Tampilkan postingan dengan label Animasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Animasi. Tampilkan semua postingan

Senin, 25 Juni 2018

REVIEW : INCREDIBLES 2

REVIEW : INCREDIBLES 2


“Done properly, parenting is a heroic act.” 

Saat dirilis ke hadapan publik pada tahun 2004 silam, The Incredibles bisa dikatakan menawarkan sebuah sajian menyegarkan yang menawarkan perspektif berbeda terhadap tontonan superhero terlebih pada masa itu adaptasi komik Marvel dan DC belum mendominasi layar lebar (FYI, Marvel Cinematic Universe baru dimulai pada tahun 2008 melalui Iron Man). Berceloteh mengenai dua pahlawan berkekuatan super yang memutuskan untuk menjalani kehidupan normal layaknya manusia kebanyakan dengan membina rumah tangga, film arahan Brad Bird (The Iron Giant, Ratatouille) ini menyisipinya dengan isu serius semacam krisis paruh baya dan rempongnya mengasuh anak ‘luar biasa’ seraya mengajak penonton bersenang-senang sekaligus memberi cemooh ke segala keklisean film superhero – persis seperti yang dilakukan oleh dwilogi Deadpool tempo hari. Sayangnya, sekalipun resepsi yang diterima dari publik dan kritikus amat positif, The Incredibles tak seketika mendapat instalmen kelanjutan. Membutuhkan waktu lebih dari satu dekade bagi Pixar Animation Studios untuk memberikan lampu hijau bagi pembuatan Incredibles 2 yang masih menempatkan Brad Bird di kursi penyutradaraan dan penulisan naskah. Kesuksesan Marvel Cinematic Universe lalu sambutan hangat yang diberikan oleh publik maupun kritikus kepada Monsters University (2013) dan Finding Dory (2016) tampaknya telah meluluhkan hati para petinggi Pixar. Lebih-lebih, mereka melihat masih adanya potensi kisah kepahlawanan keluarga Parr untuk dikembangkan lebih jauh lagi. 

Memulai penceritaan tepat setelah film pertama berakhir, Incredibles 2 menyoroti bagaimana pengorbanan keluarga Parr yang terdiri dari Bob atau Mr. Incredible (Craig T. Nelson), Helen atau Elastigirl (Holly Hunter), Violet (Sarah Vowell), Dash (Huck Milner), serta Jack-Jack yang masih balita (Eli Fucile) dalam memberantas kejahatan ternyata tak memperoleh pengakuan yang sepantasnya dari pemerintah. Memperhitungkan kerusakan masif yang ditimbulkan akibat aksi-aksi para pahlawan kala beraksi, pemerintah memutuskan untuk melarang segala praktik kepahlawanan yang memanfaatkan kekuatan khusus. Akibat larangan ini, keluarga Parr pun mau tak mau menjauhi gemerlapnya sorotan media dan menyembunyikan identitas mereka yang sesungguhnya dari khalayak ramai. Situasi yang suram bagi para superhero ini perlahan tapi pasti mulai berubah tatkala seorang pebisnis sukses yang bergerak di bidang telekomunikasi bernama Winston Deavor (Bob Odenkirk) beserta sang adik, Evelyn (Catherine Keener), berinisiatif untuk membersihkan nama baik para superhero. Caranya dengan merekrut Elastigirl sebagai ‘brand ambassador’ lalu merekam setiap aksinya dalam memberantas kejahatan. Trik ini terbukti berhasil sehingga kepercayaan publik berhasil didapatkan, popularitas Elastigirl mendadak menjulang, dan Mr. Incredible pun terpaksa menggantikan posisi sang istri untuk mengurus rumah tangga. Akan tetapi, keadaan lagi-lagi tak berjalan sesuai rencana ketika Elastigirl mesti berhadapan dengan seorang penjahat dengan motif dipertanyakan bernama Screenslaver.


Menonton Incredibles 2 di laya bioskop kala libur panjang ternyata sungguhlah pilihan tepat. Sedari menit pertama, Brad Bird telah mengondisikan penonton untuk bersemangat, tergelak-gelak, hingga berdebar-debar di kursi bioskop. Bagi saya yang kebetulan sedang membutuhkan hiburan untuk menghempaskan kepenatan dari pikiran, apa yang ditawarkan oleh Incredibles 2 jelas lebih dari cukup. Laganya seruuu, humornya pun lucuuu. Menengok produk akhirnya yang sanggup membuat hati bergembira, penantian para penggemar selama belasan tahun (intermezzo; saya ingat betul menyaksikan instalmen pertamanya di Tunjungan 21 saat masih bocah) tentu tidaklah sia-sia. Kesenangan yang telah terbentuk sedari menit pembuka yang berlangsung gegap gempita kala menampilkan aksi keluarga Parr beserta Frozone (Samuel L. Jackson, si Nick Fury) dalam menghentikan Underminer, mampu terjaga secara stabil hingga babak pamungkasnya yang akan membuat klimaks dari sejumlah film superhero terlihat cupu. Sosok antagonis dalam jilid ini memang tidak terlampau mengancam yang membuat barisan karakternya bertekuk lutut dan motif kejahatannya pun klasik – bisa dimengerti mengingat bagaimanapun juga, Incredibles 2 mesti menghibur penonton cilik – akan tetapi si pembuat film mengompensasinya bagi penonton dewasa dengan serentetan sekuens laga yang tidak sedikit diantaranya membuat saya berdebar-debar, materi ngelaba yang jitu dalam menggelitik saraf tawa, hingga jalinan pengisahan yang mengikat meski tergolong berat untuk ukuran film keluarga. 

