Tampilkan postingan dengan label feature article. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label feature article. Tampilkan semua postingan

Senin, 25 Juni 2018

Random Thought: The Lack of Female Movie Critics

Random Thought: The Lack of Female Movie Critics

Tulisan ini adalah pemikiran random saya setelah membaca sebuah berita. Awalnya saya ingin menuliskan uneg-uneg saya pada akun facebook saya, tapi saya merasa lebih relevan kalo saya taruh di blog ini. Namanya juga pemikiran random, maka maafkan jika tulisan saya beneran random dan melompat-lompat. Ini bukan esai formal, ini cuma sekedar racauan ~

THE LACK OF FEMALE MOVIE CRITICS

Dalam acara Crystal + Lucy Awards, aktris pemenang Oscar untuk film Room, Brie Larson mengumumkan bahwa Sundance dan Toronto Film Festivals akan mengalokasikan kuota 20% jurnalis dari kalangan minoritas (perempuan dan kulit berwarna). Ia bilang bahwa filmnya A Wrinkle in Time flop di pasaran karena kurangnya kritikan yang komprehensif, terutama menurutnya kritikus film saat ini didominasi oleh pria kulit putih. Kira-kira pidatonya begini: "I don’t need a 40-year-old white dude to tell me what didn’t work about A Wrinkle in Time. It wasn’t made for him! I want to know what it meant to women of colour, biracial women, to teen women of colour. Am I saying I hate white dudes? No, I am not. What I am saying is if you make a movie that is a love letter to women of colour, there is an insanely low chance a woman of colour will have a chance to see your movie, and review your movie,".

Terlepas dari apakah pidato ini cuma alasannya aja atas jebloknya A Wrinkle in Time di pasaran maupun penilaian kritikus, tapi apa yang dibilang Brie Larson ada benarnya. Aktris Jessica Chastain sendiri juga pernah mengkritik kurangnya kritikus perempuan. Sebagai gambaran, di situs favorit kita semua, Rotten Tomatoes, pada musim 2013 kritikan yang masuk sebanyak 78% berasal dari kritikus lelaki dan hanya 22% yang perempuan. Beberapa tahun kemudian hasilnya juga ga banyak berubah. Berdasarkan penelitian Gender at The Movies dari top critics yang ada di Rotten Tomatoes, penulis untuk situs-situs hiburan dan film baik di media online maupun cetak (contohnya seperti Entertainment Weekly) adalah sebanyak 91% lelaki, untuk general interest magazine dan sites seperti Time dan Salon adalah sebanyak 80% lelaki, dan 72% lelaki untuk media online surat kabar.

Sebelumnya, mungkin sebagian dari kamu bertanya emang apa sih gunanya kritikus film?

Biarpun blog ini cuma sekedar blog pribadi, namun alhamdulillah blog amatir nan apa adanya yang kayak gini aja bisa memberikan impact kepada sebagian orang, salah satunya menjadi rujukan rekomendasi film. Apalagi kritikus film serius beneran yang menulis di media besar. Yap, kritik film itu penting sebagai salah satu penunjang industri perfilman. Kritikus film yang baik bisa mengupas keindahan sebuah film agar bisa lebih dipahami oleh pembacanya dan tentu saja mempengaruhi penonton. Bahkan, di era media sosial seperti ini, review-an penikmat film melalui channel blog, vlog, podcast, status facebook, twitter, instastory hingga letterboxd juga punya efek. Brie Larson sendiri bilang bahwa pada kenyataannya review itu penting. Review baik dari kritikus film pada festival film memberikan peluang bagi film-film kecil dan independen untuk dibeli oleh distributor besar. Selain marketing yang baik, review yang baik juga bisa mempengaruhi pendapatan sebuah film (contoh: Justice League yang termasuk flop karena diduga review buruk dari kritikus).

Lalu apa efeknya jika kritikus film perempuan sedikit?

Buat saya, namanya juga review dan opini, sulit untuk 100% obyektif. Selera orang berbeda, pengalaman orang berbeda, sifat orang berbeda, dan hal ini berpengaruh terhadap opini kita tentang film yang kita tonton. Kritikus film yang mengabdikan dirinya pada bidang ini dan mempercayai bahwa film sebagai bentuk karya seni boleh jadi punya sudut pandang, kapabilitas dan pengetahuan yang lebih luas dalam menilai karya film, namun enggak berarti mereka 100% obyektif. Melissa Silverstein dari Woman and Hollywood mengatakan hal yang kira-kira bisa merangkum opini saya, “Women have a different perspective than men. Not better, not worse, just different. We have our own lens in how we see the world and that makes our perspective vital,". Dengan sedikitnya kritikus film perempuan, maka sudut pandang di bidang ini akan disetir oleh opini-opini lelaki. Kita butuh lebih banyak kritikus perempuan (dan beragam ras hingga orientasi seksual) untuk memperkaya sudut pandang lain.

Meryl Streep juga pernah mengkritik minimnya kritikus perempuan. Ia menyebut bahwa situs seperti Rotten Tomatoes dimana jumlah kritikus lelaki lebih banyak daripada perempuan bisa menyebabkan masalah pada film yang dibuat oleh, untuk dan tentang perempuan. “I submit to you that men and women are not the same,” kata Meryl Streep pada sebuah konferensi pers di London. “They like different things. Sometimes they like the same things, but their tastes diverge. If the Tomatometer is slided so completely to one set of tastes, that drives box office in the U.S., absolutely.”

Saya sendiri tergelitik ketika melihat daftar sepuluh besar film terbaik versi IMDB. Daftar film terbaik ini berdasarkan rating penonton. Saya tuliskan di sini:
  1. The Shawshank Redemption 
  2. The Godfather
  3. The Godfather Part II
  4. The Dark Knight
  5. 12 Angry Men
  6. Schindler's Listy
  7. The Lord of The Rings : The Return of The King
  8. Pulp Fiction
  9. The Good, The Bad, and The Ugly
  10. Fight Club
Oh wow. Daftar film yang sangat "manly" dan "maskulin" sekali. Bahkan The Shawshank Redemption, yang genrenya drama - adalah tipe drama yang tidak akan membuat pria malu mengakui jika nangis saat nonton film itu. Saya tidak mengatakan daftar film di atas adalah daftar film yang buruk, namun sedikit lebih banyak sudut pandang perempuan akan mengekspos film-film yang lebih sesuai preferensi perempuan. Tanyakanlah kepada moviegoers cowok apa film favorit mereka, maka kemungkinan besar mereka akan menjawab film-film seperti film-film Nolan, Tarantino, dan Scorsese. Tanyakan kepada moviegoers cewek, maka mungkin film favorit mereka Mean Girls dan Harry Potter. Bukan, saya nggak mengatakan bahwa selera cowok dan cewek sangat jauh berbeda,atau selera perempuan lebih rendah dari lelaki, karena perempuan yang menyukai Mean Girls bisa jadi juga menyukai Reservoir Dogs atau Fargo. Jika penonton perempuan lebih "bersuara" dalam menyuarakan selera filmnya, daftar 10 film terbaik di Top IMDB itu bisa jadi akan diisi oleh Lady Bird atau Little Miss Sunshine.

Saya juga ga bilang kalo penonton, kritikus film, hingga movie reviewer amatir lelaki adalah pria-pria seksis. Tapi cukup wajar jika mereka lebih antusias melihat protagonis cowok atau film tentang perempuan dari perspektif pria. Jessica Ellis juga ngasih pertanyaan yang bisa direnungkan, "Kenapa Stand By Me disebut sebagai film klasik sedangkan Now and Then masih dianggap sebagai film untuk anak perempuan?".

HOLLYWOOD YANG DIDOMINASI LAKI-LAKI

Sekarang, mari kita lihat gambaran besarnya. Industri perfilman Hollywood sendiri bisa dibilang terlalu macho karena didominasi lelaki. Dalam 250 daftar film berpenghasilan tertinggi tahun 2015, hanya 9% diisi oleh sutradara wanita, 23% produser wanita, dan 22% yang peran utamanya perempuan. Saya tidak ingin bicara soal kenapa perempuan sangat sedikit yang berkecimpung di dunia ini, namun ketika sutradara, produser, dan penulis naskah didominasi lelaki, sangat wajar jika film-film yang ada akan didominasi oleh unsur-unsur maskulin dan protagonis lelaki. Saya rasa semua orang juga menyadari bahwa kita cenderung menghasilkan karya yang sesuai dengan latar belakang kita sendiri, yang artinya produser lelaki akan cenderung membuat film tentang lelaki, demikian pula sebaliknya.


Genre superhero adalah genre yang sangat maskulin. Hampir semua jagoannya cowok (and handsomely straight). Cewek yang ada biasanya cuma pelengkap yang manis - tetap jagoan dan mampu beradegan laga, tapi perannya nggak terlalu dominan. Yang lebih buruk, seringkali perempuan dalam film, komik maupun animasi genre ini digambarkan sebagai objek seksual belaka, salah satunya dengan ukuran payudara nggak normal atau dikasih kostum super hot. Sampai di sinilah akhirnya saya paham kenapa Wonder Woman tahun lalu dipuja-puja oleh banyak orang. Disutradarai oleh seorang perempuan, Patty Jenkins, Wonder Woman menjadi icon superhero yang merepresentasikan dan empowering perempuan dengan sangat baik. Biarpun kostumnya mini, tapi Gal Gadot tidak "diseksualisasikan" secara berlebihan. Lebih menarik lagi, Wonder Woman sebagai jagoan di dunia yang sangat maskulin masih mempunyai pandangan yang lekat dengan nilai-nilai feminim - walaupun sebagian orang akan mencemoohnya terlalu naif.

Bahkan, dalam genre romantis yang sering disebut sebagai genre yang perempuan sekali, screenwriter lelaki masih lebih dominan. Coba sebutkan film-film drama-romantis yang baik menurut para kritikus: Eternal Sunshine of The Spotless Minds, Her, Submarine, High Fidelity, (500) Days of Summer, hingga Annie Hall - film-film ini adalah film yang mengambil sudut pandang lelaki, karena penulis naskahnya ya lelaki. Ada juga sih yang screenwriternya cowok dan protagonisnya perempuan, namun tentu kita masih tetap butuh perspektif dari perempuan beneran. Inilah kenapa Blue is the Warmest Color menjadi problematik: seorang pria menyutradarai film tentang lesbian yang menampilkan sex scene 7 menit. Kritikan utamanya adalah film ini tentang lesbian tapi terasa seperti sudut pandang lelaki. Kritikan yang sama mungkin bisa kita terapkan pada The Handmaiden-nya Park Chan-Whook. (Lebih dalam lagi, kita bisa mengkritik ketika ada film-film tentang LGBTQ yang dibuat oleh mereka yang cissgender dan heteroseksual).

