Tampilkan postingan dengan label february. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label february. Tampilkan semua postingan

Selasa, 20 Maret 2018

RED SPARROW (2018) REVIEW : Membangun Tensi dan Karakterisasi dengan
Naskah yang Dibatasi

RED SPARROW (2018) REVIEW : Membangun Tensi dan Karakterisasi dengan Naskah yang Dibatasi


Setelah berkolaborasi dalam film trilogi The Hunger Games, nampaknya sutradara Francis Lawrence memiliki aktris kesayangan. Jennifer Lawrence kembali berkolaborasi dengan sutradara Francis Lawrence dalam film terbarunya yang diadaptasi dari sebuah novel. Proyek film terbaru mereka ini diadaptasi dari buku yang ditulis oleh Jason Matthews berjudul Red Sparrow. Jennifer Lawrence menjadi sosok mata-mata Rusia dan hal ini  tentu adalah hal yang menarik untuk dinantikan.

Adaptasi dari buku Red Sparrowke dalam naskah ini ditulis oleh Justin Haythe yang pernah menuliskan naskah di beberapa film. Pun, tak hanya Jennifer Lawrence saja, ada beberapa nama besar yang juga ikut andil di dalam proyek adaptasi Red Sparrow ini. Mulai dari Joel Edgerton, Charlotte Rampling, hingga Jeremy Irons ikut meramaikan film yang bertemakan mata-mata rusia ini. Dengan trailer yang seduktif, tentu Red Sparrow akan semakin menarik untuk dinantikan.

Di tangan 20th Century Fox, film adaptasi dari novel tentu punya riwayat yang tidak cukup baik. Mulai dari The Maze Runner hingga Miss Peregrine tentu memiliki performa yang tak bisa maksimal. Tentu saja ini adalah sebuah lampu kuning bagi Francis Lawrence yang ingin mengadaptasi sebuah buku ke dalam film seperti Red Sparrow ini. Sebagai sebuah film mata-mata, Red Sparrowtampil elegan tetapi penceritaannya tak sempurna akibat naskah adaptasi yang tak begitu diperhatikan.


Ini menceritakan tentang sosok perempuan yang awalnya penari balet bernama Dominika Egorova (Jennifer Lawrence) yang sangat berbakat. Tetapi, karirnya harus hancur ketika saat tampil di atas panggung, rekannya menyabotase penampilannya yang mengakibatkan dirinya mengalami patah tulang. Dominika sangat terpukul dengan kejadian ini dan menganggap dirinya sudah tidak punya harapan lagi. Dengan kejadian ini, Dominika yang sangat kesal ingin membalas dendam.

Dominika berusaha menghancurkan rekan baletnya dengan sangat sadis. Hal ini tentu membuat Dominika panik dan takut. Sehingga pada akhirnya, Dominika harus masuk ke dalam sebuah pelatihan rahasia oleh pamannya sendiri dan program ini dinamai Red Sparrow. Di sana dia diajari untuk menjadi seorang mata-mata negara dengan cara yang lain. Menggunakan seluruh aset yang ada di dalam tubuhnya untuk dijadikan senjata ampuh untuk melakukan investigasi.


Dengan cerita-cerita seperti ini, sebenarnya Red Sparrow memiliki potensi untuk mempunyai performa yang sangat unggul. Terlebih, Red Sparrow ini memiliki Jennifer Lawrence sebagai kunci utama di dalam filmnya. Pun, didukung oleh kekuatan pengarahan dari Francis Lawrence yang sebenarnya tak bisa diremehkan begitu saja. Tetapi, Red Sparrow pada akhirnya harus terjebak dengan beberapa kelemahan dalam penulisan naskahnya.

Sebagai sebuah film yang penuh akan teka-teki, Justin Haythe tak bisa menerjemahkan setiap misteri yang ada di dalam buku milik Jason Matthews. Ada beberapa informasi yang tak bisa disampaikan dengan baik karena naskahnya sendiri tak bisa menjelaskan hal itu. Efeknya, kepingan-kepingan teka-teki itu tak bisa tersusun dengan baik dan akan menimbulkan berbagai pertanyaan bagi penonton. Efek lainnya adalah timbul sebuah konklusi yang sangat lemah dalam film-film serupa.

Sehingga, yang sangat membantu performa dari Red Sparrow ini secara keseluruhan adalah pengarahan dari Francis Lawrence yang sangat kuat. Dengan naskah yang begitu lemah, Francis Lawrence berhasil merajut setiap menitnya dengan sangat baik. Membangun perkembangan karakter dan atmosfir yang mencekam di dalam Red Sparrow untuk menutupi lubang-lubang yang ada dalam setiap informasinya. Ini tentu akan sangat membantu performa dari Red Sparrow terlebih ketika durasinya pun mencapai 136 Menit.


Francis Lawrence membangun setiap ceritanya perlahan sehingga ini akan memunculkan efek ke dalam ceritanya yang memiliki tempo lambat. Temponya yang lambat ini digunakan oleh Francis Lawrence sebagai cara untuk mengenalkan karakter dan konfliknya agar dekat kepada penontonnya. Pun, tempo lambatnya inilah yang menjadi kekuatan Red Sparrowdalam membangun setiap tensinya yang semakin mencekam. Tetapi, ini tentu akan berdampak lain bagi orang yang tak suka dengan film tempo lambat karena tentu hal ini akan diasumsikan sebagai film yang membosankan.

Tak ada sekuens aksi yang sangat besar muncul di dalam film Red Sparrow. Semua intensitasnya muncul dari penuturan Francis Lawrence di dalam setiap dialognya. Tentu, hal ini tak akan mujarab apabila Jennifer Lawrence tak bisa memberikan performa yang luar biasa. Dirinya mampu menjadi sosok mata-mata yang sangat meyakinkan. Jennifer Lawrence mampu memberikan range emosi yang sangat besar sehingga penonton pun ikut berhasil termakan tipu daya Jennifer Lawrence yang berperan sebagai mata-mata di dalam film ini.

Red Sparrow menjadikan tema seduktifnya sebagai cara menunjukkan kepada penontonnya tentang perempuan dan juga tubuhnya. Perempuan bisa secara bebas menggunakan tubuhnya atas itu masih dalam kemauan dari alam sadarnya sendiri. Tubuh perempuan pun bisa sebagai senjata yang ampuh untuk memanipulasi pemikiran laki-laki. Secara tak langsung hal ini mewakili bagaimana perempuan punya kontrol besar atas tubuhnya untuk berusaha menumpas pemikiran-pemikiran konvensional laki-laki yang selalu memandang tubuh perempuan sebagai objek.


Sehingga, tema seduktif di dalam film ini bukan hanya sebagai sebuah tambahan tak berarti untuk memuaskan mata lelaki. Dengan caranya, Red Sparrow membuktikan sekali lagi tentang kedigdayaan perempuan dalam realita yang menjadi krisis dan urgensi untuk muncul dalam sinema akhir-akhir ini. Meski  masih memiliki misteri yang tak bisa ditangani dengan baik, setidaknya 136 menit Red Sparrow ini masih sangat bisa dinikmati oleh mereka yang suka dengan tempo dan tema seperti ini.

LADY BIRD (2018) REVIEW : Memorabilia Masa Remaja yang Bersemangat

LADY BIRD (2018) REVIEW : Memorabilia Masa Remaja yang Bersemangat



Menggambarkan sebuah pengalaman tentang transisi remaja mungkin sudah pernah ada di dalam banyak film. Tema-tema seperti ini tentu sudah bukan lagi sebuah hal yang baru bagi perfilman Hollywood. Dinamika remaja yang terus berubah-ubah setiap waktu ini tetap saja menjadi topik yang masih sering dibicarakan apalagi dalam ranah tontonan alternatif Hollywood. Hal ini pula yang sedang berusaha disampaikan lewat Greta Gerwig dalam debut penyutradaraannya.