Keberadaan humor dalam Incredibles 2 menjadi pelengkap yang sangat baik bagi serentetan sekuens laganya. Elemen komedik mengambil tongkat estafet dari elemen laga ketika film tidak sedang menyoroti sepak terjang Elastigirl yang (tentu saja) menyumbang sebagian momen aksi di Incredibles 2. Dengan kata lain, kamu bisa menemukannya saat sorotan beralih ke Mr. Incredible atau Bob yang kelimpungan dalam mengurus anak-anaknya. Bob mesti membantu Violet yang sedang kesengsem kepada salah satu laki-laki di sekolahnya yang apesnya tidak bisa mengingat siapa Violet karena satu dan lain hal, lalu membantu Dash yang kesulitan mengerjakan tugas-tugas matematika, hingga mencari solusi untuk mengontrol kekuatan Jack-Jack yang mengerikan. Aksi heroik Bob dalam menjalankan tugasnya sebagai Ayah Rumah Tangga ini tidak saja mengundang gelak tawa heboh yang salah dua momennya dipersembahkan oleh adegan pertarungan antara Jack-Jack dengan seekor rakun di halaman belakang rumah yang pecah sekali (Rocket Raccoon, is that you?) dan pertemuan singkat dengan desainer langganan keluarga, Edna Mode (Brad Bird), tetapi juga memberi kehangatan pada hati sekalipun tonjokkan emosinya tidak sekuat, katakanlah, Coco (2017).


Seperti halnya instalmen pertama, disamping memberi hiburan dalam bentuk pertarungan dan lawakan, Incredibles 2 turut menghadirkan guliran penceritaan menarik yang didalamnya mengandung komentar-komentar sosial yang relevan dengan situasi terkini. Isu yang dibicarakannya sekali ini berkaitan dengan women empowerment, pembagian peran dalam sektor rumah tangga, prasangka, keegoisan pemerintah, sampai ketergantungan terhadap teknologi. Walau kedengarannya berpotensi bikin dahi mengernyit, Brad Bird sanggup menyampaikannya secara lancar dan ringan tanpa mengurangi esensinya barang sedikitpun. Bagus! 

Note : Saat hendak menonton Incredibles 2, pastikan untuk tidak terlambat memasuki ruang pemutaran. Ada sebuah film pendek berjudul Bao sebelum film utama yang akan membuatmu ingin memberikan pelukan hangat kepada ibu tercinta. Kalau ini, buagus!

Outstanding (4/5)

Sabtu, 02 Desember 2017

REVIEW : COCO

REVIEW : COCO


“Never forget how much your family loves you.” 

Melalui Inside Out (2015) yang amat inovatif baik dari sisi cerita maupun visual dan Finding Dory (2016) juga bisa dikatakan sebagai sekuel yang baik, Pixar membuktikan bahwa mereka masih mempunyai sentuhan magis. Namun kehadiran The Good Dinosaur (2016) dan Cars 3 (2017) yang kurang mampu memenuhi ekspektasi – untuk ukuran film kreasi Pixar, keduanya terhitung medioker – lagi-lagi menyurutkan harapan bahwa studio animasi terbesar di dunia ini masih bisa diandalkan. Apakah mungkin keajaiban ide dan presentasi yang ditawarkan oleh Inside Out bukan sebatas keberuntungan belaka? Bisa jadi memang sebatas keberuntungan. Itulah mengapa saya tidak terlalu meyakini produk terbaru mereka, Coco, yang guliran kisahnya didasarkan pada perayaan tahunan di Meksiko, Dia de Muertos (pada hari ini dipercaya mereka yang sudah tiada kembali ke dunia untuk mengunjungi sanak saudara yang masih hidup), sekaligus sedikit banyak mengingatkan ke The Book of Life (2014) yang mempunyai fondasi kisah senada. Jika ada yang kemudian membuat hati ini tergerak untuk menyimak Coco, maka itu adalah rasa ingin tahu terhadap bagaimana Pixar bermain-main dengan kultur Meksiko serta keterlibatan Lee Unkrich (sutradara film favorit saya, Toy Story 3) di kursi penyutradaraan. Memboyong sikap skeptisisme ke dalam gedung bioskop, tanpa disangka-sangka saya mendapatkan kejutan sangat manis dari Coco

Karakter utama dalam Coco adalah seorang bocah berusia 12 tahun bernama Miguel Rivera (Anthony Gonzalez) yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga pembuat sepatu serta mengharamkan permainan musik secara turun temurun. Larangan bermusik ini mencuat usai nenek canggah Miguel yang telah dikaruniai seorang putri bernama Coco (Ana Ofelia Murguia) ditelantarkan begitu saja oleh sang suami yang pergi berkelana demi menggapai mimpinya sebagai seorang musisi. Alhasil, Miguel yang memiliki bakat besar dalam hal memainkan alat musik serta berdendang ria pun mau tak mau mesti menjalani passion-nya ini secara sembunyi-sembunyi dan tidak pernah mengetahui identitas sebenarnya dari sang kakek canggah yang telah dihempaskan dari silsilah keluarga. Konflik internal dalam keluarga Rivera ini mencapai puncaknya pada perayaan Dia de Muertos kala Miguel mencoba untuk membuktikan kepada anggota keluarganya bahwa tidak ada yang salah dengan musik dan dia berupaya untuk berpartisipasi dalam kompetisi lokal. Keputusan Miguel yang membuat berang sang nenek (Renee Victor) sampai-sampai gitar miliknya dipatahkan ini membawa si bocah pada tindakan nekat, yakni mengambil gitar milik penyanyi legendaris Ernesto de la Cruz (Benjamin Bratt) di makamnya. Tindakan nekat tersebut seketika menghantarkan Miguel memasuki Dunia Orang Mati dan mempertemukannya dengan para leluhurnya.


