Tampilkan postingan dengan label science-fiction. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label science-fiction. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 07 Oktober 2017

Penjelasan Film Blade Runner 2049

Penjelasan Film Blade Runner 2049


Dua puluh empat jam setelah nonton Blade Runner 2049, dan saya masih belum bisa move on. Blade Runner 2049 menawarkan kompleksitas cerita yang sayang banget kalau nggak dibikin artikel khusus sendiri. Walaupun hype Blade Runner 2049 emang lumayan tinggi, tapi saya juga ngrasa film ini ga se-"santai" yang diharapkan penonton awam, hingga mungkin ada beberapa di antara kalian yang kebingungan dan mengharapkan penjelasan lebih rinci. Saya menulis ini berdasarkan satu kali nonton aja, jadi mungkin ada banyak poin yang bisa jadi saya kelewatan dan ga match, jadi please kalau ada yang punya perspektif lain yang lebih benar bisa nulis di comment ya.

(SPOILER ALERTS! Buat yang belom nonton ada baiknya baca review Blade Runner 2049, lalu nonton, trus baru deh kembali ke sini lagi. Dan ngomong-ngomong, artikel ini bakal panjang.... So, be prepare...).

BLADE RUNNER (1982) : THE ORIGINAL



Saya nggak tahu apakah mereka yang belom nonton versi ori-nya bisa langsung paham dengan sekuelnya. Secara garis besar mungkin bisa, tapi saya rasa mereka yang sudah nonton film ori-nya bakal lebih terpuaskan dan nyambung karena Blade Runner 2049 menawarkan extended story and universe dari film ori-nya. 

Blade Runner (1982) bercerita tentang dunia distopia tahun 2019, dimana manusia bisa merancang "manusia buatan" hasil genetic-engineering yang disebut Replicant. Replicant digunakan sebagai budak untuk bekerja di koloni dunia luar (off-world colonies). Di film Blade Runner, para replicant ini dirancang dan diproduksi oleh Tyrell Company. Para replicant ini dilarang untuk kembali ke bumi, dan mereka yang kabur ke bumi akan diburu oleh polisi khusus yang disebut blade runner. Deckard (Harrison Ford), adalah seorang blade runner yang diminta memburu empat replicant berbahaya yang kabur ke bumi dengan pimpinannya Roy Batty (Rutger Hauer) - dan tampaknya hendak mencari Tyrell, yang menciptakan mereka. Dalam misi perburuannya, Deckard bertemu dengan Rachael (Sean Young), seorang replicant terbaru ciptaan Tyrell yang bertindak sebagai asisten Tyrell. Si Rachael ini sangat spesial karena ia ditanami "ingatan" khusus yang membuatnya jadi percaya bahwa dirinya adalah manusia beneran dan "ingatan khusus" ini membuatnya mempunyai sisi emosional yang lebih terkontrol dari versi replicant sebelumnya. Bisa ditebak, Deckard terus terlibat asmara deh dengan si Rachael ini.

Blade Runner sendiri punya banyak versi yang cukup berbeda. Kalau baca interview-nya, Blade Runner 2049 lebih didasarkan pada versi The Final Cut-nya Blade Runner yang dirilis tahun 2002. Salah satu pertanyaan ambigu terbesar bagi para penonton dari film Blade Runner adalah si Deckard ini manusia beneran atau replicant juga? Nah, versi The Final Cut-nya ini lebih menguatkan dugaan kalau Deckard adalah seorang replicant. Ridley Scott memasukkan scene Deckard bermimpi unicorn yang tidak ada di versi sebelumnya, dan di akhir diperlihatkan origami unicorn bikinan Gaff yang besar kemungkinan menunjukkan bahwa Gaff mengetahui jika Deckard adalah seorang replicant yang juga dipasang implant ingatan/mimpi. "Happy ending" di original cut-nya (katanya sih si Deckard dan Rachael berhasil kabur) juga dihapus, membuat ending versi The Final Cut jadi lebih ambigu. Versi The Final Cut berakhir dengan Deckard kabur bersama Rachel dari apartemen Deckard. 

BLADE RUNNER 2049 : THE PLOT 



Blade Runner 2049 berkisah tentang petualangan K (Ryan Gosling), 30 tahun sejak Deckard menghilang. Ada banyak hal yang terjadi selama 30 tahun itu. Salah satunya, perusahaan Tyrell bangkrut dan dibeli oleh Wallace (diperankan Jared Leto). Wallace merancang jenis replicant lain dalam versi yang tidak dimiliki jenis replicant pendahulunya: lebih patuh. Hal ini bisa terlihat dari karakter Luv (Sylvia Hoeks), yang jagoan dan sangat setia pada Wallace (and remember when she said, "I'm the best!" and when Wallace refer her as his best angel?). Selain itu, pada tahun 2020 ada semacam pemberontakan yang dilakukan replicant yang berujung pada peristiwa Black Out, dimana listrik di bumi padam total dan menghapus data-data tentang replicant. Nexus 8, adalah jenis replicant yang harus diburu dan "dipensiunkan" oleh blade runner, dan sisa-sisanya yang hidup berusaha membaur dan bersembunyi di masyarakat (salah satunya adalah tokoh Sapper Morton (Dave Bautista) dan prostitute Mariette (Mackenzie Davis)). Nexus 8 ini jelas lebih canggih dari Nexus 6 yang ada di Blade Runner, mereka tidak punya life-span 4 tahun sebagaimana karakter Roy Batty (Rutger Hauer).  

Di lahan pertanian milik Sapper Morton, K kemudian menemukan tengkorak seorang wanita. Sang wanita diduga meninggal saat melahirkan, dan dari tulangnya yang berkode, diketahui kalau wanita tersebut adalah seorang replicant. Hal ini sangat mustahil karena replicant yang ada selama ini "tidak didesain" untuk punya anak. Letnan Joshi (Robin Wright) menganggap fakta ini bisa mengganggu stabilitas dunia ("The World is built in a wall that separates kind. Tell either side there's no wall... You bought a war.") dan mengutus K untuk menyelidiki kasus ini dan membakar seluruh bukti adanya "prodigy child" replicant. Belakangan, diketahui bahwa sang wanita yang mampu mempunya anak itu adalah Rachael, replicant dari film Blade Runner sebelumnya. Di lain sisi, Wallace (Jared Leto) juga hendak mencari sang anak karena ia sendiri ingin bisa memproduksi replicant yang bisa bereproduksi (ingat adegan si Wallace dengan jahatnya menyayat perut replicant jenis baru yang baru aja diciptakan?). Ia pun menyuruh asistennya Luv untuk membuntuti penyelidikan K.

Penyelidikan yang dilakukan K kemudian mengantarkannya pada sebuah kenyataan yang sulit dipercaya: ia berpikir bahwa dirinya adalah sang anak hasil keajaiban. Hal ini didukung fakta ingatannya tentang boneka kayu berukir tanggal 6-10-21 yang disembunyikannya di sebuah panti asuhan, dan ternyata boneka kayu itu beneran ada. Ia pun berusaha mencari Deckard, yang dianggapnya adalah ayahnya. But uh-oh, di sinilah naskahnya bermain dengan baik: sooner kita mengetahui bahwa K bukanlah sang anak. Anak Rachel dan Deckard adalah seorang perempuan, dan rupanya sang anak adalah Dr. Ana Stelline (Carla Juri) yang selama ini bekerja sebagai subcontractor Wallace yang kerjanya menanamkan ingatan kepada para replicant. K kemudian bertemu Freysa (Hiam Abbas), perempuan bermata satu yang menjadi pemimpin pemberontakan para replicant. Ia diminta untuk mencari Deckard yang diculik Luv/Wallace, dan membunuhnya jika perlu, agar rahasia sang anak replicant tidak diketahui oleh Wallace. Di bagian akhirnya, K berhasil menyelamatkan Deckard dan mempertemukannya dengan Ana. K sendiri akhirnya meninggal akibat lukanya, dalam damai dan artistik di atas salju...

SO, K IS A REGULAR REPLICANT?

Yap. K adalah seorang replicant biasa. Ingatan tentang boneka kayu bertanggal 6-10-21 adalah ingatan yang (entah sengaja atau tidak) ditanamkan oleh Ana pada dirinya. Dan ingatan ini merupakan ingatan asli dari Ana. Anak kecil yang tampaknya seperti anak lelaki dari ingatan K, sebenarnya adalah seorang anak perempuan (that's clever!). 

Maka kisah hidup Ana kehidupan menjadi masuk akal. Ia tinggal sendirian - dimana menurut ceritanya ia terlalu sakit untuk pergi ke off-world colony - terlindungi di kantornya. Tampaknya para replicant lain berusaha melindunginya, dan Deckard membantu mengajari para replicant untuk mengacaukan data demi menyembunyikan identitas Ana. Adalah hal yang ironi, ketika Wallace tidak mengetahui bahwa "sang anak" selama ini justru bekerja untuknya. 

SO, IS DECKARD A REPLICANT TOO?

Ini pertanyaan paling sering ditanyakan yang menghantui benak fans film ori-nya. Sayangnya, jawaban itu tidak didapatkan secara gamblang di film ini. Saya pikir ini sesuai dengan tema filosofi film ini sendiri (tentang siapa itu manusia? dan apakah membedakan seseorang manusia atau bukan adalah perkara penting?). Tapi buat saya pribadi sih, Deckard adalah seorang replicant. Namun entah dia benar replicant atau tidak, hal ini sebenarnya sama sekali bukan sesuatu yang signifikan. Keajaiban itu ada pada diri Ana, bukan Deckard. Tidak penting Deckard replicant atau tidak, yang penting adalah tindakan yang dilakukannya. (Coba baca artikel ini). 