Itulah kenapa kita butuh lebih banyak cewek-cewek keren panutanque seperti Greta Gerwig, Zoe Kazan, Patty Jenkins, Tina Fey, Amy Poehler, Gillian Flynn, Kathryn Bigelow, hingga Diablo Cody di dunia film. Mungkin juga kita ingin lebih banyak Manic Pixie Dream Boy di film-film romantis - cowok idaman yang ditulis oleh screenwriter perempuan. Mungkin kita butuh lebih banyak film-film seperti Ghostbuster (versi cewek) dan Oceans 8 (walau akan lebih menyenangkan jika all-female lead characters ini punya cerita fresh yang tidak mengambil franchise film yang sudah ada).

Lalu apa efeknya industri dan kritikus perfilman yang bias gender dan dominan lelaki?

Ya, industri perfilman secara keseluruhan akan didominasi oleh apa yang lelaki sukai. Film-film yang "cowok banget" akan mendapat ekspos, publikasi, dan review yang lebih baik dari film-film yang "cewek banget". In my opinion, ini yang terjadi pada film-film yang menyandang "cult-classic", sebagaimana daftar Top IMDB tadi, - dimana film-film yang "cowok banget" menjadi sangat dominan dan lebih populer.

Sutradara Karyn Kusama (The Inivitation) bilang, “To me it’s the question of female directors, writers, cinematographers, designers, editors, actors and critics. If you have substantially fewer of them in the world, then we’re missing a crucial human perspective, and the world suffers for it.”
....

ENCOURAGING MORE WOMEN TO WRITE A MOVIE REVIEW

Selama 8 tahun nulis blog ga penting ini, saya sendiri jarang menemukan kawan blogger perempuan lain yang khusus mengulas film. Bisa dilihat dari link sejumlah blog movieblogger Indonesia yang ada blog ini, jumlah movie blogger perempuan masih sangat sedikit. Blogger cewek yang saya tahu biasanya menulis soal craft, parenting, beauty, fashion, atau travelling.

Mungkin, hal ini akan jadi lebih menarik jika ada orang yang bikin penelitian tentang selera film penonton dari perspektif gender. Apakah perempuan pada dasarnya tidak banyak yang menyukai dan maniak film sebagaimana lelaki? Apakah film adalah bidang yang sangat "maskulin" sebagaimana sepakbola dan otomotif? Ataukah perempuan memang sesuai dengan stereotype hanya menyukai drama korea yang menyek-menyek?

Menjawab pertanyaan terakhir, menurut saya kayaknya enggak juga sih. Saya mengadakan survey kecil-kecilan di sebuah grup facebook pecinta film untuk mengetahui selera film cewek, dan range film tontonan mereka beragam mulai dari romantis baper macam The Notebook hingga horror macam Evil Dead, dari The Devil Wears Prada hingga American Psycho. Atau bisa dibilang begini: sesuka-sukanya seorang cewek dengan drama korea, minimal mereka juga suka nonton film-film blockbuster mainstream macam MCU dan Transformer.

Lalu... saya kepikiran ingin membuat blog atau web review film yang khusus untuk reviewer perempuan. Intinya, saya ingin encourage lebih banyak perempuan untuk rajin mengulas film (dan mungkin musik) - supaya ke depannya hal ini bisa memperkaya perspektif kritik film dari sudut pandang perempuan. Saya tahu, ini cita-cita yang idealis dan muluk-muluk ya. Tapi kalo ada yang sepakat dengan ide ini, saya siap mensupport lho. Siapa tahu bisa bikin Cherry Picks versi Indonesia.

Minggu, 12 November 2017

Manic Pixie Dream Girl dan Hidupmu yang Miserable

Manic Pixie Dream Girl dan Hidupmu yang Miserable

Halo, readers! Di artikel kali ini saya nggak akan mereview film, namun tenang aja, masih berhubungan dengan film. Belakangan ini saya bergabung di sebuah grup facebook pecinta film yang cukup aktif. Banyak anggotanya yang bisa me-review film dengan lumayan baik. Di satu sisi saya merasa senang bahwa rupanya sudah cukup banyak penonton yang mampu memberikan kritikan yang baik dalam mengapresiasi film dan sudah cukup well-educated untuk tahu mana tontonan yang baik dan mana yang jelek. Namun di lain sisi.... sebagai movieblogger yang sudah ngeblog dari tahun 2011, saya jadi tertantang dong untuk bisa nulis artikel lain yang nggak cuma sekedar "ngereview film" yang rupanya sudah banyak yang bisa melakukannya. I should write someting more than "why this movie is good or bad".. 

Lalu saya kepikiran untuk mengupas film dari sisi lain: moral story atau life lesson. Sempet kepengen nulis soal beginian di blog saya lainnya kontemplasiliar, namun berhubung pembaca blog satunya sedikit dan lebih banyak yang nyasar di blog ini, ya sudahlah saya tulis di sini saja. Lagipula, kan masih berhubungan dengan film. 

(By the way, tulisan ini akan mengandung banyak spoiler film-film genre drama-romance, dan ada sedikit tulisan berbau seksual).

MANIC PIXIE DREAM GIRL



Saya punya sebuah cerita. Alkisah ada seorang cowok, jomblo, yang tidak terlalu tampan namun juga nggak jelek-jelek banget. Ia adalah pemuda yang terjebak dalam hidupnya yang merupakan rutinitas monoton. Hidupnya tidak menderita sekali, namun dikatakan super bahagia dan menyenangkan juga enggak. Pemuda ini mewakili mayoritas pemuda di dunia yang merasa jenuh dengan hidupnya yang biasa-biasa saja. Sampai ia kemudian bertemu seorang perempuan cantik yang asyik dan penuh petualangan. Sang pemuda jatuh cinta pada sang perempuan, dan mereka berdua pun berpacaran. Sang perempuan membawa vitalitas baru pada kehidupan monoton sang pemuda, dan sang pemuda mencintai betapa perempuan cantik yang sempurna dan asyik itu menghidupkan kembali jiwanya yang hampa. 

Familiar dengan cerita di atas?

Yap, kurang lebih demikian kisah hidup Tom (Joseph Gordon-Levitt) dalam (500) Days of Summer (Mark Webb, 2009). Sebelum Summer (Zooey Deschanel) yang sempurna dalam vintage-dress dan kepribadiannya yang cool itu menghancurkan hatinya. 

Kalau disuruh menyebut film romantic modern yang paling baik dalam menggambarkan kehidupan percintaan anak urban, saya kira (500) Days of Summer adalah contoh yang tepat. Seperti yang dikatakan di bagian openingnya, “This is not a love story, this is a story about love..”, (500) Days of Summer bercerita tentang Tom (Joseph Gordon-Levitt) yang jatuh cinta pada cewek quirky nan free-spirit yang bilang bahwa cinta itu cuma fantasi, Summer (Zooey Deschanel). Dalam alur yang bergerak tidak berurutan dan nuansa indie-hipster yang kental, film itu mengisahkan Tom dan Summer dari jaman awal pacaran yang indah-indah, hingga akhirnya mereka putus dan Tom mengalami patah hati. Summer sering disebut contoh sempurna "Manic Pixie Dream Girl", tipe karakter perempuan asyik yang sempurna dan muncul untuk menceriakan kehidupan protagonis pria yang sebelumnya hampa. Biasanya mereka punya karakter yang quirky, adventurous, free-spirit, dan smart. Pokoknya kebalikan dari tokoh protagonisnya yang biasanya konservatif, boring, tipikal orang biasa-biasa aja lah. 

Selain Summer, ada contoh-contoh karakter lain yang mewakili sebutan Manic Pixie Dream Girl, antara lain Margo (Cara Delavingne, Paper Towns), Maggie (Anna Hathaway, Love & Other Drugs), Claire (Kristen Dunst, Elizabethtown), Sam (Natalie Portman, Garden State), Sara (Charlize Theron, Sweet November), Annie Hall (Diane Keaton, Annie Hall), Clementine (Kate Winslet, Eternal Sunshine of the Spotless Mind), hingga Penny Lane (Kate Hudson, Almost Famous). Saya juga suka menyebut Ramona (Mary Elizabeth Winstead, Scott Pilgrim vs The World) atau bahkan Samantha (Scarlett Johansson, Her) sebagai contoh lain. (Tambahan: Ruby Sparks (Zoe Kazan, Ruby Sparks) yang merupakan "manic pixie dream girl" bagi sang tokoh utamanya Calvin (Paul Dano)). 

Sumber: etsy.com

Apa persamaan dari karakter-karakter wanita di atas? Mereka tipikal perempuan cakep dengan kepribadian yang quirky, asyik, loveable, dan seru. Sempurna lah. Dan mereka hadir untuk menceriakan hidup sang male protagonist. Apa persamaan dari film-film di atas? Mereka punya boring character male protagonist, yang hidupnya kemudian menjadi luar biasa berkat kehadiran perempuan-perempuan sempurna itu.

Natan Rabin, dalam sebuah artikelnya di The A.V. Club, adalah yang pertama kali menelurkan istilah "Manic Pixie Dream Girl" setelah doi mengobservasi karakter Claire (Kristen Dunst) dalam film Elizabethtown (Cameron Crowe, 2005). Ia mendefinisikan Manic Pixie Dream Girl sebagai tokoh karakter wanita dangkal yang hadir untuk memenuhi imajinasi screenwriter pria. Perempuan sempurna yang mengajari tokoh protagonis pria untuk merengkuh misteri dan asyiknya hidup. Belakangan, Rabin menyesal telah menelurkan istilah Manic Pixie Dream Girl yang kemudian dianggap misoginis dan seksis. Yeah, karena karakter-karakter wanita sempurna itu dihadirkan hanya untuk "menyenangkan" karakter pria yang sedang galau dan their job is only make this guy feel alive again. Namun karakter wanita itu tidak diberikan background story atau tujuan hidup sendiri selain "menyenangkan" kekasihnya. Tak peduli betapa kerennya perempuan-perempuan itu, perempuan-perempuan keren itu rupanya cuma punya tugas “menyenangkan” lelakinya. 


Sedangkan dalam kaitannya dengan Manic Pixie Dream Boy, ada 2 contoh karakter dalam film yang tampaknya bisa mewakili ciri Manic Pixie Dream Boy. Pertama, Augustus Waters (Ansel Elgort) di The Faults in Our Stars. Doi ganteng, manis, baik hati, cerdas, puitis, filosofis, rela berkorban melakukan apapun untuk ceweknya - pokoknya doi tipikal cowok impian perempuan manapun lah. Kedua, Jesse (Skylar Astin) di Pitch Perfect. Cirinya pun serupa: cowok yang ganteng, manis, baik hati, dan bisa menceriakan karakter ceweknya Beca (Anna Kendrick) yang gloomy. Dan entah kebetulan atau tidak, saya jatuh cinta pada kedua karakter cowok itu dan berharap pasangan saya bisa sesempurna cowok-cowok khayalan itu. 