Dibandingkan rekan-rekan sejawatnya sesama pembuat film animasi, Pixar memang bisa dibilang berada di level yang berbeda terutama dalam kaitannya memperhatikan detil-detil rumit dalam pembuatan animasinya sehingga terlihat amat nyata di mata penonton. Tengok saja bagaimana mereka mengkreasi helai bulu Sulley dalam Monsters University (2013), ekosistem bahari pada Finding Dory, atau beragam jenis mobil di Cars 3. Menakjubkan. Coco sebagai rilisan terbaru mereka pun tidak jauh berbeda. Sedari menit-menit pembuka, Coco telah membuat diri ini terperangah dengan keajaiban visualnya yang tergarap mendetail. Penggambaran sudut-sudut desa yang menjadi kampung halaman keluarga Rivera terlihat seperti dicuplik dari rekaman gambar yang diambil langsung di lokasi ketimbang rekaan para animator menggunakan komputer, kerutan-kerutan yang menghiasi kulit wajah nenek Coco, potongan adegan film klasik yang dibintangi Ernesto di televisi, sampai kelenturan jari jemari Miguel kala memetik senar gitar. Ini semua diperoleh, bahkan sebelum si protagonis menjejakkan kaki di Dunia Orang Mati yang menghadirkan tampilan visual yang lebih gila dan inovatif. Sulit untuk tidak berdecak kagum saat kamu melihat apa yang bisa diperbuat oleh para tengkorak dalam gerak langkahnya dan panorama penuh warna yang ditawarkan di Dunia Orang Mati. 

Bagusnya, Coco enggan untuk mengorbankan guliran pengisahannya demi mencapai visual yang berada di kelas premium itu. Racikan kisah dari Unkrich dan Adrian Molina yang mengusung tema utama seputar kematian serta keluarga dengan pendekatan yang cenderung riang (sehingga bisa dikudap oleh penonton cilik) sanggup menempatkan penonton Coco dalam tiga fase emosi seperti bersemangat, tertawa, hingga tersedu-sedu. Tiga fase emosi yang sukar dijumpai saat menyaksikan The Good Dinosaur maupun Cars 3 tempo hari. Fase bersemangat dipantik oleh guliran kisah petualangan Miguel menyusuri Dunia Orang Mati demi menjumpai sang idola, Ernesto, dan upaya para leluhurnya untuk membawanya pulang ke Dunia Orang Hidup yang dipenuhi lika-liku dalam prosesnya. Fase tertawa muncul berkat humor-humor kocak yang menyertai perjalanan Miguel, terutama dari Hector (Gael Garcia Bernal) yang membantunya melacak keberadaan Ernesto. Dan fase tersedu-sedu bersumber dari pesan klasik namun tetap relevan yang disodorkan oleh Coco; tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain keluarga. Bangunan karakter yang mudah untuk diberikan simpati (penonton secara sukarela memberi dukungan penuh kepada Miguel untuk menggapai mimpinya) membuat setiap emosi yang tersemat dalam sejumlah momen dapat tersalurkan seperti semestinya. Kemampuan Coco untuk memanjakan mata penonton melalui visual dan membuai hati melalui tuturan kisahnya ini menjadi bukti bahwa Pixar memang masih belum kehilangan sentuhan magisnya sama sekali. Warbiyasak!

Note : Jangan datang terlambat karena sebelum film dimulai, terdapat sebuah film pendek bertema Natal yang menampilkan karakter-karakter dari Frozen berjudul Olaf's Frozen Adventure.

Outstanding (4/5)


Sabtu, 12 Agustus 2017

REVIEW : THE EMOJI MOVIE

REVIEW : THE EMOJI MOVIE


“My feelings are huge. Maybe I'm meant to have more than just one emotion! I have so much more.” 

Kita telah melihat bagaimana riuhnya interaksi antar mainan saat ditinggal pergi sang majikan dalam trilogi Toy Story. Kita telah menyaksikan bagaimana serunya petualangan mengarungi dunia arcade game melalui Wreck-It Ralph. Dan kita juga telah menjadi saksi bagaimana peliknya pola kerja para emosi kala menjalankan tugasnya dalam tubuh manusia lewat Inside Out. Lalu, kapan kita akan mengintip kisah belakang layar para emoji di ponsel cerdas yang jelas mempunyai kontribusi penting atas kesuksesan atau kegagalan tersampaikannya suatu pesan teks? Ternyata, tidak membutuhkan waktu lama bagi petinggi studio di Hollywood untuk merealisasikannya. Menyadari bahwa fenomena penggunaan emoji di kalangan generasi milenial kian merebak dan terinspirasi dari kesuksesan yang direngkuh Disney/Pixar, Sony Pictures Animation pun mengajukan konsep kurang lebih senada yang tak kalah ambisius mengenai dunia para emoji di dalam sebuah aplikasi ponsel melalui karya terbaru mereka bertajuk The Emoji Movie. Ditunjuk untuk mengomandoi proyek animasi kedelapan Sony yakni Tony Leondis yang sebelumnya mengarahkan Lilo & Stitch 2 dan Igor

