Tampilkan postingan dengan label Salawaku Film. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Salawaku Film. Tampilkan semua postingan

Rabu, 22 Februari 2017

REVIEW : SALAWAKU

REVIEW : SALAWAKU


“Indahnya hidup bila tidak ada beban. Cuma ada cinta.” 

Salawaku berceloteh mengenai petualangan seorang bocah yang masih duduk di bangku sekolah dasar bernama Salawaku (Elko Kastanya) dalam menjelajahi kepulauan Maluku demi mencari keberadaan kakaknya, Binaiya (Raihaanun), yang tiba-tiba menghilang tanpa pernah sekalipun memberikan kabar kepada Salawaku. Di tengah-tengah perjalanannya, Salawaku berjumpa dengan perempuan asal Jakarta, Saras (Karina Salim), yang terdampar di sebuah pulau kecil. Saras menawarkan diri untuk membantu si bocah yang namanya terinspirasi dari perisai tradisional asal wilayah Timur ini dengan harapan Salawaku akan menuntunnya kembali ke resor tempat dia menginap. Meski mula-mula ada keengganan, toh akhirnya Salawaku bersedia menerima uluran bantuan dari Saras. Melengkapi formasi “kelompok pencari Binaiya” adalah Kawanua (Jflow Matulessy), tetangga Salawaku yang telah dianggapnya sebagai kakak laki-laki sendiri, yang belakangan memutuskan untuk bergabung. Seperti fitrahnya sebuah road movie, perjalanan ini pun memberi perspektif baru kepada pribadi-pribadi yang terlibat di dalamnya utamanya terhadap bagaimana mereka menyikapi permasalahan hidup. 

Melalui Salawaku, Pritagita Arianegara sejatinya ingin menggugat tindak seksisme yang merebak luas di sekitar kita – dalam konteks film, di area Indonesia bagian Timur – akibat kuatnya pengaruh budaya patriarki. Kenapa ada citra buruk bagi perempuan yang hamil tanpa ada dampingan laki-laki berstatus suami, sementara kaum pria dianggap jantan tatkala berhasil menaklukkan hati lebih dari satu perempuan? Agar tidak berkesan ceriwis apalagi menyudutkan, si pembuat film mencoba memformulasikan gugatannya ke gelaran road movie yang sepintas tampak ringan saja dengan topik utama pembicaraan mengenai “cinta”. Cinta seorang adik kepada kakaknya, cinta seorang pria terhadap kekasihnya, sampai cinta seorang ibu kepada anaknya. Dihidangkan menggunakan materi sefamiliar ini, penonton akan lebih mudah terhubung ke dalam film. Soal kritik sosialnya akan membuat pikiran para pemirsanya terusik atau tidak, itu urusan belakangan. Yang penting, khalayak ramai bersedia untuk terlebih dahulu membuka mata, hati, serta telinga demi menyaksikan upaya sang karakter utama dalam berjumpa kembali dengan keluarganya yang mendadak meninggalkannya sendirian.


Ya, sekalipun mengusung pesan yang sangat mungkin melahirkan bahan diskusi panjang-panjang, Salawaku sendiri mudah dikunyah sedari awal. Yang tidak disangka-sangka, muatan komedinya terhitung tinggi. Akarnya adalah relasi tidak biasa yang terbentuk antara Salawaku dengan Saras. Berasal dari daerah berbeda yang mempunyai budaya, gaya hidup, sekaligus kebiasaan cukup asing bagi satu sama lain, tentu tak terhindarkan kerap mencuat pertentangan menggelitik diantara mereka disebabkan oleh ketidakpahaman. Lihat saja bagaimana Salawaku dengan santainya melempar ponsel cerdas Saras padahal posisi keduanya tengah berada di bibir pantai (ya, nyemplung dong!) atau ketika Saras harus mendefinisikan sejumlah istilah yang dilontarkannya terlebih dahulu lantaran Salawaku mengalami “gagal paham” – sebuah istilah anak gaul metropolis yang belakangan digemari pula oleh Salawaku dan Kawanua. Perjalanan tiga manusia guna mencari keberadaan Binaiya yang menyenangkan buat disimak berkat keputusan si pembuat film untuk melantunkannya dengan pendekatan santai ini memperoleh tunjangan pasokan gambar membelalakkan mata pula dari Faozan Rizal yang niscaya akan membuat jiwa petualangmu tergugah seketika untuk menjelajahi Pulau Seram saking mempesonanya pemandangan yang terhampar di layar bioskop. 

Guliran penceritaan menarik serta tampilan gambar aduhai tentu tiada artinya tanpa sokongan akting hidup dari para pelakonnya. Beruntung bagi Salawaku, keempat bintang utamanya bermain cantik. Malah bisa dikata, departemen akting merupakan sumber penghidupan utama bagi film. Baik Karina Salim, Jflow Matulessy, Raihaanun, bahkan Elko Kastanya mempunyai momen yang mempersilahkan mereka untuk bersinar. Mengemban tanggung jawab besar dalam menggerakkan film, Elko Kastanya yang notabene masih hijau tak sekalipun tampak kagok. Di tangannya, sosok Salawaku yang pemberani, tidak sabaran, serta polos, terlihat natural. Dia pun sanggup menciptakan chemistry asyik bersama Karina Salim yang raut wajahnya menyiratkan adanya kegundahan dan Jflow Matulessy yang ngayomi meski diam-diam mempunyai agenda terselubung dibalik keputusannya mengikuti grup kecil ini. Sementara Raihaanun yang tidak banyak memperoleh jatah tampil dibanding ketiga rekan mainnya ini, senantiasa mencuri perhatian dalam setiap kemunculannya. Dialeknya membuat kita yakin bahwa dia adalah penduduk setempat, lalu air mukanya secara kuat menyatakan adanya kemarahan, kekecewaan, sekaligus kesedihan yang coba ditekan.

Exceeds Expectations (3,5/5)