KOK RACHAEL BISA HAMIL?

Jawaban ini juga tidak disampaikan secara eksplisit. Saya kira ini adalah hasil kejeniusan Tyrell yang menciptakan Rachael sebelumnya. Wallace juga menduga-duga sendiri bahwa pertemuan antara Deckard dan Rachael di Blade Runner (1982) memang sengaja dilakukan oleh Tyrell itu sendiri - untuk melihat apa yang bisa terjadi di antara mereka. Sayangnya, Tyrell-nya udah keburu mati duluan dibunuh replicant Roy Batty di Blade Runner. Ana, yang merupakan replicant yang "dilahirkan" alih-alih diciptakan, menjadi sebuah simbol harapan bagi para replicant untuk bisa menyadari bahwa diri mereka itu nyata dan juga manusiawi. Apakah ini menunjukkan replicant lain bisa hamil? Entah. Yang jelas, ada kemungkinan bahwa si Ana mewarisi genetik ibunya untuk juga bisa hamil dan melahirkan. 

THE PHILOSOPHY



Blade Runner sama sekali bukanlah sebuah film sci-fi yang entertaining, tapi kalau kamu mencari film dengan gagasan filosofis yang dalem dan berat dalam sebuah film populer, maka Blade Runner adalah rujukan yang tepat. Konsep filosofis yang saya tangkep dari Blade Runner (1982) maupun Blade Runner 2049 (2017) berkisar pada pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: siapakah manusia? apakah yang membuat "sesuatu" dikatakan manusia? bagaimanakah menjadi manusia? Apakah jiwa itu?

Dalam film Blade Runner, mata merupakan simbolisme tentang apa itu manusia. Mata adalah jendela jiwa. Melalui mata kita bisa melihat dan membaca emosi, mengetahui apakah seseorang punya "jiwa" atau tidak. Film orinya Blade Runner (1982) dimulai dengan gambar close-up sebuah mata, demikian juga dengan Blade Runner 2049 yang dimulai dengan hal yang sama. Tes-tes yang dilakukan blade runner untuk mengecek apakah seseorang adalah replicant atau bukan juga dibaca melalui matanya. Freysa, sang pemimpin pemberontak replicant mencabut (atau dicabut) matanya. Ironisnya, Wallace - sang kreator para replicant, justru buta. Ini tampaknya menjadi sebuah metafora bahwa Wallace, seorang manusia, justru terlihat sangat tidak manusiawi.   

Dengan menciptakan dunia distopia yang asing dan dingin, Blade Runner secara tidak langsung ingin menunjukkan bahwa manusia asli justru lebih mirip robot yang tidak punya perasaan. Ketika Zhora terbunuh dalam adegan yang dramatis di film ori Blade Runner, orang-orang di sekitarnya sama sekali tidak peduli. And please, manusia-manusia itu memperbudak replicant untuk kepentingan mereka sendiri! Sebaliknya, para replicant di Blade Runner seperti Roy Batty, Pruiss, Rachael, justru mengembangkan emosinya sendiri. Mereka peduli dengan sesama replicant lainnya. Roy bahkan mampu berkontemplasi dan berpuisi ria dalam Tears in Rain monologue-nya yang sangat ikonik. Deckard juga membuat Rachael jatuh cinta, membuktikan bahwa emosi yang terjadi di antara mereka nyata.


Di Blade Runner 2049, ketidakmanusiawian dan kekosongan jiwa pada manusia itu utamanya digambarkan melalui karakter Wallace yang buta, dingin, dan obsesif, serta kantornya yang modern tapi sepi dan sangat "inhuman". Pertanyaan-pertanyaan soal batasan-batasan manusiawi juga dihadirkan melalui sosok Joi, sang makhluk virtual super loveable yang menjadi kekasih K. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah untuk menjadi manusia kita butuh "tubuh"? Salahkah jika kita mencintai makhluk virtual seperti hologram, tapi secara emosi dan penampakan sangat manusiawi dan terasa nyata? Apa sih "nyata" itu? Bagaimana sesuatu dikatakan punya "jiwa"? Tentu ini merupakan gagasan filosofis menarik mengingat bahwa sebagian manusia jaman sekarang terjebak pada relasi virtual.

Salah satu tema lain yang melingkupi Blade Runner adalah Bible-reference-nya. Sayangnya berhubung saya bukan penganut Kristiani, maka saya kurang paham dan tidak bisa bicara soal ini. Tapi saya ingin membahas nuansa relijiusitas dalam film ini: hubungan Creator (God) dan Creation (Human). Dalam film ini sang Creator adalah manusia, dan Creation-nya adalah para replicant. Orang kerap menyamakan Roy Batty di film Blade Runner sebagai Lucifer, the fallen angel yang melakukan pemberontakan terhadap Tuhan. Saat ia menemui Tyrell, ia sedang mempertanyakan keputusan Tuhan-nya - dan bahkan berujung dengan membunuh Penciptanya sendiri. Saya rasa tema besar ini juga yang ingin Ridley Scott sampaikan lewat karakter robot David (Michael Fassbender) di Prometheus dan Alien: Covenant (well, dimana robot yang diciptakan justru jauh lebih kuat, abadi, dan manipulatif dari penciptanya dengan kemampuan "free-will"-nya). Di Blade Runner 2049, saya merasa sosok Wallace mewakili Tuhan. Wallace mengungkapkan gagasan kontroversial: betapa peradaban selalu dibangun dengan mengorbankan manusia. Jika tidak ada manusia yang  mau melakukannya, kenapa kita tidak membuat "manusia buatan"? Ia dingin, jenius, dan terasa tidak manusiawi, hey.. he is God! Bukankah Tuhan seharusnya terlepas dari sifat-sifat manusiawi?

K'S JOURNEY


Sepenting apakah karakter K dalam Blade Runner 2049? Sangat penting! Tidak hanya ia merupakan polisi yang diminta menyelidiki misteri yang terjadi, namun perjalanannya juga mewakili perubahan replicant yang sebelumnya hanyalah "manusia buatan yang selalu patuh pada perintah manusia" menjadi seorang replicant dengan ciri-ciri manusiawi yang berkehendak (have free will)

Awalnya ia tidak ubahnya robot yang diprogram: ia bisa membunuh sesama kaumnya karena itu adalah tugas yang memang telah diciptakan untuknya. He is a blade runner, created to hunt and kill another replicant. Sebagai replicant, ia menjalin hubungan dengan makhluk virtual Joi, karena baginya itu adalah hubungan paling nyata yang bisa dan layak ia dapatkan. Namun semuanya berubah ketika ia mengira dirinya adalah "sang anak ajaib". Dengan percaya bahwa dirinya spesial dan berbeda, K merasa menemukan tujuan dan harapan lain dari hidupnya yang "terprogram". Ia tidak lolos "uji" replicant saat kembali ke kantor dan mampu berbohong kepada bos nya kalau ia sudah membunuh sang anak. Ia membuat pilihan di luar yang telah diperintahkan untuknya. Ia menyadari bahwa emosi yang dirasakannya kepada Joi nyata, that he truly loves her. Semakin lama ia merasa bahwa dirinya "real" - salah satu klimaksnya ada pada adegannya berteriak di kantor Ana sesaat setelah mengira bahwa ia adalah sang anak ajaib - hal yang tidak pernah dilakukan K sebelumnya yang sangat tidak emosional.

Blade Runner 2049 ingin menunjukkan apa yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Yang membuat manusia "hidup" dan sebenar-benarnya manusia adalah karena kita punya free-will, kepercayaan, cinta, harapan, dan tujuan hidup. K adalah bukti bahwa replicant semakin lama bisa "more human than human" setelah dirinya mempercayai bahwa ia spesial. Dalam misi terakhirnya, sebagaimana yang diminta Freysa, ia diminta untuk melakukan pengorbanan (dengan mencari Deckard yang diculik K) sebagai sesuatu paling manusiawi yang bisa ia lakukan

....
Yap. Jadi itulah semua yang bisa saya dapat dari nonton Blade Runner 2049. Saya kira tema-tema "berat" seperti ini tidak akan terlalu disukai oleh banyak orang (dan bukankah kita datang ke bioskop untuk terhibur bukannya pusing mikirin hidup dan berfilsafat ria?). 

Untuk kamu yang mikirnya sama ruwetnya dengan saya, please leave a comment here. Atau jika masih ada pertanyaan bisa tinggalkan comment ya!
Blade Runner 2049 (2017) (4,5/5)

Blade Runner 2049 (2017) (4,5/5)


The World is built in a wall that separates kind. Tell either side there's no wall... You bought a war.
RottenTomatoes: 90% | IMDb: 8.8/10 | Metascore: 82/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5

Rated: R | Genre: Action, Adventure, Science-Fiction, Drama

Directed by Denis Villeneuve ; Produced by Andrew A. Kosove, Broderick Johnson, Bud Yorkin, Cynthia Yorkin ; Screenplay by Hampton Fancher, Michael Green ; Story by Hampton Fancher ; Based on Characters from Do Androids Dream of Electric Sheep? by Philip K. Dick ; Starring Ryan Gosling, Harrison Ford, Ana de Armas, Sylvia Hoeks, Robin Wright, Mackenzie Davis, Carla Juri, Lennie James, Dave Bautista, Jared Leto ; Music by Hans Zimmer, Benjamin Wallfisch (Blade Runner themes composed by Vangelis) ; Cinematography Roger Deakins ; Edited by Joe Walker ; Production companyAlcon Entertainment, Columbia Pictures, Scott Free Productions, Torridon Films, 16:14 Entertainment, Thunderbird Entertainment ; Distributed by Warner Bros. Pictures ; Release date October 6, 2017 (United States) ; Running time163 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $150–185 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Bersetting 30 tahun dari film originalnya, Blade Runner 2049 bercerita tentang agen K (Ryan Gosling), seorang blade runner, yang harus menyelidiki sebuah rahasia yang dianggap membahayakan. Misteri ini kemudian mengantarkannya bertemu dengan agen Deckard (Harrison Ford) yang telah menghilang selama 30 tahun. 