Protagonis utama dalam The Emoji Movie adalah sebuah emoji berwarna kuning yang mewakili ekspresi ‘meh’ bernama Gene (disuarakan oleh T.J. Miller). Tidak seperti emoji lain di Textopolis – sebuah kota digital dalam suatu aplikasi perpesanan di ponsel cerdas milik seorang remaja usia belasan bernama Alex (Jake T. Austin) – yang merepresentasikan satu ekspresi saja, Gene dapat menunjukkan berbagai macam ekspresi seperti bahagia, sedih, sampai jatuh cinta. Kelebihan yang dimiliki Gene ini nyatanya dianggap sebagai malfungsi bagi sang pemimpin, Smiler (Maya Rudolph), lantaran Gene tanpa sengaja memasang ekspresi keliru ketika dipilih Alex untuk membalas pesan kepada gadis yang ditaksirnya. Kekacauan ini menyebabkan Smiler naik pitam sehingga menitahkan sejumlah bot antivirus untuk menghapus Gene dari aplikasi. Mengetahui keselamatannya terancam, Gene pun melarikan diri ke luar aplikasi perpesanan dengan harapan menemukan cara yang dapat mengubahnya menjadi ‘meh’ sejati. Di tengah-tengah pelarian, Gene bertemu dengan emoji tos yang terbuang, Hi-5 (James Corden), dan pemecah kode handal, Jailbreak (Anna Faris), yang bersedia mengulurkan tangan untuk membantu Gene mengubah jati dirinya.


Konsep yang diusung The Emoji Movie sebetulnya bisa dibilang unik dan menarik. Jika Wreck-It Ralph membawa kita memasuki dunia di dalam kotak arcade game dan Inside Out memandu kita menyelami otak manusia, The Emoji Movie mengajak serta penonton untuk menengok kehidupan di dalam suatu ponsel cerdas dimana masing-masing aplikasi mempunyai komunitasnya sendiri-sendiri. Sayangnya, high-concept ini tidak dibarengi dengan naskah mumpuni yang mampu menjerat ketertarikan penonton dari berbagai lapisan usia secara penuh. Plotnya berikut pesan positifnya yang masih berkisar pada pencarian jati diri, persahabatan, serta penerimaan tak pernah digali lebih mendalam dan sekadar berada di permukaan saja. Selama durasi berlangsung, jangankan Hi-5 dan Jailbreak, kita tidak benar-benar memahami betul sosok Gene sehingga agak menyulitkan penonton untuk membentuk ikatan sekaligus memberikan dukungan penuh terhadap perjuangannya. Yang lantas memunculkan ketertarikan dalam mengikuti petualangan tiga karakter terpinggirkan ini adalah bagaimana si pembuat film menggambarkan universe di dalam ponsel Alex yang dikategorisasi berdasarkan aplikasi. Dalam setiap aplikasi, senantiasa muncul tantangan dengan tingkat kesulitan beragam yang mesti ditaklukkan oleh Gene, Hi-5, dan Jailbreak. 

Dari tantangan inilah, The Emoji Movie menunjukkan daya pikatnya. Ada kesenangan tersendiri menyaksikan bagaimana ketiga protagonis ini berjibaku dengan tantangan menari dalam permainan Just Dance, bagaimana mereka berjumpa dengan virus-virus perusak di aplikasi tersembunyi, bagaimana mereka mengatasi arus yang mengikuti irama musik selama berlayar mengarungi Spotify, dan bagaimana Gene serta kedua teman barunya berupaya menemukan kata sandi yang tepat untuk menembus firewall. Ya, pada dasarnya The Emoji Movie masih berada di level bisa dinikmati dan tidak senista seperti dibilang para kritikus di luar sana yang menghujatnya habis-habisan seolah-olah film ini mempunyai kualitas lebih memprihatinkan ketimbang Happily N’Ever After (2006) atau Hoodwinked Too! (2011). Paling tidak, visual dalam The Emoji Movie terhitung cukup imajinatif dan beberapa lontaran humornya masih ampuh mengundang tawa renyah sekalipun plotnya kekurangan emosi serta sama sekali tidak bergigi untuk ukuran film berkonsep tinggi. Penonton cilik yang menjadi target utama The Emoji Movie pun kemungkinan besar masih akan terhibur oleh pilihan warnanya yang cerah ceria serta animasinya yang hiperaktif.

Note : The Emoji Movie memiliki sebuah adegan tambahan di pertengahan credit title.

Acceptable (3/5)


Selasa, 11 Juli 2017

REVIEW : DESPICABLE ME 3

REVIEW : DESPICABLE ME 3


“Face it, Gru. Villainy is in your blood!” 

