Tampilkan postingan dengan label Musical. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Musical. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 Maret 2017

Sing Street (Ireland, 2016) (4/5)

Sing Street (Ireland, 2016) (4/5)

Rock and roll is a risk. You risk being ridiculed. 
RottenTomatoes: 96% | IMDb: 8/10 | Metascore: 79/100 | NikenBicaraFilm: 4/5


Rated: PG-13
Genre: Drama, Musical

Directed by John Carney ; Produced by Anthony Bregman, John Carney, Kevin Scott, Frakes Christian, Grass Martina, Niland Raj, Brinder Singh, Paul Trijbits ; Screenplay by John Carney ; Story by John Carney, Simon Carmody ; Starring Ferdia Walsh-Peelo, Lucy Boynton, Maria Doyle Kennedy, Aidan Gillen, Jack Reynor, Kelly Thornton ; Cinematography Yaron Orbach ; Edited by Andrew Marcus, Julian Ulrichs ; Production companiesLikely Story, Merced Media, PalmStar Entertainment, FilmNation Entertainment, Irish Film Board, Cosmo Films, Distressed Films, FilmWave ; Distributed by The Weinstein Company (United States), Lionsgate (United Kingdom); Release date 24 January 2016 (Sundance), 17 March 2016 (Ireland), 15 April 2016 (United States) ,20 May 2016 (United Kingdom) ; Running time105 minutes ; Country Ireland, United States, United Kingdom ; Language English ; Budget $4 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Connor (Ferdia Walsh Peelo) pindah ke sebuah sekolah Katolik dan membentuk sebuah band bersama teman-temannya setelah jatuh cinta pada Raphina (Lucy Boynton).

Review / Resensi:
Emang belum pernah nonton Once (2007), tapi saya lumayan suka film Begin Again (2012). Terutama, karena Begin Again adalah film sempurna yang bisa kasih semangat optimisme dan produktivitas di saat kita habis putus.. haha. Cerita dalam Begin Again sebenarnya sederhana. Kalau dibuatkan premis palingan cuma: seorang musisi perempuan habis diselingkuhin pacarnya memulai rekaman dengan seorang produser yang juga sedang struggling dengan kehidupannya. Namun John Carney, sang sutradara yang juga menulis naskahnya, tahu benar bagaimana menggabungkan musik dengan sebuah film, he has a good taste in music and very passionate about it. Ia juga tahu bagaimana mengelola kesederhanaan itu menjadi film yang bernyawa. Dan ya, itulah yang dia lakukan juga kali ini lewat film ketiganya yang dirilis tahun lalu Sing Street.

Sing Street terasa sangat easily personal related, karena semua orang pernah mengalami masa SMA yang penuh suka duka. Connor (Ferdia Walsh Peelo) harus pindah ke sekolah baru - sekolah cowok Katholik setelah keluarganya mengalami krisis keuangan dan di ambang perceraian. Di sekolah barunya ia kemudian mengalami bully-an dari teman sekolahnya (serupa Giant di Doraemon), Barry (Ian Kenny) dan berurusan dengan kepala sekolahnya yang galak Brother Baxter (Don Wycherley). So, hidup Connor ngenes banget. Sampai ia kemudian ketemu cewek cantik Raphina (Lucy Boynton) dan demi pedekate Connor "ngarang" dia punya band dan akhirnya bersama teman-temannya membentuk band yang genrenya dia sebut "futurist". Sing Street akan mengingatkanmu pada masa-masa sekolahmu yang suram (kalo nasibmu suram, kalo kamu populer anak OSIS rajin rangking satu ya alhamdulillah) - lalu kamu merasa musik menyelamatkan dirimu. Entah sekedar mendengarkannya melalui headphone, atau membentuk band bersama teman-temanmu. 

Basic ceritanya sederhana dan terasa down-to-earth: hal-hal yang mungkin kamu alami saat sekolah. Errrr.. sebenarnya nggak down-to-earth banget sih, karena toh masa SMA saya nggak sesuram itu walaupun nggak bisa dibilang "greatest moment of my life". Konflik di dalam Sing Street sebenarnya cukup banyak: parents issue, job problem, bullying, cinta monyet, krisis identitas, tentang meraih mimpi, hingga abusive relationship. Yang menarik dari Sing Street adalah naskah yang dikerjakan oleh John Carney dan Simon Carmody berhasil memasukkan unsur-unsur itu dengan sangat tepat dan efektif. Disampaikan dengan ringan namun masih kuat dan cukup emosional. Sing Street juga menyisipkan elemen-elemen humor dan konyol yang membuat Sing Street terasa menyenangkan dan sangat menghibur. 