Review / Resensi :
Kalau boleh ngaku, sejujurnya waktu pertama kali saya nonton Blade Runner saya ketiduran sampai 2 kali nonton. Akhirnya pas nonton ketiga baru bisa nonton sampai habis, dan itupun saya merasa filmnya sangaaaaaat membosankan. Mungkin karena awalnya saya pikir Blade Runner adalah sebuah film science-fiction yang full action atau minimal penuh petualangan yang seru, namun rupanya Blade Runner adalah dystopian neo-noir dengan pace yang terbilang sangat lambat (dan cukup banyak suasana hening yang bikin ngantuk). Tapi, saya cukup paham kenapa Blade Runner yang awalnya sama sekali nggak laku di pasaran lama-lama bisa memperoleh status cult. Film ini sangat visioner pada jamannya. Visualnya mengagumkan, scoring music-nya iconic, dan dengan cerita yang multilayered dan filosofis. Saya pun harus nonton lagi - dalam percobaan keempat kali sembari persiapan untuk nonton Blade Runner 2049 - sampai akhirnya saya baru benar-benar bisa memahami dan menyukai film ini. 

Saya mendaulat diri saya sebagai fans Dennis Villeneuve setelah Sicario (2015) dan apalagi Arrival (2016). Makanya saya langsung excited banget waktu tahu bahwa ia akan bertindak sebagai sutradara dalam sekuel Blade Runner, apalagi proyek ini masih di bawah "bimbingan" the sci-fi guru Ridley Scott yang menggarap film pertamanya. Belum lagi nama-nama yang melengkapinya: aktor Ryan Gosling, Harrison Ford, Robin Wright, Jared Leto, sinematografer Roger Deakins, dan sebelumnya: music composer Johann Johannson (sebelum akhirnya diganti Hans Zimmer). Hype Blade Runner 2049 ini sudah saya rasakan dari awal publikasinya, hingga dengan nawaitu niat pol saya berangkat ke bioskop di penayangan perdananya (jam pertama pula!). Dengan semangat menggebu-gebu pula saya pulang langsung bikin review-nya.

Ada beban berat bagi Villeneuve untuk menggarap sebuah sekuel film yang telah dianggap cult. Blade Runner 2049 harus bisa menawarkan sesuatu yang inovatif dari pendahulunya, namun tidak boleh kehilangan roh film originalnya. Untunglah, pada akhirnya visi Villeneuve bisa mengantarkan Blade Runner 2049 sebagai sebuah tribute atau penghormatan yang layak bagi film originalnya. Hampir semua elemennya mengingatkan saya pada versi aslinya yang digarap Ridley Scott, tentu dalam versi modern yang lebih megah. Visualnya, scoring music-nya, pace filmnya, storyline-nya (dan emang salah satu screenwriter-nya adalah Hampton Fancher yang dahulu juga menggarap Blade Runner), muatan filosofis-nya (dengan bible-reference-nya), dialognya, bahkan hingga fantasi teknologi-nya.... menonton 2049 terasa bagaikan sebuah nostalgia yang menyenangkan bagi para hard-core fans-nya.

Namun perlu saya beritahukan dahulu, bahwa terlepas dari nuansa futuristiknya yang tampak menjanjikan sebagai sebuah blockbuster movie, saya merasa 2049 tetaplah Blade Runner. Saya suudzon ABG-ABG fans berat Ryan Gosling yang menonton film ini kayaknya nggak bakal suka dengan filmnya. Termasuk kamu-kamu hei penggemar Roland Emerich dan Michael Bay! 2049 adalah sebuah film neo-noir bergenre science-fiction. Filmnya bergerak dengan lambat, durasinya bahkan 2 jam 45 menit, kisahnya suram nan depresif, dialognya berat... clearly Blade Runner 2049 is segmented. Orang yang datang ke gedung bioskop sambil berharap akan menonton dunia science-fiction ala Star Wars tampaknya harus menelan kekecewaan ketika Blade Runner 2049 lebih fokus pada adegan detektif-detektifan, suasana yang hening (please itu kantornya Wallace masa ga punya pegawai!), serta drama filosofis soal what-make-a-human-human? Apalagi kalau kamu belum nonton versi awalnya, saya sangsi apakah kamu bisa benar-benar mengerti maksud film ini. Syukurlah saya sudah belajar dari kesalaham, sehingga saya masuk ke gedung bioskop dengan persiapan mental ~ yang membuat saya jadi bisa menikmati filmnya dengan fokus tingkat tinggi.

Kekuatan utama Blade Runner 2049 jelas ada pada visual futuristiknya. Bersettingkan sebuah dystopian universe tahun 2049 (30 tahun setelah setting cerita dari film awalnya), bumi masa depan yang ada di film ini bukanlah dunia yang menyenangkan. Pada Blade Runner, desain set dan lokasinya tampaknya terinspirasi dari kota Tokyo dan New York yang ramai di malam hari, namun dalam versi imajinatif yang kelam, ramai, gemerlap dengan lampu neon-punk dan papan iklan komersial, bising, multikultur, sekaligus terasa asing dan tidak menawarkan kehangatan. 2049 mampu membawakan universe yang sama, mengubah Los Angeles menjadi dunia cyber-punk bersalju dalam gambar-gambar luar biasa indah yang membuat saya ngowoh sepanjang nonton. Selain itu 2049 mengantarkan kita ke luar kota yang tidak dijamah di film orinya, San Diego dan Las Vegas digambarkan menjadi sebuah kota yang hancur, berantakan dan ditinggalkan. Roger Deakins selaku sinematografer (please give that damn trophy for him next year!) - bersama jajaran pendukung special effect dan production design-nya, membawa lansekap dunia masa depan yang realis ke layar bioskop - saya tidak ada henti-hentinya mengagumi setiap detail pemandangan yang ditawarkan di depan. Perhatikan scene saat Joi dan K berciuman di atas gedung, atau saat K dan Deckard berantem di sebuah ruangan mini-concert, atau ketika scene ketika Joi berusaha "sync" dengan tubuh Mariette saat hendak bercinta dengan K, atau ruangan kantor Wallace yang tampil modern, sleek dan "inhuman", atau saat K menjelajah gurun gersang dengan patung-patung perempuan.... It's just breath-taking.  Dari aspek teknis, Blade Runner 2049 tampaknya akan menjadi the next Mad Max : Fury Road (2016) di Oscar tahun depan (dan mungkin akan bersaing ketat dengan Dunkirk (2016)). Jangan lupakan juga the master Hans Zimmer yang membungkus 2049 dengan scoring music-nya yang asyik, tanpa menanggalkan ciri khas yang sebelumnya pernah dilakukan Vangelis di tahun 1982. Walaupun, saya sendiri sih lebih suka komposer Johann Johannson, yang belakangan harus meninggalkan proyek ini karena menurut Villeneuve, Hans Zimmer lebih cocok.

Dari segi cerita, Blade Runner 2049 juga masih menawarkan kedalaman cerita serupa seperti yang pernah dilakukan film originalnya (saya akan membahas ini lebih jauh pada artikel khusus mengenai penjelasan film ini). Pace-nya terbilang lambat dengan jalinan cerita yang kurang "action", dialognya juga sedikit berat dan tidak eksplisit, saya tidak menyalahkan kalau ada orang yang ketiduran pas nonton ini. Namun untungnya 2049 masih bisa menggiring saya mengikuti misterinya dengan baik, walau saya lumayan butuh fokus tingkat tinggi untuk menangkap detailnya. 2049 jelas lebih baik dalam mengungkap misterinya dibandingkan Blade Runner, karena saya selalu agak kesulitan "memahami" tempo dan alur cerita film-film klasik. Dan jangan lupa, Villeneuve selalu punya sebuah twist di film-film garapannya, tak terkecuali 2049 yang menawarkan sedikit kejutan menarik di bagian akhirnya (yang by the way, saya telat banget nyadarnya).

Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, Blade Runner 2049 sangat segmented. Saya tidak menjamin penonton awam yang masuk ke bioskop akan keluar bioskop dengan senyuman lebar di mukanya. Namun ya setidaknya para perempuan bisa fangirling melihat Ryan Gosling tampak ganteng dalam mantel musim dinginnya, dengan muka minim ekspresi yang dingin (tapi menggairahkan!). Ryan Gosling playin' so good as K in here, aktingnya sama cool-nya dengan perannya di Drive (2009). Sedangkan para lelaki setidaknya juga bisa terhibur dengan kehadiran cewek-cewek cakep. Kamu bisa memilih si virtual Joi (Ana de Armas) yang sedikit-banyak gabungan antara loveable character ala Samantha di film Her (2013) dengan kepolosan Ava di Ex-Machina (2015), atau si dingin jahat Luv (Sylvia Hoeks), atau si pixie-girl prostitute (Mackenzie Davis) yang juga mencuri perhatian. And the rest of supporting casts are also amazing: Dave Bautista, Tomas Lemarquis, Robin Wright, Jared Leto, hingga Barkhad Abdi.

