Tampilkan postingan dengan label Taiwan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Taiwan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 10 Januari 2017

REVIEW : AT CAFE 6

REVIEW : AT CAFE 6


“Everyone has a similar youth, but a different life.” 

Popularitas menjulang You are the Apple of My Eye di kalangan pecinta film seantero Asia berkat guliran pengisahannya yang legit-legit nyelekit pula sangat mewakili banyak jiwa-jiwa muda yang gundah gulana akibat cinta, menciptakan sebuah tren di kalangan sineas setempat (baca: Taiwan) maupun seberangnya (baca: Cina daratan) berupa film-film romansa yang mengetengahkan tema nostalgia masa muda dengan latar era 1990-an. Beberapa judul yang tergolong berhasil mengikuti jejak dari You are the Apple of My Eye antara lain So Young, Cafe Waiting Love dan film kesukaan saya, Our Times, yang mengamini untaian lirik dari Yuni Shara, “memang benar apa kata pepatah, kalau jodoh tak lari kemanaaa...” Dengan Our Times menorehkan pundi-pundi yang ajegile selama masa penayangannya di bioskop, tentu bisa diterka tren ini pun tak akan lari kemana-mana. Benar saja, pertengahan tahun lalu, Cina daratan bersama Taiwan tandem untuk melahirkan film remaja unyu-unyu lainnya yang materinya bersumber dari novel si pembuat film, Neal Wu. Tajuk dari film tersebut adalah At Cafe 6

Di permulaan film, penonton dipertemukan dengan seorang perempuan yang tengah berjibaku dengan mobil mogoknya di tengah derasnya hujan. Tak berselang lama, seorang pria menghampirinya, menawarinya bantuan, lalu mengajaknya menyeruput secangkir kopi hangat di kedai miliknya seraya mengeringkan badan. Guna membunuh waktu, keduanya berbincang-bincang yang topik obrolannya dipantik dari pertikaian si perempuan dengan kekasihnya nun jauh disana. Si pemilik kedai kopi lalu terkenang ke masa mudanya bersama sahabat-sahabatnya dan cinta sejatinya. At Cafe 6 lantas melempar alur kisah bertahun-tahun ke belakang kala si narator masih duduk di bangku SMA. Ada empat karakter yang memegang peranan penting pada titik ini; duo sahabat yang kerjaannya setiap hari hanya bikin ulah, Min Lu (Dong Zijian) dan Bo Zhi (Lin Bo Hong), serta dua perempuan yang mereka taksir, Xin Rui (Cherry Ngan) dan Xin Yi (Ouyang Nini). Seperti halnya judul-judul diatas, terjalinnya kisah asmara diantara mereka pun terdengar mustahil pada mulanya menilik adanya kesenjangan pola pikir dan kepribadian. 

Tapi tentu saja kita mengetahui bahwa mereka akan bersatu dan tidak butuh waktu lama bagi Neal Wu untuk mengonfirmasinya karena memang bukan disitu poin utama dari At Cafe 6. Selepas masing-masing memproklamirkan hubungan asmara mereka ke dunia, film mendorong kita menapaki fase kuliah yang merupakan titik balik kehidupan keempat remaja ini. Baik Min Lu dengan Xin Rui maupun Bo Zhi dengan Xin Yi menjalani hubungan jarak jauh yang tampaknya baik-baik saja di beberapa bulan awal, namun perlahan tapi pasti mulai terbuka boroknya terlebih saat pemikiran telah berbeda jalan. Dengan diapungkannya pertanyaan, “kala long distance relationship tidak berjalan secara semestinya, apakah jarak adalah satu-satunya yang dapat dipersalahkan?,” nada film seketika beralih rupa dari semula cerah ceria penuh suka cita bak semangat remaja yang menggelora menjadi menyayat-nyayat kalbu. Konflik demi konflik lantas menyembul yang sekaligus menghadiahi penonton berupa kursus singkat mengenai ‘membina hubungan jarak jauh’ dengan kisah asmara Min Lu dengan Xin Rui sebagai studi kasus. Lebih dari itu, At Cafe 6 juga berbincang soal persahabatan, prioritas, pengorbanan hingga belajar dari kesalahan. 

Yang kemudian membedakan At Cafe 6 dengan, katakanlah Our Times, adalah film ini justru lebih kuat kala menempatkan fokusnya pada hubungan perkawanan Min Lu bersama Bo Zhi ketimbang saat berkutat dengan kisah kasih sang tokoh utama. Ya, At Cafe 6 memang lebih condong ke coming of age drama daripada romance drama yang tidak pernah benar-benar bisa menguarkan sisi charm-nya disebabkan dua faktor. Pertama, chemistry Dong Zijian dengan Cherry Ngan tidak sehidup ketika Zijian disandingkan bersama Lin Bo Hong semacam masih ada sekat, dan kedua, sosok Xin Rui cenderung berjarak sehingga cukup sulit untuk dapat menyukainya apalagi memahami motivasinya (...and she's annoying!). Menilik apa yang terhampar di klimaks, boleh jadi begitulah intensi dari pembuatnya karena jika mau sebetulnya hubungan percintaan unik antara Bo Zhi dengan Xin Yi lebih menyenangkan untuk diberi panggung lebih luas apalagi Xin Yi pun lebih mudah disukai. Walau pada akhirnya kadar manisnya jauh dibawah You are the Apple of My Eye serta Our Times plus penambahan sisi gloomy menjelang tutup durasi sangat salah tempat, At Cafe 6 masih memberikan tontonan mengikat dan cukup bernutrisi bagi otak maupun hati dengan muatan filosofisnya khususnya bagi mereka yang tengah menjalani hubungan percintaan jarak jauh.

