Tampilkan postingan dengan label Desember. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Desember. Tampilkan semua postingan

Minggu, 07 Januari 2018

AYAT-AYAT CINTA 2 (2017) REVIEW : Kisah Fahri Bagian Dua

AYAT-AYAT CINTA 2 (2017) REVIEW : Kisah Fahri Bagian Dua


Pada tahun 2008, Hanung Bramantyo hadir mengisahkan sosok Fahri yang lahir lewat tangan Habiburrahman El-Shirazy lewat novelnya. Kisah lika-liku Fahri mengarungi hidup dan kisah cintanya menjadi sangat fenomenal. Berkat itu, Ayat-Ayat Cinta menjadi salah satu film Indonesia terlaris sepanjang masa dengan raihan 3,5 juta penonton. Pada saat itu pula, lewat Ayat-Ayat Cinta, fenomena film-film bertema religi sangat digandrungi oleh pasaran. Muncul banyak kisah-kisah cinta dengan nuansa islami disuguhkan kepada penontonnya.

Bertahun-tahun setidaknya masih ada beberapa film bertema sama yang masih digandrungi oleh penontonnya. Tetapi, Habiburrahman El-Shirazy menghadirkan kembali kisah tentang Fahri lewat buku keduanya. Dengan dasar kesuksesan kisah dari buku yang pertama, Ayat-Ayat Cinta 2 pada akhirnya mendapatkan kesempatan untuk dijadikan sebuah film layar lebar. Kali ini, Ayat-Ayat Cinta 2diarahkan oleh Guntur Soeharjanto. Fedi Nuril tetap menjadi Fahri, tetapi ada beberapa pergantian pemain di jajaran aktrisnya.

Ayat-Ayat Cinta 2 sudah menjadi salah satu proyek yang sangat dipersiapkan oleh MD Pictures. Beberapa kali MD Pictures sudah mengingatkan calon penontonnya lewat beberapa cara promosi yang menarik. Pun, nama-nama aktris dalam film ini juga tak main-main. Mulai dari Chelsea Islan, Tatjana Saphira, hingga Dewi Sandra ikut meramaikan. Hal ini juga tentu menimbulkan rasa skeptis bagi penontonnya karena cerita apalagi yang ingin disampaikan dalam Ayat-Ayat Cinta 2.


Ayat-Ayat Cinta pertama mungkin menjadi sebuah terobosan baru dalam sinema Indonesia. Tak hanya berusaha membangun sebuah sub genre baru, tetapi juga memberikan sebuah topik yang baru yaitu tentang poligami. Lalu, berbagai macam film-film religi lainnya berusaha memberikan perspektifnya sendiri dengan topik yang sama. Lantas, apa yang membuat Ayat-Ayat Cinta 2memiliki urgensinya untuk hadir dalam perubahan sinema Indonesia yang semakin memiliki keberagaman?

Ayat-Ayat Cinta 2 adalah syiar islam tentang kebaikan dan usaha untuk menjadi perwakilan tentang Islam di dalam salah satu karakternya. Tetapi, bukan berarti ini serta merta menjadi keunggulan dalam Ayat-Ayat Cinta 2dalam presentasinya. Dalam pengarahannya, Guntur Soeharjanto sudah memiliki porsi yang pas. Hanya saja, dasar cerita dalam buku yang ditulis oleh Habiburrahman El-Shirazy inilah yang perlu untuk digarisbawahi dan mendapatkan perhatian lebih. 

 
Kali ini, Ayat-Ayat Cinta 2tetap berfokus kepada sosok yang tak lagi muda bernama Fahri (Fedi Nuril) yang hidup di Edinburgh, Skotlandia. Fahri memang telah menikah, tetapi nasib buruk menimpa sang Istri yang sedang menjadi relawan di sebuah arena perang. Fahri tak lagi menerima kabar dari sang Istri dan menganggap bahwa sang Istri telah tiada. Fahri berusaha melanjutkan hidupnya dengan menjadi seorang dosen dan hidup menjadi sosok yang baik bagi tetangga-tetangganya.

