Tampilkan postingan dengan label La La Land. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label La La Land. Tampilkan semua postingan

Jumat, 17 Februari 2017

LA LA LAND (2016) REVIEW : Sepucuk Surat Cinta tentang Mimpi dan Harapan

LA LA LAND (2016) REVIEW : Sepucuk Surat Cinta tentang Mimpi dan Harapan


Mungkin, orang-orang baru saja mengenal karya-karya dari Damien Chazelle lewat Whiplash, sebuah film drama suspense dengan musik sebagai dasar ceritanya. Itu pun bukan kali pertama Damien Chazelle memberikan sebuah film dengan musik sebagai poin pentingnya. Ada Guy and Madeline on A Park Bench dan meskipun tak mengarahkan langsung, ada Grand Piano,  di mana Damien Chazelle juga ikut berpartisipasi dalam menuliskan naskahnya.

Tahun 2016 lalu, Damien Chazelle menghadirkan kembali sebuah film dengan tema musik. Berbeda dengan Whiplash atau Grand Piano, kali ini Damien Chazelle menghadirkan sebuah drama romantis musikal lewat La La Land. Dengan adanya Emma Stone dan Ryan Gosling di deretan pemainnya, film ini akan menumbuhkan antisipasi yang besar dari penontonnya. Apalagi, Whiplash berhasil menyabet beberapa penghargaan di ajang Academy Awards.

Jazz adalah kekuatan dari Damien Chazelle untuk mendasari setiap film-filmnya, begitu pula yang terjadi di La La Land. Damien Chazelle berusaha mengajak penontonnya berbicara secara intim tentang dua bidang yang sedang dia nikmati, musik dan film. La La Land dijadikan sebagai medium romantisasi atas surat cinta yang ingin disampaikan oleh Damien Chazelle terhadap industri hiburan yang melambungkan namanya. 


Sebuah film musikal memang memiliki segmentasi yang berbeda, begitu pula dengan bagaimana cara mengemasnya. Harus memiliki kehati-hatian dan memberikan pengalaman sinematik yang berbeda pula kepada penontonnya. Di dalam La La Land, Damien Chazelle tahu benar memberikan pengalaman sinematik musikal yang  berdampak kepada penontonnya. Memang secara visual, sekuens musikal di dalam La La Land tak terlalu besar. Hanya saja, kesederhanaan dalam kemasan visual itu memberikan kekayaan di aspek emosi yang dimainkan oleh sang sutradara.

Ada intimasi yang muncul di dalam penuturan film La La Land dengan penontonnya. Damien Chazelle memperlakukan penonton sebagai teman bincang-bincang di sebuah bar di malam hari, membicarakan tentang mimpi-mimpinya di industri hiburan. Sesekali membahas kisah romantis yang pernah dialami agar tak melulu serius dan kisah romantis itu juga menjadi sebuah histori perjalanannya dalam meraih mimpinya. 


Dan inilah cerita tentang perjalanannya dalam meraih mimpi yang direpresentasikan kepada Mia Dolan (Emma Stone), seorang kasir di sebuah kafe di Hollywood. Dia bermimpi ingin menjadi seorang aktris terkenal. Segala audisi dengan berbagai peran berusaha dilakoni agar dapat meraih cita-citanya sejak kecil. Meski tetap saja, audisi yang Mia lakukan tak pernah berhasil. Serta, ada Sebastian (Ryan Gosling), seorang musisi Jazz idealis yang sedang bermimpi memiliki bar sendiri dan menjadi musisi Jazz yang bisa dikenal banyak orang.

Mereka tak sengaja bertemu di sebuah bar dan pertemuan awal mereka memang tak terlalu baik. Tetapi mereka adalah pemimpi yang sama-sama ingin mewujudkan mimpinya. Dengan alasan yang sama itu, mereka semakin lama semakin akrab. Mereka membicarakan mimpi-mimpinya yang berada di  bidang yang berbeda. Dan pada akhirnya, mereka berdua pun bersama-bersama berusaha untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu. 


Topik tentang mimpi ini menjadi salah satu cara agar La La Land memiliki kedekatan dengan penontonnnya. Meski visual drama musikalnya terasa berbeda dengan realita yang ada, tetapi Damien Chazelle memiliki niat agar penontonnya bisa ikut merasakan kedekatan problematika dengan kedua karakternya. Damien Chazelle seakan mengingatkan kembali penontonnya tentang mimpi mereka, karena setiap orang tentu memiliki mimpinya masing-masing.

Mengemas sebuah surat cinta tentu perlu adanya romantisasi, menggunakan kedua karakter yang sedang mabuk kepayang adalah cara agar Damien Chazelle berhasil menyampaikan pesan dengan tepat lewat La La Land. Tentu, La La Landtak hanya sebuah cerita cinta kacangan, ini adalah simbol cinta dengan penuh kedewasaan. Memberikan gambaran tentang hubungan laki-laki dan perempuan tak hanya behenti pada kiasan ‘dunia milik berdua’ dan lantas bisa bahagia. Tetapi juga ada aspek lain yang perlu diperhatikan agar kata ‘bahagia’ itu bisa terjadi secara harfiah.