Greta Gerwig berusaha untuk membuat sebuah catatan kecil dalam bentuk visual tentang dirinya dan kota kecilnya dalam film Lady Bird. Naskah dari film Lady Bird ini juga ditulis sendiri oleh Greta Gerwig sehingga tentu film ini akan terasa sangat personal baginya. Diperankan oleh aktris yang tak main-main yaitu Saoirse Ronan dengan ditemani oleh nama-nama terkenal seperti Laurie Metcalf, Timothee Chalamet, dan beberapa nama lain.

Remaja tentu punya banyak cerita, dinamika kehidupan mereka pun masih sangat bergairah. Bahkan sering kali semangat mereka terlalu meluap untuk selalu membenci kehidupan mereka. Greta Gerwig berusaha untuk menampilkan dinamika remaja seperti ini di dalam Lady Bird. Keinginan seorang remaja yang terkadang terlalu muluk ini terwakili dengan baik lewat karakter Christine yang diperankan oleh Saoirse Ronan.


Digarap dengan personal bukan berarti Lady Bird pada akhirnya tak bisa dinikmati dengan jangkauan yang lebih luas. Lady Bird tentu bisa mewakili bagi mereka yang pernah mengalami hal serupa. Ingin merasakan indahnya dunia tanpa memperhatikan kondisi yang ada di sekitar mereka. Menjadi remaja yang selalu merasa hidupnya serba kekurangan dan membencinya karena diri mereka terlalu egois untuk mengakui dan bersyukur atas apa yang mereka punya.

Greta Gerwig bisa menyajikan catatan kecil tentang hidupnya ini sebagai memorabilia bagi siapa saja yang pernah remaja saat menonton film ini. Rasa jujur dan sederhana inilah yang berusaha ingin ditunjukkan oleh Greta Gerwig di dalam debut penyutradaraannya. Emosi dalam Lady Bird ini sangat kuat tetapi tak berusaha terlihat meletup-letup inilah yang akan jarang ditemui di dalam film bertema serupa. Sehingga tak salah apabila Greta Gerwig patut untuk dinominasikan dengan sutradara lainnya dalam Oscars 2018 ini.


Menceritakan tentang seorang remaja perempuan bernama Christine McPherson (Saoirse Ronan) yang sedang mengalami transisi di dalam kehidupan remajanya. Di akhir tahun sekolahnya, Christine ingin melanjutkan sekolah ke universitasnya memiliki lingkungan dengan jangkauan yang lebih luas. Tetapi sayangnya, hal ini tidak disetujui oleh sang ibu, Marion McPherson (Laurie Metcalf). Tentu saja ini membuat Christine harus sering berdebat hebat dengan Ibunya setiap saat.

Meskipun problematika utamanya adalah kondisi keluarga mereka yang serba kekurangan, Christine tetap seorang remaja perempuan yang tak mau mengalah. Perempuan yang biasa menyebut dirinya Lady Bird ini tetap memaksakan kehendaknya untuk bisa bersekolah di daerah yang lebih memiliki budaya. Berbagai cara dilakukan oleh Christine agar dia mendapatkan rekomendasi untuk bersekolah di tempat yang dia inginkan.


Lady Bird bisa menjadi sebuah gambaran tentang kehidupan masyarakat menengah ke bawah dan cara-cara mereka berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya. Betapa mereka sangat memimpikan kemapanan yang ternyata harus bertabrakan dengan realita mereka sendiri. Sehingga, dalam film Lady Birdini bisa menjadi sebuah kontemplasi bagi mereka yang ada di dalam kelas tersebut untuk selalu bisa bersyukur dengan keadaan. Tetapi mereka pun tetap bisa berusaha untuk mewujudkan mimpi tentang kemapanan mereka menjadi nyata.

Pun, Lady Bird adalah sebuah surat cinta bagi mereka yang sedang berusaha bermigrasi ke tempat yang dirasa lebih baik. Pengarahan dari Greta Gerwig bisa menangkap maksudnya tanpa ada pretensi apapun ataupun memiliki pesan-pesan ambisius di dalam filmnya. Inilah yang membuat Lady Bird punya citarasa yang berbeda dibandingkan dengan film-film bertema serupa. Lady Bird berusaha menyajikan apa adanya dinamika kehidupan remaja yang terkadang emosinya pun masih tak stabil.

Hal ini tergambar jelas dengan bagaimana performa Saoirse Ronan sebagai Christine “Lady Bird” McPherson. Saoirse Ronan mengeluarkan pesona terbaiknya dengan menjadi sosok remaja labil dengan range emosi yang sangat luas. Perpindahan karakter Christine yang sangat cepat membuat penontonnya merasa bahwa mereka memang sedang benar-benar menyaksikan dinamika kehidupan remaja yang sebenarnya di sekitar mereka.


Hal ini pun didukung oleh performa yang sangat luar biasa dari Laurie Metcalf yang mampu menerjemahkan arti pemeran pendukung dengan baik. Laurie Metcalf berhasil meyakinkan penonton bahwa dirinya adalah Ibu asli dari Saoirse Ronan. Memerankan karakter yang dapat mengontrol pemeran utamanya tanpa perlu harus berusaha mendominasi. Kedua pemeran inilah yang juga menjadi kunci utama dari presentasi Lady Bird selama 94 menit.

Greta Gerwig punya sensitivitasnya sebagai seorang sutradara yang mampu membuat filmnya yang sederhana ini bisa menempel di benak penontonnya. Greta Gerwig menyalurkan emosi dalam hatinya tentang kerinduannya akan kota kelahirannya dengan sangat baik kepada penontonnya. Sehingga, di akhir film, penonton akan diberikan sebuah perjalanan montage kecil tentang kota kelahiran Christine yang sederhana namun berhasil memberikan dampak emosional yang sangat luar biasa besar.


Sehingga pada akhirnya Lady Birdtentu bisa jadi sebuah catatan kecil bagi mereka yang jauh dengan rumah asli mereka. Digambarkan dengan berbagai cara yang sangat menyentuh dan komedi-komedi sarkastik yang muncul di saat-saat yang tepat. Pun, Lady Bird juga bisa menjadi sebuah memorabilia masa remaja yang penuh akan rasa keegoisan yang meluap-luap dan semangat yang menggebu-gebu untuk meraih apa yang diinginkan. Juga, masa remaja yang penuh akan jatuh bangun dalam menjalani hari-hari.

Senin, 19 Maret 2018

YOWIS BEN (2018) REVIEW : Bahasa Jawa Timuran, Bahasan Tetap Universal.

YOWIS BEN (2018) REVIEW : Bahasa Jawa Timuran, Bahasan Tetap Universal.


Budaya jawa timuran dalam sebuah film memang bukan lagi hal baru. Ada beberapa film yang setting jawa timurnya pun kental. Yowis Ben, film arahan dari Fajar Nugros yang berkolaborasi dengan Bayu Skak ini terlihat mengasyikkan. Bukan sekedar karena filmnya yang menggunakan bahasa jowoan, tetapi lebih karena trailernya yang terlihat menarik. Pun, lebih menarik lagi ketika ada nama Bayu Skak yang ikut membantu Fajar Nugros sebagai sutradara.