Meskipun, Fahri harus diperlakukan tak baik karena dirinya adalah seorang muslim. Terlebih dari keluarga Keira (Chelsea Islan) yang pernah memiliki hal traumatis dengan para muslim. Tetapi, Fahri tetap berusaha untuk senantiasa berbuat baik dengan para tetangganya. Lalu muncullah Hulya, sepupu dari Aisha yang mendatangi Fahri untuk belajar dan menuntut ilmu di tempat Fahri mengajar. Lalu, Fahri bimbang karena secara diam-diam Fahri mengagumi sosok Hulya.


Ayat-Ayat Cinta 2 memiliki kisah dramatis yang sebenarnya memiliki pengarahan yang sudah cukup. Begitu pula dengan adaptasi naskah yang dilakukan oleh Alim Sudio untuk berusaha memindahkan apa yang ada di novel untuk disampaikan dalam layar lebar. Apa yang dilakukan oleh mereka sudah sesuai dengan porsinya masing-masing. Hanya saja, mungkin ada beberapa minor-minor yang membuat Ayat-Ayat Cinta 2 masih jauh dari kesan Greatest Love Story seperti yang digadang-gadangkan.

Secara keseluruhan, Ayat-Ayat Cinta 2 bukanlah sebuah kisah cinta, ini adalah kisah tentang Fahri. Karakterisasi Fahri dari film pertama pun, sudah digambarkan sebagai sosok laki-laki yang sempurna. Begitu pula yang terjadi di Ayat-Ayat Cinta 2, Fahri semakin dibuat sesempurna mungkin. Hal ini malah menggiringi pemikiran penontonnya untuk menjadikan Fahri sebagai simbol identitas laki-laki baru. Fahri menetapkan sebuah standar baru bagi perempuan untuk memandang laki-laki yang baik buat mereka. Ini tidak salah, tetapi ini adalah fenomena menarik dalam film Ayat-Ayat Cinta 2 ini.

Keseluruhan durasi film yang mencapai 125 menit yang hanya berputar tentang kisah Fahri inilah yang membuat presentasi Ayat-Ayat Cinta 2 tak sempurna seperti Fahri. Plot utama dalam Ayat-Ayat Cinta 2 menjadi sesuatu yang kabur dan tak dapat dimengerti oleh penontonnya. Di 1 jam pertama, Ayat-Ayat Cinta 2 terasa kehilangan jalan untuk masuk dalam plot cerita. Penonton akan meraba plot utama dari film ini karena segala hal yang berada di 1 jam pertama hanya sebuah kisah pengantar yang terlalu diperpanjang.


Penonton sudah terlalu letih untuk meneruskan kisah Fahri yang pada akhirnya menyorot tentang kisah cintanya di satu jam berikutnya. Ayat-Ayat Cinta 2 ini memiliki sebuah subplot cerita misterius yang berusaha ditampilkan di satu jam selanjutnya. Ketika masuk ke dalam subplot tersebut, penonton mungkin hanya sekedar memberikan tanda bahwa dia tahu dengan subplot tersebut. Tak ada reaksi lebih ataupun merasa emotionally attacheddengan apa yang ada di layar. Sehingga, dalam perjalanan cerita selanjutnya, kisahnya pun semakin hambar.

Dengan berbagai pengantar cerita di satu jam pertama, Ayat-Ayat Cinta 2 pun merasa kewalahan untuk mengakhiri cerita-cerita itu. Maka di paruh akhir film, Ayat-Ayat Cinta 2 penuh dengan penyelesaian yang terburu-buru dengan cerita itu. Apalagi di satu poin cerita utama yang seharusnya menjadi titik balik film ini pun tak memiliki rasa emosional yang kuat. Pun, diakhiri begitu ajaib dengan banting setir genre menjadi sebuah film science fiction meskipun pada awalnya tak ada intensi untuk ke sana.