*Anyway, jika film ini begitu sempurna.. kenapa saya tidak kasih skor 5/5? Tbh, saya selalu kasih skor 5 untuk film-film yang personally related atau punya emotional effect buat saya. Sayangnya, Blade Runner agak miss dari segi itu..

Overview:
One of the best movie in 2017. Sebuah sekuel yang tidak hanya masih setia dan respek dengan versi originalnya, namun membawanya satu level lebih tinggi. Blade Runner is a cult, dan saya yakin sekuelnya ini Blade Runner 2049 juga akan jadi cult-classic movie di masa depan. Kekuatan utama Blade Runner 2049 jelas hadir melalui visualnya yang sangat menawan (moviegasm for sure), scoring music-nya yang cantik, production design, set, dan special effect-nya yang menakjubkan, serta kompleksitas ceritanya yang berat, filosofis dan layak dibahas selepas nonton filmnya. Alur yang lambat dan cerita yang agak "berat" mungkin membuatnya sangat segmented, but once you understand what make this movie is great... it feels really worth it.

*Updated:
Akhirnya berhasil nulis panjang lebar soal Penjelasan Film Blade Runner 2049. Go check here. 

Minggu, 09 Juli 2017

Inception (2010) (4,5/5) Review & Penjelasan

Inception (2010) (4,5/5) Review & Penjelasan


You mustn't be afraid to dream a little bigger, darling.
RottenTomatoes: 86% | IMDb: 8,8/10 | Metascore: 74/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5

Rated : PG-13 | Genre : Action, Adventure, Sci-fi

Directed by Christopher Nolan ; Produced by Emma Thomas, Christopher Nolan ; Written by Christopher Nolan ; Starring Leonardo DiCaprio, Ken Watanabe, Joseph Gordon-Levitt, Marion Cotillard, Ellen Page, Tom Hardy, Cillian Murphy, Tom Berenger, Michael Caine ; Music by Hans Zimmer ; Cinematography Wally Pfister ; Edited by Lee Smith ; Production companiesLegendary Pictures, Syncopy ; Distributed by Warner Bros. Pictures ; Release date July 16, 2010 ; Running time 148 minutes ; Country United Kingdom, United States ; Language English ; Budget $160 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Dom Cobb (Leonardo DiCaprio) adalah seorang pencuri yang biasa mencuri rahasia melalui dream-sharing technology. Suatu kali ia diminta untuk memasukkan insepsi ide ke seorang CEO pewaris perusahaan. 

Review / Resensi :
Selain The Shawshank Redemption, Inception adalah salah satu film yang paling sering direquest di kolom comment supaya saya ngereview film ini. Saya agak heran karena ini kan film uda lama banget dan siapa sih yang belum nonton Inception? Tapi berhubung saya baik hati dan kurang kerjaan, maka saya pun menuliskan review Inception sambil kasih sedikit penjelasan (versi saya) tentang ending Inception yang bikin banyak orang penasaran. Demi nulis review ini saya sampe nonton ulang Inception. At it's still good to rewatch. Lagipula sambil nungguin Dunkirk yang bakal main akhir bulan Juli ini cukup menyenangkan untuk nonton ulang film Christoper Nolan. 

Boleh dibilang Christoper Nolan adalah nama dari sedikit sutradara yang bisa bikin film yang berkualitas, orisinil, namun juga gampang disukai baik oleh penonton awam maupun pecinta film level lanjut. Range tema film dia juga beragam, dan semua filmnya ga ada yang jelek! Dari yang masih low-budget macam Memento hingga The Dark Knight series, dan tentu saja Interstellar. Err.. tapi saking populernya, mungkin nama Christoper Nolan jadi berasa mainstream dan imej Nolan juga jadi overrated buat sebagian orang. Saya rasa sutradara yang mirip doi adalah Steven Spielberg... bisa bikin film berkualitas sekaligus blockbuster, tapi jarang penonton film level lanjut bakal bilang mereka ngefans Spielberg. Because he is too mainstream!

The best part about Inception is its originality. Mind-blowing. Nggak ada film yang pernah "menjelajahi" mimpi sebagaimana Inception, dan ide "gila" ini adalah hasil pemikiran Christoper Nolan sendiri yang konon menulis naskahnya butuh waktu 10 tahun. Dengan konsep dunia dalam dunia, alias berpetualang di alam mimpi, Inception meringkas segala sesuatu yang perlu kita tahu tentang konsep Inception miliknya hanya dalam durasi 2 jam 28 menit. Sedikit membingungkan bagi sebagian orang (karena ada mimpi di dalam mimpi, lalu mimpi lagi di dalam mimpi, dst..) namun sebenarnya kalau kamu nggak mikir telalu dalem (dan nggak ribet mikir tentang konsep mimpi mereka), Inception adalah film action science-fiction yang mudah untuk dinikmati. Lagipula tho ini bukan film sureal! Tapi tampaknya akan menyenangkan jika ada Inception versi TV series-nya. Worth to shot. 

Lalu apa lagi bagian terbaik lainnya dari InceptionThe cast! Semuanya A-list actor, mulai dari Leonardo DiCaprio, Tom Hardy, Joseph Gordon Levitt, Marion Cotillard, Ken Watanabe, Ellen Page, hingga Michael Caine yang nongol cuma 3 menit dan nggak penting-penting banget. Leonardo DiCaprio kebagian peran utama, yang diberikan layer emosi lebih dalam mengingat kisah personalnya menjadi bagian penting dari inti cerita. Setelah Shutter Island yang dirilis di tahun yang berdekatan, lagi-lagi ia berperan sebagai suami yang nasibnya apes ditinggal istri.

Bagian terbaik lainnya dari Inception adalah the visual effect. Dengan sinematografi cantik yang memiliki atmosfer yang serupa dengan The Dark Knight series (dan emang sinematografernya sama), menyenangkan melihat Inception bisa "melengkungkan dunia" sedemikian rupa. Tambah menyenangkan ketika tahu bahwa hampir sebagian besar efek yang ada dalam Inception mengandalkan practical effect, salah satunya adegan saat Arthur (Joseph Gordon-Levitt) berlaga di "lorong muter-muter" yang sangat ikonik itu. And I like the overall design concept of Inception yang berkesan sleek dan modern. Oh dan jangan lupakan juga sound effect dan scoring music dari Hans Zimmer yang membuat Inception makin menawan untuk dinikmati.

Lalu, mari kita bicarakan tentang ending Inception yang lumayan hangat diperbincangkan oleh banyak orang....

Waktu awal nonton tahun 2010, saya tidak merasa bahwa ending Inception yang ambigu itu menjadi sesuatu yang penting. For me that's not the main point of the movie. Sebagaimana kalimat bahasa Cina yang diucapkan Louise (Amy Adams) atau minta bantuan apa para alien itu ke umat manusia di film Arrival - saya tidak merasa itu poin utama film Arrival. Makanya saya heran kok banyak banget yang nanya soal itu di kolom comment review dan penjelasan saya tentang film Arrival, sebagaimana saya heran kenapa banyak orang bertanya apakah Cobb sebenarnya masih mimpi atau tidak di akhir film Inception. Saya nggak mikir itu penting. Haha. 

Lalu saya nonton lagi untuk kedua kalinya, dan saya juga masih merasa itu bukan poin utama film Inception. Malah, menurut saya it's pretty obvious kalo Cobb udah ga mimpi lagi (bangun di pesawat, anak-anaknya noleh dan nyamperin Cobb). Kalaupun gasing yang masih berputar lalu mendadak dicut dengan black screen dilanjutkan dengan credit title, saya mikirnya gasingnya emang belom jatuh aja! Lol. Bagi saya itu cuma cara Christoper Nolan mengakhiri filmnya dengan sedikit elegan.

Jadi, saya ga bakal membicarakan teori-teori dugaan mbuletisasi yang dibuat oleh fans Inception. Haha.

Dan akhirnya, berdasarkan wawancara tahun 2015 Christoper Nolan pun buka suara soal ending Inception yang ambigu itu, sebagaimana saya kutip berikut ini:
“The way the end of that film worked, Leonardo DiCaprio’s character, Cobb – he was off with his kids, he was in his own subjective reality,” said Nolan. “He didn’t really care any more, and that makes a statement: perhaps, all levels of reality are valid.”  The Guardian.  
Jadi Cobb yang memilih untuk langsung nyamperin anak-anaknya instead of melihat si gasing berhenti berputar atau tidak adalah Cobb yang memilih "reality" yang ia mau. Ia tidak lagi terobsesi dengan mana mimpi mana bukan, yang penting finally he can hug his own kids. Sudah ga penting mana yang nyata mana yang tidak, yang penting kita happy. 

Yang menarik juga dari segi filosofis adalah Inception membuatmu berpikir ulang mengenai konsep soal mana yang nyata mana yang tidak. Inception adalah another version of Wachowsi's The Matrix. Siapa yang bisa membuktikan bahwa sebenarnya kita tidak sedang bermimpi atau kita tidak sedang berada dalam dunia program ala the Matrix? Like Nolan said, mungkin setiap level realita adalah valid. Bum! Lumayan kan dapet pelajaran filsafat ala Descartes dari film science-fiction?

