Tampilkan postingan dengan label Maret. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Maret. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 08 April 2017

BEAUTY AND THE BEAST (2017) REVIEW : Rejuvenasi Sebuah Dongeng Klasik
yang Magis

BEAUTY AND THE BEAST (2017) REVIEW : Rejuvenasi Sebuah Dongeng Klasik yang Magis


Disney sedang rajin menggalakkan kampanye untuk menghidupkan kembali dunia dongeng di film-film animasinya sebagai sebuah film live-action. Sudah ada Cinderella di tahun 2015, The Jungle Book di Tahun 2016, dan akan lebih banyak lagi di tahun-tahun berikutnya. Harta karun Disney yang sudah berdebu ini mulai dimanfaatkan sebagai ladang emas yang sangat berkilau. Dan tahun ini, Disney kembali melakukan peremajaan terhadap karyanya yang fenomenal dan menjadi film animasi pertama yang masuk nominasi Best Picture di tahun 1991 yaitu Beauty and The Beast.

Bill Condon adalah komandan yang punya kendali penuh saat mengarahkan film live-action dari mahakarya milik Disney yang diambil dari dongeng legenda perancis ini. Banyak orang yang cukup khawatir atas ambisi Disney yang sedang berusaha keras mengenalkan kembali seluruh film-film animasinya di zaman sekarang. Pintarnya, Beauty and The Beast yang memiliki Emma Watson dan Dan Stevens di deretan pemainnya ini gampang meyakinkan calon penontonnya bahwa mereka bisa mengemban misi tersebut lewat trailernya.

Tentu misi yang sedang dijalani oleh Disney adalah misi yang susah, karena mengembalikan rasa magis dalam setiap dongeng yang diceritakan ulang di zaman sekarang ini perlu tangan yang handal. Beauty and The Beast adalah sumber materi yang memiliki beban yang berat untuk diceritakan ulang berkat kredibilitasnya sebagai film animasi pertama yang masuk nominasi Best Picture di ajang Oscars. Bill Condon yang pernah mengarahkan Dreamgirls berhasil mengembalikan betapa magisnya Beauty And The Beast di tahun 1991 lalu di tahun 2017 ini dengan pengalaman sinematis yang luar biasa indah. 


Bill Condon memutuskan agar Beauty and The Beast terbaru ini tetap menjadi sebuah film musikal. Orang yang tak terbiasa dengan film-film musikal, mungkin akan menganggap bahwa Beauty and The Beast adalah pengalaman sinematis yang membosankan. Tetapi, telusuri kembali bagaimana Beauty and The Beast milik Disney terdahulu, sejatinya Bill Condon hanya berusaha menduplikasi formulanya. Tentu, hal itu dengan maksud agar Beauty and The Beast miliknya tetap memiliki daya magis sekuat film animasinya. Beruntunglah bagi orang yang punya referensi itu, karena Beauty and The Beast akan dengan mudah menyihir mereka.

Menonton Beauty and The Beast tak perlu membawa keinginan menggebu-gebu agar film terbarunya ini menawarkan sesuatu yang berbeda. Tentu, Beauty And The Beast akan memiliki cerita yang itu-itu saja, mungkin versi terbarunya ini memiliki sedikit pembaharuan. Hal yang perlu digarisbawahi adalah keberhasilan Bill Condon untuk menyampaikan ulang kisah cinta legendaris ini kepada penontonya. Ini adalah cara dari Disney mengembalikan budaya bernama “dongeng” kepada anak-anak, terlepas ambisi Disney sebagai brand besar yang juga ingin mendapatkan keuntungan melimpah. 


Maka inilah sebuah kisah dongeng melegenda tentang seorang gadis desa yang impiannya sangat sederhana, ingin mendapatkan kehidupan yang lebih menyenangkan dari desanya. Gadis itu bernama Belle (Emma Watson), seorang gadis menawan ini sangat gemar sekali membaca hingga orang-orang di sekitarnya menganggapnya aneh. Kehidupan Belle begitu tenang dan cukup bahagia, hingga suatu saat sang ayah, Maurice (Kevin Kline) terlibat masalah saat perjalanannya ke kota. Maurice ditangkap dan ditahan di sebuah kastil tua yang ternyata milik seseorang.