Selain itu, naskah dari Yowis Ben pun ditulis sendiri oleh Bayu Skak. Trailernya menarik tetapi tak disangka bahwa Yowis Ben bisa menjadi sebuah film yang mendatangkan jumlah penonton yang cukup banyak. Dengan kedekatan budaya, tentu saja Yowis Bensangat menarik penonton di daerah jawa timur mulai dari Surabaya, apalagi Malang yang setting filmnya pun berada di sana. Tentu ini adalah sebuah fenomena menarik dalam perfilman Indonesia.

Tetapi, akan masih banyak penonton yang meragukan bagaimana performa Yowis Ben secara utuh. Nama Bayu Skak tentu menjadi taruhan serta alasan lain bagi mereka yang tak dekat dengan budayanya untuk hadir menonton film Yowis Ben ini. Ketenaran Bayu Skak di media sosial tentu menjadi keunggulan sendiri bagi Yowis Ben untuk melakukan promosi dan mendatangkan jumlah penonton. Tetapi, kedekatan secara budaya ini adalah kata kunci bagaimana Yowis Ben bisa sangat sukses.


Kesuksesan yang didapatkan oleh Yowis Ben ini untungnya masih selaras dengan bagaimana 100 menit dari film ini dikemas oleh Fajar Nugros dan Bayu Skak. Yowis Ben memiliki kekuatan utama dalam bahasa jawa timurannya sebagai gong utama semua celotehan komedinya. Tak bisa dipungkiri bahwa bahasa lokal inilah yang menjadi keistimewaan dari Yowis Ben. Terlebih, sebenarnya Yowis Ben tak memiliki sesuatu yang baru di dalam genre-nya untuk ditawarkan kepada penontonnya.

Yowis Ben sangat menggantungkan dirinya dengan kedekatan budaya lokal yang sangat kental. Hal ini mungkin tak bisa sepenuhnya bisa membuat penonton yang tak kenal budaya tersebut akan mendapatkan efek yang sama dengan yang sudah kenal dengan budaya tersebut. Tetapi, Fajar Nugros dan Bayu Skak setidaknya sudah memberikan caranya sendiri untuk mengemas film Yowis Ben agar tetap bisa dinikmati setiap orang.


Yowis Ben menceritakan tentang seorang remaja sekolah menengah atas bernama Bayu (Bayu Skak) yang masih saja terjebak problematika zaman now yaitu popularitas. Bayu yang hidup bersama Ibunya yang berprofesi sebagai penjual nasi pecel membuat Bayu dikenal sebagai Pecel Boy. Ini karena Bayu sering membantu ibunya berjualan nasi pecel kepada teman-temannya di sekolah. Hal inilah yang membuat Bayu berpikir untuk memperbaiki reputasinya di sekolah.

Bersama dengan teman dekatnya,  Doni (Joshua Suherman), Bayu memutuskan untuk membuat band yang bisa mengangkat popularitasnya di sekolah. Ini juga menjadi alasan agar Bayu bisa mendekati cewek yang dia taksir di sekolah bernama Susan (Cut Meyriska). Akhirnya bertemulah Bayu dan Doni dengan Yayan (Tutus Thomson) dan Nando (Brandon Salim). Mereka menamai band mereka menjadi Yowis Bendan beberapa videonya berhasil menjadi viral.


Plot ceritanya tak ada yang spesial, Yowis Ben menggunakan pakem dan tema yang sama dengan beberapa film remaja yang ada. Sehingga, memang bagi yang sudah pernah menonton film dengan genre serupa, Yowis Ben tak akan menawarkan sesuatu yang baru. Tetapi, hal tersebut tak semata-mata membuat Yowis Ben tak bisa menjadi sajian yang menarik. Pintarnya Fajar Nugros dan Bayu Skak mengemas sesuatu yang usang itu sehingga memiliki daya tariknya yang baru.

Memasukkan bahasa lokal sebagai injeksi daya tarik sekaligus sorotan utama dalam film ini tentu bukanlah perkara mudah. Celotehan-celotehan bahasa jawa timuran ini adalah kekuatan utama dalam porsi komedinya dan ini harus punya ketelitian agar tak timbul adegan yang jatuhnya menganggu. Bayu Skak dalam naskahnya memiliki ketelitian itu di dalam Yowis Ben. Pun, bahasa lokal ini tak hanya sebagai dialognya saja, tetapi juga bahasa dalam lagu yang dimainkan oleh para karakternya ini berhasil menjadi cocok di kuping penontonnya.

Yowis Ben berhasil memberikan gambaran tentang dinamika remaja zaman sekarang yang sangat mempedulikan popularitas apalagi di dunia maya. Konflik inilah yang perlu digarisbawahi bahwa semua remaja di belahan provinsi manapun ternyata memiliki konflik yang sama. Pengikut di akun media sosial menjadi momok yang penting bagi perjalanan hidup remaja zaman sekarang. Tetapi, mereka tak benar-benar tahu apa yang didapatkan setelah sangat mempedulikan persona yang mereka tampilkan di dunia maya. Inilah yang membuat Yowis Ben bisa dinikmati oleh semua budaya.


Tetapi, tak bisa dipungkiri pula bahwa pentingnya penggambaran dinamika remaja zaman sekarang ini tak bisa tersampaikan dengan sempurna. Yowis Ben mengorbankan konflik ini kepada subplot lain tentang kekeluargaan dan cinta-cintaan yang pada akhirnya membuat Yowis Ben tak memiliki penceritaan yang baik. Beberapa adegan memiliki tempo yang melambat dan plot mereka menjadi saling tumpang tindih dan diselesaikan dengan secepat mungkin.

Performa Yowis Ben pada akhirnya memang tak bisa sempurna karena beberapa minor yang ada di dalam filmnya. Tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa Yowis Ben masih memiliki beberapa hal yang bisa dinikmati oleh penontonnya. Film ini memang sangat bertumpu kepada bahasa lokalnya sebagai kekuatan utama untuk meluncurkan punchline komedi yang mengundang tawa. Meski akan ada beberapa yang meleset bagi mereka yang tak dekat dengan budayanya, setidaknya Yowis Ben sudah berusaha menjadi sajian yang universal lewat konfliknya.
EIFFEL IM IN LOVE 2 (2018) REVIEW : Kisah Cinta Pasangan Tak Sempurna
Yang Manis

EIFFEL IM IN LOVE 2 (2018) REVIEW : Kisah Cinta Pasangan Tak Sempurna Yang Manis


Kedatangan produk-produk nostalgia ke layar lebar ini memang telah menjadi tren di perfilman Indonesia. Nyatanya, amunisi seperti ini adalah sebuah senjata yang tepat guna untuk mendatangkan banyak penonton. Terlebih ketika Ada Apa Dengan Cinta? 2 berhasil meraup 3,5 juta penonton dan berbagai rumah produksi pun berlomba-lomba untuk mencari amunisinya mengembalikan memori lama penonton. Hal ini yang dilakukan oleh Soraya Intercine Films di tahun 2018.

Kisah cinta Adit dan Tita ini memang pernah menjadi salah satu box office hit di Indonesia kala itu. Eiffel I’m In Love menjadi amunisi utama dari Soraya Intercine Films untuk mengembalikan memori penontonnya yang ingin tahu seperti apa mereka sekarang. Sebenarnya, jika ditilik lebih lama lagi, Eiffel I’m In Love sudah memiliki lanjutan ceritanya dengan cast yang tentu saja berbeda lewat Lost in Love. Tetapi, film tersebut dianggap sebagai sebuah angin lalu dan Soraya Intercine Films tetap memutuskan untuk membuat sekuel dari kisah cinta Adit dan Tita.