Dengan kisah-kisah ajaibnya dan berbagai fenomena menarik di dalam filnya, Ayat-Ayat Cinta 2 sebenarnya adalah telah menekankan dirinya sebagai sebuah kisah negeri dongeng dari antah berantah. Dalam filmnya, sang sutradara memunculkan intensi tersebut lewat bahasa gambar yang ditampilkan begitu dreamy di satu adegan penting dalam pernikahan. Inilah yang menerangkan bahwa adanya batas dalam Ayat-Ayat Cinta 2dengan realita penontonnya bahwa ini semua adalah kisah yang fiksi dan tak mungkin ditemukan di dunia nyata. Batas inilah sebenarnya yang perlu untuk dipahami oleh penontonnya.
SUSAH SINYAL (2017) REVIEW : Kedewasaan Meredam Problematika Ibu dan
Anak

SUSAH SINYAL (2017) REVIEW : Kedewasaan Meredam Problematika Ibu dan Anak


Setelah debutnya yang menjanjikan lewat Ngenest The Movie, Ernest Prakasa menjadi sosok yang perlu untuk diwaspadai di perfilman Indonesia. Apalagi, ketika film keduanya berjudul Cek Toko Sebelah yang berhasil masuk dan mendapatkan penghargaan di berbagai tempat. Sehingga, Ernest Prakasa muncul sebagai fenomena perfilman Indonesia yang baru dan perlu untuk mendapatkan sorotan lebih oleh siapapun.

Tentunya ini akan menjadi beban bagi Ernest Prakasa untuk bisa menghasilkan karya-karya terbarunya.  Setelah 2 rekam jejak filmnya yang cukup menjanjikan, karya-karyanya pun bakal dinantikan oleh segala penikmat film Indonesia. Tak terkecuali adalah karya terbarunya yang dirilis tahun ini yaitu Susah Sinyal. Film ketiga dari Ernest Prakasa ini secara otomatis akan memunculkan harapan dari penonton film Indonesia.

Kembali bersama dengan Starvision, Ernest Prakasa dibantu oleh sang Istri, Meira Anastasia, menuliskan sebuah cerita tentang relasi Ibu dan Anak lewat Susah Sinyal. Kembali dibintangi oleh Adinia Wirasti di pemeran utamanya, tetapi Ernest Prakasa mengambil resiko yang cukup besar dan riskan di jajaran aktor-aktris lainnya. Lebih memilih jiwa-jiwa segar untuk filmnya dan memilih Aurora Ribero sebagai pendatang baru yang langsung memainkan karakter utama dalam Susah Sinyal tentu perlu jiwa pengarahan yang kuat. 


Ernest Prakasa mungkin mau untuk keluar dari zona nyaman dengan mencari jiwa-jiwa segar dalam film terbarunya. Tetapi, dengan rekam jejak yang baru seumur jagung, tentu ini adalah sesuatu yang sangat riskan untuk dilakukan. Dengan carannya yang riskan, nyatanya Ernest Prakasa berhasil membuat Susah Sinyal menjadi sebuah drama keluarga yang sangat kuat. Juga, film ini memberikan Ernest Prakasa ruang untuk berkembang dan dewasa untuk menentukan keputusan.

Mungkin, pesan yang dibawa oleh Susah Sinyal tak sebesar dan ambisius seperti Cek Toko Sebelah. Tetapi, ini malah jadi membuat Susah Sinyal memiliki performa yang jauh lebih baik dibandingkan karya kedua milik Ernest Prakasa. Susah Sinyal adalah pembuktian bahwa Ernest Prakasa punya kematangan dalam mengarahkan film terbarunya. Meskipun dengan pesan yang jauh lebih sederhana, Susah Sinyal malah jauh memiliki kehangatan yang luar biasa besar dibanding kedua film sebelumnya. 


Susah Sinyal ini sendiri adalah sebuah metafora dari problematika hubungan Ibu dan Anak yang dialami oleh Ellen (Adinia Wirasti), seorang pengacara muda sukses yang baru saja memutuskan untuk membuka firma sendiri. Tentu, hal ini membuat Ellen sangat sibuk mengurusi semua pekerjaannya dan tak memiliki waktu bersama dengan anak perempuannya, Kiara (Aurora Ribero). Tetapi, suatu ketika, Kiara yang beranjak remaja semakin memiliki jarak dengan Ellen.