(Anyway, begitu banyaknya film-film dengan karakter pria membosankan yang kemudian jatuh cinta dengan perempuan asyik menunjukkan dominasi screenwriter pria di industri perfilman).

YES, WE OFTEN TRAPPED IN THIS IMAGINATION

Saya rasa banyak di antara kita yang terwakili dengan sosok-sosok semacam Tom Hansen (Joseph Gordon-Levitt) di (500) Days of Summer. Saya juga kerap mengasosisasikan diri saya dengan Tom, biarpun saya perempuan. Intinya, saya merasa hidup saya boring, lalu saya berharap suatu kali hadir sosok pasangan yang kemudian membuat saya jatuh cinta (dengan selera musik hipster yang serupa, kalau doi bisa main gitar dan ngefans Radiohead bakal lebih sempurna lagi) dan mewarnai hidup saya yang hampa. Saya rasa banyak orang jomblo yang terjebak pada imajinasi seperti ini: memimpikan kehadiran pasangan yang memenuhi segala ekspektasi kita akan pasangan ideal. Pasangan sempurna yang menerima kita apa adanya. 

Somehow, kita ini orang-orang biasa saja dengan kehidupan yang membosankan, yang kemudian berharap menemukan pasangan yang bisa membawa kita kabur dari hidup kita yang membosankan. Sebuah eskapisme romantis. 

THIS IS RELATIONSHIP TRAP

Saya rasa banyak yang memulai hubungan dengan jebakan seperti ini. Kamu merasa hidupmu miserable dan berharap menemukan jalan keluarnya pada pasanganmu. Mungkin kamu miskin dan berharap menemukan pria kaya yang mau sama kamu, mungkin kamu jelek dan berharap menemukan wanita cantik yang mau sama kamu, mungkin kamu berharap menemukan pasangan yang bisa memenuhi fantasi seksualmu, mungkin kamu merasa berkubang dalam dosa lantas berharap menemukan pemuda sholeh yang bisa menjadi juru selamatmu, atau mungkin hidupmu membosankan dan berharap menemukan pasangan asyik yang bisa mengajakmu ke petualangan hidup yang lebih berwarna.

To be honest, saya mengawali hubungan saya dengan kekasih saya yang sekarang mungkin dengan alasan serupa. I feel desperate in late 20’s, and then I met him and falling in love with him. Lalu kemudian saya memproyeksikan kesempurnaan jalan keluar dari hidup saya yang stuck ini pada dirinya – which is I know it’s not fair. Tapi saya rasa pacar saya juga begitu sih, karena ia kerap membayangkan dirinya Tom (dan saya Summer. Haha. Saya tahu ini analogi nggak tahu diri) – dan ia berharap suatu saat bisa menemukan perempuan sempurna impiannya, sesempurna Summer Finn.

Dan iyes, ini adalah salah satu jebakan dalam hubungan. Kekasih tidak hadir untuk “menyenangkan dirimu”. Mereka bukan konsep – tokoh pendukung yang tidak berhak mengatur nasibnya sendiri – yang tugasnya cuma memberikan solusi bagi permasalahanmu. Kalian berdua boleh jadi senasib dan jatuh cinta, namun membebankan permasalahanmu sepenuhnya pada kekasihmu adalah hal yang tidak adil. Plot twist: your girlfriend / boyfriend might be a fucked-up person too. 

Saya rasa inilah yang sering diungkapkan karakter Clementine dalam film Eternal Sunshine of the Spotless Mind (Michael Gondry, 2004). Clementine (diperankan Kate Winslet), adalah karakter quirky yang adventurous dan spontaneous (terlihat dari pilihan cat rambutnya), yang kemudian bisa pacaran dengan pria pemurung introvert semacam Joel (Jim Carrey). Dan ini adalah salah satu dialognya (yang membekas banget di ingatan saya) :
"Too many guys think I'm a concept, or I complete them, or I'm gonna make them alive. But I'm just a fucked-up girl who's lookin' for my own peace of mind; don't assign me yours.”
Dalam salah satu dialognya di bagian akhir, Clementine juga mengungkapkan bahwa hubungan antara dirinya dan Joel suatu saat akan kembali ke titik jenuh itu lagi. Ketika akhirnya mereka merasa terjebak dalam relationship dan tidak lagi bahagia.




Inilah kenapa pacaran atau pernikahan awal-awal begitu indah. Pertama, level dopamin akibat efek jatuh cinta masih tinggi, sehingga istilahnya perjalanan asmaranya masih “hot”. Kedua, kita masih bisa memproyeksikan segala ekspektasi kita kepada pasangan dan pasangan masih terlihat sempurna di mata kita karena ilusi cinta itu buta. Namun ketika level dopamin mulai menurun dan jati diri sejati kita dan pasangan mulai muncul, kesempurnaan yang mula-mula kita proyeksikan kepada pasangan akan luntur dan kita akan melihat ketidaksempurnaan pasangan dan merasa terganggu maupun kecewa. Ketika ekspektasi tidak terwujud, dan perlahan menyadari bahwa pasangan kita “bukanlah pasangan impian” kita atau bukan pasangan yang bisa mewujudkan khayalan kita, maka semua permasalahan relationship akan muncul: selingkuh, pertengkaran, bosan, ketidakpuasan dalam hubungan, dll. 

Secara teori ini kelihatannya mudah ya dan semua orang juga sudah tahu, namun kenyataannya nggak semua orang cukup diberi kesabaran menerima pasangan apa adanya. Sebagian kecil orang mungkin menjalani hal ekstrim semacam yang dilakukan Theodore (Joaquin Phoenix) dalam Her (Spike Jonze, 2013): jatuh cinta pada OS. Kenapa Theodore jatuh cinta pada OS? Kalau dari percakapannya dengan mantan istrinya (Rooney Mara), alasannya karena Theodore can’t deal with real people.
"You always wanted to have a wife without the challenges of actually dealing with anything real and I'm glad that you found someone. It's perfect,"
Mungkin inilah yang kemudian ditakutkan akan terjadi pada masa depan dengan diciptakannya robot cinta atau waifu 2D serupa Joi di Blade Runner 2049. Benda-benda itu adalah objek yang tidak punya kemandirian berpikir, diciptakan khusus untuk memenuhi fantasimu. Hey, nobody want and love me, jadi mari kita ciptakan saja robot (objek) yang bisa memenuhi ekspektasi kita. Tapi kalau beneran nyata, aku mau donk dibikinin robot Michael Fassbender! Haha.

Sebagian lelaki mungkin juga terjebak pada objektifikasi wanita seperti yang dialami Jon (Joseph Gordon-Levitt) dalam film Don Jon (Joseph Gordon-Levitt, 2013). Ceritanya Jon kecanduan pornografi, dan ia merasa petualangan seksnya tidak pernah ada yang sehebat film-film porno, bahkan ketika ia akhirnya berpacaran dengan cewek sehot Barbara (Scarlett Johansson). Lalu terungkaplah alasannya: film porno adalah produk fantasi pria-pria patriakal. Film porno dibuat khusus untuk menyenangkan fantasi seks pria. Perempuan-perempuan dalam film porno tersebut adalah perempuan-perempuan tanpa kemandirian berpikir (objek) yang melenguh dan (berpura-pura) orgasme hanya untuk memuaskan ego dominasi sang pria. Jon berharap perempuan-perempuan di kehidupan nyatanya menyerupai perempuan-perempuan dalam film porno. 

Oh, namun sayangnya... hubungan seks adalah hubungan dua arah. Lelaki punya nafsu, perempuan juga, dan tidak seharusnya hubungan seks dilakukan hanya untuk menyenangkan pria. Perempuan seharusnya orgasme tidak hanya untuk memuaskan ego pria, namun karena memang mereka menginginkannya dan punya hak yang sama dalam bercinta. Ini tampaknya yang enggan disadari Jon sebelumnya – sampai ia kemudian bertemu karakter Esther (Julianne More). 

SUMMER IS (NOT) A BITCH



Dulu saya kerap berpikir kalau Summer Finn itu bitch banget deh kelakuannya. Nonton (500) days of Summer itu saya ngerasa related banget dengan karakter Tom, dan kemudian saya ikutan patah hati ketika Summer mengakhiri hubungan mereka dengan cara menyebalkan lalu sedemikian cepat kawin sama orang lain.

Tapi mari kita telaah lagi, is it really Summer is a bitch in this case?

Pertama, Summer udah kasih peringatan bahwa dia ga percaya cinta. Kedua, Summer uda bilang kalau dia ga mau hubungan serius. Tapi Tom, a hopeless romantic person, tetap aja menyerahkan dirinya pada hubungan itu dan berharap mendapatkan keajaibannya. Lalu ketika akhirnya Summer mengakhiri hubungan mereka, kenapa mendadak Summer yang menjadi pihak yang sepenuhnya dikatakan bersalah? 

Pada awalnya Summer adalah konsep sempurna sebagai Manic Pixie Dream Girl - namun kita seharusnya sadar bahwa ia juga punya hak yang sama dengan Tom dalam menjalin hubungan. Tom berhak akan cinta sejati, Summer juga – dan sialnya, cinta sejati Summer bukan Tom. Tom yang bersalah karena memproyeksikan kesempurnaan “soulmate” idamannya pada sosok Summer ("Just because she likes the same bizzaro crap you do doesn't mean she's your soul mate,”). Film (500) Days of Summer sendiri sebenarnya hendak mendeskontruksi konsep Manic Pixie Dream Girl itu sendiri, betapa bahayanya “mengidealkan” pasanganmu tanpa menyadari dan menghargainya sebagai real person dengan kompleksitasnya tersendiri. Sutradara Mark Webb sendiri mengatakan, “In Tom's eyes, Summer is perfection, but perfection has no depth.”.

Maka demikianlah.... Tom harus menemukan “jalan keluarnya” sendiri melalui dirinya sendiri, bukan melalui Summer. 

Sebagaimana hey kamu para manusia, kamu adalah tokoh utama dalam ceritamu sendiri, namun jangan lupa bahwa pasanganmu juga merupakan tokoh utama dalam ceritanya sendiri. Jangan memulai hubungan dengan berpikir bahwa pasanganmu hanyalah sebuah eskapisme romantis dari hidupnya yang menyebalkan. 