Setting waktu era 80-an juga menambah daya pikatnya tersendiri. I still think 80's is not the greatest era of the music (I prefer 70's), namun soundtrack music dari Duran Duran, The Cure, Hall and Oates terasa sangat menyenangkan sekali. Vibe 80's juga begitu terasa - dari pemilihan kostum serta make upnya (Baxter: "Men don't wear makeup,". Connor: "But why not? People in the 18th century wore makeup. That means people like Mozart wore makeup!") serta original music-nya. That "The Riddle of The Model" music video? It's so funny and very 80's! Oh ya dan Brendan (Jack Reynor), kakak Connor... Ia mungkin tipe seniman yang sering disebut orangtua konservatif sebagai "anak-malas", but surely he is type of guy that I will date or at least the guy that I'll have fun to hang out with. Haha.
Brendan : "Trust me. No woman can truly love a man who listens to Phil Collins,"
Tapi entahlah, Sing Street sangat menghibur di tiga perempat awal filmnya, namun ke belakang saya merasa Sing Street jatuh agak terlalu cliche. Ketika film kemudian lebih fokus kepada love-story Connor dan Raphina, saya justru malah jadi agak males. Because... I hate Raphina. Haha. Come one, she's so selfish and manipulative. Menang cakep doank! Saya juga sebenarnya lebih menyukai konflik-konflik keluarga Connor, sibling relationship-nya dengan kakak laki-lakinya, atau bahkan teman-teman bandnya. I love his band member, dan harusnya persahabatan di antara mereka lebih dikupas daripada ngomongin cewek. By the way, Mark McKenna (Eamon) is so cute and talented..   
Saya juga tidak terlalu menyukai pilihan endingnya... Terlalu manis, terlalu cheesy. Saya merasa Sing Street dimulai dengan vibe yang terasa "hipster", "indie" atau bahkan "rock 'n roll", namun kenapa endingnya jadi "mainstream". Dan saya nggak cuma bicara soal plot ceritanya yang terlalu biasa dan main aman, namun juga pilihan lagunya. Saya menyukai lagu-lagu Connor di awal... The Riddle of The Model, Up, A Beautiful Sea... namun lagu-lagu yang harusnya jadi klimaks di bagian ending saat prom scene: Brown Shoes, To Find You... it's kinda lame and too pop. Go Now dari Adam Levine yang ballad-pop juga terasa sangat..... membosankan. (I'm cocky, i know.. haha).


Overview :
Sing Street adalah sebuah film yang sangat likeable: ia menyenangkan dan menghibur. Naskahnya menghadirkan beberapa konflik yang mungkin terasa sangat relatable bagi para penonton, namun disampaikan dengan ringan dan efektif. Setting waktu 80's di Irlandia menjadikannya memiliki daya tarik tersendiri, mengajak beberapa generasi untuk nostalgia mengenang era munculnya music video dan mengenalkan generasi baru pada music scene pada era tersebut. But well, sayangnya saya merasa seperempat bagian akhirnya terlalu main aman dan tidak se-rock 'n roll bagian awalnya. But i will recommend this movie to almost everyone. It's still entertaining.

Kamis, 23 Maret 2017

REVIEW : BEAUTY AND THE BEAST

REVIEW : BEAUTY AND THE BEAST


“Think of the one thing that you've always wanted. Now find it in your mind's eye and feel it in your heart.” 

Telah menjadi rahasia umum bahwa Disney telah mengakrabi kata ‘magis’ sedari lama. Tengok saja produk-produk animasi tradisionalnya dari generasi awal seperti Snow White and The Seven Dwarfs (1937) beserta kawan-kawannya maupun dari era keemasannya yang dimulai sedari The Little Mermaid (1989) sampai Tarzan (1999) – ini masih belum ditambah sejumlah judul live action dan animasi rekaan CGI yang juga ciamik. Visualisasinya tergurat indah membuat mata terbelalak, tuturan kisahnya meninggalkan rasa hangat yang menjalar manja di dada, dan rentetan nomor musikalnya terdengar renyah di telingga. Mudahnya, Disney mempunyai banyak koleksi film yang memaknai istilah “keajaiban sinema” atau ya, “magis” tadi. Salah satu judul yang tergabung di dalamnya yakni Beauty and the Beast (1991), sebuah film animasi penting yang merupakan interpretasi anyar dari dongeng Prancis klasik gubahan Jeanne-Marie Leprince de Beaumont. Mengapa dikata penting? Karena Beauty and the Beast semacam membukakan gerbang bagi genre animasi agar dapat berkompetisi di kategori utama Oscars, Best Picture. Disamping itu, film ini pun menandai pertama kalinya Disney mempersilahkan film animasinya diboyong ke panggung Broadway. Mempunyai cukup banyak catatan rekor membanggakan – belum ditambah lagu temanya yang legendaris itu – tentu tiada mengherankan jika lantas Beauty and the Beast dipilih untuk mengikuti jejak Cinderella dan The Jungle Book: diejawantahkan ke bentuk live action