Cast dari film ini masih tetap sama yaitu Samuel Rizal dan Shandy Aulia. Hanya saja, Eiffel I’m In Love 2 kali ini memiliki pilot yang berbeda. Rizal Mantovani kali ini memegang kendali mau di bawa ke mana kisah cinta Adit dan Tita kali ini. Tak bisa dipungkiri mungkin banyak orang yang mulai ragu dengan bagaimana Rizal Mantovani mengarahkan kisah cinta Adit dan Tita kali ini. Hal ini dikarenakan beberapa kail Rizal Mantovani sering meleset dalam mengarahkan sebuah film.


Beruntungnya, Eiffel I’m In Love 2 masih memiliki nafas yang sama dengan film sebelumnya. Mungkin, Eiffel I’m In Love 2 tak menawarkan sesuatu yang baru di dalam filmnya. Plot ceritanya masih saja memiliki unsur klise film cinta-cintaan yang ada. Tetapi, Eiffel I’m In Love 2 berhasil memainkan perannya sebagai sebuah film sekuel. Ada konsistensi dan perkembangan setiap karakternya yang membuat Eiffel I’m In Love 2 ini tampak sangat hidup di durasinya selama 115 menit.

Eiffel I’m In Love 2 memang sebagai sebuah film utuh tak bisa tampil secara sempurna. Tetapi, kedigdayaan film ini tampil karena bagaimana kepiawaian naskah yang ditulis oleh Donna Rosamayna ini berhasil merajut kisah cinta Adit dan Tita tampil manis. Menghidupkan dan mempertahankan karakter Adit dan Tita yang sudah terbentuk di film pertamanya di dalam film keduanya. Tetapi, juga memberikan sedikit gubahan dari dalam karakternya yang memberikan relevansi.


Ini dia kisah Adit dan Tita yang memiliki rentang 12 tahun dari film pertamanya. Tita (Shandy Aulia) sudah berhasil menyelesaikan sekolahnya dan menjadi dokter hewan. Tetapi, di umurnya yang sudah tak lagi muda, Tita memiliki krisis. Di saat semua teman-teman seusianya sudah memiliki suami, Tita masih saja sendiri karena Adit (Samuel Rizal) tak segera melamarnya. Tita pun mulai sedih apalagi jika diingat bahwa mereka masih saja sering bertengkar karena masalah-masalah sepele.

Lalu, ada kabar bahwa Tita dan keluarganya harus pindah sementara ke Paris. Tita pun sangat bahagia karena pada akhirnya dia bisa dekat dengan Adit. Tetapi, dekat dengan Adit bukan berarti masalah ketidakpastian akan hubungan mereka berakhir begitu saja. Adit dan Tita semakin sering ribut tiap hari di saat sering bertemu. Tita pun merasa bahwa Adit sudah tak lagi sayang dengannya dan masalah-masalah lain pun muncul dalam hubungan mereka.


Kisah cinta Adit dan Tita memang tak selalu mulus, begitupula dengan kemasan yang ada di dalam film Eiffel I’m In Love 2. Beberapa bagian di dalam film ini memang berjalan tak mulus apalagi dengan durasi yang mencapai 115 menit. Konflik yang terjadi di dalam film ini memang tak banyak, tetapi memiliki perjalanan yang cukup panjang. Efeknya, Eiffel I’m In Love 2 memiliki tempo yang melambat di pertengahan filmnya.

Naskah yang ditulis oleh Donna Rosamayna ini memang seharusnya bisa membuat Eiffel I’m In Love 2 menawarkan cita rasanya sendiri sebagai sebuah film drama romantis. Banyak momen-momen manis yang tergambar dengan baik dibantu oleh pengarahan oleh Rizal Mantovani. Tetapi sayangnya, Rizal Mantovani tak bisa secara signifikan memberikan kekuatan untuk mendukung naskah yang sudah baik-baik ditulis dengan rapi.


Muncul beberapa bagian di dalam filmnya yang tak bisa mendukung plot cerita utamanya. Beberapa adegan pun muncul dengan transisi yang tak mulus dan memberikan suasana canggung yang tak mendukung. Terutama ketika plot cerita itu harus digerakkan oleh karakter-karakter pendukung selain Tita dan Adit. Inilah yang menjadi kendala utama dari Eiffel I’m In Love 2. Tak ada pemain yang bisa memiliki performa yang sama dengan Shandy Aulia dan Samuel Rizal. Entah, apakah ini menjadi tujuan utama dari sekuel ini karena performa mereka sangat mirip dengan film pertamanya.

Tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa Eiffel I’m In Love 2 punya banyak asupan adegan manis yang bisa membuat penonton terbawa arus suasana yang ada. Cita rasa manis itu didukung dengan tone warna pastel dari filmnya dibalut dengan kemegahan visual dari Yunus Pasolang. Pun, dengan lagu serta musik dari Anto Hoed dan Melly Goeslow yang juga mumpuni mendukung suasana romantis kisah Adit dan Tita di layar perak.


Dengan adanya asupan-asupan adegan manis di dalam Eiffel I’m In Love 2, film yang dirilis di bulan kasih sayang lalu ini sangat pas ditonton bersama pasangan. Pun, bagi mereka yang ingin kembali merasakan sensasi nostalgia kisah cinta Tita dan Adit 12 tahun silam. Dengan konsistensi karakterisasinya dan perubahan kedewasaannya yang mengikuti zaman, tentu hal ini membuat penonton yakin bahwa pasangan Tita dan Adit ini nyata dan begitu pula cinta kasih mereka.

Jumat, 24 Februari 2017

BUKA’AN 8 (2017) REVIEW : Kapsul Waktu Penuh Kritik Sosial

BUKA’AN 8 (2017) REVIEW : Kapsul Waktu Penuh Kritik Sosial


Di setiap tahunnya, Angga Dwimas Sasongko akan selalu melahirkan sebuah film dengan kemasan yang berbeda. Kekuatan Angga Dwimas Sasongko dalam mengarahkan film-filmnya adalah ketika dia berhasil membuat karakternya sangat terkoneksi dengan penontonnya. Mulai dari Hari Untuk Amanda hingga Surat Dari Praha, Angga Dwimas Sasongko berhasil memberikan intimasi yang membuat penonton memiliki kedekatan dan simpati kepada karakter-karakter dan problematika yang ada di dalam filmnya.

Di tahun 2017 ini, Angga Dwimas Sasongko kembali menyuguhkan karya terbarunya. Proyek film besutannya kali ini bekerjasama dengan Salman Aristo sebagai penulis naskah. Film terbarunya ini dibintangi oleh Chicco Jerikho dan aktris pendatang baru, Lala Karmela. Angga Dwimas Sasongko mendedikasikan film ini sebagai bentuk kapsul waktu anak pertamanya. Kali ini, Angga Dwimas Sasong bermain dalam genre drama komedi lewat Buka’an 8.

Sebuah kapsul waktu untuk anak dari Angga Dwimas Sasongko, jelas membuat film terbarunya ini akan terasa sangat personal. Akan banyak referensi dan pengalaman pribadi dari sang sutradara yang mempengaruhi kemasan dari Buka’an 8. Meski film ini punya tujuan personal, tetapi Angga Dwimas Sasongko membuat Buka’an 8 dengan mudah dinikmati secara universal. Buka’an 8 bukan sekedar sebuah drama komedi yang dapat membuat penontonnya terhibur, tetapi juga penuh akan komedi satir yang emosional karena dibuat dengan hati yang besar.