Kesalahan berpikir pertama adalah menganggap bahwa hubunganmu (entah sekedar pacaran atau pernikahan) adalah solusi atau jalan keluar dari permasalahanmu. It’s not and it won't. Berharap menemukan pasangan yang membuatmu bahagia adalah hal yang wajar – namun menganggap pasanganmu tugasnya cuma itu, adalah kesalahan berpikir yang kedua. Kamu puya kewajiban juga untuk mencari kebahagiaanmu sendiri, dan pasanganmu punya hak untuk menemukan kebahagiaannya sendiri. 

And let's deal with this reality: hidup tidak sesempurna selebgram yang memamerkan kehidupan sempurna mereka dalam pesta pernikahan glamor (tapi sok-sokan down to earth) yang romantis, pasangan ganteng/cantik dan kaya dari lahir yang setia, dan persahabatan yang sempurna. Yap... I should note this to myself. 


Sabtu, 14 Oktober 2017

Apa yang Salah Dari Pengabdi Setan (2017)

Apa yang Salah Dari Pengabdi Setan (2017)


Ngomong-ngomong, berhubung film ini kayaknya udah ditonton banyak orang, jadi resensi yang saya tulis ini akan penuh dengan spoiler ya. Saya agak gatel untuk nulis review ini tanpa spoiler, berhubung saya merasa film Joko Anwar ini punya banyak masalah... Itulah kenapa saya kasih judul review ini: Apa yang Salah dari Pengabdi Setan (2017). Saya tahu, review ini akan sangat dibenci oleh banyak orang yang memuja film ini. Apalagi sesama blogger lain pun bilang film ini bagus banget.

Saya nggak pernah mengklaim diri saya sebagai kritikus, soalnya seorang kritikus harus bisa obyektif dalam menilai sebuah karya film. Nah, saya cenderung sangat subyektif dan suka-suka aja kalo ngereview, dan kalau mood nyinyir saya sudah keluar, saya akan terlihat seperti tukang nyinyir yang menyebalkan (istilahnya: pretentious asshole). Sebagai penikmat film, saya juga selalu punya problem dengan film-film Indonesia. Entahlah, saya pokoknya sombong banget dan ga nasionalis sama film lokal. Film Indonesia yang saya akuin bagus sejauh ini cuma The Raid, dan itupun sutradaranya ga asli Indonesia. (Don't make me start to talk about AADC2.. that movie is crap. Cuma menang yang main bukan aktris-aktris alay aja trus dipuji-puji ama orang). Karena itulah, sebagian besar ulasan saya di sini mungkin dilatarbelakangi ketidakadilan saya soal menilai film lokal.... 

Waktu Pengabdi Setan heboh banget main di bioskop (dan bahkan saat ini uda tembus 2 juta lebih penonton) dan dipuji-puji oleh banyak orang, saya sudah skeptis dan terlalu sombong untuk berangkat ke bioskop. Tapi trus saya baca review seseorang, yang bilang betapa "kacaunya" film ini. Malah justru ini yang bikin saya spontan berangkat ke bioskop karena penasaran. Bahkan malemnya saya ngebelain juga untuk nonton Pengabdi Setan versi tahun 1980 yang digarap Sisworo Gautama Putra, supaya bisa punya perbandingan untuk nulis review ini. 

Pertama-pertama, bagi yang merasa film Pengabdi Setan tahun 1980 lebih seram daripada film versi Joko Anwar, pasti adalah mereka yang punya sentimental nostalgia jaman kecil dengan film ini. Jelas, film Joko Anwar lebih baik dalam menampilkan segi horror yang lebih sesuai dengan selera tontonan generasi milenial. Kalau nonton film ori-nya, pasti kita malah jadi ketawa. Adegan-adegan horror Pengabdi Setan versi Joko Anwar beneran punya nilai jumpscare dan unpredictable yang luput dari film-film horror Indonesia lainnya yang teramat murahan. Horrornya tampil sangat elegan dan menakutkan. Namun.... ya cuma sebatas itu bagusnya.

Joko Anwar mengulang kesalahan yang kerapkali menjadi masalah kebanyakan film horror. Film horror mainstream biasanya terlalu sibuk menakut-nakuti penonton sehingga kedodoran dalam ngegarap naskahnya. Nonton Pengabdi Setan ini saya jadi teringat film-film horror Thailand sebangsa Shutter dan Ladda Land. Nakutin sih, tapi filmnya penuh plot hole dengan narasi yang males-malesan, ga solid, ga kohesif, dengan jalan keluar dan ending yang kelewat mudah. Akan berbeda misalnya jika Joko Anwar hendak membuat film yang penjelasannya sengaja dibuat semisterius dan seambigu mungkin, sehingga plot hole atau "motivasi kenapa" yang ada nggak akan dipermasalahkan. Contoh, film It Follows atau The Shining. Tuh kan hantunya ga jelas siapa, tapi ya ga masalah... tho emang filmnya ga bermaksud menceritakan hantunya apa dan kenapa. Beda dengan Pengabdi Setan yang di endingnya ingin "melogiskan" kenapa keluarga mereka diteror.  Belum lagi ketika Pengabdi Setan ini diakhiri dengan cara yang kesannya menggampangkan dan "lho-gitu-doank?".

Sebenarnya, naskah Joko Anwar ini potensial jika bisa disampaikan dengan lebih baik lagi Saya membaca betapa netizen ramai berdiskusi soal kenapa ini kenapa begitu, dan penjelasannya cukup logis dan seru. Namun, saya tetap merasa Pengabdi Setan ini kurang solid dan kuat dalam menyampaikan maksudnya. Jika ditanya kenapa ada banyak plot hole, saya membayangkan Joko Anwar akan "ngeles" dengan bilang bahwa doi menyiapkan jawabannya di sekuelnya. Joko Anwar tampaknya emang ingin "memperumit" ceritanya dibandingkan dengan film orinya, namun jatuhnya malah ambyar. Bandingkan misalnya dengan film The Wailing, misalnya. Film itu juga nggak jelas dan ambigu, namun setelah menonton saya tidak merasa keambiguannya itu sebagai jalan cerita yang nggak masuk akal, tapi murni karena emang misterius dan penonton bisa berdiskusi dengan positif membahas filmnya selepas nonton. Sementara Pengabdi Setan ini kayak ada kesan, "Ih apaan sih masa tiba-tiba begitu? Lho itu tadi kerasukan kok ga jadi kerasukan lagi? Lho gimana sih ngapain si Hendra dibuat mati? Lho si kakek dukun ini kok tiba-tiba muncul? Lho bapaknya tahu ga sih kalau ibunya ke sekte setan? Kalo tahu kenapa tingkahnya begitu? Si Bapak ga sholat karena sekuler/agnostik atau karena muja setan? Kenapa ngadain tahlilan? Lho masa neneknya mati bapaknya ga pulang? Lho kalo si ibunya emang pengen punya anak dengan meniduri lelaki lain kenapa harus gabung sekte, kenapa ga dengan cara normal selingkuh aja? Lho masa begitu tahu adiknya ternyata pangeran iblis mereka langsung kabur gitu aja? Keluarga macam apa itu! dan seterusnya dan seterusnya...".

Selain itu, saya merasa film horror yang bagus adalah yang bukan mengumbar adegan hantu-hantuan sebanyak-banyaknya. Itulah kenapa saya nggak suka dengan The Conjuring 2, karena film itu kebanyakan adegan hantu. Unsur paling menakutkan dalam menakut-nakuti manusia adalah kecemasan, sehingga harusnya film horror yang baik itu fokus dalam building horror and intense atmosphere, namun sekali hantu atau setannya muncul, munculinnya ngagetin dan memorable. Ketika selama proses nonton kita sudah terbiasa dengan hantunya yang muncul terus, otomatis lama-lama jadi ga takut lagi. Pengabdi Setan jadi bermasalah karena film ini sudah menakut-nakuti awal (dengan cara yang baik), tapi lalu hantunya muncul berulang kali sehingga jatuhnya jadi ga nakutin dan tidak akan terlalu mengagetkan lagi. Saya kasih contoh film-film lain yang efektif dalam teror namun "hantu"-nya cuma muncul sedikit: Orphanage, Rosemary's Baby, Dark Water, A Tale of Two Sisters, Rings, atau bahkan Audition yang adegan slasher-nya cuma muncul belakangan.  Bagaimana dengan It? It (2017) sebenarnya juga terlalu banyak "hantu", namun kemunculan hantunya sangat kreatif dan seru sehingga itu yang bikin film ini bagus. 

Saya juga bingung ketika Pengabdi Setan ini dikatakan sebagai sebuah remake, berhubung garis besar ceritanya jauh berbeda dengan film orinya. Kenapa Joko Anwar harus ngotot untuk nge-remake film ini jika ia membuat banyak perubahan? Di film orinya tidak ada si Nenek, tidak ada sekte kesuburan pemuja setan, tidak ada kuburan di dekat rumah (yang by the way, ga nyambung juga sama ceritanya selain cuma buat serem-sereman), tidak ada pangeran iblis, tidak ada latar belakang si ibu yang menakut-nakuti anaknya. Emang sih, film orinya konyol banget dalam ngasih motivasi - bahwa keluarga yang sekuler itu "lemah iman". Tapi at least film ori-nya terasa lebih solid dan kohesif dengan garis besar ceritanya. Saya justru mikir, karena Joko Anwar ngotot untuk membuat remake, maka dia harus memasukkan unsur-unsur yang ada di film ori-nya ke versi cerita dia yang baru, dan jatuhnya malah ga nyambung dan maksa. Saya merasa si ustadz dan anaknya itu ga guna-guna banget (dan please deh, itu si anak ustadz nyepik-nyepik di makam sama cewek yang habis kehilangan ibunya...). Kalaupun Joko Anwar emang sengaja ingin "meledek" bahwa ustadz tetaplah manusia biasa yang kalah kuat sama setan, dia juga tidak memanfaatkan subplot ini dengan maksimal. (Bytheway, setelah discuss ini dengan teman.. dia bilang kalau Joko Anwar menjelek-jelekkan profesi ustadz, bisa-bisa si Joko Anwar didemo orang di lapangan monas!).

(Edit tambahan: Rupanya, Joko Anwar bilang ini reboot ya? Cuma berhubung mayoritas orang nggak tahu reboot sama remake, jadi dibilanglah remake). 