Belle berusaha untuk menyelamatkan ayahnya yang dikurung di dalam kastil tersebut dan saat itulah dia bertemu dengan pemilik kastil tua ini. Beast (Dan Stevens), seorang pangeran yang ternyata dikutuk oleh seorang peri karena tindakannya yang semena-mena. Belle pun menggantikan posisi ayahnya untuk menjadi tawanan Beast. Tetapi, ketika menjadi tawanan, Belle dan Beast yang semakin sering berinteraksi tumbuh sesuatu yang lain di dalam diri mereka masing-masing. 


Kisah cinta Belle dan Beast dalam Beauty and The Beast tentu masih dengan ceritanya yang lama. Tetapi, Beauty and The Beast terbaru ini masih memiliki rasa magis yang sama dengan film animasinya. Bill Condon tahu benar bagaimana cara mengemas Beauty and The Beast live action ini. Lewat kepiawaiannya, film ini tetap memiliki cita rasa klasik dan rasa magis yang begitu besar bagi penontonnya, apalagi bagi penonton yang sudah dekat dengan film animasi dari Disney-nya. Bill Condon berhasil menciptakan suasana manis sekaligus romantis di sepanjang filmnya.

Ada beberapa pembaharuan yang terjadi dalam cerita milik Beauty and The Beast ini. Stephen Chbosky dan Evan Spiliotopoulos menambahkan detil cerita yang dapat memperkaya setiap karakter yang ada di dalam filmnya. Sehingga, penonton tahu apa yang sedang terjadi di setiap karakternya dan dengan begitu penonton akan mudah terkoneksi, menyepakati informasi untuk melanjutkan setiap plot cerita yang bergerak di dalam durasinya yang mencapai 129 menit.

Beauty and The Beast milik Bill Condon ini adalah sebuah rejuvenasi atas film animasinya yang sudah ada 26 tahun yang lalu. Sehingga, meskipun diadaptasi dari sumber yang sudah ada berpuluh-puluh tahun lalu, Bill Condon bisa mengemasnya agar relevan dengan keadaan sosial masa sekarang. Beauty and The Beast tak hanya sebagai cara Disney mengembalikan budaya mendongeng, tetapi juga sebagai media untuk membicarakan tentang kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.  


Menarik ketika dalam salah satu adegannya, Belle sedang didapati mengajari seorang anak perempuan untuk lebih terliterasi dengan membaca. Seluruh warga desa pun sangat kesal dengan kejadian tersebut dan menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Belle telah menyalahi struktur sistem yang ada. Ini memperlihatkan bagaimana Ilmu pengetahuan menjadi sebuah atribut patriarki sehingga seorang perempuan yang berusaha mendapat pengetahuan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang salah.

Dengan film Beauty and The Beast ini, Bill Condon berusaha memperlihatkan tentang keadaan sosial tersebut dan menaruh referensi itu terhadap karakter Belle. Bagaimana Bill Condon berusaha membuat Belle sebagai perempuan yang tak berusaha mengungguli laki-laki tetapi lebih kepada berada dalam posisi sejajar dengan laki-laki. Belle hanya ingin mendapatkan perlakuan yang sama terlebih tentang literasi yang dapat memperkaya wawasannya untuk melihat dunia lebih luas.

Kekuatan lain dari Beauty and The Beast live-action ini adalah bagaimana Bill Condon dan Disney tak main-main dalam tata produksinya. Beauty and The Beast ini punya cita rasa yang begitu mewah dan elegan yang dapat membuat penonton terkesima. Dipercantik dengan tata sinematografinya yang mampu memperlihatkan cita rasa itu. Sehingga, ketika adegan-adegan krusial dalam film ini keluar, penonton akan mudah jatuh cinta akan semua keindahan yang dikemas oleh Bill Condon. 


Tetapi perlu diakui bahwa Beauty and The Beast ini memang tak bisa dengan mudah diakses dan disukai oleh semua kalangan. Kemasan dan pengarahan dari Bill Condon dalam Beauty and The Beast ini begitu mengingatkan dengan drama musikal panggung mulai dari set, tata kamera, dan kemasan musikalnya. Sehingga, penonton yang tak terbiasa dengan kemasan dari Bill Condon akan merasa keberatan dengan keputusan Bill Condon dalam film ini. Apalagi bagi mereka yang tak begitu kenal dengan film animasi milik Disney-nya yang sebenarnya dikemas hampir serupa.