Iwan (Ernest Prakasa), teman Ellen memberikan saran kepadanya untuk mengajak Kiara liburan agar hubungan di antara keduanya semakin membaik. Kiara pada awalnya tak setuju dengan ajakan Ellen, tetapi pada akhirnya Kiara setuju untuk mengajak Ellen liburan ke Sumba. Di saat liburan, Ellen yang membutuhkan internet untuk melakukan pekerjaannya harus kesusahan mencari sinyal, begitu pula dengan Kiara. Sehingga, di dalam liburan kali ini, Kiara dan Ellen berinteraksi untuk memperdekat jarak di antara keduanya yang sudah terlalu jauh. 


Susah Sinyal tak hanya sekedar sebuah kisah di mana dua orang harus merasakan bagaimana hidup tanpa sinyal yang menghidupi teknologi mereka. Susah Sinyal adalah sebuah metafora tentang jarak Ibu dan anak yang sedang kesusahan untuk memahami satu sama lain. Bagaimana film ini membicarakan tentang pola komunikasi antara orang tua dan anak yang terkadang tak berubah, meskipun sebenarnya zaman telah berubah. Sehingga, perlu adanya pembaruan dalam pola komunikasi mereka agar orang tua dan anak bisa memberikan relevansi satu sama lain.

Dengan potensi ceritanya yang lebih ke ranah drama, Ernest Prakasa memberikan sentuhan komedi yang sudah menjadi kekuatannya. Sehingga, film ini dibawakan dengan sangat ringan tetapi penuh akan pesan dan makna yang akan jauh lebih personal bagi penontonnya. Pengarahan Ernest Prakasa dalam Susah Sinyal tak lagi terlalu menggebu-gebu seperti Cek Toko Sebelah. Tetapi, ini malah menjadi membuat Susah Sinyal memiliki performa yang jauh lebih kuat dibanding Cek Toko Sebelah.

Ernest Prakasa sudah mulai mempelajari kesalahan apa yang ada di film sebelumnya. Ada kedewasaan dalam memutuskan setiap adegan di dalam film Susah Sinyal. Ada kontrol dalam film Susah Sinyal sehingga sepanjang film setiap menitnya yang mencapai 110 menit bisa berjalan dengan lancar. Serta, perpaduan antara unsur komedi dan drama dalam Susah Sinyal berhasil muncul sesuai dengan porsinya masing-masing tanpa harus mengorbankan satu sama lain. 


Meskipun, Susah Sinyal masih memiliki keputusan yang harusnya bisa lebih dieksplorasi lagi dengan penggunaan karakter Mama Iwan yang diperankan oleh Dayu Wijanto. Penggunaan karakter ini hanya sebagai sidekick tanpa memberikan relevansi kepada cerita. Seharusnya, karakter ini pun bisa menjadi medium bagi Ernest Prakasa untuk menceritakan tentang mother issue dalam setiap karakternya dan akan semakin memperkuat Susah Sinyal yang mengangkat tema tersebut.

Pun, menyelipkan referensi tentang Moanayang mungkin perlu untuk diperdalam lagi dalam adegannya sehingga referensi tersebut bisa jauh lebih membaur dengan filmnya.  Tetapi, hal itu tak menyurutkan segala hal-hal baik yang terjadi di dalam film ini. Pemandangan Sumba yang indah tak hanya sebagai pemanis, tetapi pelengkap cerita yang pas. Maka, pemanis dalam film ini jatuh pada pemilihan soundtrackdengan penempatan yang pas. Meskipun dalam teknisnya, ada beberapa yang perlu diperbaiki.  


Ernest Prakasa dengan minor-minor kecilnya itu masih bisa membuat hati penontonnya merasakan kehangatan yang luar biasa besar. Sepanjang film, penonton akan diyakinkan dengan jarak yang terjadi di antara keduanya berkat performa luar biasa dari Adinia Wirasti dan Aurora Kibero. Sebagai pendatang baru, Aurora Kibero layak untuk diperhitungkan. Sehingga,  ketika Susah Sinyal masuk ke dalam adegan kuncinya, semua luapan emosi itu bisa tercapai dengan sangat baik berkat kedewasaan Ernest Prakasa dalam pengarahannya. 