Beauty and the Beast adalah dongeng romansa mengenai kisah cinta antara seorang perempuan ayu bernama Belle (Emma Watson) dengan seorang lelaki berparas buruk rupa akibat terkena kutukan yang dipanggil Beast (Dan Stevens). Belle tinggal di sebuah desa kecil bersama ayahnya, Maurice (Kevin Kline), sedangkan Beast menghuni kastil yang area sekitarnya senantiasa bersalju tak peduli apapun musimnya bersama pelayan-pelayan setianya yang berubah wujud menjadi perabotan rumah tangga. Satu-satunya cara bagi mereka untuk bisa kembali menjadi manusia atau dengan kata lain mematahkan kutukan adalah apabila ada cinta sejati hinggap ke sang majikan, Beast. Sayangnya, mengingat Beast jauh dari kata rupawan dan lokasi kastil yang amat sangat terpencil, mengharap datangnya asmara bagaikan pungguk merindukan bulan – suatu kemustahilan yang nyaris absolut. Nafas lega mulai berhembus ketika pada suatu hari, Belle menyerahkan dirinya secara sukarela kepada Beast untuk menggantikan posisi Maurice sebagai tahanan lantaran kepergok hendak mengambil bunga mawar di halaman kastil dalam perjalanan menuju ke kota. Beast menganggap apa yang dilakukan Belle adalah suatu kebodohan, namun para pelayannya justru melihat adanya harapan dari keberadaan Belle. Mungkinkah dia adalah seseorang yang akan membantu mematahkan kutukan? Membawa harapan tinggi, dipimpin oleh Lumiere (Ewan McGregor), para pelayan pun mengatur strategi agar kebencian yang menyelimuti hubungan Belle dan Beast perlahan tapi pasti tergantikan oleh hadirnya percikan-percikan asmara. 

Rasa-rasanya kebanyakan penonton Beauty and the Beast versi anyar tentu sudah familiar dengan jalinan penceritaan yang diusung film garapan Bill Condon (Dreamgirls, The Twilight Saga: Breaking Dawn) ini. Dongeng yang menjadi sumber asal film ini memang amat populer dan telah diceritakan berulang kali menggunakan beragam pendekatan – baik patuh hingga mendekonstruksinya – sampai-sampai sudah hampir tidak menyisakan celah untuk dibubuhi inovasi. Mungkin menyadari hal tersebut ditambah lagi versi animasi Disney rilisan 1991 yang dijadikan rujukan terbilang mahakarya, maka ya, Condon tidak kelewat lancang sehingga memberi banyak tambahan bahan kepada versi teranyar dari Beauty and the Beast ini. Dia memegang erat prinsip “if it ain’t broke, don’t fix it.” Tidak melenceng, tetapi juga tidak mirip sepenuhnya dengan materi kutipannya. Pembeda paling kentara, hubungan kedua karakter utama lebih dieksplor, begitu pula motivasi para pelayan untuk terbebas dari kutukan, dan beberapa lagu baru dimasukkan. Dampaknya durasi pun agak kebablasan memanjangnya walau tak terlalu jadi soal toh berhasil memberi kedalaman pada penceritaan dan paling penting, Beauty and the Beast penuhi segenap ekspektasi. Membuatku terperangah oleh kemegahan visualnya, terlarut dalam alunan melodinya, serta terpikat dengan permainan lakonnya. Atensi telah terbetot sedari adegan pelepas kutukan di gelaran pesta dansa pada awal mula yang berlangsung cukup singkat namun sama sekali tidak kekurangan intensitas. Nuansa kelam pula suram yang mencuat darinya lantas tergantikan oleh keriangan dalam nomor musikal dengan tata koreografi apik, “Belle”


Inilah titik lontar dari nomor-nomor musikal penghias film yang mayoritas merupakan pangkal dari terciptanya kemegahan visual yang dipunyai Beauty and the Beast – bisa dimengerti mengingat jejak rekam Condon kerap bersinggungan dengan film musikal seperti Chicago dan Dreamgirls. “Belle” adalah pemanasan sebelum menuju “Gaston” yang enerjik nan lucu serta “Be Our Guest” dengan visualisasi megah yang bikin geleng-geleng kepala sekaligus rahang menganga lebar-lebar. Mempunyai dampak hebat pada emosi, dua nomor musikal ini bisa dikata merupakan momen emas yang dipunyai oleh Beauty and the Beast. Dan oh, tentu saja tambahkan lagu tema film agar pas sebagai trio. Suara Emma Thompson sebagai Mrs. Potts memang tidak semenghanyutkan Angela Lansbury dari versi animasi kala mendendangkan lagu tema “Beauty and the Beast” untuk mengiringi dansa pertama kalinya Beast dengan Belle, tapi masih ada sebersit sisi magis mencuat dari adegan ikonik tersebut yang nyata sekali turut terangkat pula berkat tata kostum menawan (meski harus saya akui, efeknya tidak sehebat gaun biru bercahayanya Cinderella). Bukan semata-mata terbantu kinerja kolaborasi antara departemen kostum dengan musik, daya takjub yang dipunyai film juga bersumber dari sektor desain produksi yang mengkreasi setiap jengkal latar tempat secara indah, lalu disempurnakan oleh sektor efek khusus yang memungkinkan penonton meyakini bahwa apapun yang terpampang di layar nyata adanya, dan kian dipertangguh barisan pemain berlakon jitu. 