Saat ini, siapa sih yang tidak mengenal serombongan makhluk cilik berwarna kuning penggemar pisang bernama Minions? Semenjak diperkenalkan pertama kali lewat Despicable Me (2010), popularitasnya langsung membumbung tinggi sampai-sampai studio animasi yang mencetuskannya, Illumination Entertainment, merasa perlu untuk menggunakannya sebagai logo studio saking ikoniknya dan mempersilahkan krucil-krucil menggemaskan nan menyebalkan ini untuk berlaga di film solo perdana mereka, Minions (2015). Meski respon dari para kritikus kurang begitu baik, khalayak ramai masih menyambutnya dengan amat antusias yang terbukti lewat torehan dollar mencapai $1 miliar dari peredaran seluruh dunia dan penjualan merchandise yang laris manis. Menilik betapa Minion masih menjadi aset menguntungkan bagi studio, maka tidak tanggung-tanggung dua judul dalam franchise Despicable Me pun dipersiapkan; pertama, jilid ketiga dari Despicable Me (2017), dan kedua, sekuel untuk Minions (2020). Masih mempertahankan tim yang sama dengan pendahulu, Despicable Me 3 dilepas sembari berharap-harap cemas film dapat mengulangi kesuksesan instalmen-instalmen sebelumnya dan terlepas dari kutukan seri ketiga dalam suatu trilogi yang umumnya mengalami kemerosotan kualitas maupun kuantitas. Mampukah? 

Dalam Despicable Me 3, Gru (disuarakan oleh Steve Carell) yang kini telah menikahi rekannya dalam Liga Anti Penjahat, Lucy (Kristen Wiig), ditugaskan untuk menggagalkan aksi pencurian berlian dari seorang mantan aktor cilik era 80-an yang bertransformasi menjadi penjahat berbahaya, Balthazar Bratt (Trey Parker). Ketidakberhasilan Grucy – akronim untuk Gru dan Lucy – dalam menghentikan sepak terjang Balthazar berujung pada pemecatan. Di tengah upaya mencerna kenyataan yang baru saja dihadapinya, Gru dikejutkan oleh datangnya berita bahwa sebagian besar Minion enggan mengabdi lagi padanya, lalu ayah kandung yang tidak pernah ditemuinya telah berpulang dan dia memiliki saudara kembar bernama Dru. Ditemani oleh Lucy bersama dengan ketiga putri ciliknya; Margo (Miranda Cosgrove), Edith (Dana Gaier), dan Agnes (Nev Scharrel), serta dua Minion yang masih setia kepadanya, Gru pun bertolak ke Freedonia demi menemui saudara kembarnya. Kehadiran Gru disambut gegap gempita oleh Dru yang berharap dapat memperoleh pelatihan untuk menjadi supervillain dari Gru. Tidak ingin mengecewakan Dru, Gru yang sejatinya telah insyaf pun mengajaknya terlibat dalam misi merebut kembali berlian dari markas Balthazar guna menyelamatkan pekerjaannya – sekaligus dunia, tentu saja – yang dikamuflasekan olehnya seolah-olah ini adalah misi pencurian dua penjahat berbahaya. 


Menapaki seri ketiga, nyatanya franchise Despicable Me mengalami apa yang dikhawatirkan banyak pihak: pesona yang mengendur. Apabila disandingkan dengan dua jilid awal, daya pikatnya telah mengalami penurunan. Salah satu faktor penyebabnya adalah jalinan pengisahan yang terlalu banyak mau. Ketimbang menempatkan fokus cerita sebatas pada pengejaran Balthazar, si pembuat film turut memunculkan cabang-cabang plot lain yang mengulik soal pertemuan Gru bersama saudara kembarnya, Minions yang membangkang dari Gru lalu berkelana dengan harapan dapat menemukan majikan baru, Agnes yang mempercayai bahwa ada unicorn di hutan Freedonia, sampai upaya Lucy untuk menyesuaikan diri menjadi seorang ibu yang baik bagi ketiga putrinya. Terasa saling tumpang tindih, penuh sesak dan berdampak pada sebagian besar subplot yang terhidang kurang matang ke penonton. Tahu-tahu sudah selesai begitu saja tanpa meninggalkan kesan lebih mendalam. Padahal subplot soal Lucy sebagai ibu baru berpotensi memberi sentuhan hangat pada film yang sekali ini urung hadir demi memberikan ruang untuk kegilaan demi kegilaan yang rasa-rasanya memang diingini sebagian besar penonton – utamanya penonton cilik. Bahkan sisi kebapakan Gru yang biasanya memperoleh porsi tersendiri pun agak dikesampingkan dan hanya menyisakan momen berkesan seperti Gru memberi kecupan selamat tidur pada si bungsu Agnes di ranjang tinggi yang cukup manis. 

Berita baik dari agak berkurangnya sentuhan emosional dalam Despicable Me 3 adalah duo Pierre Coffin dan Kyle Balda menggenjot lawakannya. Memang tidak semuanya mengenai sasaran, banyak pula yang berakhir garing dan mengesalkan terutama di bagian Dru. Namun ketika mencapai yang diingini, bisa benar-benar lucu. Kelucuan paling menonjok dalam film dipersembahkan oleh siapa lagi kalau bukan para Minion. Keputusan tepat mereduksi jatah tampil makhluk-makhluk kuning ini karena justru memperkuat kerinduan sekaligus mengurangi kejengkelan kita pada mereka. Sekalinya Minion muncul, derai-derai tawa terdengar riuh menggema di gedung bioskop semacam ditampakkan dalam adegan di penjara yang menggelikan dan kompetisi menyanyi yang berujung kacau. Disamping mereka, Gru dan Balthazar ikut berkontribusi agar unsur hiburan di Despicable Me 3 terjaga konstan. Lewat sosok Balthazar yang sayangnya kurang memperoleh penggalian karakter ini, penonton mendapatkan banyolan dengan referensi budaya populer cukup pekat yang sebagian besar diantaranya berasal dari era 1980-an. Iringan lagu-lagu legendaris dari Michael Jackson, Madonna, a-ha, sampai Olivia Newton John membantu menginjeksikan sisi fun pada film yang gagal diangkat oleh tembang-tembang anyar gubahan Pharrell Williams yang sekalipun enak buat dinikmati namun mudah dilupakan. Ya, enak dinikmati namun mudah dilupakan seperti halnya Despicable Me 3 itu sendiri.

