Tampilkan postingan dengan label Ayu Laksmi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ayu Laksmi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 21 Maret 2018

SEKALA NISKALA (2018) REVIEW : Sebuah Bentuk Seni Tentang Kehilangan.

SEKALA NISKALA (2018) REVIEW : Sebuah Bentuk Seni Tentang Kehilangan.


Membuat sebuah film dengan pesan dan penuturan yang berat secara simbolik memang tak bisa sembarangan. Tak serta merta memiliki plot cerita yang tak utuh, pengambilan gambar longtake, serta minim akan musik membuat sebuah film bisa begitu saja dikategorikan sebagai film arthouse. Tentu, sebuah seni seharusnya bisa diinterpretasi oleh penontonnya. Begitu pula dengan film-film arthouse yang seharusnya memiliki pesan dengan interpretasi yang bebas tetapi tak berusaha menyampaikan pesan yang sangat eksklusif.

Narasi film-film seperti tentu akan sangat berbeda dengan sebuah film pada umumnya. Seorang penonton harus lebih aktif untuk memaknai apa yang berusaha ditampilkan lewat pesan visualnya. Lantas, seorang sutradara pun juga harus tahu mengolah pesan simbolik tersebut dengan kemasan visual yang tak sembarangan. Sebuah film serupa hadir dari sosok Kamila Andini berjudul Sekala Niskala yang belakangan ini ramai dibicarakan orang.

Dengan judul internasionalnya, Seen And The Unseen, film ini berhasil mendapatkan penghargaan di Berlin International Film Festival. Tentu dengan didapatkannya penghargaan ini akan daya tarik sendiri untuk penonton Indonesia. Sekala Niskala diputar secara terbatas di Indonesia di pertengahan Maret ini. Meski begitu, ada beberapa nama terkenal yang ikut andil di dalam filmnya. Mulai dari Ayu Laksmi dan Happy Salma. Serta pemain cilik baru yang ternyata performanya tak bisa diremehkan begitu saja.


Sekala Niskala tentu bukan sebuah film yang bisa diterima oleh banyak orang. Film ini akan sangat memiliki jangkauan penonton yang lumayan terbatas dibanding dengan film-film pada umumnya. Sebagai sebuah tontonan alternatif, Sekala Niskala tentu sangat menitikberatkan plotnya kepada narasi visual. Kenikmatan menonton Sekala Niskala tentu dengan cara memaknai secara aktif visual-visual simbolik yang ada di dalam filmnya.

Sebagai sebuah film tontonan alternatif, Sekala Niskala mampu menyampaikan pesannya dengan baik. Berusaha menggarisbawahi sebuah pesan utama tentang kehilangan dan kematian sehingga penonton masih mengerti tema besar apa yang ada di dalam filmnya. Bagi penonton yang bisa menerima pesan-pesan simbolik ini, tentu Sekala Niskala adalah sebuah perjalanan spriritual bagi mereka yang ingin memaknai lebih tentang kehilangan.


Ini adalah sebuah kisah bagi mereka yang kehilangan. Saudara kembar bernama Tantra (Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena) dan Tantri (Ni Kadek Thaly Titi Kasih) yang hidup berdua bersama keluarga kecilnya. Mereka hidup bahagia dan saling melengkapi satu sama lain sebagai seorang saudara hingga suatu saat Tantra diserang sebuah penyakit yang membuatnya semakin melemah. Mengetahui hal ini, tentu Tantri merasa sedikit kehilangan.

Tak ada lagi yang diajak Tantri untuk bermain bersama, tak ada lagi yang mengurus Tantri saat hanya tinggal berdua saja di rumah. Tak ada lagi teman untuk Tantri membagikan sebuah hidangan dari telur karena Tantri hanya suka di bagian putihnya saja. Tetapi Tantri masih merasa bahwa Tantra masih berada di sampingnya. Menemaninya bermain dan menceritakan kisah hidup Tantra yang dipenuhi dengan narasi penghormatan tentang kehilangan.


Ini adalah sebuah film penuh pesan visual yang tampil tanpa ada pretensi apapun selain memberikan pengertian bahwa film bisa dikategorikan sebagai sebuah seni. Hal inilah yang membuat Kamila Andini menjadi seorang sutradara yang memiliki sensitivitas berbeda karena berhasil mengemas film ini dengan arahan yang tepat. Memiliki pemahaman yang benar tentang membuat sebuah film simbolik tanpa melupakan tugasnya sebagai sutradara untuk membuat Sekala Niskala tetap memiliki satu benang merah utuh di setiap adegannya.

Menyelipkan unsur budaya bali tentang Sekala yang artinya dunia nyata, dan Niskala yang artinya dunia gaib. Kamila Andini berusaha mentranslasikan kehidupan di antara dua dunia tersebut.  Memberikan analogi-analogi tentang kehidupan lewat pesan simbolik tetapi memiliki keterkaitan dengan benang utama dalam filmnya dan hal inilah yang sudah jarang ada dalam beberapa film Indonesia alternatif di beberapa tahun terakhir ini. Menyelipkan perumpamaan tentang kehilangan tersebut lewat medium benda yaitu telur. Benda ini adalah cara Kamila Andini menekankan tentang bagaimana keseimbangan yang ada di dalam sebuah kehidupan.

