimu, dia akan mencari cara untuk mendengarkannya.” Kehadiran mixtape justru memperkuat sisi romantis dari film. Menunjukkan adanya kesungguhan cinta diantara kedua karakter utama mengingat untuk sekadar ‘nembak’ dan ‘menerima tembakan’ saja membutuhkan daya juang lebih. Galih bersusah payah memilah-milah lagu yang cocok untuk mengutarakan isi hatinya lalu dilanjut proses mengompilasi ke bentuk kaset yang rumit, dan Ratna, berusaha keras untuk mencari tape demi mendengar surat cinta sang kekasih. Adegan saat Ratna akhirnya berhasil mendengarkan mixtape pemberian Galih di angkot merupakan salah satu momen emas dalam Galih dan Ratna. Hati ini berdesir dibuatnya. Adegan lanjutannya berupa penyampaian jawaban pun tak kalah manis. Tanpa tersadar, seuntai senyum telah mengembang di bibir. 

Ya, Galih dan Ratna manis bukan disebabkan kedua insan manusia yang tengah dimabuk asmara hobi saling melempar gombalan satu sama lain tiada berkesudahan. Manisnya terbentuk dari situasi dan keyakinan penonton bahwa kedua karakter memang saling jatuh cinta – atau dengan kata lain, chemistry ciamik. Refal Hady dan Sheryl Sheinafia mempersembahkan duet maut layak dikenang. Untuk ukuran pendatang baru, Refal tampil memikat sebagai Galih. Menguarkan aura misterius mengundang keingintahuan akan sosoknya. Emosinya dalam momen puncak, terpancar nyata. Sedangkan Sheryl membuktikan bahwa lakon bagusnya di Koala Kumal tahun lalu bukanlah semata-mata keberuntungan pemula. Di tangannya, sosok Ratna yang sepintas lalu tampak tipikal gadis rumahan terasa memiliki kompleksitas. Ada kegetiran tersembunyi dibalik sikap cueknya. Ketika mereka berdiri sendiri, masing-masing suguhkan akting solid dan ketika mereka dipersatukan, chemistry-nya sungguh menggigit. Itulah mengapa, mencuat kecemasan dalam adegan yang berlangsung di meja makan dan stasiun kereta karena emosi penonton telah terinvestasikan kepada dua sejoli ini. Memunculkan pengharapan, kisah kasih antara Galih dengan Ratna akan beroleh restu dari orang tua masing-masing khususnya ayah Ratna (Hengky Tornando) yang jarang berada di sisi putrinya serta enggan memahami kemauan sang putri. 

Menariknya, Lucky tak melulu berbincang soal cinta di Galih dan Ratna – walau sah-sah saja, toh ini film roman. Tak luput diselipkannya beberapa sorotan ke fenomena sosial masyarakat sekitar dan sejumput kritik seperti generasi muda yang mengalami ketergantungan terhadap sosial media, adanya kesadaran berpolitik di kalangan murid SMA, menjajikannya bisnis berbasis agama, sikap otoriter orang tua pada penentuan masa depan anak, sampai peran serta guru di sekolah. Penyampaian Lucky terbilang halus tak berasa ceriwis, namun cukup efektif dalam menyentil. Daya pikat lain yang dipunyai Galih dan Ratna adalah film mempunyai barisan lagu pengiring bagus yang berkontribusi menghidupkan suasana romantis nan melankolis, lalu pembawaannya seringkali ringan serta cenderung ceria. Serentetan humor-humor segar banyak disempalkan disana sini dari teman-teman sekelas dua karakter utama yang ajaib, sosok guru dalam wujud Pak Dedy (Joko Anwar) yang galak-galak ngangenin, hingga Tante Ratna (Marissa Anita) yang energinya berlebih. Manjur dalam mengundang gelak-gelak tawa renyah sekaligus membangkitkan kenangan-kenangan menyenangkan semasa masih mengenakan seragam putih abu-abu. Kangen! Jika memang ada keadilan di muka bumi ini, seharusnya mudah saja bagi Galih dan Ratna untuk mendapatkan ratusan ribu atau malah jutaan penonton. Apalagi filmnya amat menarik dan tidak meninggalkan efek migrain maupun gerutuan berkepanjangan kala menyantapnya.

Outstanding (4/5)