Tampilkan postingan dengan label Mark Wahlberg. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mark Wahlberg. Tampilkan semua postingan

Jumat, 30 Juni 2017

TRANSFORMERS : THE LAST KNIGHT (2017) REVIEW : ‘Bumbu’ Lain
dalam 'Makanan Cepat Saji'

TRANSFORMERS : THE LAST KNIGHT (2017) REVIEW : ‘Bumbu’ Lain dalam 'Makanan Cepat Saji'

Michael Bay datang lagi menawarkan “makanan junk food” kepada penontonnya. Transformers adalah sebuah franchisepenuh visual efek spektakuler yang terlihat enak disantap di luar, tetapi sebenarnya tidak sehat. Tetapi, meski terlihat tak sehat, film-film seperti ini adalah film yang akan dinantikan dan selalu menjadi favorit bagi semua orang yang ingin hiburan secara instan. Maka, tahun ini muncul sebuah seri kelima dari seri ini.

Seri kelima ini pada awalnya digadang menjadi seri terakhir dari Transformers. Tetapi, Paramount Pictures telah memberikan lampu hijau untuk seri ini agar berlanjut menjadi 12 seri selanjutnya. Sehingga bagi penonton yang tak suka dengan seri dari film ini,  taruh impian anda untuk menyaksikan seri terakhir dari Transformers. Karena Transformers : The Last Knights adalah awal mula dari babak baru yang akan dibuat oleh Michael Bay beserta Paramount untuk lagi-lagi mengeruk finansial penontonnya agar selalu menikmati “makanan cepat saji” ala mereka.

Transformers : The Last Knightmelanjutkan linimasa cerita yang telah dibangun ulang lewat Age of Extinction. Dengan begitu, tokoh utama di dalam film Transformers kali ini masih dipegang oleh Mark Wahlberg dan juga dipenuhi dengan berbagai macam aktor-aktris baru. Tetapi, meskipun cerita telah diulang menjadi sesuatu yang baru, seri ini tak menunjukkan perubahan lain selain visual efeknya yang semakin mengagumkan. Tetapi, beruntungnya Transformers : The Last Knight kali ini hanya berdurasi 150 menit –hal itu berarti 15 menit lebih pendek daripada film sebelumnya. 


Tetapi, dengan durasi yang lebih pendek 15 menit, tak membuat Transformers : The Last Knight memiliki bangunan cerita yang lebih baik. Cerita di Transformers : The Last Knight ini berusaha memiliki kerumitan daripada film sebelumnya. Bagaimana Optimus Prime yang kembali ke planetnya, Cybertron, dikuasai oleh Quintessa. Optimus Prime pun diberi pengaruh oleh Quintessa untuk mengembalikan Cybertron seperti semula tetapi dengan cara menghancurkan planet bumi.

Sementara itu, Cade Yaeger (Mark Wahlberg) berusaha menenangkan konflik yang terjadi di bumi. Di mana Decepticon berusaha untuk mencari pedang legenda milik King Arthur yang sebelumnya telah diberi kekuatan oleh Autobot di masa itu dan menjadi pedang terkuat di bumi. Sehingga, Cade Yaeger bersama dengan teman-teman Autobot-nya berusaha untuk menghalang Decepticon menemukan pedang tersebut agar tak disalahgunakan. 


Akan ada banyak orang yang memberikan saran kepada penonton seri Transformers untuk tak begitu mempedulikan bagaimana plotnya bergerak. Nikmati saja setiap visual efek dan sekuens aksi menggelegar yang akan diberikan oleh Michael Bay di sepanjang film. Menetapkan ekspektasi seperti itu memang sedikit perlu, agar bisa menikmati film Transformers milik Michael Bay. Tetapi, ketika mengatur ekspektasi sedemikian rupa, Transformers : The Last Knight melenceng jauh dari bagaimana seri Transformers seperti biasanya.

Dengan cerita dan berbagai subplot seperti itu, Transformers : The Last Knight berusaha untuk memberikan pondasi cerita yang kuat. Hanya saja, dengan berbagai macam karakter, plot, dan cabang plotnya, Transformers : The Last Knightgagal dalam mengikat penontonnya dengan durasi 150 menit. Semuanya bercampur aduk menjadi satu, hingga menimbulkan kebingungan penonton untuk berusaha mengikuti apa yang dimau oleh Michael Bay di dalam Transformers : The Last Knight ini.  Cerita yang berbeda dan lebih rumit tak membuat Transformers : The Last Knightmemiliki performa yang kuat. 