Jumat, 27 Januari 2017

CEK TOKO SEBELAH (2016) REVIEW : Komedi Dengan Misi Mulia yang Belum
Maksimal

CEK TOKO SEBELAH (2016) REVIEW : Komedi Dengan Misi Mulia yang Belum Maksimal


Kesuksesan Ngenest The Movie, membuat Ernest Prakasa dipercaya oleh Starvision untuk membuat karya. Kesuksesannya pun tak sekedar dalam meraih angka penonton, tetapi secara kualitas pun Ngenest The Movie bisa melampaui ekspektasi penontonnya. Tak hanya dipercaya oleh rumah produksi, karya-karya Ernest Prakasa akan dinantikan oleh penikmatnya. Di tahun 2016 lalu, Ernest Prakasa kembali menghadirkan sebuah film komedi dengan misi yang sangat besar untuk disajikan kepada penontonnya.
 
Lewat ‘Cek Toko Sebelah’, Ernest Prakasa berusaha untuk kembali membuktikan kemampuannya dalam mengarahkan sebuah film. Genre komedi ini sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Ernest Prakasa tetapi ada keseriusan yang lebih diperhatikan di film keduanya. Adanya Dion Wiyoko, Adinia Wirasti, Chew Kin Wah, dan mengambil keputusan berani mendatangkan wajah baru seperti Gisela, menunjukkan bahwa Ernest Prakasa di film keduanya ini sudah tak main-main.

Cek Toko Sebelah lagi-lagi mengangkat tema ras Tionghoa yang memang dekat dengan pribadi Ernest Prakasa. Tetapi, poin utama dari film Cek Toko Sebelah bukan lah tentang Tionghoa sebagai minoritas di Indonesia. Poin utama dari Cek Toko Sebelah adalah tentang keluarga, pesan yang begitu universal bagi siapapun. Maka dari itu, Cek Toko Sebelah memiliki misi yang sangat besar sebagai sebuah film komedi karena misinya untuk menyampaikan pesan yang serius itu dengan kemasan ringan. 


Misinya mulia, pesannya pun hangat, tetapi Cek Toko Sebelah yang berusaha keras untuk meminimalisir filmnya agar tak terlalu berat ini menjadi bumerang di keseluruhan film. Sebagai sebuah film komedi, tak dapat dipungkiri bahwa Cek Toko Sebelah berhasil menghibur penontonnya. Tetapi, hal tersebut bukan berarti menjadi kabar baik. Cek Toko Sebelah memiliki kekurangan-kekurangan yang harusnya bisa diperbaiki di karya-karya Ernest Prakasa selanjutnya.

Problematika domestik yang dibawa oleh Ernest Prakasa ini memang berusaha agar dapat diterima oleh banyak orang, tak hanya dikhususkan kepada kaum Tionghoa yang direpresentasikan di film ini. Ernest tahu bahwa tujuan dari Cek Toko Sebelah ini adalah untuk menumbuhkan relevansi problematika kaum minoritas Indonesia. Menunjukkan bahwa problematika yang terlihat tersegmentasi ini sebenarnya adalah realita sosial yang ada di setiap orang. 


Gambaran realita sosial itu tergambar lewat dari plot Cek Toko Sebelah yang menceritakan tentang bisnis toko kelontong milik Koh Afuk (Chew Kin Wah). Dia merasa bahwa dirinya semakin tua untuk mengurus toko kelontongnya, apalagi setelah ditinggal oleh istrinya (Dayu Wijayanto). Koh Afuk pun memutuskan untuk mewariskan tokonya ke Erwin (Ernest Prakasa). Mendengarkan keputusan koh Afuk, Yohan (Dion Wiyoko) sebagai anak sulung pun tak terima bila toko tersebut diberikan kepada Erwin sebagai anak bungsu.