Ada banyak isu yang berusaha disampaikan oleh Angga Dwimas Sasongko saat mengarahkan Buka’an 8. Lewat film ini, sang sutradara berusaha memberikan informasi dan pengertian tentang isu menjadi orang tua yang penuh dengan tanggung jawab. Belum lagi isu-isu sosial dan politik lainnya yang disematkan oleh setiap karakternya. Film Buka’an 8 memang akan terasa penuh akan tujuan-tujuan yang pretensius, tetapi Salman Aristo sebagai penulis naskah berhasil memberikan porsi yang baik sehingga semua isu itu terasa seimbang.

Buka’an 8 bertumpu pada cerita tentang satu titik kejadian yang terjadi pada karakternya, bukan berusaha mengenalkan siapa Alam dan Mia secara runtut dari awal hingga akhir. Berangkat akan satu premis yang sederhana dan satu titik kejadian dalam hidup mereka, Angga Dwimas Sasongko sangat berhasil membuat konflik dan setiap karakternya begitu kaya. Penonton pun dengan mudah menaruh simpati kepada Alam dan Mia dan problematikanya menantikan anak pertama. 


Problematika film ini sederhana, menceritakan bagaimana Alam (Chicco Jerikho) dan Mia (Lala Karmela) yang sedang menantikan kelahiran anak pertamanya. Tetapi, proses adminitrasi di rumah sakit tak semudah dan baik-baik saja seperti yang dikira oleh Alam. Kendala ada pada biaya administrasi Rumah Sakit yang kurang. Alam pun memutar otak untuk mencari sisa uang agar Mia dapat melahirkan dengan perawatan yang layak.

Konflik ini sudah terjadi di berbagai kalangan, tetapi yang menjadi berbeda adalah sosok Alam yang unik. Dia adalah selebtwit yang memiliki banyak followers di sosial media. Tak berhenti di sana, Alam sering melakukan perang opini di sosial terbuka yang membuat dirinya semakin mendapat masalah dengan opininya. Inilah yang membuat proses menantikan kelahiran anak pertama keluarga Alam dan Mia menjadi berbeda. 


Dengan menekankan pada konflik keluarga yang rumit ini, akan terasa terlalu berat apabila Buka’an 8 malah dikemas terlalu serius. Angga Dwimas Sasongko menyiasatinya dengan mengemas Buka’an 8 menjadi film komedi. Film ini penuh akan misi untuk memberikan kritik sosial yang ada di sekitar masyarakat. Buka’an 8membangun relevansi antara karakter fiksi dengan realita sosial yang ada. Sehingga, sang sutradara mengajak penontonnya untuk bersama-sama menertawakan problematika sosial yang sebenarnya mereka jalani.

Angga Dwimas Sasongko tahu benar atas segala konflik di dalam Buka’an 8 dan berhasil diterjemahkan lewat naskah yang disusun begitu rapi dan detil oleh Salman Aristo. Keduanya berhasil memberikan sebuah kolaborasi yang pintar. Penonton akan tahu bahwa film ini sangat personal yang didasari pengalaman pembuatnya. Bila dapat diibaratkan, Buka’an 8 adalah anak dari Angga Dwimas Sasongko yang dirawat penuh dengan kasih dan penuh tanggung jawab.

Dengan problematika dan kritikan sosial yang pretensius itu, Angga Dwimas Sasongko tak menyampaikannya dengan menggebu-gebu. Angga Dwimas Sasongko menuturkan setiap konflik ceritanya dengan begitu lembut. Sang sutradara berusaha untuk memberikan romantisasi atas konfliknya yang sudah terlalu berat ini. Dengan begitu, penonton akan dengan mudah menangkap maksud dan tujuan di dalam Buka’an 8. Film ini tak akan menjadi personal bagi pembuatnya, tetapi juga bagi siapa saja yang menontonnya.  


Buka’an 8 sebenarnya sebuah surat cinta kepada masyarakat yang menganggap bahwa menikah adalah jawaban atas segala masalah kehidupan satu individu yang bertambah berat. Buka’an 8 membuka fakta bahwa sebenarnya menikah pun akan membuat tanggung jawab akan semakin besar. Keluarga bukan tentang satu individu dengan problematikanya, tetapi tentang sekelompok individu yang memiliki masalah masing-masing. Butuh kepala dingin agar dapat mendapatkan solusi atas setiap masalah yang akan mereka hadapi.

Nilai tentang Tanggung jawab inilah yang berusaha ditekankan di dalam film Buka’an 8. Mulai dari tanggung jawab menjadi kepala keluarga, hingga bertanggung jawab dalam opini yang disampaikan. Entah opini tersebut dilayangkan secara verbal atau pun di ruang publik yang berpindah ke sosial media. Poin ini dilekatkan pada karakter Alam yang meskipun tak perlu kilas balik latar belakang ceritanya, akan terasa bagaimana tranformasi Alam dalam mengemban tanggung jawabnya.

Tak hanya kolaborasi Angga Dwimas Sasongko dan Salman Aristo saja yang bersinergi, tetapi juga performa dari Chicco Jerikho dan Lala Karmela. Mereka dapat menumbuhkan ikatan kuat yang meyakinkan penontonnya. Mereka bisa memperkuat setiap adegan demi adegan dan ketika mencapai pada adegan kunci, penonton bisa merasakan emosinya. Belum lagi Dayu Wijanto dan Sarah Sechan sebagai pemeran pembantu juga bisa mengiringi tanpa perlu mendominasi peran mereka. Semua pemainnya bersinergi dengan iringan musik yang tahu tempat. 


Maka dari itu, Buka’an 8bukan hanya karya personal dari Angga Dwimas Sasongko tetapi juga mampu membuat karyanya ini terasa personal bagi siapa saja yang menontonnya. Meskipun personal, film ini mampu memberikan kritik sosial yang bersinergi dengan baik. Buka’an 8 penuh akan misi tentang banyak hal pretensius yang bagusnya bisa berjalan seimbang dan tak menggebu-gebu. Ada penuturan yang lembut layaknya seorang ayah yang menasihati anaknya di dalam film. Dengan penulisan naskah Salman Aristo yang detil dan pengarahan Angga Dwimas Sasongko yang kuat,  Buka’an 8 adalah sebuah opini dari Angga Dwimas Sasongko tentang tanggung jawab dalam setiap aspek kehidupan. Sebuah kapsul waktu yang didedikasikan kepada para buah hati yang sangat emosional. Luar biasa!

Kamis, 23 Februari 2017

LION (2016) REVIEW : Perjalanan Menemukan Arti Rumah

LION (2016) REVIEW : Perjalanan Menemukan Arti Rumah

Berbicara tentang perjalanan kembali menuju rumah di dalam sebuah film akan dengan mudah merebut hati penontonnya. Bahkan kritikus dan ajang penghargaan akan dengan mudah mengapresiasi film-film seperti ini. Tahun 2016 lalu, sebuah film bertema perjalanan kembali menuju rumah mendapatkan sebuah sorotan dan pujian oleh kritikus dan beberapa ajang penghargaan. Film tersebut adalah Lion yang disutradarai oleh Garth Davis dan berdasarkan sebuah kisah nyata.

Lion diangkat dari kisah asli dari Saroo yang telah ditulis dalam sebuah novel. ‘A Long Way Home’ adalah buku yang mendasari Garth Davis untuk mengarahkan filmnya. Naskah adaptasinya diserahkan kepada Luke Davies untuk menentukan struktur ceritanya. Dev Patel dipercaya untuk menggambarkan sosok asli dari Saroo dewasa. Ada pula Sunny Pawar yang memerankan Saroo di fase masih kecil. Film ini pun dibintangi oleh beberapa nama lain seperti Nicole Kidman dan Rooney Mara.