Konfigurasi pelakon pendukung adalah juaranya. Ewan McGregor bersama Emma Thompson, Ian McKellen (Cogsworth), serta Audra McDonald (Madame de Garderobe) dari sektor pelayan setia acapkali mencuri perhatian sekalipun jatah tampil memungkinkan mereka lebih sering berakting dari suara. Interaksi lekat diantara mereka memberi rasa hangat, sementara tingkah polah dan celetukan-celetukan mereka tak jarang mengundang gelak tawa renyah dari penonton. Dua pemain yang diposisikan sebagai antagonis, Luke Evans (Gaston) dan Josh Gad (LeFou), pun memperkuat dinamika film. Evans membuat sosok Gaston yang terobsesi ingin mempersunting Belle terlihat sungguh menjengkelkan tanpa harus kelewat karikatural – kita paham pemicu tabiat buruknya, dan Gad yang ekspresif membawa keceriaan lainnya sekaligus memperkuat karakter Gaston. Lantas, bagaimana dengan Emma Watson dan Dan Stevens? Mereka sama sekali tidak mengecewakan. Ya, ada kalanya air muka Emma Watson berasa datar di beberapa titik yang menyulitkan sosok Belle untuk bisa lebih hidup namun untungnya terbayarkan oleh kebolehannya dalam menaklukkan tantangan berolah vokal seperti halnya para pemain lain (kejutan manis dipersembahkan oleh Stevens saat melantunkan nomor “Evermore”) dan adanya senyawa-senyawa asmara yang bisa dicecap antara dirinya dengan Stevens. Paling tidak, emosi yang dibutuhkan film masih bisa dirasakan dan itu terbukti dari mata yang dibuat berkaca-kaca ketika Beauty and the Beast hendak tutup durasi.

Outstanding (4/5)


Beauty and the Beast (2017) (4,5/5)

Beauty and the Beast (2017) (4,5/5)


"Look at her! What if she's the one? The one who will break the spell?"

RottenTomatoes: 70% | IMDb: 7,9/10 | Metascore: 65/100 | NikenBicaraFilm : 4,5/5


Rate: PG
Genre: Musical, Drama

Directed by Bill Condon ; Produced by David Hoberman, Todd Lieberman ; Screenplay by Stephen Chbosky, Evan Spiliotopoulos ; Based on Disney's Beauty and the Beast, Beauty and the Beast by Jeanne-Marie Leprince de Beaumont ; Starring Emma Watson, Dan Stevens, Luke Evans, Kevin Kline, Josh Gad, Ewan McGregor, Stanley Tucci, Audra McDonald, Gugu Mbatha-Raw, Ian McKellen, Emma Thompson ;  Music by Alan Menken ; Cinematography Tobias Schliessler ; Edited by Virginia Katz ; Production company Walt Disney Pictures, Mandeville Films ; Distributed by Walt Disney ; Studios Motion Pictures ; Release dateFebruary 23, 2017 (Spencer House), March 17, 2017 (United States) ; Running time129 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $160 million


Story / Cerita / Sinopsis:
Belle (Emma Watson) tinggal di sebuah kota kecil, dimana ia bermimpi untuk bisa pergi dari kotanya tersebut. Suatu hari, ayahnya dipenjara oleh Beast (Dan Stevens) - makhluk buruk rupa misterius yang tinggal di sebuah kastil tua yang angker. Belle kemudian berusaha membebaskan ayahnya sambil berusaha membebaskan mantra yang menimpa sang Beast, dimana keduanya harus belajar mencintai.

Review / Resensi:
Beauty and the Beast ini adalah tipikal film yang yaa.. cheesy, mudah ditebak, fairy-tale dongeng yang hanya relevan jika Anda masih kecil, but still..... I really don't care. It's still so charming and magical for me. Because you know, I desperately need a romance in my life.. so watching this give me a romance pleasure that I really want. Haha. Ya, saya tahu meme-meme beredar dimana-mana, "nyinyir" bahwa Belle menderita stockholm syndrome yang jatuh cinta kepada penculiknya sendiri, atau Belle tidak mungkin akan jatuh cinta kepada Beast jika saja Beast tidak punya kastil megah. But once again: saya, yang biasanya tukang nyinyir, tidak mempedulikan itu semua... Beauty and the Beast adalah sebuah film yang mampu mempesona saya. Saya keluar bioskop dengan perasaan gembira, berhasrat ingin menari dan berdansa sambil menyanyi - nyanyikan lagunya. Please, give me that damn yellow cute dress (and of course, the charming handsome rich prince!)