Acceptable (3/5)


Minggu, 18 Juni 2017

REVIEW : IN THIS CORNER OF THE WORLD

REVIEW : IN THIS CORNER OF THE WORLD


“Thank you for finding me in this corner of the world.” 

Pada tanggal 6 Agustus 1945, sebuah bom atom uranium jenis bedil yang dikenal dengan nama Little Boy dijatuhkan oleh Amerika Serikat di kota Hiroshima, Jepang. Pengeboman yang menelan ratusan ribu korban jiwa tersebut – sebagian besar diantaranya adalah masyarakat sipil – memberikan pukulan telak bagi Jepang sehingga tidak berselang lama mereka pun menyerah kepada pihak sekutu yang secara otomatis mengakhiri berlangsungnya Perang Dunia II. Inilah salah satu peristiwa penting dan berpengaruh dalam sejarah umat manusia. Saking pentingnya, industri perfilman di Jepang pun tak ingin kelewatan untuk mengabadikannya melalui bahasa audio visual, baik berkenaan langsung dengan sejarahnya atau sekadar menjumputnya sebagai latar belakang penggerak kisah seperti dilakukan oleh film animasi pemenang beragam penghargaan berjudul In this Corner of the World (atau berjudul asli Kono Sekai no Katasumi ni). Ya, film arahan Sunao Katabuchi (Princess Arete, Mai Mai Miracle) yang disarikan dari manga bertajuk serupa ini bukanlah sebentuk rekonstruksi sejarah dengan alur kisah maupun karakter-karakter yang bisa dijumpai di buku teks melainkan sebentuk hikayat dengan bangunan cerita fiktif yang mencoba menawarkan perspektif perihal impak perang terhadap kemanusiaan. 

Karakter utama yang dimanfaatkan In this Corner of the World untuk menggulirkan roda penceritaan adalah Suzu (disuarakan oleh Non), seorang perempuan polos dan kikuk yang menaruh minat tinggi pada menggambar. Dipaparkan secara episodik, penonton mengikuti kehidupan Suzu sedari dia masih kecil dan tinggal bersama keluarganya di Eba, Hiroshima, pada tahun 1930-an hingga tumbuh menjadi perempuan dewasa dan meninggalkan kampung halamannya untuk tinggal bersama keluarga suaminya di Kure yang menjadi markas utama bagi Angkatan Laut Jepang semasa Perang Pasifik pada tahun 1940-an. Kepindahannya ke Kure sendiri tidak pernah diantisipasinya karena sebelum berlangsungnya prosesi pernikahan di usianya yang ke-18, Suzu tidak mengenal pria yang tiba-tiba datang untuk melamarnya, Shusaku (Yoshimasa Hosoya). Segalanya berlangsung begitu cepat dan mendadak bagi Suzu sehingga belum sempat dia mengatasi keterkejutannya, sang karakter utama harus sesegera mungkin beradaptasi dengan rutinitas barunya sebagai ibu rumah tangga. Tidak mudah bagi Suzu untuk menjalani kehidupan barunya ini terlebih dengan adanya pembatasan jatah ransum yang memaksanya berpikir kreatif agar keluarganya dapat makan secara layak dan kehadiran kakak iparnya, Keiko (Minori Omi), yang kerap bersikap dingin kepadanya sekalipun sang putri, Harumi (Natsuki Inaba), menjalin hubungan akrab dengan Suzu. 

Dalam menghantarkan kisahnya yang berbincang soal cinta, kemanusiaan, dan harapan di tengah-tengah berkecamuknya perang akbar, In this Corner of the World mengambil pendekatan berbeda dengan sejawatnya, Grave of the Fireflies (1988, Ghibli), yang poros utama kisahnya berada di rentang waktu sama. Alih-alih bermuram durja – meletakkan fokus pada kepedihan hidup tak terperi dari si karakter utama – Sunao Katabuchi memilih untuk melantunkannya dengan nada penceritaan yang bertolak belakang. Tidak meletup-letup, optimis, serta positif dalam memandang kehidupan. Memang sih Suzu kerap dinaungi ketidakberuntungan dalam hidupnya; dari cinta tak sampai, perjodohan, kakak ipar yang jutek bukan main, stok makanan serba terbatas, sampai peperangan yang merenggut kebebasan maupun orang-orang yang dikasihinya, namun ketimbang menggambarkannya secara dramatis sarat air mata, Sunao mentranslasinya ke bahasa gambar secara tenang mengikuti cara Suzu menyikapi persoalannya dengan kepala dingin. Alhasil, In this Corner of the World tidak menjelma sebagai tontonan ‘horor’ (baca: menguras air mata) seperti kerap dibayangkan banyak pihak dan hentakan-hentakan emosi dalam film pun diminimalisir sedemikian rupa sampai pesawat Amerika Serikat menjatuhkan bomnya. Keputusan untuk tidak mengumbar emosi, sedikit banyak berdampak pada alur yang mengalun cenderung tenang-tenang menghanyutkan ala film berjalur slice of life dan bisa jadi akan terasa menjemukan bagi sebagian penonton.