Tema-tema tentang menemukan kembali rumah memang sudah biasa dan sering hadir di berbagai film sebelumnya. Tetapi, tak ada salahnya apabila tema-tema seperti ini kembali diangkat ditambah dengan pengarahan yang begitu kuat dan memiliki dampak kepada penontonnya. Lion milik Garth Davis ini kembali hadir mengusung tema yang generik ini dan dikemas ulang menjadi sesuatu yang segar. Hal itu dikarenakan bagaimana Garth Davis punya sensitivitas yang berhasil membuat Lion begitu hidup dan emosional. 


Orang akan menganggap film-film dengan tema yang diangkat oleh film Lion bukanlah sesuatu yang baru dan mendapat apresiasi. Benar, memang tak ada yang baru dari plot cerita di dalam film Lion. Segala ceritanya berjalan linear dan penuturannya memang memiliki linimasa cerita yang runtut seperti babak kehidupan nyatanya. Tetapi, Lion memiliki sesuatu yang berbeda di hal lain yaitu bagaimana Garth Davis menceritakan setiap babak kehidupan dari Saroo.

Garth Davis tahu bahwa film-film bertema seperti ini tak memiliki gaya penuturan cerita yang baru. Semuanya akan jatuh menjadi film yang generik dengan film-film sebelumnya. Tetapi, Garth Davis mampu memberi sesuatu yang kaya dan akan membuat penontonnya sangat menikmati Lion di durasinya yang mencapai 118 menit. Poinnya adalah bukan dari bagaimana film Lion bisa memberikan sesuatu yang baru di dalamnya. Layaknya Saroo yang punya keinginan teguh mencari rumahnya, Garth Davis juga ingin membuat penonton merasakan setiap proses penuturannya lewat Lion. 


Ini adalah sebuah kisah tentang Saroo kecil (Sunny Pawar) yang kala itu ingin ikut sang kakak, Guddu (Abhishek Bharate) mencari nafkah untuk membantu Ibunya. Di sebuah stasiun saat malam hari, Guddu menyuruh Saroo untuk diam di sebuah bangku stasiun agar tak hilang selagi Guddu mencari sesuatu.  Merasa bosan, Saroo pun terlelap tidur dan ketika dia bangun Guddu masih belum kembali. Di tengah dia mencari Guddu, dia masuk ke dalam sebuah kereta dan tak sengaja terlelap lagi di dalam kereta itu.

Kereta itu ternyata membawanya ke Calcutta, tempat yang sangat jauh dari rumahnya. Perjuangan Saroo bertahan hidup pun susah, hingga akhirnya Saroo dibawa ke sebuah penampungan anak-anak.  Saat berada lama di tempat penampungan karena tak ada yang mencarinya, Saroo diadopsi oleh Sue (Nicole Kidman) dan John Brierley (David Wenham) yang berasal dari Australia. Setelah tinggal lama, Saroo yang sudah beranjak dewasa (Dev Patel) merindukan kembali rumahnya yang dulu. 


Menonton Lion memang tak perlu berusaha terlalu keras mencocokkannya dengan berbagai bidang keilmuan. Cukup menontonnya dengan tenang, maka Lion akan sangat mudah dinikmati oleh berbagai kalangan. Cerita Lion harus diakui memang sangat linear dan itu membuat penontonnya akan dengan mudah menebak bagaimana kelanjutan setiap ceritanya. Tetapi, sekali lagi, sajian Lion sebagai sebuah film bukan sekedar menunjukkan sebuah superioritas, melainkan tentang merasakan setiap adegannya.

Proses penyampaian di dalam film Lion lah yang perlu dirasakan oleh penontonnya. Garth Davis berhasil menampilkan berbagai adegan emosional. Garth Davis tahu detil cerita mana yang akan membuat penontonnya terenyuh, merasakan sebuah pahit manisnya perjalanan proses kehidupan Saroo mulai kecil hingga tumbuh dewasa. Garth Davis punya sensitivitas itu dalam mengarahkan Lion sehingga di setiap detil kecil filmnya memiliki emosi tanpa perlu menggebu-gebu.

Memang, tak berarti Lion adalah sebuah film yang sempurna. Penyampaian dari Garth Davis memang beberapa kali terasa lepas dari ritme apalagi di awal film. Penonton akan berusaha meraba siapa Saroo dan keluarganya agar dapat terkoneksi. Meskipun ketika sudah memiliki ritmenya, poinnya maka bukan siapa Saroo dalam film Lion, tetapi seperti apa Saroo dalam film Lion yang semakin bertambah durasi karakter ini juga akan semakin berkembang. 


Teringat sebuah adegan di mana Saroo dan Sue yang diperankan oleh Sunny Pawar dan Nicole Kidman di sebuah kamar mandi. Sue sedang menatap Saroo yang sedang membersihkan diri, memperlihatkan bagaimana seseorang merindukan sesuatu di dalam hidupnya. Meski adegannya begitu tenang, Garth Davis mampu mengarahkan Nicole Kidman agar dapat dirasakan oleh penontonnya. Itulah Lion yang berusaha menonjolkan pesan tentang Rumah adalah tempat yang nyaman untuk beristirahat.

Setiap karakter di dalam film Lion memiliki representasi atas pesan yang berusaha ditampilkan oleh Garth Davis. Di durasinya selama 118 menit, Lion berisikan tentang orang-orang yang sedang rindu akan ‘Rumah’, tempat yang tenang dan sejenak melupakan kehidupan yang berat. Saroo yang merindukan Guddu, Sue yang merindukan kehadiran anak di dalam keluarganya. Gambaran setiap karakter ini mengingatkan penontonnya bahwa Rumah bukan hanya sekedar sebuah bangunan, melainkan memiliki arti yang menenangkan, ketika mengingatnya saja hati sudah terasa tentram.

Penuturan dan pesannya tentang rumah yang tentram dan nyaman diperkuat dengan tata sinematografi oleh Greig Fraser yang lembut dan mendayu. Pas dengan bagaimana alur dan ritme film ini melaju. Belum lagi denting piano yang cantik sebagai scoring yang mengiringi setiap adegan di film ini. Dibuat begitu sederhana oleh Dustin O’Halloran dan Hauschka untuk memperkuat sensitivitas pengarahan dari Garth Davis ini sendiri. 


Maka, inilah Lion yang mengingatkan penontonnya akan rasa rindu akan rumah. Mengingatkan penontonnya akan Rumah yang tak hanya diartikan secara harfiah sebagai sebuah bangunan yang menampung satu keluarga. Tetapi arti Rumah yang menekankan pada tempat istirahat yang nyaman dan tenang. Garth Davis berusaha melekatkan makna itu pada setiap karakter-karakter di Film Lion. Dengan kemasannya yang sederhana dan linear, Garth Davis mampu memberikan emosi yang kaya di setiap adegannya. Mengarungi setiap babak demi babak proses kehidupan Saroo yang berkembang hingga menjadi sebuah individu yang kuat. Dan ketika judul ‘Lion’ muncul sebagai penutup adegannya, maka penonton akhirnya dapat merasakan bahwa inilah Rumah yang dirindukan.
 

Rabu, 22 Februari 2017

LONDON LOVE STORY 2 (2017) REVIEW : Realisasi Mimpi Tentang Cinta Yang
Hiperbolis

LONDON LOVE STORY 2 (2017) REVIEW : Realisasi Mimpi Tentang Cinta Yang Hiperbolis


Kedatangan Screenplay Filmsdi perfilman Indonesia memang memiliki warna baru. Film-filmnya sejak Magic Hour selalu mendatangkan penonton dan itu cukup mengagetkan banyak pihak. Sehingga, dengan kedigdayaannya di perfilman Indonesia membuat rumah produksi satu ini selalu hadir dengan karya terbaru setiap tahunnya karena tahu potensinya menggaet penonton. Screenplay Films pun semakin lama semakin melebarkan sayapnsya dengan berasosiasi bersama Legacy Pictures.