Overview:
Obviously salah satu film terbaik tahun 2010, dan film sci-fi terbaik dekade ini. Dua puluh tahun lagi saya jamin Inception akan menjadi salah satu film klasik dari tahun 2010-an yang wajib ditonton oleh semua orang. Ceritanya sendiri sudah mind-blowing dan berhasil membuatmu mempertanyakan realita, didukung oleh A-list actor dan dukungan visual effect, visual design, sinematografi, dan sound effect yang pretty impressive. Setelah The Dark Knight, menurut saya Inception adalah film terbaik Christoper Nolan.

Minggu, 28 Mei 2017

Alien: Covenant (2017) (4/5)

Alien: Covenant (2017) (4/5)


We don't know what the fuck's out there.
RottenTomatoes: 71% | IMDb: 6.9/10 | Metascore: 65/100 | NikenBicaraFilm: 4/5


Rated: R
Genre: Action, Adventure, Science-Fiction

Directed by Ridley Scott ; Produced by Ridley Scott, Mark Huffam, Michael Schaefer, David Giler, Walter Hill ; Screenplay by John Logan, Dante Harper ; Story by Jack Paglen, Michael Green ; Starring Michael Fassbender, Katherine Waterston, Billy Crudup, Danny McBride, Carmen Ejogo, Demián Bichir ; Music by Jed Kurzel, (Alien and Prometheus themes composed by Jerry Goldsmith and Marc Streitenfeld) ; Cinematography Dariusz Wolski ; Edited by Pietro Scalia ; Production company20th Century Fox, Scott Free Productions, TSG Entertainment, Brandywine Productions ; Distributed by 20th Century Fox ; Release date May 19, 2017 (United States) ; Running time 123 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $97 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Sebuah kapal koloni Covenant dengan misi mencari planet yang bisa ditinggali untuk dijadikan koloni baru menemukan sebuah planet misterius, tanpa menyadari bahaya yang tengah mengincar mereka. 

Review / Resensi :
Prometheus (2012) menciptakan 2 kubu antara mereka yang menganggap film itu keren, dan mereka yang menganggap film itu buruk. Kritikan utama terhadap Prometheus adalah karena film itu berusaha terlalu filosofis namun dipenuhi banyak plot-hole dan karakter scientist yang banyak melakukan hal bodoh. Biasanya kritikan ini dilontarkan oleh mereka yang merupakan fans film original Alien. Nah, berhubung saya sendiri nonton Alien jaman kecil dulu dan baru nonton ulang setelah nonton Prometheus, saya pribadi menganggap Prometheus film yang keren. Visualnya mempesona, thriller-nya dapet, saya suka gagasan filosofisnya tentang penciptaan, dan Prometheus adalah film pertama yang bikin saya notice bahwa ada aktor ganteng parah bernama Michael Fassbender. Emang banyak hal bodoh sih di film itu, tapi toh saya nggak terlalu memperhatikan. 

Sebagai sekuel dari Prometheus yang merupakan prekuel dari film original Alien, Alien: Covenant berusaha meredam kritikan yang pernah diterimanya. Alien: Covenant lebih cenderung bermain ke konsep awalnya, gabungan science-fiction dan body-horror, namun tetap dengan cerita yang lebih kompleks dan filosofis seperti yang dibawa oleh Prometheus yang disampaikan dengan lebih straightforward. Ada banyak missing pieces dari film Prometheus dan original movie-nya, dan Alien: Covenant berusaha memberikan informasi yang lebih banyak, walaupun masih banyak juga yang belum kita ketahui. But at least, penampakan Xenomorph-nya sudah lebih terlihat. Anyway, sebelumnya saya sendiri nggak pernah notice sampai sedetail itu lho tentang apa itu Xenomorph, facehugger, black goo, maupun monster yang ada di Alien: Covenant ini: Neomorph. Baru nulis review ini saya baru sadar kalo monsternya di tiap film beda-beda :D

Tidak perlu lagi mempertanyakan aspek visual Alien: Covenant yang cakep abizProperty dan visual design-nya mencirikan futuristik yang clean dan sleek, dengan atmosfer tone kebiru-biruan yang terasa dingin dan berkesan alienated, dan jangan lupakan penampakan monster-monsternya yang jelas jauh lebih modern dan keren dari original film Alien yang dirilis bertahun-tahun lalu. Scoring music dari Jed Kurzel juga menghadirkan kemegahan yang memukau sekaligus serem. Aspek thriller-nya mungkin tidak terlalu bikin kaget karena sedikit predictable (termasuk endingnya), tapi nuansa horrornya lewat adegan berdarah-darah cukup bikin tegang. Walaupun yaaa.... nggak se-gore yang saya harapkan. 

Abaikan premis konyol bahwa manusia adalah kreasi Engineer yang merupakan alien, sebagai seorang atheis nampaknya Ridley Scott berusaha mengungkapkan gagasannya tentang hakikat filosofis penciptaan melalui film ini (juga Prometheus, dan sebelumnya melalui Blade Runner (1982)). Saya sih nangkepnya the real perfect evil dari prekuel Alien series ini bukanlah si makhluk alien jahanam Xenomorph dan turunannya itu, namun robot android bernama David (Michael Fassbender). Pada dasarnya, David sedang mengeksplor kemampuan dirinya sebagai pencipta, ia sedang menjadi Tuhan. Dalam dialog singkatnya di bagian awal Alien: Covenant ketika David berbincang dengan Weyland (Guy Pearce), "ayah"nya yang menciptakannya, David secara implisit mengungkapkan bahwa ia jauh lebih baik dari penciptanya. Manusia tidak abadi, dan robot bisa abadi. Jadi, ia merasa lebih superior daripada manusia yang menciptakannya. 

Oram: "What do you believe in, David?" 
David: "Creation,"

Bagian terbaik dari Alien: Covenant juga adalah performa menakjubkan Michael Fassbender sebagai David dan Walter, robot android yang punya karakter yang berbeda. Sumpah, saya nggak sedang sekedar memuji berlebihan berhubung saya fans berat doi, tapi emang Michael Fassbender dan karakter David / Walter adalah salah satu faktor terbaik yang ada di film ini. And oh my God, sebagai fans garis keras doi gini gimana ga puas apa lihat ada double Michael Fassbender di layar bioskop? But then, watching David kissed Walter was like... what the fck? (Aku mau donk robot android macam David dan Walter, tapi jangan yang jahat...).

Nah, lalu sebagaimana permasalahan yang ada di Prometheus, kesalahan konyol utama yang ada di film ini adalah betapa bodohnya para kru pesawat Covenant. Dan justru entah bagaimana yang paling tolol adalah si Captain Oram (Billy Crudup) yang bikin saya mikir pantes aja dia sebelumnya ga kepilih jadi kapten utama (not because you're religious, but because you're so dumb!). Kru lain juga ga sama baiknya, ketika kerap melakukan hal-hal bodoh yang seolah-olah menyalahi prosedur standar tiba di planet asing atau bahkan habis diserang alien (that shower scene? seriously?). Sementara itu, Katherine Waterston sebagai Daniels didapuk sebagai the next Ripley dan Shaw, yang sayangnya kurang badass. Tokoh-tokoh dalam pesawat koloni Covenant juga digambarkan sebagai berpasang-pasangan, mungkin hendak menambahkan unsur emosional akan setiap kematian. Sayangnya saya kurang engage dengan karakter-karakternya, sehingga setiap kematian terasa blah.  

Overview :
Mungkin bukan salah satu yang terbaik dari keseluruhan franchise Alien, namun Alien: Covenant masih cukup menghibur bagi para fans dan penonton awam. At least buat fans, benang merah antara Prometheus dan latar belakang di Alien series-nya makin kelihatan. Aspek visualnya menawan, unsur thriller dan visual effect-nya juga cukup seru. Michael Fassbender dan karakter yang ia perankan sebagai David / Walter adalah bagian terbaik. Masih menyentuh gagasan filosofis, namun unsur horror-thriller nya tetap cukup dominan dan menyenangkan. Abaikan keriuhan para tokohnya yang kerap melakukan hal bodoh, dan Alien: Covenant tetaplah film yang cukup menegangkan.

*) Note:
Ngomong-ngomong, poster Alien: Covenant adalah salah satu poster film terbaik tahun ini. Sayang banget gitu kalau enggak saya cantumin di sini because it's too awesome:


Sabtu, 27 Mei 2017

Guardians of the Galaxy Vol. 2 (2017) (4,5/5)

Guardians of the Galaxy Vol. 2 (2017) (4,5/5)


Rocket: "Are we really saving the galaxy, again?" 
Peter Quill: "Yeah,"
Rocket: "Great! We can jack up our prices if we're two-time galaxy savers!"