Erwin pun tak senang mengetahui bahwa dirinya akan mewarisi toko tersebut, karena karir Erwin sedang naik-naiknya. Tetapi, Koh Afuk berusaha untuk meyakinkan Erwin agar mau melanjutkan toko kelontong milik keluarga ini. Akhirnya, Erwin diberi masa percobaan untuk mengurus toko kelontong tersebut selama sebulan. Tetapi, masalah-masalah di toko kelontong ini tak hanya datang dari internal keluarga, tetapi juga oknum-oknum lain yang berusaha membeli toko kelontong koh Afuk untuk kepentingan yang lain. 

 
Menuliskan permasalahan dengan ranah domestik atau pribadi tetapi berusaha memberikan dampak secara luas dan untuk semua kalangan ini dibutuhkan ketelitian. Naskah yang ditulis oleh Ernest Prakasa dan juga mendapat pengembangan cerita dari sang Istri, Meira Anastasia, ini memiliki kehati-hatian itu. Problematika di dalam plot cerita ini memiliki banyak kekayaan bila dirasakan lewat naskahnya, tetapi hasilnya di layar tak dapat dirasakan sepenuhnya.

Dengan durasi mencapai 104 menit, Cek Toko Sebelah terlihat memiliki keterbatasan dalam memperlihatkan kekayaan naskahnya. Yang menyebabkan hal tersebut adalah bagaimana Ernest yang sibuk berusaha menumpulkan isu sosialnya yang berat dengan kemasan komedi yang terlalu banyak. Sekuens-sekuens komedi itu memang cara jitu untuk sesekali digunakan sebagai pelarian diri dari plot yang terlalu serius. Tetapi, sekuens komedi ini tak bisa membaur menjadi satu dengan penuturan plot utamanya dan jadinya informasi yang diterima akan terpisah-pisah.

Cek Toko Sebelah pun tak bisa menjadi sebuah film yang utuh, perkembangan karakternya pun tak bisa terasa maksimal. Ada rasa Ernest ingin mendekatkan penonton dengan setiap karakternya, apalagi problematika seperti ini memang dekat dengan kehidupan sosial yang ada. Hanya saja, penuturannya terbata-bata, sehingga tujuan Ernest untuk mendekatkan itu kurang bisa tersampaikan. Ketika penonton sudah berusaha ingin menyatu dengan setiap karakter dan konfliknya, sekuens komedinya malah mendistraksi intimasi dengan karakternya. 


Kekuatan dari Cek Toko Sebelah adalah nilai produksi yang dibuat dengan teliti. Parodi brand produk yang ada di dalam film ini adalah bentuk salah satu ketelitian Ernest saat mengarahkan film ini. Selain dalam hal teknis, poin penting yang patut mendapat apresiasi adalah penampilan Dion Wiyoko dan Adinia Wirasti. Dion Wiyoko berhasil menerjemahkan kegelisahan Yohan yang merasa bahwa hirarkinya terganggu, diimbangi dengan permainan persona yang teduh dari Adinia Wirasti sebagai ayu. Sehingga, keduanya berhasil menjadi sorotan utama bagi film Cek Toko Sebelah ini.

Cek Toko Sebelah sebenarnya adalah sebuah film yang dibuat dengan teliti dan hati-hati. Hal itu terasa di dalam naskahnya yang ditulis begitu kaya. Hanya saja, dalam translasi menjadi sebuah film, Cek Toko Sebelah tak dapat menjadi sebuah film yang utuh. Hal itu dikarenakan distraksi sekuens komedi yang pada akhirnya menghambat perkembangan konfliknya, sehingga kekayaan naskahnya dalam menggambarkan isu-isu sosial itu tak dapat muncul dengan maksimal. Tetapi, detil nilai produksi dan performa Dion Wiyoko serta Adinia Wirasti ini menunjukkan bahwa Ernest Prakasa sebagai sutradara sebenarnya memiliki misi yang kuat dan mulia. Cek Toko Sebelah harusnya punya performa yang jauh lebih bagus dari ini. 