Beauty and The Beast adalah film yang indah dan sempurna dalam mengembalikan cita rasa klasik dan magis yang diadaptasi dari film animasinya. Emma Watson, Dan Stevens, Luke Evans, Josh Gad, dan semua jajaran pemainnya mampu memberikan performa yang sangat luar biasa. Sehingga, Beauty and The Beast ini berhasil tampil begitu kuat dalam membangun suasana yang manis dan adegan musikal yang cantik. Ada pembaruan yang memberikan detil cerita lebih ke dalam setiap karakternya dan memiliki pengaruh yang kuat untuk memberikan informasi lebih kepada penontonnya. Juga, pembaruan misi untuk refleksi atas kondisi sosial terhadap gender yang dilekatkan atributnya pada karakter Belle. Tetapi hal itu kembali lagi kepada setiap referensi setiap orang dalam memahami bagaimana performa Beauty and The Beast milik Bill Condon ini.

Kamis, 23 Maret 2017

GALIH & RATNA (2017) REVIEW : Pengingat Masa Remaja yang Manis

GALIH & RATNA (2017) REVIEW : Pengingat Masa Remaja yang Manis


Telah ada sepasang sejoli lain yang lebih ikonik dan muncul jauh sebelum Cinta dan Rangga di Ada Apa Dengan Cinta?. Sepasang sejoli ini muncul dari karakter yang dibuat oleh Eddy D. Iskandar lewat tulisannya di sebuah karya novel berjudul Gita Cinta Dari SMA. Kisahnya pun pernah divisualisasikan oleh Arizal di tahun 1979. Muda-mudi di kala itu pun begitu menggilai kisah cinta dua insan manusia ini. Galih dan Ratna, kisah cinta mereka bersemi di bangku SMA dan abadi dikenang sepanjang masa.

Kisah manisnya masih memberikan rasa yang tak pernah lekang oleh zaman. Hingga di generasi yang sudah berubah segala kebiasaannya ini, rasanya perlu dikenang lagi kisah cinta mereka. Maka, datanglah Lucky Kuswandi membawakan kisah cinta bahagia mereka dengan caranya sendiri. Lucky Kuswandi mengadaptasi bebas sumber utama kisah cinta Galih dan Ratna ini dan mempersembahkannya sebagai surat cinta kepada generasi remaja millenial untuk merasakan degupan cinta yang bahagia.

Bukan lagi ‘Gita Cinta Dari SMA’, tapi ‘Galih & Ratna’ sebagai tajuk pilihan sekaligus cara untuk membedakan karya milik Lucky Kuswandi dengan film sebelumnya. Karya milik Lucky Kuswandi ini tak serta merta mengadegankan ulang panel-to-panel yang hanya menimbulkan efek nostalgia. Galih & Ratna lebih kepada rejenuvasi atas karya lama milik Arizal berdasarkan novel milik Eddy D. Iskandar. Tetapi, inilah ‘Galih & Ratna’ yang meskipun mendapatkan pembaharuan tetap memiliki rasa manis yang sama. Mengingatkan kepada siapa saja yang menontonnya tentang masa remajanya yang bahagia. 


Klise, poin utama yang keluar sesaat mengetahui bahwa ‘Galih & Ratna’ ini adalah sebuah film kisah cinta remaja. Secara konflik dan cabang cerita, ‘Galih & Ratna’ memang tak punya kisah yang baru apalagi kisahnya tak lain juga disadur dari sumber yang sama. Lucky Kuswandi memang tak menegaskan untuk memberikan pembaharuan dalam plot ceritanya, tetapi mengembalikan sebuah rasa, kenangan, yang pernah setiap orang rasakan saat remaja.

Setiap orang pasti pernah menyatakan bahwa masa remaja adalah masa yang paling indah dan atas pernyataan itulah Lucky Kuswandi bermain saat mengarahkan Galih & Ratna. Film ini digunakan sebagai sebuah pertanda akan zaman remaja yang selalu menjadi pijakan untuk diingat tentang masa lalu. Dengan film ‘Galih & Ratna’, penonton yang sudah jauh melewati masa-masa ini bisa kembali teringat betapa manisnya merasakan cinta pertama dengan segala komplikasinya. 