Setelah Magic Hour, film kedua Screenplay Films pun laris manis. London Love Story, yang dirilis pada tahun 2016 ini memasang nama-nama familiar di mata penonton yaitu Michelle Ziudith dan Dimas Anggara dan berhasil menggaet 1 juta penonton. Dengan prestasi raihan penonton yang di luar ekspektasi itu, Screenplay Films kembali menghadirkan kisah cinta Caramel dan Dave di seri berikutnya. Asep Kusdinar tetap -bahkan selalu -kembali menyutradari film-film Screenplay Films lewat London Love Story 2.

Film-film Screenplay Filmsmemang memiliki segmentasi penontonnya sendiri dan film-film mereka akan selalu dinantikan. Kesuksesan London Love Storyseri pertama secara kuantitas ini akan menjadi senjata utama dari Screenplay Films untuk merilis filmnya yang kedua. Formula cerita yang digunakan di London Love Story pertama ini penuh akan poin-poin klise dan kata-kata buaian tentang cinta. Tak perlu kaget, apabila London Love Story 2 ini juga akan kembali menggunakan formula yang sama. 


Kesalahan London Love Storysebelumnya adalah kemasannya yang belum sinematik. Screenplay Films yang berangkat dari rumah produksi untuk televisi memiliki problematika dalam membungkus kemasannya. Penonton tak diberi satu diferensiasi antara film televisi yang biasa mereka saksikan secara gratis dengan film yang mereka khususkan sebagai film bioskop. Begitu pula dengan dialog-dialognya yang tak memiliki kedewasaan serta penuh akan kiasan hiperbola tentang cinta.

Perubahan memang berubah secara bertahap, London Love Story 2 memang tak sepenuhnya berubah menjadi sebuah film dengan konten yang berbeda dan dewasa. Setidaknya, London Love Story 2 memperbaiki tata teknis filmnya yang jauh lebih sinematik. Meski begitu, London Love Story 2 tetap dipenuhi dengan dialog-dialog ajaib dan penuturan yang beda tipis dengan London Love Storysebelumnya. Meski dasar cerita dalam London Love Story 2 adalah tentang tahapan yang lebih matang dalam sebuah hubungan, tetapi kemasannya tetap kekanak-kanakan. 


Kisahnya tetap tentang Dave (Dimas Anggara) dan Caramel (Michelle Ziudith) yang sudah kembali bersama dan menjalani hubungan yang bahagia. Mereka pun berusaha untuk serius satu sama lain dan ingin lanjut ke hubungan yang lebih dewasa. Tetapi, perjalanan hubungan tak semulus yang mereka bayangkan. Dave mengajak Caramel pergi ke Swiss dengan tujuan liburan, tetapi perjalanan liburan mereka malah menjadi sebuah bencana bagi hubungan mereka.

Di tengah liburannya, Caramel yang sedang menikmati makanan di suatu restoran atas rekomendasi Sam (Ramzi), dikejutkan dengan hadirnya masa lalu Caramel saat SMA. Gilang (Rizky Nasar), Chef restoran itu adalah masa lalu dari Caramel yang pernah mengisi ruang hatinya. Sam yang sudah akrab dengan Gilang, mengenalkannya pada Dave. Dan mereka berempat pun liburan bersama-sama dan membuat Caramel was-was akan kehadiran Gilang di tengah hubungannya dengan Dave yang sudah bahagia. 


Tak salah apabila di sebuah film remaja masih menggunakan formula yang itu-itu saja, begitu pula yang terjadi di London Love Story 2. Film ini hanya mengulang, sulam dan tambal cerita-cerita usang agar menjadi sesuatu yang  baru. Pengarahan Asep Kusdinar pun masih berusaha untuk berkembang, meskipun tak terasa begitu signifikan. Penuturan kisah cinta klise di dalam London Love Story 2 sudah lebih berkembang ketimbang film pertamanya.

Setiap konflik yang ada di film ini setidaknya menemukan ritme yang lebih baik untuk diarahkan lebih runtut dibanding karya-karya Asep Kusdinar di Screenplay Films sebelumnya. London Love Story 2 pun berkembang menjadi sesuatu yang setidaknya masih bisa dinikmati dan tak membuat penonton bingung karena lantaran susunan plotnya minim kekacauan. Tetapi, bukan berarti London Love Story 2 akhirnya menjadi karya sempurna dan menjadi lonjakan dari film-film Screenplay Films sebelumnya.

London Love Story 2 dipenuhi dengan plot cerita yang membuat dahi berkerut karena banyak sekali keajaiban yang terjadi di dalam ceritanya. Kisah cinta segitiga yang penuh akan pengorbanan dihiasi dengan elemen-elemen kematian dan ditinggalkan dengan atas nama romantisasi. Belum lagi naskah yang diramu berdua oleh Sukhdev Singh dan Tisa TS masih memiliki rangkaian kata penuh majas hiperbola yang terasa dibuat-buat. 


Inilah yang selalu menjadi poin minus dari Screenplay Films di segala karyanya yang sebenarnya sudah memiliki perkembangan secara teknis. Naskah di London Love Story 2 inilah yang menjadi masalah karena tak diatur dengan baik. Terasa bagaimana London Love Story 2tak memiliki struktur cerita yang kuat, sehingga berdampak pula pada pengarahan Asep Kusdinar yang belum terlalu kuat. Dasar struktur dalam London Love Story 2 yang tak kuat ini akan membuat penontonnya bingung dan meraba apa yang terjadi oleh karakter-karakternya.

London Love Story 2 sibuk memberikan sorotan lebih kepada karakter sampingannya, sehingga Asep Kusdinar lupa untuk memberikan pengarahan lebih kepada plot utamanya. Sehingga, ketika masuk ke dalam konfliknya penonton akan berusaha sendiri mencari jawaban atas lubang cerita yang ada di dalam London Love Story 2. Belum lagi dialog-dialog hiperbola yang selalu mewarnai film-film Screenplay Films yang seakan-akan sudah menjadi signature.

Dialognya penuh akan romantisasi hiperbola yang tak begitu sanggup untuk didengar. London Love Story 2penuh akan dialog yang berusaha keras untuk diromantisasi dan hasilnya malah terdengar begitu hiperbolis. Terlalu manis untuk diucapkan setiap karakternya yang membuat film ini hanyalah sebuah hasil realisasi mimpi yang tak kunjung ditemukan oleh penulisnya. London Love Story 2 bukan malah menimbulkan efek romantis, yang ada malah menekankan bahwa film ini terasa dongeng yang fiktif. 


Dengan begitu, London Love Story 2 tak serta merta menjadi karya terbaik dari film-film Screenplay Films. Persepsi yang keluar adalah London Love Story 2 setidaknya memiliki babak yang lebih runtut dan lebih mending dibanding film-film sebelumnya. Sisi teknis sinematik di London Love Story 2 setidaknya sudah berkembang dan pengarahan yang sedikit berkembang. Tetapi, London Love Story 2 masih memiliki kelemahan-kelemahan film Screenplay Films sebelumnya. Struktur cerita yang tak terlalu kuat diiringi dengan dialog-dialog ajaib yang membuat penonton tak bisa menahan tawa. Meski digadang sebagai sebuah film romantis, London Love Story 2 hanya sebuah realisasi mimpi yang tak terwujud dengan kemasan yang hiperbolis. 