Berhubung pengetahuan film lokal saya masih sedikit, saya emang belum nonton semua film Joko Anwar. Cuma saya tahu bahwa Joko Anwar selalu unggul dalam tata artistiknya, namun di sisi lain saya selalu merasa ada kesan "lebay" dalam film-filmnya. Haha. Saya menemukan problem ini lewat Modus Anomali, Kala, dan Pintu Terlarang. Entahlah. Saya mungkin kelewat nyinyir aja. Pengabdi Setan buat saya juga menawarkan hal yang sama. Apa sih yang bikin film horror Indonesia nakutin? Karena film ini lekat dengan kearifan setan-setan lokalnya yang emang terbiasa membuat kita ketakutan tiap malem Jumat. Kita selalu takut dengan kuburan, hantu orang yang sudah meninggal, hantu perempuan rambut panjang, pocong, mayat yang bangun lagi... Nah, Pengabdi Setan menampilkan ini semua dengan cukup meyakinkan - tapi membuat konklusinya dengan mengkhianati kearifan lokal. Sekte pemuja setan (occultism) dan anak iblis itu terasa sebagai folklore Barat, bukan cerita mistik lokal. Akan lebih masuk akal misalnya, jika Joko Anwar memasukkan unsur pesugihan, penglaris, kemenyan, atau bercinta dengan jin dan makhluk ghaib... kisah-kisah mistik yang sering kita baca di tabloid Posmo. 

Lalu.... saya agak terganggu dengan cast-nya. Saya bandingkan lagi dengan film The Wailing (maaf ya, saya kepikirannya film ini sih dari tadi). The Wailing itu terasa sangat realistis, karena disupport oleh cast yang terasa sangat realistis. Pengabdi Setan ini ga butuh Bapak ganteng dan kelewat muda untuk jadi Bapak mereka (malah si Bapak di film ori-nya lebih terasa realistis). Saya juga heran kenapa aktor Bront Palarae dicast sebagai sang bapak, karena mukanya yang berdarah Pakistan dan Thailand sama sekali ga "nyambung" dengan anggota keluarga lainnya (saya bilang begini pasti ditangkis dengan alesan "kan anak-anaknya bukan anak bapaknya!" Tapi seenggaknya mirip dikit donk ama neneknya, atau mau dikasih alesan mungkin si kakek orang Pakistan?"). Dan please deh itu bapak kemudaan buat punya anak umur 22 tahun (mau dikasih alesan lagi kalo si Bapak pakai susuk awet muda? Keluarga ga percaya takhayul tapi percaya susuk?). Cast lainnya bermain dengan lumayan, terutama si kecil Ian (M. Adhiyat) yang terlalu menggemaskan untuk jadi anak iblis dan yang jadi Toni (Endy Arfian), serta sang Ibu yang lebih serem pas belum jadi hantu (Ayu Laksmi). Cuma emang namanya film Indonesia ya... selalu keganjal dengan masalah dialognya yang ga natural yang bikin akting pemainnya jadi susah. Karena siapa sih orang Indonesia yang ngomong sehari-hari pakai bahasa Indonesia yang baik dan benar? (dan si kecil Bondi bilang begini: "Dari luar jendela kelihatan areal pekuburan...". Ada ya anak SD bilang kata "areal"?). 

Lantas, kenapa Pengabdi Setan banyak yang bilang bagus? Jawabannya simple: karena film horror Indonesia lain kelewat jelek.

Cuma memang mudah-mudahan Pengabdi Setan ini bisa jadi standar baru bagi perfilman Indonesia untuk bisa bikin film yang bagusan dikit dan tetap disukai masyarakat. Saya harus memuji juga bahwa Pengabdi Setan bagus dalam segi horrornya, filmnya artistik dan sangat berciri khas Joko Anwar, saya juga suka desain set dan propertinya (rumahnya horror banget itu!), dan saya juga suka dress-dress cantik Tara Basro. Saya berharap pada film berikutnya Joko Anwar bisa lebih memaksimalkan script-nya lagi.

* Sebenarnya bikin film horror yang populer itu lumayan gampang lho dibandingkan bikin film-film lainnya. Selama fokus dan maksimalin horror scene-nya aja, dengan marketing yang baik, maka rata-rata penonton udah suka.

Sabtu, 07 Oktober 2017

Penjelasan Film Blade Runner 2049

Penjelasan Film Blade Runner 2049


Dua puluh empat jam setelah nonton Blade Runner 2049, dan saya masih belum bisa move on. Blade Runner 2049 menawarkan kompleksitas cerita yang sayang banget kalau nggak dibikin artikel khusus sendiri. Walaupun hype Blade Runner 2049 emang lumayan tinggi, tapi saya juga ngrasa film ini ga se-"santai" yang diharapkan penonton awam, hingga mungkin ada beberapa di antara kalian yang kebingungan dan mengharapkan penjelasan lebih rinci. Saya menulis ini berdasarkan satu kali nonton aja, jadi mungkin ada banyak poin yang bisa jadi saya kelewatan dan ga match, jadi please kalau ada yang punya perspektif lain yang lebih benar bisa nulis di comment ya.

(SPOILER ALERTS! Buat yang belom nonton ada baiknya baca review Blade Runner 2049, lalu nonton, trus baru deh kembali ke sini lagi. Dan ngomong-ngomong, artikel ini bakal panjang.... So, be prepare...).

BLADE RUNNER (1982) : THE ORIGINAL



Saya nggak tahu apakah mereka yang belom nonton versi ori-nya bisa langsung paham dengan sekuelnya. Secara garis besar mungkin bisa, tapi saya rasa mereka yang sudah nonton film ori-nya bakal lebih terpuaskan dan nyambung karena Blade Runner 2049 menawarkan extended story and universe dari film ori-nya. 

Blade Runner (1982) bercerita tentang dunia distopia tahun 2019, dimana manusia bisa merancang "manusia buatan" hasil genetic-engineering yang disebut Replicant. Replicant digunakan sebagai budak untuk bekerja di koloni dunia luar (off-world colonies). Di film Blade Runner, para replicant ini dirancang dan diproduksi oleh Tyrell Company. Para replicant ini dilarang untuk kembali ke bumi, dan mereka yang kabur ke bumi akan diburu oleh polisi khusus yang disebut blade runner. Deckard (Harrison Ford), adalah seorang blade runner yang diminta memburu empat replicant berbahaya yang kabur ke bumi dengan pimpinannya Roy Batty (Rutger Hauer) - dan tampaknya hendak mencari Tyrell, yang menciptakan mereka. Dalam misi perburuannya, Deckard bertemu dengan Rachael (Sean Young), seorang replicant terbaru ciptaan Tyrell yang bertindak sebagai asisten Tyrell. Si Rachael ini sangat spesial karena ia ditanami "ingatan" khusus yang membuatnya jadi percaya bahwa dirinya adalah manusia beneran dan "ingatan khusus" ini membuatnya mempunyai sisi emosional yang lebih terkontrol dari versi replicant sebelumnya. Bisa ditebak, Deckard terus terlibat asmara deh dengan si Rachael ini.

Blade Runner sendiri punya banyak versi yang cukup berbeda. Kalau baca interview-nya, Blade Runner 2049 lebih didasarkan pada versi The Final Cut-nya Blade Runner yang dirilis tahun 2002. Salah satu pertanyaan ambigu terbesar bagi para penonton dari film Blade Runner adalah si Deckard ini manusia beneran atau replicant juga? Nah, versi The Final Cut-nya ini lebih menguatkan dugaan kalau Deckard adalah seorang replicant. Ridley Scott memasukkan scene Deckard bermimpi unicorn yang tidak ada di versi sebelumnya, dan di akhir diperlihatkan origami unicorn bikinan Gaff yang besar kemungkinan menunjukkan bahwa Gaff mengetahui jika Deckard adalah seorang replicant yang juga dipasang implant ingatan/mimpi. "Happy ending" di original cut-nya (katanya sih si Deckard dan Rachael berhasil kabur) juga dihapus, membuat ending versi The Final Cut jadi lebih ambigu. Versi The Final Cut berakhir dengan Deckard kabur bersama Rachel dari apartemen Deckard. 

BLADE RUNNER 2049 : THE PLOT 



Blade Runner 2049 berkisah tentang petualangan K (Ryan Gosling), 30 tahun sejak Deckard menghilang. Ada banyak hal yang terjadi selama 30 tahun itu. Salah satunya, perusahaan Tyrell bangkrut dan dibeli oleh Wallace (diperankan Jared Leto). Wallace merancang jenis replicant lain dalam versi yang tidak dimiliki jenis replicant pendahulunya: lebih patuh. Hal ini bisa terlihat dari karakter Luv (Sylvia Hoeks), yang jagoan dan sangat setia pada Wallace (and remember when she said, "I'm the best!" and when Wallace refer her as his best angel?). Selain itu, pada tahun 2020 ada semacam pemberontakan yang dilakukan replicant yang berujung pada peristiwa Black Out, dimana listrik di bumi padam total dan menghapus data-data tentang replicant. Nexus 8, adalah jenis replicant yang harus diburu dan "dipensiunkan" oleh blade runner, dan sisa-sisanya yang hidup berusaha membaur dan bersembunyi di masyarakat (salah satunya adalah tokoh Sapper Morton (Dave Bautista) dan prostitute Mariette (Mackenzie Davis)). Nexus 8 ini jelas lebih canggih dari Nexus 6 yang ada di Blade Runner, mereka tidak punya life-span 4 tahun sebagaimana karakter Roy Batty (Rutger Hauer).  

Di lahan pertanian milik Sapper Morton, K kemudian menemukan tengkorak seorang wanita. Sang wanita diduga meninggal saat melahirkan, dan dari tulangnya yang berkode, diketahui kalau wanita tersebut adalah seorang replicant. Hal ini sangat mustahil karena replicant yang ada selama ini "tidak didesain" untuk punya anak. Letnan Joshi (Robin Wright) menganggap fakta ini bisa mengganggu stabilitas dunia ("The World is built in a wall that separates kind. Tell either side there's no wall... You bought a war.") dan mengutus K untuk menyelidiki kasus ini dan membakar seluruh bukti adanya "prodigy child" replicant. Belakangan, diketahui bahwa sang wanita yang mampu mempunya anak itu adalah Rachael, replicant dari film Blade Runner sebelumnya. Di lain sisi, Wallace (Jared Leto) juga hendak mencari sang anak karena ia sendiri ingin bisa memproduksi replicant yang bisa bereproduksi (ingat adegan si Wallace dengan jahatnya menyayat perut replicant jenis baru yang baru aja diciptakan?). Ia pun menyuruh asistennya Luv untuk membuntuti penyelidikan K.