Permasalahan tentang mimpi memang perkara lama dan disitulah Damien Chazelle begitu pintar dalam menggambarkan tentang problematika lintas zaman ini. Setting waktu La La Land ini hanya berkutat pada pergantian musim, bukan pada angka tahun yang konkrit. Referensi dalam lagu, gambar, dan tata produksi lainnya yang ada dalam La La Land akan mengingatkan penontonnya dengan film-film di era sebelum 2000-an. Tetapi, bagaimana setiap karakternya menggunakan alat elektronik yang begitu moderen membiaskan setting waktu dan menguatkan bahwa persoalan tentang meraih mimpi akan selalu relevan di setiap zaman. 


Surat cinta di dalam La La Landtak hanya ditujukan kepada setiap orang yang memiliki mimpi. Tetapi juga kepada film-film musikal lama yang pernah ada. Beberapa adegan di dalam film ini adalah sebuah tribut terhadap film-film musikal seperti ‘Singin In The Rain’, ‘West Side Story’, ‘Grease’, yang pernah mahsyur di zamannya. Hal tersebut memperlihatkan bahwa Damien Chazelle memang memiliki minat di bidang musik dan film secara bersamaan.

Belum lagi performa luar biasa yang diperankan oleh Emma Stone. Bisa dibilang ini adalah performa terbaiknya di sepanjang karir. Memerankan orang yang sedang berkembang dan berevolusi di setiap pergantian musimnya ini terasa begitu nyata. Pun, pergantian suasana hati Mia Dolan yang sedang memerankan sebuah peran dalam audisi dan kembali ke sosok Mia Dolan sesungguhnya ini perlu diperankan dengan detil. Bagusnya, Emma Stone berhasil memerankan karakter Mia Dolan dengan sangat luar biasa. 

 
Mengemas musik dan sinema perlu kehati-hatian agar dua hal yang sedang berkombinasi itu bisa menjadi mahakarya. Damien Chazelle memperhatikan hal itu dalam mengarahkan naskah yang juga ditulis sendiri olehnya dengan sangat baik dan luar biasa. Jadilah, La La Landyang menjadi sebuah mahakarya lintas zaman yang problematika juga begitu universal. La La Land menjadi sebuah surat cinta kepada semua pemimpi yang berani mewujudkannya. La La Land adalah sebuah surat cinta kepada industri hiburan yang juga berhasil membuat mimpi-mimpi baru untuk diidamkan kepada konsumennya. La La Land adalah surat cinta lintas zaman yang akan selalu dikenang dengan segala manis dan pahitnya. 

Jumat, 13 Januari 2017

REVIEW : LA LA LAND

REVIEW : LA LA LAND


“I'm letting life hit me until it gets tired. Then I'll hit back. It's a classic rope-a-dope.” 

Berkat Whiplash (2014), sebuah film musik tentang mimpi dari seorang penggebuk drum aliran Jazz yang intensitasnya amat kencang bak film laga, sutradara muda Damien Chazelle mendapat sorotan banyak pihak. Mumpung tengah menjadi bahan obrolan hangat, dia pun tidak menunggu waktu lama untuk melepas karya berikutnya – meski realitanya, butuh enam tahun buat meyakinkan para pendana dan rumah produksi! – yang masih berhubungan dengan musik Jazz dan tidak jauh-jauh dari pengalaman pribadi sang sutradara. Jika Whiplash terinspirasi dari gurunya yang luar biasa galak semasa menimba ilmu musik, maka karya terbarunya yang bertajuk La La Land diilhami oleh jatuh bangunnya selama merintis karir di Hollywood. Dalam La La Land, Chazelle mencoba lebih ‘besar’ dengan menggunakan pendekatan musikal yang secara khusus memberikan penghormatan terhadap film-film musikal era 50’an semacam Singin’ in the Rain (1952) atau The Band Wagon (1953) sekaligus merekrut bintang-bintang Hollywood kelas A seperti Ryan Gosling dan Emma Stone guna ditempatkan di lini utama. Hmmm... belum apa-apa sudah terdengar sangat menggiurkan, bukan? Dan kenyataannya, memang semenggiurkan apa yang tertuang di atas kertas. La La Land mempunyai jiwa di setiap hentak kaki, setiap alunan melodi, dan setiap untaian lirik yang menciptakan tawa, kekaguman, serta air mata. Sungguh magis!   