Rabu, 04 Januari 2017

HANGOUT (2016) REVIEW : Zona Baru Raditya Dika dengan Cara Lama

HANGOUT (2016) REVIEW : Zona Baru Raditya Dika dengan Cara Lama


Nama Raditya Dika yang sudah menjadi sebuah brand tersendiri di Indonesia, lantas membuat para rumah produksi sudah mulai percaya dengan kinerjanya. Setelah proyek Koala Kumal bersama Starvision Plus, di tahun ini pula Raditya Dika bekerja sama dengan Rapi Films untuk merilis sebuah karya baru yang ditulis dan juga diarahkan oleh dirinya sendiri. Proyeknya kali ini berusaha berbeda dengan apa yang sudah dikerjakan sebelumnya.

Raditya Dika berusaha keluar dari zona nyamannya yang sudah terbiasa mengarahkan sebuah drama komedi cinta patah hati di setiap filmnya. Raditya Dika tetap bermain di wilayah komedi yang sudah menjadi kebiasannya tetapi digabungkan dengan genre thrilleratau mungkin lebih kepada misteri. Rapi Films menaungi film eksperimen Raditya Dika ini dengan judul Hangout. Di sinilah sebenarnya Raditya Dika berusaha untuk menunjukkan bahwa dirinya bisa diperhitungkan untuk menjadi sutradara yang lebih berbeda.

Setelah kematangan Raditya Dika lewat ‘Single’ ataupun ‘Koala Kumal’, tentu membuat adanya kepercayaan tersendiri lewat film Hangout. Meskipun, ada pula rasa khawatir yang tetap hadir karena apa yang dikerjakan ini masih baru di tangan Raditya Dika. Yang terjadi, sebenarnya ‘Hangout’ masih memiliki kematangan bertutur milik Raditya Dika. Hanya saja, beberapa poin di dalam film ‘Hangout’ ini membuat intensitas filmnya menurun dan masih terasa terburu-buru dalam pembuatannya. 


Kali ini, cerita dari Raditya Dika di dalam film Hangout mengisahkan tentang 9 artis yang memerankan dirinya sendiri. Mereka adalah Raditya Dika, Surya Saputra, Prilly Latuconsia, Mathias Muchus, Dinda Kanya Dewi, Bayu Skak, Gading Marten, Soleh Solihun, dan Titi Kamal. Mereka adalah artis-artis dengan sifat-sifatnya yang berbeda dan sedang diundang oleh Tonni P. Sacalu untuk acara off-air di sebuah pulau terpencil. Mereka mau datang ke acara tersebut karena mereka mendapatkan masing-masing 50 juta sebagai bayaran mereka.

Mereka masih tak tahu acara seperti apa yang akan mereka lakukan di pulau tersebut. Tetapi, hal tragis menimpa mereka ketika mereka tahu mereka sedang dijebak di pulau tersebut. Satu persatu dari mereka dibunuh dan tak tahu pelaku siapa. Mereka berusaha keluar dari pulau tersebut dan mereka menyadari bahwa salah satu dari mereka adalah pembunuhnya. Orang-orang yang tersisa di pulau itu berusaha mencari siapa pembunuhnya. 


Konsep yang dimiliki oleh Raditya Dika di dalam film Hangout ini sangat menarik. Poin pertama yang membuat film Hangout ini menarik adalah ketika 9 karakter ini memerankan diri mereka sendiri. Mengingatkan penontonnya dengan film-film meta seperti This Is The End. Poin kedua adalah bagaimana penonton akhirnya diberikan pilihan dari karya-karya Raditya Dika untuk mencoba hal baru. Di dalam film Hangout ini, Raditya Dika menawarkan unsur misteri yang belum pernah dia gunakan sebelumnya, apalagi ditambahi dengan unsur komedi yang notabene masih baru di perfilman Indonesia.

Bisa dikatakan, misteri-misteri yang berusaha disebarkan kepada penonton di dalam film Hangout ini masih enak untuk diikuti. Raditya Dika berusaha menuturkan setiap kejadian-kejadian di dalam film ini dengan baik. Di durasinya yang mencapai 100 menit, bisa dibilang Raditya Dika masih bertutur dengan tetap menyembunyikan misteri. Cukup mengagetkan pula, dengan jejak rekam Raditya Dika yang belum pernah menangani film seperti ini, film Hangout ini berhasil memiliki momen-momen yang berhasil membuat penontonnya ikut tegang.