Sekala Niskala memberikan pesannya lewat benda telur yang selalu ditekankan di dalam beberapa adegannya. Visualnya simbolik, menekankan bahwa Tantra dan Tantri adalah telur yang sering mereka konsumsi. Mereka terlahir dari satu sel telur yang sama, tetapi terdiri dari insan yang berbeda tetapi tanpa adanya salah satu dari mereka akan ada sesuatu yang tak seimbang dan tak utuh. Inilah yang berusaha Kamila Andini sampaikan kepada penontonnya dalam film Sekala Niskala. Meresapi artinya kehilangan setelah menjadi sebuah bagian yang seharusnya menjadi satu.


Dan ketika Tantra dan Tantri tak lagi bisa menikmati hari-harinya bersama tentu ini adalah sebuah cara Kamila Andini memahami mereka yang sedang kehilangan. Sekaligus menjadi cara untuk menyelami sebuah mitos tentang kematian dengan cara-caranya yang unik. Memberikan visualisasi secara teatrikal yang memberikan arti baru tentang kematian yang ternyata bisa diartikan sebagai sebuah kelahiran baru bagi mereka yang sedang mengalaminya. Inilah sebuah pesan bagi Tantri bahwa sebenarnya dia harus merelakan.

Bagaimana pesan simbolik ini memiliki dipresentasikan dengan kemasan yang sederhana tetapi cantik. Visualnya tak berusaha menunjukkan keindahan yang semu, tetapi sinarnya mampu memancarkan bahwa Sekala Niskala adalah pengalaman spiritual secara visual yang sangat meneduhkan hati. Dengan hal inilah, Sekala Niskala membuktikan bahwa menjadi sebuah film yang puitis itu seharusnya tak memiliki pretensi apapun untuk menjadi berbeda. Ini adalah sebuah bentuk seni bagi mereka yang ingin memaknai lebih tentang kehilangan dan kematian.

Minggu, 08 Oktober 2017

PENGABDI SETAN (2017) REVIEW : Gubahan Baru Legenda Film Horor Indonesia

PENGABDI SETAN (2017) REVIEW : Gubahan Baru Legenda Film Horor Indonesia



Inilah film horor terseram sepanjang masa yang diakui oleh beberapa pihak, Pengabdi Setan. Film ini dirilis pada tahun 1981 dan menjadi sebuah budaya pop Indonesia yang melekat. Banyak sekali orang yang membicarakan film ini yang sangat berhasil membuat setiap orang pada zamannya mendapatkan mimpi buruk paska menonton film ini. 37 tahun berselang, Pengabdi Setan mendapatkan kesempatan untuk dibuat ulang dan siap menghantui penonton di era milenial.

Joko Anwar yang telah bernegosiasi selama bertahun-tahun, akhirnya di tahun 2017 ini berhasil mendapatkan kesempatan untuk mengarahkan Pengabdi Setan yang baru ini. Sehingga, film ini jelas mendapatkan banyak sekali sorotan, terlebih bagi mereka yang telah menggantungkan keberhasilan film ini karena nama Joko Anwar yang terlibat di dalamnya. Tara Basro, Endy Arfian, Bront Palare, Dimas Aditya, dan nama-nama lainnya berhasil digaet oleh Joko Anwar di dalam proyek film ini.

Akan berat memang tanggung jawab dari Joko Anwar untuk menceritakan ulang Pengabdi Setan yang sesuai dengan versinya. Selain kredibilitasnya sebagai seorang sutradara, pamor dari film lamanya sendiri akan mempengaruhi penilaian penonton untuk membuktikan uji kelayakannya. Mengingat Joko Anwar pun pernah mengarahkan sebuah film horor pendek berjudul Grave Torture  dan rekam jejak film lainnya yang dekat genrenya, maka kepercayaan penonton terhadap presentasi Pengabdi Setan akan semakin tinggi.


Tak ada salahnya memang untuk percaya kepada Joko Anwar terhadap interpretasinya dalam menceritakan ulang Pengabdi Setan. Joko Anwar sebagai sutradara berhasil menyuguhkan sebuah film horor Indonesia yang sangat segar dan berhasil menumbuhkan mimpi buruk lama yang menyarang di otak penontonnya berhari-hari. Pengabdi Setan terbaru milik Joko Anwar ini berhasil memberikan sebuah standar baru yang sangat tinggi di film horor Indonesia.

Pengabdi Setan milik Joko Anwar ini memang bukan sekedar sebuah adaptasi film horor lama dengan cara yang malas. Joko Anwar tak serta merta menyadur dan memindahkan adegan demi adegan di film lama ke dalam proyek film terbarunya. Film ini berhasil memberikan kekayaan dalam menuturkan cerita, karakter, dan alasan-alasan dalam konfliknya yang membuat penontonnya berhasil menemukan jawaban di dalam konfliknya, bukan sekedar menakut-nakuti seperti film horor Indonesia pada umumnya. 