Nampaknya, versi live-action dari Beauty and The Beast ini memang hendak meniru Cinderella (2014), yang meraih kesuksesan justru karena sesuai dengan cerita aslinya. In this case, cerita aslinya adalah Beauty and the Beast versi animasi kartun Disney tahun 1991 yang sangat populer itu. Beauty and The Beast malah sangat mirip dengan versi awalnya, hingga termasuk lagu-lagu yang digunakan. Jadi, orang (yang kebanyakan cewek-cewek remaja) datang ke bioskop karena hendak menyaksikan mimpi dan romantisme mereka dalam wujud film, bukan karena ingin tahu jalan ceritanya atau apa. So am I. Saya merasakan pesona yang sama yang saya alami saat nonton La La Land, menyaksikan Beauty and the Beast memberikan saya sebuah eskapisme ke dunia alternatif yang indah, magical, dan tentu saja.... romantis. (Bf, i need my bf...).

Bagi saya, tidak terlalu masalah jika Beauty and the Beast ini benar-benar meniru dari versi kartun animasinya (yang didasarkan dari fairy-tale Perancis). Film orisinilnya diproduksi 26 tahun dari versi awalnya, sehingga target audiens yang disasar adalah generasi baru: putri kecil kita, atau para ABG yang belum lahir di tahun 90-an. Dan tentu saja, mereka yang ingin bernostalgia. Dan karena inilah saya merasa Beauty and the Beast sangat berhasil dan mencetak hasil memuaskan pada box office. Lagu-lagunya sama, namun dengan versi aransemen ulang yang jauh lebih mewah dan megah (yang anyway, sekarang saya menulis ini sambil mendengarkan lagu-lagunya). Desain set, kostum, dan propertinya juga sangat cantik dan memanjakan mata. Ada sedikit subplot berbeda berupa masa lalu Beast dan Belle, yang membuat ceritanya jadi lebih masuk akal dan membuat kita jadi makin simpati dengan karakter keduanya

Emma Watson kabarnya menolak peran Mia di film La La Land demi perannya sebagai Belle di Beauty and the Beast. Sejauh yang saya baca, akting dan kualitas suara Emma Watson memicu perdebatan di kalangan netizen. Sebagian memujanya, sebagian yang lain menganggap bahwa Emma Watson tidak mampu merepresentasikan karakter Belle dengan baik. Dan saya.... termasuk yang memujanya, Bagi saya peran sebagai Belle membutuhkan aktris yang loveable, supaya para perempuan yang menontonnya bisa dengan mudah menyukai karakter sang protagonis, dan para lelaki juga bisa mengagumi dan mencintai sosok Belle. Emma Watson, I think she's the one. Dia adalah Hermione yang tidak pernah mengkhianati citranya. She's pretty enough but not intimidating. Smart and feminist. Girl next door type. Yeah damn right! Jadi, kemunculan Emma Watson selalu membuat saya ikutan memuja betapa cantik dan manisnya dirinya. So, Emma Watson and autotune? I don't care.

The rest of cast, juga tampil baik mendukung Beauty and The Beast. Saya menyukai performa Luke Evans yang begitu piawai membawakan perannya yang menyebalkan (tapi macho) sebagai Gaston dan bernyanyi dengan baik. Emma Thompson, Audrey McDonald dan Ewan McGregor juga memberikan performa memikat dalam menyanyikan bait-bait lagu mereka (Emma Thompson singin' Beauty and the Beast? My favorite! even it is a more way better than Ariana Grande version). Dan Stevens.... oh my God... saya ga bisa lupa wajah tampan dia waktu main The Guest, jadi ketika akhirnya dia muncul di bagian akhir saya langsung ngeces dan sejenak saya lupa caranya bernafas.... Ada yang menarik pula dibahas, ketika tim PR film ini bikin kontroversi dengan menyebutkan salah satu karakter, yakni Le Fou (Josh Gad) menjadi karakter Disney pertama yang gay. Well, setelah memicu kontroversi sana-sini, tapi ternyata filmnya toh tidak se-gay yang ditakutkan kaum homophobic. And fun trivia: Josh Gad is straight, dan ternyata Luke Evans yang sebenarnya gay. *patah hati*

Namun, bukan berarti Beauty and the Beast tidak memiliki kekurangan. Saya merasa ada beberapa bagian yang humornya agak miss dan editingnya kurang mulus. Saya juga agak merasa animasi CGI antique furniture - para pelayan Beast - kurang "lucu" dan kurang "ceria", termasuk scene musikal "Be Our Guest" yang terlalu gelap buat saya. Saya juga merasa ada beberapa bagian yang terasa kurang dramatis, terutama..... that damn kissing scene! OMG, nungguin lama buat akhirnya ngeliat wajah ganteng Dan Stevens dan akhirnya Beast (yang udah jadi ganteng) berciuman dengan Belle..... saya merasa kissing scene nya sangat flat dan meh. Harusnya bisa lebih romantis lagi. Harusnya keduanya bisa lebih tersipu-sipu lagi. (Bf, i really need my bf please!).