Mengingat kehidupan Suzu sebagai ibu rumah tangga yang repetitif serta jauh dari kata hingar bingar kecuali dari suara gemuruh pesawat perang dan ledakan bom di sekitar tempat tinggalnya maka pilihan si pembuat film dalam menuturkan kisah ini sangat bisa dipahami. Penonton dimaksudkan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Suzu sehingga ada ikatan emosi yang terbentuk antara penonton dengan sang protagonis utama maupun beberapa karakter kunci yang memiliki peranan dalam kehidupannya. Menariknya, Suzu bukanlah sesosok karakter yang lempeng apalagi hambar. Dia terlihat sangat mudah disukai dengan penggambaran pembawaan yang periang, kikuk, dan agak ceroboh sampai-sampai kerap memantik kejadian-kejadian konyol di sekelilingnya seperti tanpa sengaja menyebabkan teman-temannya bergelimpangan atau salah dikira sebagai mata-mata karena menggambar armada angkatan laut Jepang. Rentetan humor-humor segar yang efektif dalam menghadirkan derai tawa ini mewarnai dua pertiga awal durasi yang hampir tidak mempunyai momen dramatik mengikuti garis konflik yang acapkali berada di posisi horizontal. In this Corner of the World mulai menunjukkan geliatnya dari sisi emosi ketika salah satu karakter kunci tewas akibat terkena bom waktu. Keceriaan yang menaungi tahap sebelumnya perlahan mengabur – walau tidak sepenuhnya – dan kemuraman menyelinap masuk. 

Sedari titik ini, kita bisa melihat seberapa besar impak perang terhadap kemanusiaan. Sikap optimis dan positif yang coba dipromosikan oleh In this Corner of the World juga semakin menunjukkan taringnya disini. Bagaimana para karakter bertindak dalam menyikapi duka yang menyelimuti, bagaimana cinta, pengampunan dan kebaikan hati dapat membantu memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh peperangan sekaligus memunculkan harapan. Meski bukan berarti Suzu tidak pernah diperlihatkan terpuruk, namun dia secara cepat mampu bangkit begitu pula beberapa karakter penting yang berhasil selamat. Salah satunya bahkan sempat berujar kepada Suzu, “tidak ada gunanya menangis. Kamu hanya akan membuang-buang garam.” Ucapan yang singkat pula menampar bagi si protagonis, utamanya di kala dirundung kesulitan memperoleh bahan pangan. Tapi penonton tak perlu merasa risau akan dihalang-halangi untuk meluapkan emosi karena seperti disinggung di penghujung paragraf sebelumnya, babak ketiga merupakan awal mula bermunculannya momen-momen merobek hati. 

Kendati (lagi-lagi) tidak seperti Grave of the Fireflies yang sudah berada di tahapan tanpa ampun menghujam emosi, keberadaannya dalam In this Corner of the World akan tetap mengusik nuranimu. Tengok saja pada adegan seorang pria dengan tubuh terpanggang, orang-orang yang kebingungan mencari keberadaan sanak saudara selepas Hiroshima luluh lantak oleh bom, atau seorang bocah kecil yang kehilangan ibunya. Sulit untuk tidak menitikkan air mata, mengutuk keras peperangan, seraya berkontemplasi untuk menemukan jawab atas tanya, “mengapa sih harus ada peperangan? Adakah urgensi mendesak dibaliknya atau sekadar ajang unjuk ego?.” Pada akhirnya, In this Corner of the World adalah sebuah hikayat memikat mengenai tragedi yang dihamparkan secara indah berkat goresan-goresan gambar yang sederhana namun amat indah, jenaka mengikuti cukup tingginya asupan humor tatkala menyoroti kehidupan rumah tangga Suzu, serta tetap efektif dalam mempermainkan emosi ketika akhirnya keluarga Suzu mulai benar-benar terkena dampak dari peperangan yang sebenarnya sama sekali tidak mereka pahami.

Outstanding (4/5)


Selasa, 09 Mei 2017

REVIEW : A SILENT VOICE

REVIEW : A SILENT VOICE


Didasarkan pada manga bergenre slice of life berbumbu romansa rekaan Yoshitoki Oima, A Silent Voice (Koe no Katachi) menjual dirinya sebagai film romansa untuk segmen young adult. Yang terbersit pertama di pikiran, film ini mungkin akan semanis dan semengharu biru Your Name yang telah berkontribusi dalam menetapkan standar tinggi bagi film anime asal Jepang. Mengingat materi promosinya memunculkan kesan demikian, tentu ekspektasi khalayak ramai tersebut tidak bisa disalahkan. Satu hal perlu diluruskan, A Silent Voice gubahan sutradara perempuan Naoko Yamada (K-On!) ini tidak semata-mata mengedepankan kisah kasih sepasang remaja sebagai jualan utamanya. Malahan sebenarnya, percintaan bukanlah bahan pokok buat dikulik. Topik pembahasan yang dikedepankan oleh A Silent Voice justru terbilang sensitif meliputi perundungan, kecemasan sosial, sampai bunuh diri berlatar dunia sekolah. Ya, ketimbang Your Name, A Silent Voice justru lebih dekat dengan film rilisan tahun 2010, Colorful, yang mengapungkan materi kurang lebih senada hanya saja tanpa mencelupkan elemen fantasi dan lebih realistis dalam bertutur. 