Karakter dan plot hanyalah sebagai formalitas yang ada agar film ini memiliki atributnya sebagai sebuah film. Tetapi, di sepanjang 1 jam awal, Transformers : The Last Knight memiliki atmosfir layaknya video perkenalan sebuah wahana yang berusaha dipanjang-panjangkan. Lantas di satu jam selanjutnya, Transformers : The Last Knight tak lantas menjadi membaik. 1 jam selanjutnya, muncul konflik lain yang semakin membuat suasana film semakin riuh tetapi tak terkendali.

Setiap menit akan dikenalkan karakter baru, dengan begitu cabang plot cerita juga semakin bertambah. Hanya saja, Michael Bay tak bisa mengendalikan hal tersebut dengan baik. Dampaknya ada di dalam performa Transformers : The Last Knight yang terasa begitu acak untuk diterima oleh penontonnya. Kekacauan itu juga semakin diperkuat dengan penyuntingan yang tak bisa menemukan garis lurus untuk menyajikan cerita di dalam filmnya. Sehingga, penonton tak bisa menikmati apa yang berusaha disampaikan oleh Michael Bay di dalam seri terbarunya.

Meski sebenarnya film-film Transformers hanya mempedulikan efek visual, secara keselurahan Transformers : The Last Knight tak memberikan sesuatu yang akan menancap di ingatan penontonnya. Semuanya sudah pernah ada di film-film sebelumnya, bahkan bisa dibilang Transformers : The Last Knightmemiliki sedikit sekuens aksi, apalagi yang menancap di ingatan penonton. Tidak ada alternatif lain yang muncul dari segi efek visual yang menjadi kekuatan utama seri ini. 


Menentukan ekspektasi agar tak memikirkan plot cerita di seri-seri Transformers, nyatanya tak berlaku di seri terbarunya ini. Transformers : The Last Knight seperti sebuah makanan junk food yang sudah disukai oleh penontonnya dan berusaha memberikan ‘bumbu’ lain di dalamnya. Sehingga, konsumennya akan berusaha mengidentifikasi rasa lama yang terganggu dengan ‘bumbu’ barunya. Michael Bay berusaha memberikan konsentrasi plot cerita di dalam filmnya, tetapi juga tak bisa melepaskan pentingnya efek visual yang biasanya jadi kekuatan seri ini. Sehingga dengan durasi sepanjang 150 menit, Transformers : The Last Knighttak bisa memiliki performa yang baik –dengan standar seperti biasanya. Belum lagi, penuturan ceritanya juga belum bisa efektif. Sayang sekali. 


Film ini dirilis dengan format yang khusus untuk IMAX 3D. Berikut adalah review dari format tiga dimensi dari film ini :

DEPTH 
 
Transformers : The Last Knight memiliki kualitas kedalaman yang bisa membuat penontonnya melihat mereka di balik kaca.

POP OUT 

Efek keluar dari layar di film Transformers : The Last Knight cukup memberikan sensasi menarik saat menonton.

Direkam menggunakan kamera IMAX 3D, maka tak ada alasan tak menyaksikan Transformers : The Last Knight di dalam format tiga dimensi. 

Minggu, 15 Januari 2017

REVIEW : PATRIOTS DAY

REVIEW : PATRIOTS DAY


“Welcome to Watertown, motherfuckers!” 

Hanya berselang tiga bulan sejak dilepasnya Deepwater Horizon – sebuah film berbasis peristiwa nyata mengenai kebakaran hebat pengeboran kilang minyak di lepas pantai – yang menandai kolaborasi kedua antara Peter Berg dengan ‘male muse’-nya, Mark Wahlberg, seusai Lone Survivor (2013) hadir film lain yang juga dicuplik dari kejadian penghias tajuk utama media-media Amerika Serikat beberapa waktu lampau yang sekali lagi (!) mempertemukan Berg bersama Wahlberg yakni Patriots Day. Didasarkan buku nonfiksi gubahan Casey Sherman dan Chris Wedge, Boston Strong, serta beberapa materi yang pernah ditayangkan oleh program televisi 60 Minutes, Patriots Day soroti tragedi pengeboman di Boston kala helatan tahunan Maraton Boston pada 2013 silam. Berbeda halnya dengan baik Lone Survivor yang luar biasa mencekam maupun Deepwater Horizon yang separuh awalnya cenderung lempeng jaya, Wahlberg tidak memerankan karakter betulan dalam Patriots Day. Sosok Tommy Saunders yang dimainkannya hanyalah tokoh bentukan untuk film yang terinspirasi dari sejumlah petugas-petugas kepolisian Boston. Keberadaan Tommy Saunders sendiri dimanfaatkan Berg sebagai ‘mata’ bagi penonton sekaligus demi menggenjot efek dramatis. 