Overview :
Beauty and the Beast adalah sebuah film yang menjadi sebuah nostalgia yang indah bagi mereka yang telah menonton versi animasinya dan sebuah perkenalan yang tepat bagi generasi baru. Setia terhadap versi aslinya, Beauty and the Beast tetaplah sebuah film yang sangat mempesona, memukau, dan... magical (I'm sure magical is a perfect word). Manusia membutuhkan eskapisme dari realitas yang menjemukan dan menyedihkan, dan Beauty and the Beast menawarkan dunia dimana-semuanya-indah-dan-bahagia dalam bentuknya yang terbaik. Lagu-lagu lamanya dibawakan ulang dengan beberapa lagu baru dari Celine Dion dan Josh Groban yang juga menawan. Emma Watson sangat likea"belle"... cast lain juga memberikan performa yang juga sama menariknya. Memang, ada beberapa ketidaksempurnaan, but who cares?

Jumat, 13 Januari 2017

REVIEW : LA LA LAND

REVIEW : LA LA LAND


“I'm letting life hit me until it gets tired. Then I'll hit back. It's a classic rope-a-dope.” 

Berkat Whiplash (2014), sebuah film musik tentang mimpi dari seorang penggebuk drum aliran Jazz yang intensitasnya amat kencang bak film laga, sutradara muda Damien Chazelle mendapat sorotan banyak pihak. Mumpung tengah menjadi bahan obrolan hangat, dia pun tidak menunggu waktu lama untuk melepas karya berikutnya – meski realitanya, butuh enam tahun buat meyakinkan para pendana dan rumah produksi! – yang masih berhubungan dengan musik Jazz dan tidak jauh-jauh dari pengalaman pribadi sang sutradara. Jika Whiplash terinspirasi dari gurunya yang luar biasa galak semasa menimba ilmu musik, maka karya terbarunya yang bertajuk La La Land diilhami oleh jatuh bangunnya selama merintis karir di Hollywood. Dalam La La Land, Chazelle mencoba lebih ‘besar’ dengan menggunakan pendekatan musikal yang secara khusus memberikan penghormatan terhadap film-film musikal era 50’an semacam Singin’ in the Rain (1952) atau The Band Wagon (1953) sekaligus merekrut bintang-bintang Hollywood kelas A seperti Ryan Gosling dan Emma Stone guna ditempatkan di lini utama. Hmmm... belum apa-apa sudah terdengar sangat menggiurkan, bukan? Dan kenyataannya, memang semenggiurkan apa yang tertuang di atas kertas. La La Land mempunyai jiwa di setiap hentak kaki, setiap alunan melodi, dan setiap untaian lirik yang menciptakan tawa, kekaguman, serta air mata. Sungguh magis!   

La La Land memulai hentakannya dengan meriah melalui nomor musikal “Another Day of Sun” yang menampilkan tarian dan nyanyian di tengah-tengah macetnya jalan bebas hambatan Los Angeles. Ujung dari adegan ini mempertemukan dua karakter utama film, Sebastian Wilder (Ryan Gosling) dan Mia Dolan (Emma Stone), untuk pertama kalinya meski bukan dalam situasi menyenangkan. Selama kurang lebih 30 menit berikutnya, keduanya tidak lagi saling berjumpa, tidak ada interaksi dalam bentuk apapun. Sebastian diceritakan sebagai musisi Jazz yang kelimpungan mencari sumber penghasilan tetap berdasar keahliannya lantaran idealismenya untuk memainkan musik Jazz tradisional seringkali berseberangan dengan visi pemilik klub, sedangkan Mia yang sehari-harinya memperoleh pemasukan sebagai barista terus berjibaku guna mendapatkan panggilan audisi demi mewujudkan mimpinya menjadi aktris. Mereka akhirnya betul-betul berjumpa kala keduanya menghadiri sebuah pesta. Berjalan bersama untuk beberapa waktu, baik Sebastian maupun Mia menyadari ada ketertarikan satu sama lain terlebih keduanya dipersatukan oleh satu hal: passion. Asmara pun merekah diantara mereka, hubungan penuh kemesraan terbentuk, lalu tiba-tiba ujian menghadang kala mimpi mereka saling berbenturan. 