Dasar cerita Pengabdi Setan milik Joko Anwar ini masih memiliki kesamaan dengan film lamanya. Sebuah keluarga yang terkena teror setelah Ibu (Ayu Laksmi) mereka meninggal karena sudah sakit berkepanjangan. Rini (Tara Basro), Toni (Endy Arfian), Bondi (Nasar Annuz), dan Ian (Muhammad Adhiyat) hanya tinggal bersama Bapak (Bront Palare). Ketika sang bapak berusaha untuk mencari cara agar bisa membiayai keluarganya, teror datang menghampiri mereka.

Satu persatu anggota keluarga yang ada di dalam rumah tersebut mendapatkan teror yang semakin menjadi-jadi setiap harinya. Pada awalnya mereka tak menggubris teror-teror yang berdatangan tersebut. Mereka tetap tak menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan mereka agar bisa merasa tenang selama hidupnya. Hingga pada suatu hari mereka menemukan sebuah fakta bahwa arwah-arwah tak tenang ini adalah sosok Ibu mereka yang telah meninggal. 


Pengabdi Setan milik Joko Anwar ini bukan sekedar menyalin secara menyeluruh dan tak diolah lagi dari film terdahulunya. Apa yang dilakukan oleh Joko Anwar ini sebenarnya adalah berusaha untuk menginterpretasikan apa yang ada di dalam plot film terdahulunya. Meski dengan dasar cerita yang sama, tetapi Joko Anwar berhasil memperkaya apa yang tak ada di dalam film sebelumnya. Mengekspansi dunia yang ada di Pengabdi Setan terdahulu agar bisa memperkuat setiap alasan konflik dan pengembangan setiap karaktenya.

Inilah yang membuat Pengabdi Setan menjadi sebuah film horor yang begitu kuat, bahkan bisa dibilang melampaui film pendahulunya. Pengabdi Setan terbaru ini tak hanya menonjolkan bagaimana filmnya bisa menakut-nakuti penontonnya, tetapi juga mempertimbangkan bagaimana setiap plotnya bisa bergerak. Membangun dasar cerita yang kuat sehingga menimbulkan alasan-alasan yang logis, memberikan elemen keluarga yang berhasil memberikan simpati penonton kepada setiap karakternya dan hal ini berpadu sempurna agar bisa memberikan horor atmosferik yang sangat kuat.

Misteri demi misteri akan tersebar di setiap menit film ini. Penonton tak sekedar menunggu untuk ditakut-takuti, melainkan penonton pun mulai ikut berinterpretasi tentang apa yang akan terjadi selanjutnya di dalam film ini. Hal ini efektif untuk membuat penonton ikut aktif mencari apa yang akan terjadi selanjutnya sekaligus memberi atmosfir yang mencekam sepanjang film. Dengan begitu, penonton akan siap-siap mendapatkan sebuah mimpi buruk setelah menonton film ini. 


Atmosfir mencekam sepanjang film yang dibangun begitu kuat akan memaksimalkan jump scares yang disiapkan begitu rapat oleh Joko Anwar. Sehingga, efeknya akan membuat penonton film ini berhasil teriak kencang ataupun terlonjak dari kursi bioskopnya. Ini juga dimaksimalkan lewat berbagai dukungan teknis yang tak digarap sembarangan. Mulai dari tata artistik, tata suara, hingga tata sinematografi benar-benar diperhatikan sehingga menimbulkan sebuah pengalaman menonton film horor Indonesia yang akan berbeda dengan film horor kebanyakan.

Ini yang akan jarang ditemui oleh penikmat film horor Indonesia. Di kala kebanyakan film horor Indonesia begitu sibuk menakut-nakuti penonton tanpa memperhatikan plot cerita yang generik, Pengabdi Setan memberikan fokus yang berbeda. Joko Anwar membuktikan bahwa horor sebagai salah satu genre di dalam film berhak mendapatkan cerita yang kuat dan tak generik. Juga, Joko Anwar dapat memperjuangkan hak penonton film horor yang butuh asupan segar dan berkualitas saat menonton. 


Dengan berbagai macam paradigma tentang film horor Indonesia mulai dari penuh adegan sensual hingga penuh cara menakut-nakuti yang murahan, Pengabdi Setan berhasil mengembalikan citra film horor Indonesia dan bahkan menetapkan standar yang sangat tinggi untuk film horor lainnya. Sebuah interpretasi yang begitu visioner dan kuat dari Joko Anwar yang membuat 104 menit Pengabdi Setan memiliki teror horor yang sangat maksimal. Bahkan, apa yang dilakukannya berhasil melampaui apa yang ditawarkan film orisinilnya. Salah satu film horor terseram di Indonesia, Predikat ini pantas mereka pegang!