RottenTomatoes: 81% | IMDb: 8.1/10 | Metascore: 67/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5


Rated: PG-13
Genre: Action, Adventure, Sci-fi

Directed by James Gunn ; Produced by Kevin Feige ; Written by James Gunn ; Based on Guardians of the Galaxy by Dan Abnett, Andy Lanning ; Starring Chris Pratt, Zoe Saldana, Dave Bautista, Vin Diesel, Bradley Cooper, Michael Rooker, Karen Gillan, Pom Klementieff, Elizabeth Debicki, Chris Sullivan, Sean Gunn, Sylvester Stallone, Kurt Russell ; Music by Tyler Bates ; Cinematography Henry Braham ; Edited by Fred Raskin, Craig Wood ; Production company Marvel Studios ; Distributed by Walt Disney Studios Motion Pictures ; Release date April 10, 2017 (Tokyo), May 5, 2017 (United States) ; Running time 136 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $200 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Setelah Rocket ketahuan mencuri baterei milik ras Sovereign yang dipimpin Ayesha, tim Guardians harus melarikan diri dari kejaran Sovereign. Di tengah pelarian diri tersebut, mereka kemudian bertemu Ego (Kurt Russel) yang ternyata merupakan ayah Peter Quill a.k.a Starlord (Chris Pratt). 

Review / Resensi :
Hmm.. emang basi banget sih saya baru bisa nge-review film ini sekarang. Filmnya aja udah ga tayang di bioskop. Zzzzz. Mohon maaf, karena emang sebulan ini saya sibuk pacaran kerja, dan nontonnya aja baru 3 minggu-an setelah filmnya main di bioskop. Tapi kata orang bijak: lebih baik telat daripada tidak sama sekali (walaupun lebih baik lagi kalau tepat waktu!). Sempet agak males nulis review, tapi Guardians of The Galaxy ini film Marvel paling favorit buat saya. Jadi sayang aja gitu kalo ga ditulis review-nya. Selain itu kalau nggak nulis review-nya saya juga ngerasa berdosa ama Yondu, pujaan hati saya.

Sebagai sekuel, Guardians of the Galaxy Vol. 2 (selanjutnya disingkat GotG 2) bisa dikatakan adalah sekuel yang berhasil. Namun apakah lebih baik daripada seri pertamanya? Sayangnya, enggak. Namun bukan berarti GotG 2 ini jelek. Sama sekali enggak. Tapi seri pertama nya itu di mata saya uda sempurna banget dan masang standar yang terlalu tinggi, sehingga GotG 2 ini kalau dibandingkan film pertamanya emang nggak lebih bagus. But still, this movie is full entertaining! Emang ada beberapa hal yang terkesan repetitif dari seri pertamanya (seperti awesome soundtrack from 70's decade, atau guyonan-guyonannya), oh but who cares? Still, this movie is awesome and hilarious. 

Pada seri pertamanya kita diajak mengenali masing - masing karakter yang menjadi anggota utamanya: Peter a.k.a Starlord (Chris Pratt), Gamora (Zoe Saldana), Rocket (Bradley Cooper), Groot (Vin Diesel) dan Drax (David Bautista), serta bagaimana mereka bertemu dan kemudian bergabung menjadi tim paling antik di seluruh semesta. Intinya, the first series is about their character introduction (dan ini penting karena GotG sendiri bukan komik Marvel yang populer, apalagi buat mereka yang ga ngikutin komik Marvel kayak saya). Di film keduanya ini, James Gunn selaku sutradara sekaligus screenwriter ingin menghadirkan aspek yang lebih kuat dan emosional: family. Nggak cuma mengenai cerita bapak dan anak antara Ego dan Peter, tapi juga ada sibling relationship antara Gamora dan Nebula dan benih-benih cinta yang muncul di hati Drax. GotG 2 nggak cuma kuat dari segi komedi dan adegan action superheronya, namun sisi dramanya ini juga sangat menyentuh (pacar saya aja matanya sampai berkaca-kaca. Entahlah, mungkin dia yang cengeng aja...).

Yang paling menyenangkan dari GotG 2 juga adalah bahwa film ini punya banyak karakter, tapi somehow setiap karakternya bisa dikembangkan dengan baik. Peter memang pimpinan grup, but this movie isn't only about him. Saya cukup senang ketika porsi Drax di GotG 2 ini diberi porsi lebih daripada seri pertamanya, dengan mulutnya yang semacam nggak pernah disekolahin. Ada beberapa tokoh baru seperti Mantis (Pom Klementieff) dan Ayesha (Elizabeth Debicki) yang juga cukup bikin seru. Kemunculan kembali Nebula (Karen Gillan) juga memberikan dinamika cerita yang lebih menarik. Tapi tentu saja, my favorite character since the beginning is Yondu (Michael Rooker)! I hate catcalling, tapi kalo yang nyuit-nyuitin Yondu saya bakal noleh. *spoiler* itulah kenapa pas tau Yondu mati saya langsung berduka cita begitu dalam... *spoiler ends*. 
"I'm Mary Poppins, y'all!"
Secara keseluruhan, segala nuansa dan atmosfer yang ada di seri pertamanya kembali dibawa lagi oleh James Gunn pada sekuelnya ini. Termasuk opening credit-nya dengan iringan lagu Mr. Blue Sky dari Electric Light Orchestra yang menampilkan Baby Groot yang menggemaskan berjoget-joget imut. Jokes-nya masih tetap kocak walaupun memang tidak selucu seri awalnya, terutama didominasi oleh karakter Drax yang mulutnya asli ngawur tapi sangat quote-able. Soundtracknya masih sangat menyenangkan. Visual effect-nya dengan warna-warna vibrant ala-ala disko begitu memanjakan mata, dan jangan lupa kemunculan Kurt Russel "muda" yang mengagumkan. GotG 2 juga menampilkan banyak clue (including 5 mid and post-credit scenes) tentang seri berikutnya.

Overview :
Memang tidak sebagus film pertamanya, namun bukan berarti Guardians of the Galaxy Vol. 2 ini adalah film yang buruk. Guardians of the Galaxy Vol. 2 membawa kembali semangat yang ada pada film awalnya dan menjadikannya sebagai sekuel yang tetap sangat menghibur untuk ditonton. Plotnya ringan tapi seru, jokes-nya masih kocak, visualnya memanjakan mata, character development-nya baik, dan jangan lupa soundtracknya yang tetap awesome.  

Jumat, 21 April 2017

Predestination (2014) (3,5/5)

Predestination (2014) (3,5/5)


The snake that eats its own tail, forever and ever?
RottenTomatoes: 84% | IMDb: 7,5/10 | Metascore: 69/100 | NikenBicaraFilm: 3/5

Rated: R
Genre: Drama, Mystery, Sci-fi

Directed by The Spierig Brothers ; Produced by Paddy McDonald, Tim McGrahan, The Spierig Brothers ; Screenplay by The Spierig Brothers ; Based on "'—All You Zombies—'" by Robert A. Heinlein ; Starring Ethan Hawke, Sarah Snook, Noah Taylor ; Music by Peter Spierig ; ; Cinematography Ben Nott ; Edited by Matt Villa ; Production companyScreen Australia, Screen Queensland, Blacklab Entertainment, Wolfhound Pictures ; Distributed by Pinnacle Films, Stage 6 Films ; Release date8 March 2014 (SXSW Film Festival), 28 August 2014 (Australia) ; Running time97 minutes ; Country Australia ; Language English

Story / Cerita / Sinopsis :
Seorang agen terbaik (Ethan Hawke) yang bekerja pada sebuah biro yang bertugas mencegah kejahatan dengan sebuah mesin waktu diminta untuk melaksanakan misi terakhirnya sebelum pensiun.

Review / Resensi :
Tema time-travel selalu menarik untuk diikuti. Saya sering mikir kenapa enggak lahir di masa depan dimana siapa tahu ada orang yang sudah bisa menciptakan mesin waktu layaknya doraemon, lalu saya kembali ke masa lalu dan membenarkan takdir hidup saya yang.... begini. Lol. Perjalanan waktu ke masa lalu selalu memunculkan paradoks-paradoks yang penuh pertanyaan, yang kemudian juga membuat kita mempertanyakan konsep takdir itu sendiri. Bisakah kita kembali ke masa lalu dan mengubah takdir kita? Konsekuensi apa yang akan muncul jika kita mengubah masa lalu? Sesuai judulnya, Predestination kurang lebih berusaha mengeksplorasi hal yang berkaitan dengan itu.... dengan ceritanya yang mind-fucking banget!

Sudah banyak film-film bertema time travel lainnya, seperti Looper (2012). Primer (2004), hingga 12 Monkeys (1995). Predestination mencoba mengambil tema serupa, dengan menggabungkannya dengan konsep polisi takdir pada Minority Report (2002). Kalau ngomongin film time travel dengan ending yang twisted, banyak orang akan merekomendasikan Predestination, sehingga film ini udah sering banget saya denger di forum-forum pecinta film. Sempat lama penasaran, akhirnya baru kesampaian ga sengaja nonton kemarin sore. 

Mungkin banyak yang kecele menyangka bahwa Predestination adalah film action yang seru (perhatiin donk posternya menampilkan Ethan Hawke memegang pistol dengan desain poster yang menyiratkan kesan "action" dan futuristik). Tapi kenyataannya filmnya sendiri lebih cenderung ke drama. Namun santai, unsur dramanya sendiri biarpun mendominasi namun tidak akan membuatmu bosan. Alur bolak balik ke masa depan dan masa lalu mungkin juga akan membuatmu bingung, namun dengan diagram penjelasan sederhana yang mudah kamu temukan di internet, sesungguhnya Predestination nggak terlalu bikin pusing. Jauh memusingkan Primer, kalau menurut saya. 