Melalui Saunders, kita ikut merasakan, mengamati, serta menyelidiki kekacauan yang disebabkan oleh peristiwa pengeboman yang meminta tumbal tiga jiwa tersebut. Keterlibatan lebih jauh Saunders dalam menuntaskan kasus Tragedi Boston dimulai kala dirinya diminta bekerja sama dengan Agen Khusus FBI, Richard DesLauriers (Kevin Bacon), lantaran dianggap mengenal baik setiap sudut kota Boston. Berkat ketajaman daya ingatnya akan keberadaan CCTV, wajah kedua pelaku dapat teridentifikasi secara cepat dan identitas mereka, Tamerlan (Themo Melikidze) serta Dzhokhar (Alex Wolff), pun mengemuka beberapa saat setelahnya. Telah memiliki modal lebih dari cukup untuk melakukan penangkapan, sayangnya tidak semudah itu melacak keberadaan dua bersaudara tersebut. Tamerlan dan Dzhokhar yang sangat aktif mengikuti perkembangan berita lantas bergerak begitu pihak kepolisian berhasil mengendus identitas mereka. Ditengah-tengah pelarian yang melahirkan gesekan satu sama lain, keduanya berbuat blunder setelah memutuskan membajak mobil seorang mahasiswa. 

Bagi penonton yang getol mengikuti perkembangan berita pengeboman Boston – dari liputan di TKP sampai perburuan terhadap tersangka – yang ramai dibahas tiada habis-habisnya di beragam jenis media hampir empat tahun lalu, Patriots Day boleh jadi tidak memberikan informasi atau perspektif baru karena apa yang dipaparkannya merupakan rahasia umum. Bagaimana prosesnya, lalu bagaimana ujungnya telah dikupas secara menyeluruh oleh media. Daya tarik tersisa terletak pada cara Berg mepresentasikannya ke medium film. Baik gayanya merekonstruksi momen-momen memburu kedua tersangka, penekannya pada sisi humanis, sampai keleluasaannya untuk hadirkan suasana mencekam di TKP yang pastinya luput di pemberitaan sarat sensor. Dibumbui dengan dramatisasi disana sini, tentu masih ada sensasi berbeda kala menyimak Patriots Day sekalipun materinya amat familiar. Apalagi, kita tidak bisa melihat tubuh bersimbah darah, luka-luka menganga, sampai potongan-potongan tubuh menghiasi layar secara eksplisit saat kamera menjumpai korban-korban ledakan bom di pemberitaan televisi, bukan? Ya, muatan kekerasan yang eksplisit dalam Patriots Day memang cukup mengganggu utamanya jika kamu mudah ngilu atau mual, tapi tak bisa disangkal, ini menambah efek cekam untuk filmnya itu sendiri. 

Efek cekam akan semakin dirasa buat penonton yang tidak tahu menahu perihal pengeboman Boston atau sebatas tahu permukaannya saja. Dijlentrehkan menggunakan pendekatan prosedural, penonton mengikuti tahap demi tahap penyusunan strategi dari pihak kepolisian guna menangkap para pelaku dengan sesekali kita melihat dari kacamata Dzhokhar yang mulai blingsatan dalam pelarian. Sedari meledaknya bom, intensitas Patriots Day memang merapat dan hampir tidak memberikan ruang bagi penonton untuk sekadar menghembuskan nafas lega. Wahlberg bermain bagus, namun bintang sesungguhnya dari Patriots Day adalah Alex Wolff yang mempertemukan amarah dan ketakutan dalam satu tempat sehingga menghindarkan penggambaran karikatural dari sosok villain. Memperoleh sokongan mantap dari duo Trent Reznor-Atticus Ross dengan iringan musik menghentak-hentaknya plus gerak kamera tangkas nan dinamis, ketegangan Patriots Day terjaga stabil sampai klimaks mendebarkannya. Selepas meredanya ‘badai’ – mengikuti tradisi dari dua film kisah nyata Berg yang lain – adalah kesempatan memberi penghormatan untuk para pahlawan beserta korban yang (sekali lagi) tergolong efektif dalam menyentuh hati-hati sensitif. Menarik.

Exceeds Expectations (3,5/5)