Maka terwakililah kenangan memadu kasih saat remaja lewat karakter Galih dan Ratna yang merasakan adanya rasa pada pandangan pertama. Ketika itu, Ratna (Sheryl Sheinafia) adalah murid baru dari Jakarta yang pindah di sebuah sekolah di Bogor. Saat dia baru saja datang dan memperkenalkan diri di depan kelas, Galih (Refal Hady) dengan mudahnya terpesona dengan paras cantik Ratna. Galih dan Ratna memiliki atraksi yang sangat besar satu sama lain dan ingin merealisasikan perasaannya agar jadi satu.

Di suatu sore, di sebuah toko kaset tua peninggalan ayah Galih, Ratna datang untuk ingin tahu siapa Galih. Setelah itu, mereka berdua semakin akrab dan tiba saatnya Galih ingin menyatakan perasaannya kepada Ratna. Melalui sebuah kompilasi kaset pita, Galih menggunakannya sebagai perwakilan suara hatinya kepada Ratna. Tetapi, problematika Galih dan Ratna tak hanya tentang kisah cintanya, tetapi juga problematika pribadi yang membuat mereka tak bisa merajut kasih dengan tenang. 


Plot cerita utama di ‘Galih & Ratna’ memang hanya sekedar bagaimana keduanya saling memadu kasih. Tetapi, bukankah memang ketika dua orang sedang merajut kasih, seakan-akan dunia milik berdua? dan poin itulah yang berusaha disampaikan oleh Lucky Kuswandi. ‘Galih & Ratna’ memang tak bisa lepas dengan pandangan sebuah plot yang generik, tetapi pengarahan Lucky Kuswandi berhasil memberikan sentuhan yang begitu manis. Sehingga, performa plotnya yang sudah menjemukan ini bisa menjadi sebuah angin segar di film-film dengan genre yang serupa.

Manis-manis jambu, begitulah ‘Galih & Ratna’ sebagai film kisah cinta remaja. Film ini dapat menimbulkan rasa manis yang muncul perlahan-lahan dan membuat penontonnya tersipu malu. ‘Galih & Ratna’ bisa digunakan sebagai sebuah memoir masa remaja yang dirindukan oleh banyak orang, apalagi bagi penonton yang sudah lewat masa remajanya. ‘Galih & Ratna’ milik Lucky Kuswandi ini bukan hanya sekedar pemicu rasa nostalgia atas film terdahulunya, tetapi lebih kepada sebagai pengingat masa-masa remaja penontonnya.

Meski disadur dari sumber yang sama, Lucky Kuswandi membuat ‘Galih & Ratna’ sebagai sebuah film adaptasi dengan interpretasi bebas. Muncullah pembaharuan yang terjadi di dalam konfliknya agar memiliki relevansi dengan masa remaja generasi millenial. Sehingga, ‘Galih & Ratna’ tak hanya sebagai mesin pengingat kenangan bagi penontonnya yang sudah tumbuh dan berkembang dengan ‘Gita Cinta di SMA’, tetapi juga sebagai tontonan alternatif remaja yang ingin merasakan pahit manisnya cinta. 


Meski kisahnya ringan dan mendayu-dayu tetapi ‘Galih & Ratna’ tak melupakan bagaimana karakternya yang remaja ini juga sedang proses untuk memiliki kedewasaan. Sehingga, film ini tak sekedar kisah cinta yang manis, tetapi juga ada rasa pahit dalam proses berceritanya. Setiap karakternya berkembang mencari jati diri dan apa yang mereka inginkan dalam hidup mereka. Pesan lain dalam ‘Galih & Ratna’ adalah menceritakan tentang tujuan dan apa yang diinginkan setiap orang dalam hidupnya.

Kehadiran Galih & Ratnabisa menjadi jawaban atas film kisah cinta remaja yang dibuat dengan sangat baik. Akhirnya penonton remaja bisa memiliki film untuk mencurahkan kegalauan hati dengan representasi di film yang tepat. ‘Galih & Ratna’ memang klise, tetapi ada rasa manis yang muncul dan berhasil membuat hati penontonnya tersipu malu. Meski dengan sumber yang sama dengan film di tahun 1979, Lucky Kuswandi lebih membuat ‘Galih & Ratna’ sebagai sebuah film adaptasi bebas interpretasi. Tujuannya bukan hanya sebagai pengingat memori penonton yang sudah lewat masa remajanya, tetapi juga menunjukkan adanya relevansi kepada remaja masa kini. Dan Lucky Kuswandi berhasil mengemas ‘Galih & Ratna’ yang membuat degupan di hati.