Harus diakui Predestination ini masih banyak kekurangan dari segi eksekusi dan pengolahan cerita. Banyak scene dan subplot cerita yang bagi saya lebay, kurang stylish dan agak norak. Dan ceritanya sendiri kalau kamu pikir-pikir akan terasa tidak masuk akal dan "ngarang" banget. But then again, film ini membuat saya nggak peduli dengan semua itu. Yang menarik dari Predestination adalah bagaimana film ini bisa menyajikan konsep paradoks dari perjalanan waktu yang tabu dan super aneh itu! *spoiler* come on! itu banyak karakter ternyata orang-orang yang sama semua... jadi dia "mengawini" dirinya sendiri, jadi anak, tapi trus anaknya jadi dirinya lagi..... ini jelas mbulet, ngarang abiz (operasi ganti kelamin itu sama sekali nggak masuk akal), dan super weird... (errr.. make love dengan diri sendiri? bukankah itu narsis banget ya? Dan itu please deh ewwww banget!), tapi di lain sisi ketidakmasukakalannya itu juga jadi masuk akal... Pusing ya? Tapi seru... *spoiler ends*

Banyak orang sesumbar bahwa di tengah-tengah filmnya jadi predictable, namun saya sendiri sih enggak cukup mahir menebaknya. Saya biasanya berusaha mengalihkan pikiran dari nebak cerita, supaya endingnya bisa bikin shock dan kesan filmnya jadi berasa (so I blame my Mom who talked too much when we watched The Usual Suspects), jadi saya enjoy saja selama nonton film ini. Dan twist demi twist-nya biarpung ngarang bebas dan agak "maksa" tapi emang jatuhnya tetap seru dan menghibur. 

Anyway, Sarah Snook playing so good as Jane... 

Overview :
Predestination mungkin bukanlah film science-fiction terbaik di subgenre time travel, namun plot ceritanya yang diangkat dari cerita pendek All You Zombie oleh Robert A. Heinlein ini emang mind-fucking banget. Banyak plot hole dan cerita yang terasa terlalu dibuat-buat, tapi saya tidak terlalu peduli. Predestination dengan berani berusaha mengeskplorasi konsep paradoks takdir dan perjalanan waktu dengan cara yang super aneh... tapi berhasil! 


Jumat, 24 Maret 2017

Life (2017) (3,5/5)

Life (2017) (3,5/5)


RottenTomatoes: 66% | NikenBicaraFilm: 3,5/5

Rated: R
Genre: Science-fiction, Action, Thriller

Directed by Daniel Espinosa ; Produced by David Ellison, Dana Goldberg, Bonnie Curtis, Julie Lynn ; Written by Rhett Reese, Paul Wernick ; Starring Jake Gyllenhaal, Rebecca Ferguson, Ryan Reynolds, Hiroyuki Sanada, Ariyon Bakare, Olga Dihovichnaya ; Music by Jon Ekstrand ; Cinematography Seamus McGarvey ; Edited by Frances Parker, Mary Jo Markey ; Production company Skydance Media ; Distributed by Columbia Pictures ; Release dateMarch 18, 2017 (SXSW), March 24, 2017 (United States) ; Running time103 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $58 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Enam astronot bertugas di suatu stasiun luar angkasa untuk menyelidiki makhluk hidup bersel tunggal yang mereka dapatkan dari Planet Mars. Tanpa diduga, makhluk bersel tunggal yang awalnya nampak lucu itu kemudian tumbuh berkembang menunjukkan kecerdasan luar biasa yang akhirnya (seperti sudah diduga) memangsa para astronot tersebut satu demi satu. 

Review / Resensi :
Another spaceship journey experience in movie? Count me in! Fetish film saya memang ada pada film science-fiction dengan tema perjalanan luar angkasa atau alien. Jadi kalau ada film-film seperti ini, biasanya saya akan menontonnya di bioskop (The Martian, Interstellar, Gravity, Arrival - semua saya tonton di bioskop). Life, disutradarai oleh Daniel Espinosa, memang agak kalah populer jika dibandingkan kompetitornya di bioskop saat ini: Power Rangers dan Beauty and the Beast. Saya malah sempat menduga awalnya kalau Life nggak tayang di Indonesia. Jadi ketika akhirnya saya tahu Life main di bioskop, saya buru-buru menontonnya siang-siang. Berharap akan menyaksikan sebuah petualangan luar angkasa yang menegangkan. Sayangnya... ternyata Life agak mengecewakan. 

Life boleh dibilang merupakan gabungan antara Gravity (2014) dan Alien (1979). Melibatkan pesawat luar angkasa yang mengorbit bumi (Gravity), dan serangan makhluk misterius yang sadis dan membahayakan (Alien). Sebenarnya filmnya nggak jelek-jelek banget. Life masih bisa membawa kita kepada beberapa momen menegangkan, terutama adegan pas di laboratorium yang sukses bikin saya melongo. Sepanjang durasinya yang hampir 2 jam Life juga cukup mampu membawa penonton kepada nuansa mencekam, ketika sang makhluk jahaman itu berkeliaran dan mengancam nyawa masing-masing astronot. 

Memperoleh rating R, Life juga menawarkan beberapa adegan sadis (yang buat saya nggak sadis-sadis banget sih, mungkin karena disensor? tapi kayaknya enggak). Saya juga cukup menyukai efek CGI yang ditawarkan, berikut interior pesawat luar angkasa bernuansa futuristik yang sangat menawan. Menyaksikan para astronot tersebut terbang melayang anti gravitasi juga merupakan sebuah hiburan menyenangkan. Beberapa scene-nya juga di-shoot dengan cukup mempesona (jendela kaca dengan pemandangan luar angkasa? I want it). Scoring music-nya dari John Ekstrand juga cukup berhasil dalam mendramatisasi beberapa adegan.

Tapi.... pada akhirnya saya tetap merasa Life nggak terlalu spesial. Saya keluar bioskop dengan perasaan... datar. The main problem probably is because we've seen a lot of movie like this before. Nggak cuma karena premisnya mirip dengan Alien (beda makhluk aja), tapi di bidang genre survival story seperti ini film-film mirip ini sudah banyak yang mungkin sudah pernah kita tonton. Ganti Anaconda atau T-Rex dengan alien dari planet Mars, dan ganti setting tempat bumi dengan luar angkasa, maka kita dapatkan bahan cerita film yang baru! Dan buruknya, Life nggak berupaya keluar dari jebakan cerita yang sama. Plot ceritanya cukup bisa ditebak, walaupun ada beberapa kejutan yang menarik. (*spoiler* apa yang cukup berbeda dan memberikan kejutan? Karakter Ryan Reynolds yang mati pertama kali! Ini agak nggak terduga... untuk aktor yang mukanya nampang di poster seolah-olah aktor utama, lantas karakternya dimatikan pertama kali... ini cukup bikin shock. Saya rasa ini emang disengaja. Kedua, ending-nya... yang untungnya nggak happy ending, walau saya sudah bisa menduganya *spoiler ends*).

Saya juga bertanya-tanya apa yang membuat film ini kemudian terasa sangat medioker. Mungkin, hal ini hadir lewat karakterisasi para tokoh-tokohnya yang tidak terlalu menarik. Memang ada dialog-dialog sedikit filosofis dan simpatik dari para karakternya, berharap ini akan memunculkan keterikatan antara penonton dengan para karakternya, tapi saya - entahlah - merasa hampa... haha. Sangat berbeda dengan pesona yang dimiliki Ripley (Sigourney Weaver) di film Alien yang membuat kita menjagokan dirinya untuk bertahan hidup sampai akhir. Sementara itu, karakter-karakter di film Life ini terasa less-personality dan saya benar-benar nggak peduli. Bahkan termasuk Jake Gyllenhaal sebagai karakter utama David. I have a crush on him, tapi di film ini saya sama sekali nggak peduli sama nasibnya. David must be a boring-guy and people ignore him, so maybe that's the reason why he choose to live in outer space instead of on earth.   

Overview :
Kesimpulannya adalah sebagai berikut: cukup menyenangkan ditonton sekali, but not memorable enough. Mediocre. Saya nggak bilang Life adalah sebuah film yang buruk: level ketegangannya masih cukup dapet dan efek outer spacenya cukup menawan. Namun kesalahannya mungkin ada pada karena sudah banyak film-film bertemakan serupa, sehingga Life jadi terasa kurang inovatif. Saya pulang dengan perasaan datar, ga excited sama sekali. Artinya saya nggak terlalu menyukainya. 

Sabtu, 07 Januari 2017

Arrival (2016) (5/5)

Arrival (2016) (5/5)


"Remember what happened to the aborigines. A more advanced race nearly wiped them out," 

RottenTomatoes: 94% | Metacritic: 81/100 | NikenBicaraFilm: 5/5

Genre: Drama, Science-Fiction
Rated: PG-13

Directed by Denis Villeneuve ; Produced by Shawn Levy, Dan Levine, Aaron Ryder, David Linde ; Screenplay by Eric Heisserer ; Based on "Story of Your Life" by Ted Chiang ; Starring Amy Adams, Jeremy Renner, Forest Whitaker, Michael Stuhlbarg, Tzi Ma ; Music by Jóhann Jóhannsson ; Cinematography Bradford Young ; Edited by Joe Walker ; Production companiesLava Bear Films, 21 Laps Entertainment, FilmNation Entertainment ; Distributed by Paramount Pictures ; Release dates September 1, 2016 (Venice Film Festival), November 11, 2016 (United States) ; Running time116 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $47 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Sebanyak 12 pesawat luar angkasa misterius tiba di bumi. Louise Banks (Amy Adams) diminta untuk mengetahui apa maksud dan tujuan kedatangan alien itu. 