La La Land memulai hentakannya dengan meriah melalui nomor musikal “Another Day of Sun” yang menampilkan tarian dan nyanyian di tengah-tengah macetnya jalan bebas hambatan Los Angeles. Ujung dari adegan ini mempertemukan dua karakter utama film, Sebastian Wilder (Ryan Gosling) dan Mia Dolan (Emma Stone), untuk pertama kalinya meski bukan dalam situasi menyenangkan. Selama kurang lebih 30 menit berikutnya, keduanya tidak lagi saling berjumpa, tidak ada interaksi dalam bentuk apapun. Sebastian diceritakan sebagai musisi Jazz yang kelimpungan mencari sumber penghasilan tetap berdasar keahliannya lantaran idealismenya untuk memainkan musik Jazz tradisional seringkali berseberangan dengan visi pemilik klub, sedangkan Mia yang sehari-harinya memperoleh pemasukan sebagai barista terus berjibaku guna mendapatkan panggilan audisi demi mewujudkan mimpinya menjadi aktris. Mereka akhirnya betul-betul berjumpa kala keduanya menghadiri sebuah pesta. Berjalan bersama untuk beberapa waktu, baik Sebastian maupun Mia menyadari ada ketertarikan satu sama lain terlebih keduanya dipersatukan oleh satu hal: passion. Asmara pun merekah diantara mereka, hubungan penuh kemesraan terbentuk, lalu tiba-tiba ujian menghadang kala mimpi mereka saling berbenturan. 

Berkaca pada sinopsis tersebut, tampak jelas La La Land tak menawarkan guliran pengisahan yang membelalakkan mata. Sebatas menghidupkan premis sederhana mengenai kisah kasih dua sejoli yang diperjumpakan oleh kesamaan nasib. Namun jangan biarkan kesederhanaan ini mengecohmu karena La La Land tidaklah sesederhana itu utamanya jika kita membicarakan soal bagaimana Damien Chazelle mengatur konsep dari setiap jengkal film ini. Mengkreasi elemen musikalnya. Tengok saja nomor pembukanya yang enerjik nan ambisius dimana kurang lebih terdapat 100 penari berlenggak lenggok kesana kemari di tengah padatnya jalan tol. So much fun! Keputusan jitu menempatkan nomor ini di permulaan film karena terbilang sangat efektif untuk membangkitkan mood penonton dalam mengetahui keriaan serta keintiman seperti apa yang ditawarkan si pembuat film selama sisa durasi. Selepasnya, tidak ada lagi tembang heboh seperti ini – paling mendekati adalah “Someone in the Crowd” – lantaran mengikuti laju pengisahan yang kian intim, syahdu, pula merobek hati. Keberadaan lagu dan musik hasil gubahan Justin Hurwitz sendiri bukan sekadar pemeriah suasana melainkan dimanfaatkan betul oleh Chazelle sebagai medium bercerita. 

Ketika rentetan dialog dianggapnya tidak cukup untuk mengungkapkan suatu maksud, musik adalah solusi terbaiknya. Itulah mengapa ada emosi menggelegak yang bisa dirasakan di dalam tiap tembang dan tiap melodi yang mengiringi La La Land, seperti “A Lovely Night”, “City of Stars”, dan “Audition (The Fools Who Dream)”, yang rasa-rasanya akan mengendap lama di benakmu. Musik yang berbicara bukanlah satu-satunya modal Chazelle untuk memberikan kehidupan pada La La Land. Dia beruntung mempunyai tim solid di setiap departemen. Dari pengambilan berikut penyuntingan gambar yang menguarkan nuansa jadul ala film musikal era 50-an, koreografi tari oleh Mandy Moore yang menawarkan beberapa ragam (ada tap, ballroom, hingga waltz) dengan setiap hentakannya berbalut rasa sehingga tanpa perlu adanya pendeskripsian panjang lebar kita telah dapat memahami perasaan dua manusia yang tengah dimabuk cinta ini, sampai tak kalah penting pula, pemain-pemain yang handal menerjemahkan emosi melalui gestur maupun air muka. Pemain dalam konteks ini tentu saja adalah Ryan Gosling bersama Emma Stone. Mereka tampil simpatik saat terpisahkan, sementara ketika berduaan, mesranya tiada ampun sampai-sampai burung-burung cinta pun dibuat iri olehnya. Lihat saat mereka saling lempar dialog, saat mereka menari bersama, saat mereka saling pandang, ughhh... greget!

Karisma kuat Gosling dan kecantikan paripurna Stone merupakan kombinasi sempurna guna menjerat atensi sehingga penonton pun tahu-tahu telah terhanyut pada jalinan kisah percintaan mereka. Just like magic. Ada semacam kebahagiaan tersendiri menyaksikan Sebastian menemukan Mia (begitu juga sebaliknya) karena kita mengetahui bahwa mereka akan saling menguatkan, akan saling melengkapi satu sama lain, lantaran mempunyai kesamaan pada tujuan, harapan, dan mimpi. Dari titik ini, penonton pun lantas disadarkan sejatinya La La Land bukan sekadar menjual dongeng manis semata mengenai kisah percintaan dua insan manusia yang dipertautkan oleh passion karena lebih dari itu, ini merupakan selebrasi bagi mereka yang berani bermimpi dan berani mewujudkannya sekalipun memahami betul ada harga yang harus dibayar mahal. Dihantarkan secara gegap gempita pula manis-manis nyelekit, La La Land akan membuatmu terpukau oleh bagaimana Chazelle mengkreasi setiap momen dalam film yang memiliki cita rasa megah, lalu merasakan kebahagiaan, dan pada akhirnya tertusuk begitu menyadari bahwa realita tidaklah seindah mimpi. Tidaklah semembahagiakan film-film musikal Hollywood. Aach, seandainya saja....

Outstanding (5/5)