Jumat, 17 Februari 2017

LA LA LAND (2016) REVIEW : Sepucuk Surat Cinta tentang Mimpi dan Harapan

LA LA LAND (2016) REVIEW : Sepucuk Surat Cinta tentang Mimpi dan Harapan


Mungkin, orang-orang baru saja mengenal karya-karya dari Damien Chazelle lewat Whiplash, sebuah film drama suspense dengan musik sebagai dasar ceritanya. Itu pun bukan kali pertama Damien Chazelle memberikan sebuah film dengan musik sebagai poin pentingnya. Ada Guy and Madeline on A Park Bench dan meskipun tak mengarahkan langsung, ada Grand Piano,  di mana Damien Chazelle juga ikut berpartisipasi dalam menuliskan naskahnya.

Tahun 2016 lalu, Damien Chazelle menghadirkan kembali sebuah film dengan tema musik. Berbeda dengan Whiplash atau Grand Piano, kali ini Damien Chazelle menghadirkan sebuah drama romantis musikal lewat La La Land. Dengan adanya Emma Stone dan Ryan Gosling di deretan pemainnya, film ini akan menumbuhkan antisipasi yang besar dari penontonnya. Apalagi, Whiplash berhasil menyabet beberapa penghargaan di ajang Academy Awards.

Jazz adalah kekuatan dari Damien Chazelle untuk mendasari setiap film-filmnya, begitu pula yang terjadi di La La Land. Damien Chazelle berusaha mengajak penontonnya berbicara secara intim tentang dua bidang yang sedang dia nikmati, musik dan film. La La Land dijadikan sebagai medium romantisasi atas surat cinta yang ingin disampaikan oleh Damien Chazelle terhadap industri hiburan yang melambungkan namanya. 


Sebuah film musikal memang memiliki segmentasi yang berbeda, begitu pula dengan bagaimana cara mengemasnya. Harus memiliki kehati-hatian dan memberikan pengalaman sinematik yang berbeda pula kepada penontonnya. Di dalam La La Land, Damien Chazelle tahu benar memberikan pengalaman sinematik musikal yang  berdampak kepada penontonnya. Memang secara visual, sekuens musikal di dalam La La Land tak terlalu besar. Hanya saja, kesederhanaan dalam kemasan visual itu memberikan kekayaan di aspek emosi yang dimainkan oleh sang sutradara.

Ada intimasi yang muncul di dalam penuturan film La La Land dengan penontonnya. Damien Chazelle memperlakukan penonton sebagai teman bincang-bincang di sebuah bar di malam hari, membicarakan tentang mimpi-mimpinya di industri hiburan. Sesekali membahas kisah romantis yang pernah dialami agar tak melulu serius dan kisah romantis itu juga menjadi sebuah histori perjalanannya dalam meraih mimpinya. 


Dan inilah cerita tentang perjalanannya dalam meraih mimpi yang direpresentasikan kepada Mia Dolan (Emma Stone), seorang kasir di sebuah kafe di Hollywood. Dia bermimpi ingin menjadi seorang aktris terkenal. Segala audisi dengan berbagai peran berusaha dilakoni agar dapat meraih cita-citanya sejak kecil. Meski tetap saja, audisi yang Mia lakukan tak pernah berhasil. Serta, ada Sebastian (Ryan Gosling), seorang musisi Jazz idealis yang sedang bermimpi memiliki bar sendiri dan menjadi musisi Jazz yang bisa dikenal banyak orang.

Mereka tak sengaja bertemu di sebuah bar dan pertemuan awal mereka memang tak terlalu baik. Tetapi mereka adalah pemimpi yang sama-sama ingin mewujudkan mimpinya. Dengan alasan yang sama itu, mereka semakin lama semakin akrab. Mereka membicarakan mimpi-mimpinya yang berada di  bidang yang berbeda. Dan pada akhirnya, mereka berdua pun bersama-bersama berusaha untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu. 


Topik tentang mimpi ini menjadi salah satu cara agar La La Land memiliki kedekatan dengan penontonnnya. Meski visual drama musikalnya terasa berbeda dengan realita yang ada, tetapi Damien Chazelle memiliki niat agar penontonnya bisa ikut merasakan kedekatan problematika dengan kedua karakternya. Damien Chazelle seakan mengingatkan kembali penontonnya tentang mimpi mereka, karena setiap orang tentu memiliki mimpinya masing-masing.

Mengemas sebuah surat cinta tentu perlu adanya romantisasi, menggunakan kedua karakter yang sedang mabuk kepayang adalah cara agar Damien Chazelle berhasil menyampaikan pesan dengan tepat lewat La La Land. Tentu, La La Landtak hanya sebuah cerita cinta kacangan, ini adalah simbol cinta dengan penuh kedewasaan. Memberikan gambaran tentang hubungan laki-laki dan perempuan tak hanya behenti pada kiasan ‘dunia milik berdua’ dan lantas bisa bahagia. Tetapi juga ada aspek lain yang perlu diperhatikan agar kata ‘bahagia’ itu bisa terjadi secara harfiah.

Permasalahan tentang mimpi memang perkara lama dan disitulah Damien Chazelle begitu pintar dalam menggambarkan tentang problematika lintas zaman ini. Setting waktu La La Land ini hanya berkutat pada pergantian musim, bukan pada angka tahun yang konkrit. Referensi dalam lagu, gambar, dan tata produksi lainnya yang ada dalam La La Land akan mengingatkan penontonnya dengan film-film di era sebelum 2000-an. Tetapi, bagaimana setiap karakternya menggunakan alat elektronik yang begitu moderen membiaskan setting waktu dan menguatkan bahwa persoalan tentang meraih mimpi akan selalu relevan di setiap zaman. 


Surat cinta di dalam La La Landtak hanya ditujukan kepada setiap orang yang memiliki mimpi. Tetapi juga kepada film-film musikal lama yang pernah ada. Beberapa adegan di dalam film ini adalah sebuah tribut terhadap film-film musikal seperti ‘Singin In The Rain’, ‘West Side Story’, ‘Grease’, yang pernah mahsyur di zamannya. Hal tersebut memperlihatkan bahwa Damien Chazelle memang memiliki minat di bidang musik dan film secara bersamaan.

Belum lagi performa luar biasa yang diperankan oleh Emma Stone. Bisa dibilang ini adalah performa terbaiknya di sepanjang karir. Memerankan orang yang sedang berkembang dan berevolusi di setiap pergantian musimnya ini terasa begitu nyata. Pun, pergantian suasana hati Mia Dolan yang sedang memerankan sebuah peran dalam audisi dan kembali ke sosok Mia Dolan sesungguhnya ini perlu diperankan dengan detil. Bagusnya, Emma Stone berhasil memerankan karakter Mia Dolan dengan sangat luar biasa. 

 
Mengemas musik dan sinema perlu kehati-hatian agar dua hal yang sedang berkombinasi itu bisa menjadi mahakarya. Damien Chazelle memperhatikan hal itu dalam mengarahkan naskah yang juga ditulis sendiri olehnya dengan sangat baik dan luar biasa. Jadilah, La La Landyang menjadi sebuah mahakarya lintas zaman yang problematika juga begitu universal. La La Land menjadi sebuah surat cinta kepada semua pemimpi yang berani mewujudkannya. La La Land adalah sebuah surat cinta kepada industri hiburan yang juga berhasil membuat mimpi-mimpi baru untuk diidamkan kepada konsumennya. La La Land adalah surat cinta lintas zaman yang akan selalu dikenang dengan segala manis dan pahitnya.