Berkaca pada sinopsis tersebut, tampak jelas La La Land tak menawarkan guliran pengisahan yang membelalakkan mata. Sebatas menghidupkan premis sederhana mengenai kisah kasih dua sejoli yang diperjumpakan oleh kesamaan nasib. Namun jangan biarkan kesederhanaan ini mengecohmu karena La La Land tidaklah sesederhana itu utamanya jika kita membicarakan soal bagaimana Damien Chazelle mengatur konsep dari setiap jengkal film ini. Mengkreasi elemen musikalnya. Tengok saja nomor pembukanya yang enerjik nan ambisius dimana kurang lebih terdapat 100 penari berlenggak lenggok kesana kemari di tengah padatnya jalan tol. So much fun! Keputusan jitu menempatkan nomor ini di permulaan film karena terbilang sangat efektif untuk membangkitkan mood penonton dalam mengetahui keriaan serta keintiman seperti apa yang ditawarkan si pembuat film selama sisa durasi. Selepasnya, tidak ada lagi tembang heboh seperti ini – paling mendekati adalah “Someone in the Crowd” – lantaran mengikuti laju pengisahan yang kian intim, syahdu, pula merobek hati. Keberadaan lagu dan musik hasil gubahan Justin Hurwitz sendiri bukan sekadar pemeriah suasana melainkan dimanfaatkan betul oleh Chazelle sebagai medium bercerita. 

Ketika rentetan dialog dianggapnya tidak cukup untuk mengungkapkan suatu maksud, musik adalah solusi terbaiknya. Itulah mengapa ada emosi menggelegak yang bisa dirasakan di dalam tiap tembang dan tiap melodi yang mengiringi La La Land, seperti “A Lovely Night”, “City of Stars”, dan “Audition (The Fools Who Dream)”, yang rasa-rasanya akan mengendap lama di benakmu. Musik yang berbicara bukanlah satu-satunya modal Chazelle untuk memberikan kehidupan pada La La Land. Dia beruntung mempunyai tim solid di setiap departemen. Dari pengambilan berikut penyuntingan gambar yang menguarkan nuansa jadul ala film musikal era 50-an, koreografi tari oleh Mandy Moore yang menawarkan beberapa ragam (ada tap, ballroom, hingga waltz) dengan setiap hentakannya berbalut rasa sehingga tanpa perlu adanya pendeskripsian panjang lebar kita telah dapat memahami perasaan dua manusia yang tengah dimabuk cinta ini, sampai tak kalah penting pula, pemain-pemain yang handal menerjemahkan emosi melalui gestur maupun air muka. Pemain dalam konteks ini tentu saja adalah Ryan Gosling bersama Emma Stone. Mereka tampil simpatik saat terpisahkan, sementara ketika berduaan, mesranya tiada ampun sampai-sampai burung-burung cinta pun dibuat iri olehnya. Lihat saat mereka saling lempar dialog, saat mereka menari bersama, saat mereka saling pandang, ughhh... greget!

Karisma kuat Gosling dan kecantikan paripurna Stone merupakan kombinasi sempurna guna menjerat atensi sehingga penonton pun tahu-tahu telah terhanyut pada jalinan kisah percintaan mereka. Just like magic. Ada semacam kebahagiaan tersendiri menyaksikan Sebastian menemukan Mia (begitu juga sebaliknya) karena kita mengetahui bahwa mereka akan saling menguatkan, akan saling melengkapi satu sama lain, lantaran mempunyai kesamaan pada tujuan, harapan, dan mimpi. Dari titik ini, penonton pun lantas disadarkan sejatinya La La Land bukan sekadar menjual dongeng manis semata mengenai kisah percintaan dua insan manusia yang dipertautkan oleh passion karena lebih dari itu, ini merupakan selebrasi bagi mereka yang berani bermimpi dan berani mewujudkannya sekalipun memahami betul ada harga yang harus dibayar mahal. Dihantarkan secara gegap gempita pula manis-manis nyelekit, La La Land akan membuatmu terpukau oleh bagaimana Chazelle mengkreasi setiap momen dalam film yang memiliki cita rasa megah, lalu merasakan kebahagiaan, dan pada akhirnya tertusuk begitu menyadari bahwa realita tidaklah seindah mimpi. Tidaklah semembahagiakan film-film musikal Hollywood. Aach, seandainya saja....

Outstanding (5/5)

Senin, 05 Desember 2016

REVIEW : MOANA

REVIEW : MOANA


“If you wear a dress and have an animal sidekick, you're a princess.” 

Tahun 2016 menjadi saksi bisu atas pembuktian diri bagi divisi animasi Walt Disney bahwa mereka secara resmi telah mengambil alih kembali posisi sebagai pembuat film animasi paling terkemuka dari Pixar dengan diluncurkannya dua produk hebat, yakni Zootopia dan Moana. Ya, tatkala tetangga sebelah tengah menghadapi problematika bernama ‘inkonsistensi’ yang menyebabkan beberapa karyanya lewat begitu saja tanpa kesan, Disney justru kian menggeliat dari tahun ke tahun terhitung sedari Tangled (2010). Zootopia memancangkan standar tinggi bagi film animasi dengan penceritaan cerdas pula terhitung berani untuk ukuran Disney, sementara Moana hasil arahan duo Ron Clements dan John Musker (The Little Mermaid, Aladdin) yang menerapkan pola tutur “back to basic” mengingatkan kita sekali lagi kenapa studio ini dapat menjadi raksasa animasi di dunia film. Moana menunjukkan bahwa tontonan mengikat tidak melulu harus bersumber dari gagasan serba bombastis, malah seringkali kesederhanaan dengan eksekusi dan pengemasan yang tepat lebih mampu menghadirkan kejutan-kejutan menyenangkan. 