Sehingga, ada potensi dari dalam diri Raditya Dika untuk menunjukkan sisi lain di dalam dirinya di karya-karya selanjutnya. Tetapi, film ini pun masih minim akan eksplorasi yang seharusnya bisa memiliki kemasan jauh lebih baik lagi. Bila dibandingkan dengan kematangan yang ada di dalam film-film Raditya Dika sebelumnya, Hangout bisa dibilang penurunan dibandingkan keduanya. Ada rasa sedikit terburu-buru ketika menggarap proyeknya ini. Raditya Dika seperti hanya menawarkan kematangan dalam pemilihan genre, bukan kedewasaan yang berusaha muncul seperti dua film sebelumnya. 


Masih ada rasa ketakutan Raditya Dika yang masih tercermin di dalam film Hangout karena ini adalah sesuatu yang baru darinya. Terlihat bagaimana Raditya Dika masih terlihat bermain aman dalam menjalankan setiap ceritanya. Sehingga di beberapa bagian, Raditya Dika masih juga berkutat dengan hal-hal itu saja. Meski harus diakui, Raditya Dika masih pintar menggunakan referensi-referensi kehidupan bisnis hiburan sebagai set up komedinya. Tetapi, sayangnya hal itu juga minim eksplorasi.

Jadilah bagaimana Hangout penuh akan toilet jokesyang terkadang lebih kepada menganggu daripada menghibur. Guyonannya tak jauh-jauh dari alat vital, toilet, dan organ-organ tubuh lain yang masih terasa menjijikkan untuk diekspos. Dengan kematangan yang sudah ditawarkan lewat Single dan Koala Kumal dari segi referensi komedi, rasanya Hangout adalah titik di mana Raditya Dika ternyata kembali menjadi film komedi yang terasa mentah dan kasar. Meskipun, harus diakui usaha keras Raditya Dika membangun banyak sekali punchlinekomedi di setiap menit agar tetap menjaga intensitas komedinya perlu mendapat apresiasi. 


Bagaimana Raditya Dika terlihat bermain aman terlihat ketika film ini sebagai sebuah misteri, ternyata hanya sekedar sampai menunjukkan bahwa misteri itu perlu dijawab. Tetapi, setelah itu penonton tak diberi berbagai macam alasan yang jauh lebih kuat dari itu untuk lebih yakin tentang motif yang dilakukan karakernya hingga harus melakukan hal seberani itu. Dan alih-alih menjawab, Raditya Dika malah memberikan sebuah nilai moral dari film misterinya dan memberikan turn over character yang juga sangat lemah.

Karena berusaha bermain aman itulah yang membuat daya tarik dan kekuatan dari film Hangout berhasil keluar secara utuh. Hangout akhirnya berakhir seperti itu-itu saja, padahal film ini sudah memiliki banyak sekali pemain-pemain bagus yang dapat mendukung film ini secara keseluruhan. Tetapi, patut diacungi jempol bahwa Dinda Kanya Dewi adalah poin utama yang membantu performa Hangout untuk bisa mendapatkan poin komedinya yang efektif.


Sebagai sebuah film yang berusaha keluar dari zona aman, Hangout sebenarnya masih kurang akan eksplorasi dari Raditya Dika dan malah membuat filmnya masih berada di zona aman miliknya. Tetapi, lewat film inilah terlihat bagaimana Raditya Dika sebenarnya memiliki banyak sekali konsep yang sangat pintar. Memberikan meta film yang berhasil membiaskan sesekali penontonnya bahwa ini adalah film fiksi, bukan realita yang terjadi di kehidupan bisnis hiburan Indonesia. Tetapi, setelah bagaimana kematangan dalam menulis skenario lewat Single dan Koala Kumal, film Hangout jelas terasa memiliki segi kematangan menulis yang menurun. Pemilihan komedi yang lebih kasar ketimbang satir, motif karakter yang lemah, dan penuturannya yang harusnya lebih rapat adalah konsekuensi dari ketidakmatangan itu. Hangout harusnya bisa jauh lebih baik lagi!