Karakter inti dari film adalah remaja laki-laki usia belasan bernama Shoya Ishida (Miyu Irino). Semasa duduk di bangku sekolah dasar, Ishida mempraktikkan tindak bullying terhadap seorang murid baru yang tuli, Shoko Nishimiya (Saori Hayami). Meski ditindas setiap hari, Nishimiya enggan melawan dan justru kerap melempar senyuman seraya mengucap “maaf”. Mengetahui sang korban tidak memberikan respon keras, Ishida dan kawan-kawannya justru makin getol menindas Nishimiya sampai kemudian tindakan mereka melampaui batas dan ibu Nishimiya pun memutuskan memindahkan putrinya ke sekolah lain. Semenjak kepergian Nishimiya, keadaan berbalik arah ditandai dengan status Ishida yang mengalami degradasi: dari penindas menjadi yang tertindas. Merasakan sebagai korban perundungan, Ishida menyesali perbuatannya dan memilih menjadi outsider di jenjang sekolah berikutnya. Kehidupan Ishida yang erat dengan ‘kesepian’ serta ‘penyesalan’ perlahan mulai berubah tatkala menapaki bangku SMA. Takdir mempertemukannya kembali bersama Nishimiya. Ishida menyadari bahwa perjumpaannya dengan Nishimiya merupakan kesempatan terbaik baginya untuk berdamai dengan masa lalu yang selama ini terus menghantui.


Sejalan dengan materi kupasannya, A Silent Voice pun berceloteh secara serius. Bisa dikata, mendekati depresif. Bukan perkara mudah menengok Nishimiya menghadapi perundungan di sekolahnya tanpa ada seorang kawan pun yang berpihak kepadanya – meski belakangan dia memiliki kawan baik bernama Miyoko Sahara (Yui Ishikawa) yang bersedia mempelajari bahasa isyarat. Ketika Nishimiya menghilang, lalu target berpindah ke Ishida, nada penceritaan pun kian muram. Akibat gangguan yang diterimanya, Ishida memilih jalur antisosial. Mengikuti materi sumbernya, si pembuat film pun menempelkan sebentuk silang besar menyerupai huruf X di wajah teman-teman sekolah Ishida yang mengisyaratkan adanya ketidakpercayaan atau keengganan si karakter utama berinteraksi lebih intensif dengan mereka. Kemuraman lantas sedikit mencair menyusul kemunculan Tomohiro Nagatsuka (Kensho Ono) yang memproklamirkan dirinya sebagai sahabat Ishida usai diberi bantuan. Nagatsuka memegang dua peranan penting dalam film; pertama, memberi asupan humor, dan kedua, mendorong Ishida untuk bersosialisasi serta membuka diri pada jalinan pertemanan yang selama ini dipandangnya sinis. Sampai pada titik ini, meski mood kerap diombang-ambingkan, film sejatinya masih enak untuk dikudap. 

Persoalan-persoalan pada film mulai mencuat ketika sejumlah karakter baru mulai hilir mudik memasuki arena penceritaan seiring kian terbukanya Ishida. Disamping Ishida, karakter-karakter lain di A Silent Voice tak pernah memperoleh jatah waktu memadai untuk memperkenalkan diri. Penonton hanya mengenal Sahara, Nagatsuka, kemudian ada pula Kawai (Megumi Han), Yuzuru (Aoi Yuki), Mashiba (Toshiyuki Toyonaga), serta Ueno (Yuki Kaneko) sambil lalu. Bahkan, Nishimiya pun sejatinya memperoleh perlakuan serupa. Tokoh-tokoh ini dikonstruksi dalam satu dimensi saja yang membuatnya berasa hampa. Sosok Nishimiya kelewat putih bersih, sementara Ueno berada di sisi seberangnya dalam tingkatan ekstrim pula. Lantaran tidak mampu terhubung kepada barisan karakter ini, rentetan konflik yang menyertainya pun sukar menjerat dan durasi yang merentang sampai 129 menit hanya menjadikannya kian melelahkan. Yang lantas menghindarkan A Silent Voice untuk bergabung dengan ‘film mudah terlupakan’ adalah pesan penting usungannya yang masih sanggup tersampaikan secara baik dan penutup manis nan hangatnya yang paling tidak mampu sedikit mengobati rasa lelah akibat tuturan berlarut-larut kurang mengikatnya.

Acceptable (3/5)


Rabu, 19 April 2017

Scooby-Doo! and WWE: Curse of the Speed Demon (2016)

Scooby-Doo! and WWE: Curse of the Speed Demon (2016)

Ini pedal ke logam sebagai Scooby-Doo, Shaggy dan tim geng dengan superstar WWE dalam hi-oktan, film asli semua-baru! Ketika Scooby dan Misteri Inc mengunjungi off-road
LK21 Unduh
Artis : Frank Welker, Grey DeLisle, Matthew LillardNegara : USARilis : 9 Agustus 2016Kategori : Animasi, Petualangan, KomediDurasi : 1 jam 32 menit ( 110 mb )IMDb : tt4196868

Sedang Proses...

Jumat, 14 April 2017

Teen Titans: The Judas Contract (2017)

Teen Titans: The Judas Contract (2017)

Tara Markov adalah seorang gadis yang memiliki kuasa atas bumi dan batu; dia juga lebih dari dia tampaknya. Adalah remaja terbaru Titan sekutu atau ancaman? Dan apa rencana tentara bayaran Deathstroke untuk the Titans?
LK21 Unduh
Artis : Stuart Allan, Jake T. Austin, Taissa Farmiga Negara : USARilis : 4 April 2017Kategori : Animasi, Aksi, PetualanganDurasi : 1 jam 24 menit ( 167 mb )IMDb : tt6315800

Sedang Proses...