Note : Jangan lewatkan post-credits scene dari film ini di penghujung yang memberi sekelumit info mengenai kehidupan masa sekarang dari salah satu karakter. 

Exceeds Expectations (3,5/5)

Minggu, 04 Desember 2016

REVIEW : CITY OF JADE

REVIEW : CITY OF JADE


Melalui film dokumenter bertajuk City of Jade, sutradara Taiwan berdarah Myanmar, Midi Z, menghamparkan potret realistis, buram, sekaligus personal mengenai kehidupan para penambang batu giok ilegal di suatu daerah yang kerap disebut Kota Giok. Tidak seperti karyanya terdahulu, Jade Miners, yang lebih banyak menaruh perhatian terhadap siklus kehidupan para penambang dengan gaya bertutur kurang bersahabat bagi penonton kebanyakan – hanya mengandalkan 20 shots selama rentang durasi 100 menit, City of Jade secara spesifik menempatkan saudara laki-laki sang sutradara, Zhao De-chin, sebagai subjek dan adanya dinamika dalam penuturan membuat film akan lebih mudah terhubung ke khalayak luas. Terlebih, kulikan Midi Z disini terhitung sangat menarik karena bukan semata-mata mempergunjingkan soal situasi politik dari tanah kelahirannya yang sarat akan intrik berlarut-larut tetapi juga membahas bagaimana impak besarnya terhadap kehidupan masyarakat Myanmar atau dalam hal ini, keluarganya sendiri.  

Pertanyaan utama yang diajukan film adalah, “apa yang sesungguhnya dialami Zhao De-chin saat dirinya tidak memberikan kabar apapun pada keluarga selama dua puluh tahun lebih?.” Ya, City of Jade semacam sarana rekonsiliasi Midi Z dengan saudaranya, Zhao De-chin, yang telah menghilang dari kehidupannya selama menahun tanpa pernah sekalipun merespon ratusan surat yang dilayangkan oleh sang adik. Selepas Zhao De-chin yang ternyata diketahui mendekam dibalik jeruji besi lantaran mempergunakan obat-obatan terlarang dibebaskan pada tahun 2010, si pembuat film menghampirinya untuk memperoleh jawaban. Hal pertama yang diketahui Midi Z dari saudaranya tersebut adalah keinginannya untuk melanjutkan pencarian batu giok di wilayah konflik Kachin, Myanmar. Konon, perseteruan tak berkesudahan antara pemerintah dengan KIA (Kachin Independence Army) menyebabkan perusahaan-perusahaan besar berhenti beroperasi di tambang batu giok berjulukan Kota Giok. ‘Kosongnya kekuasaan’ ini dimanfaatkan para pengejar mimpi untuk mengeksploitasi area tersebut. 

Salah satunya adalah Zhao De-chin. Midi Z pun mau tak mau kudu rela menempuh perjalanan jauh menaiki kereta dari Mandalay menuju Kachin demi mengikuti ambisi kakaknya. Terhitung semenjak keduanya berada di atas kereta, informasi lebih mendetail dinarasikan oleh si pembuat film terkait bagaimana dia sama sekali kabur soal perjuangan hidup sang kakak di masa-masa menghilangnya dan nelangsanya hari-hari yang harus dijalani oleh Midi Z beserta keluarga sepeninggal Zhao De-chin terlebih situasi politik Myanmar yang tidak kondusif menyulitkan mereka mendapat penghidupan layak. Keingintahuan pada kebenaran yang ditutup rapat-rapat si subjek menjadi fondasi utama ketertarikan mengikuti City of Jade. Well, Zhao De-chin bukannya sepenuhnya enggan untuk buka mulut kala masa lalu kelamnya diungkit-ungkit, hanya saja pengakuannya bersifat umum seperti kecanduan Opium hasil dari pemakaian intensif guna menghempaskan stres pekerjaan dan ketiadaan hiburan (begitu pula dengan para penambang lainnya). Dia emoh berbincang tentang hal-hal yang telah menjurus ranah sangat pribadi sehingga lambat laun penonton turut digelayuti rasa penasaran sejenis dengan pertanyaan utama yang disodorkan Midi Z. 

Penggunaan alat rekam seadanya menjadi semacam blessing in disguise bagi City of Jade. Kesannya teramat kasar, memang, tapi relevan dengan subjek maupun topik yang diperbincangkan mengenai kemiskinan, kekacauan politik, obat-obatan terlarang sampai pupusnya harapan. Memberikan kedalaman rasa yang dibutuhkan oleh film. Tidak berasa palsu – mengonfirmasi bahwa film sepanjang 99 menit ini tidak dibentuk dari skrip, dan kesederhanaannya memperkuat sisi realistisnya. Penonton serasa benar-benar dilibatkan ke dalam film; seolah-olah berada di posisi Midi Z atau setidaknya menemaninya dalam perjalanan ini. Ada momen dibuat terhenyak mendengar penuturan dari Zhao De-chin soal masa lalu berikut pekerjaan yang dilakoninya guna menyambung hidup, terenyuh melihat salah seorang pekerja menelpon istrinya lalu memperoleh kabar sejumlah uang yang kudu didapat untuk melunasi beberapa tagihan, hingga berdebar-debar begitu kamera menyoroti upaya beberapa pekerja ilegal melarikan diri dari tangkapan prajurit KIA yang secara berkala menjalankan operasi di area penambangan.

Exceeds Expectations (3,5/5)