Review / Resensi :
Jika menonton film diibaratkan sebagai sexual pleasure, maka fetish saya merupakan film bertemakan alien dan luar angkasa (but no, not that kind of Star Wars!). Setelah Gravity (2013), Interstellar (2014), dan The Martian (2015), maka tahun 2016 ini ada film Arrival, disutradarai oleh Dennis Villeneuve yang saya nantikan dengan sangat. Ketika dirilis bulan November 2016, saya sudah sempat hopeless apakah bioskop di Indonesia mau menayangkan Arrival, berhubung ceritanya nggak terlalu mainstream. Tapi biasanya film-film model alien gini cukup laris di pasar Indonesia dan Sicario (2015) yang disutradarai juga oleh Dennis Villeneuve sebelumnya juga berhasil tayang di sini - jadi harusnya ada kemungkinan jaringan 21 mau menayangkan Arrival. Maka ketika seorang teman mengabarkan bahwa Arrival akan tayang tanggal 6 Januari, ga pakai pikir panjang saya langsung nonton di premiere-nya. Dan penantian saya selama terbayarkan sudah. Arrival is masterpiece!

Film-film bertemakan alien selama ini menampilkan alien yang baik hati (E.T., Avatar) atau jahat (Alien's franchise). Arrival mengambil pendekatan yang berbeda, mungkin yang agak mirip adalah film Contact (1997) yang diambil dari buku berjudul sama karangan astronom Carl Sagan. Bagi yang membayangkan akan menonton versi berkualitas dari Independence Day, maka Arrival sangat jauh dari itu. Please, this movie has no action scene at ALL! Kalau sudah terbiasa sama gaya penyutradaraan Dennis Villeneuve pasti tidak akan mengalami masalah (sejauh ini saya selalu suka semua filmnya).

Arrival dimulai dengan Louise (Amy Adams) yang menceritakan hidupnya bersama anak perempuannya dalam alunan syahdu musik dari Max Richter - On The Nature of Daylight, yang sukses membuat mata saya berkaca-kaca bahkan sejak 5 menit film dimulai. Lalu film berlanjut ketika diceritakan 12 kapal luar angkasa misterius datang di 12 titik yang berbeda di bumi. Louise yang seorang professor bahasa kemudian diminta oleh Kolonel Weber (Forest Whitaker) bergabung bersama tim yang dipimpin oleh fisikawan teoritis Ian Donelly (Jeremy Renner) untuk mengetahui maksud kedatangan para alien itu ke bumi. Are they come in peace? Or want to start a war? Are they scientist or more like tourist?

Tidak ada yang masuk akal dari alien yang tiba ke bumi dan bisa bahasa Inggris, maka Arrival lebih fokus bercerita bagaimana kita berkomunikasi dengan alien yang sangat jauh berbeda penalarannya dari kita. Atmosfer khas Dennis Villeneuve begitu terasa: suram, dingin, kelam dan menegangkan (tipikal film yang saya banget deh). Momen ketika Louise pertama kali tiba di pesawat luar angkasa itu begitu mendebarkan. Dennis Villeneuve dengan dukungan sinematografi dari Bradford Young dan visual effect-nya juga berhasil menghadirkan penampakan alien dan pesawat luar angkasa dengan sangat cantik sekaligus menakutkan. Saya juga harus mengakui bahwa dukungan sound effect dan scoring music dari Johann Johansson sangat mendukung keseluruhan Arrival menjadi sebuah film yang impresif dan mengesankan.

Arrival yang merupakan adaptasi dari cerita pendek berjudul Story of Your Life-nya Ted Chiang juga adalah sebuah film yang sangat filosofis. It's really challenge our mind. Arrival mengajak kita berpikir tentang humanity, tentang evolusi perang dan peradaban, persepsi kita akan waktu, dan kemudian bagaimana kita menjalani takdir. Terdengar rumit? Santai, naskah yang dikerjakan oleh Eric Heisserer ini sebenarnya nggak rumit banget kok. Saya yang nggak seberapa pintar ini cukup bisa langsung menangkap maksudnya, Arrival sendiri bukan film yang ambigu dan multi-intrepretasi. Tapi jelas bahwa bagi sebagian orang Arrival cukup bikin mikir dan agak segmented (but this is totally worth it!).

*Spoiler alert* *kalo belum nonton ga usah baca*
Menyaksikan Arrival sedikit-banyak mengingatkan saya dengan film Dennis Villeneuve sebelumnya, Enemy (2013). Enemy berisi fragmen-fragmen cerita yang tampak acak-adut sehingga cukup membingungkan. Arrival sedikit mirip itu - ketika cerita bagaimana usaha Louise meneliti bahasa para alien disusupi oleh adegan "kilas-balik" Louise dan anak perempuannya, yang tampak seperti efek halusinasi. Film-film Dennis Villeneuve hampir selalu memiliki twist, dan cara ia mengolah twist-nya cukup unik. Biasanya twist seperti film The Prestige, Oldboy atau Memento dihadirkan dalam sebuah adegan yang langsung bikin shock penonton. Sementara Villeneuve selalu memiliki pendekatan halus dalam menghadirkan twist-nya. Dan inilah yang ia lakukan lagi dalam Arrival, ketika kemudian penonton lambat laun dibuat menyadari bahwa adegan Louise dan anak perempuannya bukanlah sebuah kenangan.

Saya juga menemukan bahwa dialog-dialognya cerdas. Penempatannya juga mampu dengan baik membentuk susunan clue demi clue bagi keseluruhan kejutan untuk kita pada akhirnya bisa memahami ceritanya. Percakapan cerita bohong tentang arti "kangaroo", dialog mengenai bahwa bahasa mempengaruhi kemampuan berpikir manusia (dan menjadi clue bahwa untuk bisa "mengendalikan" waktu kita harus belajar bahasa para alien heptapod ini), paliandrom nama Hannah, dan sedikit singgungan bahwa ayah anak perempuan Louise adalah seorang scientist. 

Satu hal yang menarik adalah saya tidak mengira bahwa Arrival adalah sebuah drama (trailernya cukup mengecoh lho, saya tidak menyangka bahwa unsur dramanya akan cukup dominan). 24 jam sejak nonton film ini dan saya belum bisa move-on. Biasanya film yang seperti itu adalah film yang bisa menyentuh saya secara emosional. I'm a melancholic person, dan salah satu tema film yang bikin saya suka "menghayati" adalah film tentang loss and grieving. This sci-fi movie has a point. Akhirnya kita mengetahui bahwa semua adegan yang menunjukkan Louise dan anak perempuannya adalah sebuah kisah di masa depan dan bagaimana Louise telah mengetahui keseluruhan hidup anak perempuannya bahkan sebelum anaknya ada. Arrival seperti mengajak kita untuk mencoba menerima takdir. Louise Banks ini ibarat cerita Mama Lauren yang kabarnya sudah meramal kematian anaknya ketika anaknya lahir. Sounds depressing? Ian Donelly (Jeremy Renner) mengungkapkannya dalam satu momen : semua orang toh bakalan mati juga.
Dr. Louise Banks: If you could see your life from start to finish, would you change things? 
Ian Donnelly: Maybe I would say what I felt more often. I don't know.
(For me this dialogue is so deeply sweet. Kinda remind me of American Beauty (1999). Well, hidup itu serangkaian tragedi, tapi mari kita rangkul kebahagiaan dan menemukan keindahan pada hal-hal yang remeh). 

Amy Adams bermain luar biasa sebagai Louise Banks. Ga biasanya saya demen karakter perempuan jagoan, tapi Amy Adams membuat saya jatuh cinta dan empati pada karakter dan hidupnya. Dengan twist yang demikian, Amy Adams mampu membuat kita merasa rancu pada beberapa emosi dan ekspresinya. Saya juga menyukai chemistry yang terjalin antara dirinya dan anak perempuannya, Hannah. Oh my God, film baru 5 menit mulai tapi mata saya udah langsung berkaca-kaca di bagian awal. Lantas chemistry-nya dengan Jeremy Renner juga hadir dalam keintiman yang subtil namun masih jelas terbaca. It was sweet and romantic.. Duh, saya langsung jatuh cinta sama Ian Donelly-nya Jeremy Renner.
"You know I've had my head tilted up to the stars for as long as I can remember. You know what surprised me the most, it wasn't meeting them. It was meeting you," - Ian Donelly.
Ini rayuan gombal abad ini but OH MY GOD PLEASE MARRY ME AND LET'S MAKE A BABY, IAN! (Ian Donelly ya, bukan Ian Kasela).

*Spoiler ends*

Overview:
Saya lemah pada film bertemakan alien & luar angkasa, film thriller-suspense yang cenderung kelam, serta film melankolis yang bisa menyentuh secara emosional. Arrival has it all. Dennis Villeneuve - dengan dukungan maksimal dari jajaran produksi (efek visual dan audio, production designer, sinematografi, scoring music) mampu menghadirkan Arrival menjadi sebuah film yang menegangkan dan mengesankan. Ceritanya sendiri cukup masuk akal (more science than fiction) dengan naskah yang cerdas. Kejutan yang menyenangkan dari dramanya juga sangat menyentuh perasaan. Amy Adams bermain luar biasa. This is one the best in 2016 for sure! 

...
O ya, berhubung banyak yang tampaknya masih belum memahami cerita Arrival. Berikut saya buatkan penjelasan ending Arrival. Bisa dibaca disini.