Penyelidikan yang dilakukan K kemudian mengantarkannya pada sebuah kenyataan yang sulit dipercaya: ia berpikir bahwa dirinya adalah sang anak hasil keajaiban. Hal ini didukung fakta ingatannya tentang boneka kayu berukir tanggal 6-10-21 yang disembunyikannya di sebuah panti asuhan, dan ternyata boneka kayu itu beneran ada. Ia pun berusaha mencari Deckard, yang dianggapnya adalah ayahnya. But uh-oh, di sinilah naskahnya bermain dengan baik: sooner kita mengetahui bahwa K bukanlah sang anak. Anak Rachel dan Deckard adalah seorang perempuan, dan rupanya sang anak adalah Dr. Ana Stelline (Carla Juri) yang selama ini bekerja sebagai subcontractor Wallace yang kerjanya menanamkan ingatan kepada para replicant. K kemudian bertemu Freysa (Hiam Abbas), perempuan bermata satu yang menjadi pemimpin pemberontakan para replicant. Ia diminta untuk mencari Deckard yang diculik Luv/Wallace, dan membunuhnya jika perlu, agar rahasia sang anak replicant tidak diketahui oleh Wallace. Di bagian akhirnya, K berhasil menyelamatkan Deckard dan mempertemukannya dengan Ana. K sendiri akhirnya meninggal akibat lukanya, dalam damai dan artistik di atas salju...

SO, K IS A REGULAR REPLICANT?

Yap. K adalah seorang replicant biasa. Ingatan tentang boneka kayu bertanggal 6-10-21 adalah ingatan yang (entah sengaja atau tidak) ditanamkan oleh Ana pada dirinya. Dan ingatan ini merupakan ingatan asli dari Ana. Anak kecil yang tampaknya seperti anak lelaki dari ingatan K, sebenarnya adalah seorang anak perempuan (that's clever!). 

Maka kisah hidup Ana kehidupan menjadi masuk akal. Ia tinggal sendirian - dimana menurut ceritanya ia terlalu sakit untuk pergi ke off-world colony - terlindungi di kantornya. Tampaknya para replicant lain berusaha melindunginya, dan Deckard membantu mengajari para replicant untuk mengacaukan data demi menyembunyikan identitas Ana. Adalah hal yang ironi, ketika Wallace tidak mengetahui bahwa "sang anak" selama ini justru bekerja untuknya. 

SO, IS DECKARD A REPLICANT TOO?

Ini pertanyaan paling sering ditanyakan yang menghantui benak fans film ori-nya. Sayangnya, jawaban itu tidak didapatkan secara gamblang di film ini. Saya pikir ini sesuai dengan tema filosofi film ini sendiri (tentang siapa itu manusia? dan apakah membedakan seseorang manusia atau bukan adalah perkara penting?). Tapi buat saya pribadi sih, Deckard adalah seorang replicant. Namun entah dia benar replicant atau tidak, hal ini sebenarnya sama sekali bukan sesuatu yang signifikan. Keajaiban itu ada pada diri Ana, bukan Deckard. Tidak penting Deckard replicant atau tidak, yang penting adalah tindakan yang dilakukannya. (Coba baca artikel ini). 

KOK RACHAEL BISA HAMIL?

Jawaban ini juga tidak disampaikan secara eksplisit. Saya kira ini adalah hasil kejeniusan Tyrell yang menciptakan Rachael sebelumnya. Wallace juga menduga-duga sendiri bahwa pertemuan antara Deckard dan Rachael di Blade Runner (1982) memang sengaja dilakukan oleh Tyrell itu sendiri - untuk melihat apa yang bisa terjadi di antara mereka. Sayangnya, Tyrell-nya udah keburu mati duluan dibunuh replicant Roy Batty di Blade Runner. Ana, yang merupakan replicant yang "dilahirkan" alih-alih diciptakan, menjadi sebuah simbol harapan bagi para replicant untuk bisa menyadari bahwa diri mereka itu nyata dan juga manusiawi. Apakah ini menunjukkan replicant lain bisa hamil? Entah. Yang jelas, ada kemungkinan bahwa si Ana mewarisi genetik ibunya untuk juga bisa hamil dan melahirkan. 

THE PHILOSOPHY



Blade Runner sama sekali bukanlah sebuah film sci-fi yang entertaining, tapi kalau kamu mencari film dengan gagasan filosofis yang dalem dan berat dalam sebuah film populer, maka Blade Runner adalah rujukan yang tepat. Konsep filosofis yang saya tangkep dari Blade Runner (1982) maupun Blade Runner 2049 (2017) berkisar pada pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: siapakah manusia? apakah yang membuat "sesuatu" dikatakan manusia? bagaimanakah menjadi manusia? Apakah jiwa itu?

Dalam film Blade Runner, mata merupakan simbolisme tentang apa itu manusia. Mata adalah jendela jiwa. Melalui mata kita bisa melihat dan membaca emosi, mengetahui apakah seseorang punya "jiwa" atau tidak. Film orinya Blade Runner (1982) dimulai dengan gambar close-up sebuah mata, demikian juga dengan Blade Runner 2049 yang dimulai dengan hal yang sama. Tes-tes yang dilakukan blade runner untuk mengecek apakah seseorang adalah replicant atau bukan juga dibaca melalui matanya. Freysa, sang pemimpin pemberontak replicant mencabut (atau dicabut) matanya. Ironisnya, Wallace - sang kreator para replicant, justru buta. Ini tampaknya menjadi sebuah metafora bahwa Wallace, seorang manusia, justru terlihat sangat tidak manusiawi.   

Dengan menciptakan dunia distopia yang asing dan dingin, Blade Runner secara tidak langsung ingin menunjukkan bahwa manusia asli justru lebih mirip robot yang tidak punya perasaan. Ketika Zhora terbunuh dalam adegan yang dramatis di film ori Blade Runner, orang-orang di sekitarnya sama sekali tidak peduli. And please, manusia-manusia itu memperbudak replicant untuk kepentingan mereka sendiri! Sebaliknya, para replicant di Blade Runner seperti Roy Batty, Pruiss, Rachael, justru mengembangkan emosinya sendiri. Mereka peduli dengan sesama replicant lainnya. Roy bahkan mampu berkontemplasi dan berpuisi ria dalam Tears in Rain monologue-nya yang sangat ikonik. Deckard juga membuat Rachael jatuh cinta, membuktikan bahwa emosi yang terjadi di antara mereka nyata.


Di Blade Runner 2049, ketidakmanusiawian dan kekosongan jiwa pada manusia itu utamanya digambarkan melalui karakter Wallace yang buta, dingin, dan obsesif, serta kantornya yang modern tapi sepi dan sangat "inhuman". Pertanyaan-pertanyaan soal batasan-batasan manusiawi juga dihadirkan melalui sosok Joi, sang makhluk virtual super loveable yang menjadi kekasih K. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah untuk menjadi manusia kita butuh "tubuh"? Salahkah jika kita mencintai makhluk virtual seperti hologram, tapi secara emosi dan penampakan sangat manusiawi dan terasa nyata? Apa sih "nyata" itu? Bagaimana sesuatu dikatakan punya "jiwa"? Tentu ini merupakan gagasan filosofis menarik mengingat bahwa sebagian manusia jaman sekarang terjebak pada relasi virtual.

Salah satu tema lain yang melingkupi Blade Runner adalah Bible-reference-nya. Sayangnya berhubung saya bukan penganut Kristiani, maka saya kurang paham dan tidak bisa bicara soal ini. Tapi saya ingin membahas nuansa relijiusitas dalam film ini: hubungan Creator (God) dan Creation (Human). Dalam film ini sang Creator adalah manusia, dan Creation-nya adalah para replicant. Orang kerap menyamakan Roy Batty di film Blade Runner sebagai Lucifer, the fallen angel yang melakukan pemberontakan terhadap Tuhan. Saat ia menemui Tyrell, ia sedang mempertanyakan keputusan Tuhan-nya - dan bahkan berujung dengan membunuh Penciptanya sendiri. Saya rasa tema besar ini juga yang ingin Ridley Scott sampaikan lewat karakter robot David (Michael Fassbender) di Prometheus dan Alien: Covenant (well, dimana robot yang diciptakan justru jauh lebih kuat, abadi, dan manipulatif dari penciptanya dengan kemampuan "free-will"-nya). Di Blade Runner 2049, saya merasa sosok Wallace mewakili Tuhan. Wallace mengungkapkan gagasan kontroversial: betapa peradaban selalu dibangun dengan mengorbankan manusia. Jika tidak ada manusia yang  mau melakukannya, kenapa kita tidak membuat "manusia buatan"? Ia dingin, jenius, dan terasa tidak manusiawi, hey.. he is God! Bukankah Tuhan seharusnya terlepas dari sifat-sifat manusiawi?

K'S JOURNEY


Sepenting apakah karakter K dalam Blade Runner 2049? Sangat penting! Tidak hanya ia merupakan polisi yang diminta menyelidiki misteri yang terjadi, namun perjalanannya juga mewakili perubahan replicant yang sebelumnya hanyalah "manusia buatan yang selalu patuh pada perintah manusia" menjadi seorang replicant dengan ciri-ciri manusiawi yang berkehendak (have free will)

Awalnya ia tidak ubahnya robot yang diprogram: ia bisa membunuh sesama kaumnya karena itu adalah tugas yang memang telah diciptakan untuknya. He is a blade runner, created to hunt and kill another replicant. Sebagai replicant, ia menjalin hubungan dengan makhluk virtual Joi, karena baginya itu adalah hubungan paling nyata yang bisa dan layak ia dapatkan. Namun semuanya berubah ketika ia mengira dirinya adalah "sang anak ajaib". Dengan percaya bahwa dirinya spesial dan berbeda, K merasa menemukan tujuan dan harapan lain dari hidupnya yang "terprogram". Ia tidak lolos "uji" replicant saat kembali ke kantor dan mampu berbohong kepada bos nya kalau ia sudah membunuh sang anak. Ia membuat pilihan di luar yang telah diperintahkan untuknya. Ia menyadari bahwa emosi yang dirasakannya kepada Joi nyata, that he truly loves her. Semakin lama ia merasa bahwa dirinya "real" - salah satu klimaksnya ada pada adegannya berteriak di kantor Ana sesaat setelah mengira bahwa ia adalah sang anak ajaib - hal yang tidak pernah dilakukan K sebelumnya yang sangat tidak emosional.

Blade Runner 2049 ingin menunjukkan apa yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Yang membuat manusia "hidup" dan sebenar-benarnya manusia adalah karena kita punya free-will, kepercayaan, cinta, harapan, dan tujuan hidup. K adalah bukti bahwa replicant semakin lama bisa "more human than human" setelah dirinya mempercayai bahwa ia spesial. Dalam misi terakhirnya, sebagaimana yang diminta Freysa, ia diminta untuk melakukan pengorbanan (dengan mencari Deckard yang diculik K) sebagai sesuatu paling manusiawi yang bisa ia lakukan

....
Yap. Jadi itulah semua yang bisa saya dapat dari nonton Blade Runner 2049. Saya kira tema-tema "berat" seperti ini tidak akan terlalu disukai oleh banyak orang (dan bukankah kita datang ke bioskop untuk terhibur bukannya pusing mikirin hidup dan berfilsafat ria?). 