Moana membawa kita mengarungi lautan Pasifik untuk kemudian berlabuh di sebuah pulau bernama Motunui. Di sana penonton diperkenalkan pada sang protagonis, Moana Waialiki (Auli’i Cravalho), yang merupakan putri semata wayang sekaligus calon penerus dari kepala suku setempat. Dideskripsikan sebagai sosok cerdas, pemberani, serta sedikit pemberontak, Moana memiliki impian untuk bisa berlayar melewati batu karang yang ditentang keras oleh ayahnya, Tui (Temuera Morrison), karena satu dan lain hal. Moana lantas nekat mewujudkan impiannya tersebut setelah kesehatan ekosistem di Motunui tiba-tiba menurun drastis, mengetahui jati diri sukunya yang sesungguhnya, dan memperoleh dorongan dari sang nenek, Gramma Tala (Rachel House), yang mempercayai Moana sebagai satu-satunya harapan untuk menyelamatkan tempat tinggal mereka. Ditemani seekor ayam yang bodohnya kebangetan, Heihei, Moana yang sejatinya minim pengetahuan berlayar ini harus mengarungi samudera luas untuk menemukan Maui (Dwayne Johnson), manusia setengah dewa, yang konon dianggap bertanggung jawab atas memburuknya kondisi alam di Motunui dan sekitarnya. 

Ditinjau dari garis besar cerita, Moana memang tak tampak mengusung plot progresif. Masih berkutat pada topik pencarian jati diri berbasis petualangan menyelamatkan tanah kelahiran yang telah umum dijumpai di film-film Disney. Tapi seperti halnya Zootopia, film ini menyematkan pula materi perbincangan lain yang boleh jadi tak pernah terlintas di benakmu akan diobrolkan oleh film animasi keluaran Disney pada satu dua dekade silam terkait ketangguhan perempuan – well, Moana jauh lebih feminis ketimbang Frozen – hingga menjaga relasi baik dengan alam. Ini jelas menarik, menyegarkan, juga relevan. Sang tokoh utama yang notabene perempuan digambarkan mempunyai posisi kurang lebih sejajar dengan pria dalam tribe society, tangguh secara fisik maupun mental, dan tidak membutuhkan bantuan lawan jenis untuk menuntaskan perkara (Maui hanya membukakan jalan untuk Moana, itupun karena dialah sumber masalahnya). Mendobrak segala bentuk konstruksi perempuan ideal yang diciptakan sendiri oleh film animasi Disney lebih dari setengah abad silam. Terdengar, errr... berat? Tak perlu risau, kamu hanya akan menjumpai kerumitan tersebut di ulasan sok njelimet ini karena penceritaan Moana sendiri dilantunkan dalam mood penuh keriaan. 

Keriaan timbul dari serentetan momen yang menimbulkan gelak tawa maupun perasaan bersemangat penonton. Entah itu disebabkan tingkah luar biasa absurd Heihei, interaksi konyol Moana dengan Maui, serangan perompak bertopengkan tempurung kelapa, kepiting raksasa narsis, atau amukan monster lahar. Selain itu, keriaan juga dipersembahkan oleh barisan nomor-nomor musikal melodius gubahan Lin-Manuel Miranda yang karirnya tengah mengangkasa berkat popularitas drama musikal Broadway, Hamilton, dan Opetaia Foa’i. Mereka menyumbangkan lagu-lagu mudah didendangkan semacam “How Far I’ll Go”, “We Know the Way”, “You’re Welcome”, dan “Shiny”, yang hampir dapat dipastikan akan melekat kuat di benakmu sampai berhari-hari setelah melangkahkan kaki keluar dari gedung bioskop. Pengalaman menonton Moana kian terasa mengasyikkan karena film ini dihidupkan pula oleh visualisasi menakjubkan (lihatlah Motunui! tengoklah lautnya! perhatikanlah tato di tubuh Maui!) beserta sumbangsih mengagumkan para pengisi suara seperti pendatang baru Auli’i Cravalho yang memancarkan karisma kuat seorang pemimpin dalam diri Moana dan membentuk chemistry kocak bersama Dwayne Johnson. Dengan kombinasi serba baik seperti ini, tidak mengherankan jika kemudian Moana berhasil tersaji sebagai sebuah tontonan seluruh keluarga yang teramat sangat mengasyikkan.

Note : pastikan untuk tidak terlambat memasuki gedung bioskop karena ada sebuah film pendek bagus berjudul Inner Workings sebelum film utama. 

Outstanding (4/5)