Untuk kamu yang mikirnya sama ruwetnya dengan saya, please leave a comment here. Atau jika masih ada pertanyaan bisa tinggalkan comment ya!

Sabtu, 15 Juli 2017

Top 10 : My Favorite Movies in 2016

Top 10 : My Favorite Movies in 2016


Udah bulan Juli 2017, tapi saya (seperti biasa) baru menuliskan daftar film favorit saya tahun 2016. Telat? Emang! Apa boleh dikata, banyak film yang dirilis tahun 2016 baru bisa saya saksikan tahun ini. Itupun masih banyak film tahun 2016 yang masih belum ditonton, seperti Fences, Hidden Figures, The Salesman, dan American Honey. Daripada ditunda-tunda lagi keburu males (dan basi), jadi ya sudah saya tulis dulu daftarnya dari yang udah saya tonton. 

Saya nggak bilang daftar yang saya susun ini adalah film terbaik. Itulah kenapa saya kasih judul "My Favorite Movies", karena saya cuma memasukkan film-film yang paling saya suka dan mengesankan buat saya pribadi. Itulah kenapa juga kamu nggak akan nemu film-film seperti Tony Erdmann dan Elle, karena biarpun dipuji-puji oleh banyak orang, otak saya nggak nyambung nonton film-film itu...

Berhubung saya suka film horror, saya bikin daftar khusus My Favorite Horror Movies di review selanjutnya, jadi film horror ga saya masukkan daftar ini.

#10 
LOVING (Jeff Nichols)

Sebuah kisah cinta nyata yang romantis dan mengharubiru antara Richard Loving (Joel Edgerton) dan Midget Jeter (Ruth Negga) yang pernikahannya dianggap ilegal oleh negara bagian Virginia. Loving adalah sebuah film dengan tema rasisme yang rawan disampaikan dengan emosi yang meletup-letup, namun sutradara Jeff Nichols melakukannya dengan caranya sendiri: lembut dan subtil, namun tetap sentimental dan penuh melankolia. Biar kata filmnya terasa agak membosankan karena terlalu "sunyi", saya.... mewek empat kali nonton film ini (apalagi pas tahu endingnya, saya sampai terisak-isak). Joel Edgerton dan Ruth Negga menampilkan akting memikat sebagai pasangan "pendiam", dan chemistry keduanya sebagai pasangan yang saling mencintai begitu menawan.

#9 
MOONLIGHT (Barry Jenkins)

It's not easy to live only with your drugs-addict mom, being black, poor, and gay. Moonlight yang merupakan Best Picture di Oscar tahun ini adalah potret coming-of-age story tentang seorang anak yang harus menjalani kehidupannya yang jauh dari kata ideal dalam 3 periode hidupnya: anak-anak, remaja, dan dewasa. Ini adalah tipikal film yang bisa mengiris-iris perasaan setiap orang dan sudah punya materi kuat untuk jadi jagoan di ajang festival film. Dengan budget yang sangat minim, Barry Jenkins bisa mengarahkan Moonlight menjadi film sentimental yang cukup melankolis tanpa kelewat-lewat mendayu-dayu dengan visual yang sangat artistik. Moonlight mungkin emang layak dapet Oscar, apalagi dengan ensemble cast yang bermain menawan semua, tapi saya pribadi tidak terlalu memfavoritkannya. That's why Moonlight ga masuk daftar 5 teratas. 

#8 
THE EDGE OF SEVENTEEN (Kelly Fremon Craig)

The Edge of Seventeen bercerita tentang Nadine (Hailee Steinfeld) yang merasa sebagai si itik buruk rupa yang jauh berbeda dengan saudaranya yang ganteng dan populer. Masalah semakin rumit ketika sahabatnya malah pacaran dengan saudaranya sendiri. Dunia Nadine pun terasa hancur lebur, dan satu-satunya tempat curhatannya cuma gurunya yang sarkastik (Woody Harrelson). Hailee Steinfeld mungkin terlalu cakep dan keren untuk jadi cewek culun dan outlier di sekolah, tapi abaikan persoalan itu maka The Edge of Seventeen adalah film high school coming of age yang sangat fun dan hilarious untuk ditonton. The Edge of Seventeen akan mengajakmu mengenang ke masa-masa SMA yang buat sebagian orang lumayan suram, terutama buat kamu yang bukan termasuk anak populer di sekolah. 

#7 
MANCHESTER BY THE SEA (Kenneth Lonargan)


Lee Chandler (Casey Affleck) adalah seorang handyman pemurung yang harus kembali ke kota asalnya setelah sang kakak meninggal dunia. Ia pun terpaksa harus mengurus keponakannya yang masih remaja dan kembali mengingat masa lalunya yang suram di kota tersebut. Manchester by The Sea adalah sebuah drama tentang pahit-manis kehidupan. Bagi sebagian orang film ini membosankan, tidak ada emosi meletup-letup yang berlebihan, namun naskahnya yang heartwarming sekaligus heartbreaking membuat saya terpikat dan terhanyut menontonnya dengan penuh perasaan dari awal hingga akhir. And Casey Affleck definitely deserves an Oscar. 

#6 
HUNT FOR THE WILDERPEOPLE (Taika Waititi)

One of the best 2016 comedy movie comes from New Zealand. Hunt for the Wilderpeople adalah sebuah drama petualangan seru antara dynamic duo yang aneh: paman pendiam yang sarkastik dan keponakan yang menyebalkan. Ricky Baker (Julian Dennison) adalah anak yatim piatu yang menjadi anak angkat pasangan paruh baya Bella (Rima Te Wiata) dan Hec (Sam Neill). Kehidupan mereka berubah ketika Bella meninggal dan Ricky harus berdamai dengan paman Hec yang tidak menyukainya. Hunt for the Wilderpeople tidak hanya dipenuhi jokes-jokes yang seru dan menyegarkan, namun juga punya naskah yang menyentuh dan bikin terharu. Soundtrack-nya catchy dengan pemandangan yang instagrammable saat Taika Waititi mengajak kita menjelajah hutan Selandia Baru yang indah. Chemistry menawan dan akting yang kocak juga diperlihatkan Sam Neill dan newcomer Julian Dennison.

#5
PATERSON (Jim Jarmusch)

Beauty is often found, in the smallest details. Paterson adalah sebuah kontemplasi filosofis yang puitis dari kehidupan 1 minggu seorang pria sederhana dan biasa-biasa saja bernama Paterson, bus-driver di kota yang punya nama sama dengannya. Paterson bukan karakter pria paling menarik di dunia, dan kehidupannya sangat standar dan monoton, namun entah bagaimana Jim Jarmusch bisa menghadirkan kisahnya begitu manis untuk disaksikan. Paterson adalah film yang sangat relatable, indah, dan bermakna. Seperti pengen ngajak kita untuk being grateful dengan kehidupan kita yang mungkin tidak spesial, namun kalau kamu teliti kamu bisa menemukan keindahannya. Adam Driver bermain sangat menawan sebagai Paterson, dan chemistrynya dengan sang istri Laura (Golshifteh Faharani) bikin baper paraahhhh! I want their peaceful life, please.... 


#4 

Nocturnal Animals adalah gabungan 2 genre favorit saya: drama percintaan ala Sam Mendes dan suspense thriller ala Coen Brothers. Seorang sosialita pemilik art gallery, Susan (Amy Adams) menerima draft novel dari mantan suaminya Edward (Jake Gyllenhaal). Novel bergenre thriller itu tampaknya merupakan simbolisme dari hubungan percintaan mereka yang berakhir dengan buruk, membacanya membuat Susan kembali mengenang awal dan akhir kisah cintanya dengan sang mantan suami. Nocturnal Animals punya naskah yang memikat dan sangat efektif, dengan ensemble cast yang luar biasa (Amy Adams, Jake Gyllenhaal, Michael Shannon, Aaron Taylor Johnson - yang aktingnya asli bikin saya pengen nendang mukanya, Laura Linney, dan Isla Fisher). Jangan lupakan juga nalar estetika di bawah pimpinan sang sutradara Tom Ford yang menjadikan Nocturnal Animals begitu cantik dan artistik secara visual. 

#3 
THE HANDMAIDEN (Park Chan-Wook)

The Handmaiden mungkin terlalu kontroversial untuk masuk nominasi Best Foreign Movie di Oscar tahun ini (alasan yang sama mungkin kenapa Elle juga ga masuk nominasi), namun hampir sebagian besar orang sepakat bahwa The Handmaiden adalah salah satu film wajib tonton tahun lalu. Apalagi kalau kamu tahu ada lesbian scene-nya hahaha... (lesbi boleh, homo jangan - prinsip pria homophobic). The Handmaiden bercerita tentang seorang pelayan (Kim Tae-Ri) yang sesungguhnya adalah penipu, yang bekerja untuk seorang wanita kaya Lady Hideko (Kim Min-Hee). Park Chan-Wook tampaknya ahlinya dalam mengupas seksualitas dan erotisme, dan di The Handmaiden ia bisa menjadikannya begitu artistik dan tidak sekedar eksploitasi seksual. Tidak hanya memiliki visual dan desain produksi yang sangat memanjakan mata, The Handmaiden juga akan mengajakmu ke dalam petualangan penuh twist yang mendebarkan.

#2 
LA LA LAND (Damien Chazelle)

Moonlight boleh jadi memenangkan Oscar, namun bagi saya La La Land lebih punya nilai jual sekaligus kualitas yang lebih layak diperbincangkan bertahun-tahun ke depan. Premisnya sangat sederhana, namun Damien Chazelle tahu benar bagaimana "menjual mimpi" (white people middle class's dream haha). Visually stunning, cute costume, great soundtrack, bittersweet love story, La La Land bisa mengubah image drama musikal yang biasanya hanya disukai orang-orang tua jadi lebih disukai oleh anak muda. And please, this movie has Ryan Gosling and Emma Stone! Nonton film ini bikin saya baper berhari-hari hingga bikin saya kepengen pegang-pegangan tangan di bioskop dan menari-nari di planetarium sama kekasih.

#1 
ARRIVAL (Dennis Villeneuve)

Berhubung fetish saya adalah luar angkasa, maka saya tempatkan Arrival di tempat yang terhormat dan sudah selayaknya: nomor 1 film favorit saya pada tahun 2016. Arrival adalah sudut pandang lain dari sebuah film alien yang datang ke bumi: mengajak kita berpikir bagaimana berkomunikasi dengan makhluk dengan kemampuan nalar yang jauh berbeda dengan kita. Film yang diambil dari short story Ted Chiang ini diadaptasi dengan baik oleh Eric Heisserer dan dieksekusi manis oleh sutradara Dennis Villeneuve. This movie is masterpiece for me: suspense-thriller yang kelam, melodramatic plot yang bikin saya emosional berhari-hari dan tentu saja brilliant twist. And please deh, ga habis pikir Amy Adams kenapa bisa ga dapet nominasi Oscar? 

...
(Anyway... I am sorry... there is no Deadpool in here hahaha...) 

Selasa, 28 Maret 2017

Penjelasan Film Nocturnal Animals (2016)

Penjelasan Film Nocturnal Animals (2016)

Udah kayak kitab suci aja kadang sebuah film sarat simbolisme sehingga penonton harus berusaha menafsirkannya. Film yang disutradarai fashion designer, Tom Ford, Nocturnal Animals adalah salah satunya. Film ini sendiri sebenarnya merupakan adaptasi dari novel Austin Wright berjudul Tony & Susan. Biarpun dapet review yang tidak selalu positif, I still think Nocturnal Animals is one of the best movie last year. This movie is so intense, the cast is amazing, and its visual is so stunning and beautiful. Review filmnya sendiri sudah pernah saya tulis beberapa hari lalu. Bisa dibaca disini. 

Walaupun Tom Ford memasukkan beberapa elemen-elemen yang merupakan simbolisme dan metafora dalam karyanya ini, Nocturnal Animals sebenarnya film yang mudah dicerna (jauh lebih rumit Mulholland Drive yang bikin pusing itu!). Yang bikin penonton agak bingung mungkin endingnya yang akan membuat beberapa orang mikir, "Hah? Gitu doank? Maksudnya apa?" (ini soalnya saya mikir gitu sih. Bengong ketika tiba-tiba film berakhir dan credit pun mulai bergulir, and then i was like "What the f-? That's all?"). Jadi, di sini saya akan mencoba memberi interpretasi versi saya soal film ini. So, this article contains major spoilers.

The Plot


Untuk memahami Nocturnal Animals, kita perlu mengkaji ulang (*duh bahasanya kayak tugas akhir*) bahwa film Nocturnal Animals mempunyai 3 plot sebagai berikut :

1. THE REAL WORLD : kehidupan Susan (Amy Adams) di kehidupan nyata. Ia pemilik art gallery, tidak bahagia dengan kehidupan pernikahannya (suaminya ganteng dan sukses tapi selingkuh), dan karir dirinya pun menurun. Intinya, she's miserable. Ia kemudian mendapatkan draft novel dari mantan suami pertamanya, Edward (Jake Gyllenhaal). 

2. THE NOVEL : Novel yang ditulis Edward menceritakan Tony (Jake Gyllenhaal) bersama istrinya (Isla Fisher) dan anak perempuannya mengendarai mobil malam-malam di tengah jalanan antah berantah ketika tiba-tiba mobilnya dicegat tiga orang berandalan jahat, Ray (Aaron Taylor-Johnson), Lou dan Turk. Ketiganya kemudian menculik istri dan anak perempuan Tony, memperkosa dan membunuhnya, dan meninggalkan Tony di tengah gurun. Dibantu seorang polisi Bobby Andes (Michael Shannon), Tony berusaha melacak Ray dan teman-temannya. Pada akhirnya Tony membunuh Ray namun ia sendiri meninggal karena kecelakaan dari pistolnya sendiri. 

3. THE FLASHBACK : Sambil membaca novelnya, Susan kembali mengingat masa lalunya dengan sang mantan suami, Edward. Bagaimana mereka berjumpa, jatuh cinta, bagaimana ibu Susan tidak menyetujui hubungannya dengan Edward, bagaimana Susan dan Edward bertengkar, bagaimana Susan memutuskan berpisah dan menjalin affair dengan pria lain dan akhirnya mengaborsi anaknya dengan Edward.

Apa Relevansi Novel Dengan Kisah Hidup Susan/Edward?

Apa yang saya suka dari Nocturnal Animals adalah karena film ini berhasil menggabungkan 2 hal: genre suspense dan drama percintaan. Sekilas memang novel Edward yang bernuansa noir-crime ini tidak berhubungan apa-apa dengan plot utamanya: kisah percintaan Edward dan Susan. Namun, sebenarnya novel ini ditulis karena Edward terinspirasi oleh Susan dan merupakan simbolisme dari kisah percintaan mereka yang berakhir brutal. 

Ingat dialog ini ketika Susan dan Edward masih bersama dan mereka bertengkar?
Susan : "I think you should write about something other than yourself,"
Edward: "Nobody writes about anything but themselves,"
So at this point, clearly this novel is an expression of Edward's lost and grief. 

Lalu Bagaimanakah Hubungannya?


Jadi kita sudah bisa sepakat bahwa novel thriller-intense yang seru itu merupakan simbolisme dari gagalnya hubungan Susan dan Edward. Tokoh-tokoh dalam novel tersebut merupakan fiksi (nama Edward menjadi Tony), namun Susan yang membaca dan menghayati ceritanya memasukkan unsur kehidupan personalnya kepada jalan cerita novelnya. Jalan cerita dalam novel dan kehidupan nyata juga memiliki keterkaitan yang dieksekusi dengan manis oleh Tom Ford
  1. Susan membayangkan karakter Tony Hastings adalah Edward (sama-sama diperankan oleh Jake Gyllenhaal), sedangkan istri Tony, Laura, diperankan oleh Isla Fisher (yang suka disangka mirip dengan Amy Adams. Good cast!). Nama keluarga mereka adalah Hastings, nama kota asal Susan dan Edward. Laura memiliki rambut warna merah, sama dengan warna rambut Susan. 
  2. Tokoh-tokoh lain dalam novel Edward merupakan simbolisme tertentu. Ray Marcus (Aaron Taylor-Johnson) yang merupakan pembunuh dan pemerkosa merupakan simbol dari Susan yang realis dan meninggalkan Edward karena affair dengan pria lain dan mengaborsi anaknya dengan Edward. Bobby Andes (Michael Shannon) yang membantu Tony adalah alter ego dari karakter Edward sendiri.
  3. Perhatikan ada beberapa elemen properti kecil yang menunjukkan keterkaitan antara cerita dalam novel dengan kisah hubungan mereka. Sofa merah yang diduduki Susan saat adegan bertengkar dengan Edward sama dengan sofa merah tempat ditemukannya jenazah Laura dan anak perempuannya. Perhatikan juga mobil hijau pada adegan Susan dan Edward berpisah, sama dengan mobil yang digunakan Ray Marcus.
  4. Bisa dikatakan novel thriller itu merupakan perwujudan emosi dan rasa sakit hati Edward karena ditinggal oleh Susan. Jadi kita bisa memaknai sebagai berikut : kematian istri dan anak perempuan Tony merupakan simbolisme bagaimana Edward harus kehilangan Susan yang ia cintai dan anak mereka yang diaborsi. Ray, merupakan simbol dari Susan yang "jahat" dan meninggalkan Edward. 
  5. Fiksi merupakan sebuah "pelarian". Dalam hal ini Edward saya maknai melarikan rasa sakit hati dan balas dendamnya dengan menuliskan novel Nocturnal Animals ini. Sedikit cerita pribadi; I remember when I broke up with my ex, then I made up a story in my mind to create such a revenge pleasure. Tapi ya begitulah... balas dendam ini ga mungkin donk saya wujudkan di dunia nyata. Di kehidupan nyata palingan saya cuma bisa nangis lalu move on. Namun saya bisa melampiaskan "balas dendam" saya dalam karya fiksi and people will okay with it. Inilah yang saya maksud: Edward melampiaskan rasa marahnya dalam bentuk pembalasan dendam melalui cerita - atau seni - yang ia buat. He is a creative person, tho. 

The Ending


Ending Nocturnal Animals menceritakan Susan yang menemui Edward di restoran, namun Edward tidak kunjung datang. Lalu the end. Deng.

So, what the hell is that supposed to mean?

Saya menginterpretasinya sebagai berikut. Susan di kehidupan saat ini tidak bahagia dengan pilihan hidupnya : suaminya berselingkuh, anaknya entah dimana, karirnya meredup, dan ia kekurangan tidur. Namun lantas ia membaca novel Edward, which is a good novel, dan ini membuat Susan kembali bernostalgia mengingat masa lalunya dengan Edward. Ia teringat pertemuan mereka yang manis di New York, teringat bayangan ketika mereka masih bersama, hingga bagaimana perasaan bersalahnya karena telah menyakiti mantan suaminya itu. Novel Edward mampu membawa Susan menghayati kisahnya, dan pada akhirnya ia merasa bersimpati dengan karakter Tony  - yang menurut perspektifnya mewakili sosok Edward. Selesai membaca novel, Susan mengenang kembali perasaannya kepada sang mantan suami, menyesali bahwa ia telah menyakiti Edward, dan memiliki secercah harapan bahwa Edward masih mencintainya. Edward tidak pernah menikah lagi, dan toh novel itu didedikasikan untuknya bukan? 

Sebelum bertemu dengan Edward, ditampilkan scene ketika Susan bercermin mengenakan pakaian hijau yang seksi. Ia melepas cincin pernikahannya, yang artinya ia berharap pertemuannya dengan Edward akan menjadi pertemuan yang romantis. Ia juga menghapus lipstik bold color-nya, yang bagi saya ini merupakan gestur bahwa Susan ingin melepaskan topeng "kesempurnaannya". Baginya, Edward adalah pria yang bisa menerima dirinya apa adanya, menerima ketidaksempurnaannya. Well, as a woman, to not wearing a make up in front of a guy means that we feel comfortable around him. It's like sharing our insecurities, and knowing that the guy still loves you... is such a greatest feeling in the world. Jadi, Susan menemui Edward dengan penuh harapan di tengah kehidupannya yang amburadul. 

But then Edward didn't show up. So it means.... Edward doesn't care anymore about Susan. Edward begitu hancur ketika ditinggal Susan, namun ia mengekspresikan rasa sakit dan kesedihannya dalam bentuk novel (seni). Ia telah jadi penulis novel yang sukses. He finally had a closure for their relationship. Ending novel yang menggambarkan kematian Tony boleh jadi merupakan simbolisme Edward yang sudah move on, melanjutkan hidup, dan melupakan sang mantan istri. Sedangkan Susan sebaliknya, tidak bahagia dengan kehidupan yang ia jalani saat ini. Dan di saat Susan merasa memiliki sepercik spark atau harapan, yaitu Edward - well Edward justru jadi orang yang menghancurkan satu-satunya harapan Susan. So in the end, it's a sweet revenge from Edward. Karma for Susan. 

Good job, Edward!