Tampilkan postingan dengan label Angga Dwimas Sasongko. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Angga Dwimas Sasongko. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 15 Juli 2017

FILOSOFI KOPI 2 : BEN & JODY (2017) REVIEW : Revisi Nilai Hidup Untuk
Sebuah Kedai Kopi

FILOSOFI KOPI 2 : BEN & JODY (2017) REVIEW : Revisi Nilai Hidup Untuk Sebuah Kedai Kopi

 
Kisah pendek yang diambil dari Dewi Lestari ini telah dibudidayakan menjadi sebuah produk yang namanya sudah mahsyur. Selain film, produk dari Filosofi Kopi ini diabadikan menjadi sebuah kedai kopi yang nyata. Dengan adanya konsistensi itu, tak akan kaget apabila film yang diarahkan oleh Angga Dwimas Sasongko ini akan mendapatkan sekuel sebagai perlakuan selanjutnya. Tentu, kekhawatiran akan muncul karena cerita pendek dari Filosofi Kopi pun hanya berhenti di satu sub bab yang telah dibahas di film pertamanya.

Sayembara muncul ditujukan kepada semua orang untuk membuat kisah lanjutan dari Ben dan Jody ini. Sayembara ini sekaligus memberikan bukti kepada semua orang bahwa Filosofi Kopi tetap menjadi film yang terkonsentrasi dari penonton seperti film pertamanya. Yang jelas, Angga Dwimas Sasongko tetap mengarahkan Chicco Jericho dan juga Rio Dewanto sebagai Ben dan Jody. Angga Dwimas Sasongko pun berkontribusi dalam pembuatan naskah dari cerita terpilih yang ditulis oleh Jenny Jusuf serta M. Irfan Ramli.

Meski tetap dipegang oleh sutradara dan orang-orang yang sama, sekuel dari Filosofi Kopi ini pun cukup membuat penonton khawatir. Ketakutan Filosofi Kopi 2 dengan subjudul Ben & Jody ini memunculkan penyakit dari film-film sekuel yang bisa saja jatuh dan tak sebagus film terdahulunya. Juga, kurang adanya urgensi di dalam latar belakang ceritanya yang dapat mendukung apa yang ditampilkan di layar. Tetapi percayalah dengan Angga Dwimas Sasongko, karena Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody tetap akan memikatmu dengan manis dan pahit kisahnya seperti kopi di pagi hari.

Ada formula yang diulang di dalam Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody ini di dalam ceritanya. Tetapi, fokus cerita yang ada di Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody ini tak lagi mengenai bagaimana Filosofi Kopi sebagai kedai kopi ternama, melainkan tentang ranah domestik dalangnya. Menggali lagi personifikasi yang muncul dalam Filosofi Kopi yang dikonsumsi oleh penikmatnya. Sehingga, muncul problematika yang di film keduanya ini jauh memiliki nilai yang lebih personal dibanding film pertamanya. 

Rasanya tidak relevan membandingkan film keduanya ini dengan film pertamanya. Dengan konflik cerita yang lebih personal, tentu tujuan yang berusaha dicapai oleh Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody ini juga pasti akan berbeda. Dengan adanya nilai yang lebih personal di dalam konflik ceritanya, mungkin inilah yang membuat Filosofi Kopi 2 memberikan tambahan nama karakternya –Ben dan Jody –sebagai sub judulnya. Apabila dalam film pertamanya menggunakan kopi sebagai medium refleksi, di film keduanya ini menggunakan Kedai Kopi sebagai medium berkontemplasi atas filosofi hidup mereka sendiri.  


Melanjutkan kisah Filosofi Kopi pertama di mana Ben (Chicco Jericho) dan Jody (Rio Dewanto) yang sudah menjual kedainya dan memilih berjualan keliling Indonesia menggunakan Kombi. Setelah lama berkeliling menggunakan kombi berjualan dan membagikan Kopi, Ben merasa perjalanannya tak memiliki akhir dan tujuan dalam hidupnya. Ben pun membujuk Jody untuk kembali ke Jakarta dan menghidupkan lagi kedai Filosofi Kopi yang pernah dibangunnya itu.

Tetapi, membangun kembali kedai tak semudah yang dibayangkan. Jody harus memutar lagi otaknya untuk membeli lagi kedai yang telah dijualnya karena harga yang ditawarkan kepadanya sangat tinggi. Lalu, datanglah Tarra (Luna Maya), seorang perempuan yang menawarkan diri menjadi investor untuk Filosofi Kopi agar kembali bangkit seperti dulu. Dengan adanya Filosofi Kopi kembali, problematika tak hanya berhenti di situ saja. Ada konflik pribadi yang memacu mereka untuk kembali merenungi tentang apa yang mereka cari selama ini. 


Kesulitan untuk membuka kedai lagi tak hanya dialami oleh Rio Dewanto sebagai Jody, tetapi juga Angga Dwimas Sasongko untuk kembali membuat penonton percaya dengan sekuel Filosofi Kopi. Beruntung Angga Dwimas Sasongko selalu memiliki energi dalam setiap film yang diarahkan. Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody memasuki sebuah babak baru di dalam konfliknya yang tetap memiliki cita rasanya yang begitu kuat dan emosional untuk dinikmati penontonnya.

Konflik yang lebih personal ini adalah sebuah kunci tentang bagaimana karakter Ben dan Jody ini pada akhirnya bertransisi. Angga Dwimas Sasongko berusaha untuk memberikan pertanyaan kembali kepada karakternya tentang filosofi hidup seperti apa yang mereka ambil. Ada di setiap adegan dan dialog dalam Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody memberikan banyak sekali rujukan yang juga membuat penontonnya ikut mempertanyakan tujuan dan nilai apa yang digunakan dalam hidup setiap orang.

Nyawa dari Kedai Filosofi Kopi ini adalah Ben dan Jody dengan sifat-sifatnya sendiri yang meskipun bertolak belakang tetapi bisa saling mengimbangi. Dengan keputusan mereka untuk kedai kembali,  ada ideologi yang mengalami revisi dan dipertanyakan lagi agar kedai Filosofi Kopi bisa berjalan lancar lagi. Hal itu dikarenakan bagaimana Ben dan Jody mengalami banyak sekali kejadian dan referensi dalam hidup yang membuat mereka mengalami kontemplasi. 


Poin-poin itu muncul di dalam naskah yang ditulis oleh Jenny Jusuf, M. Irfan Ramli, dan Angga Dwimas Sasongko sendiri. Dituliskan secara implisit di dalam adegannya dan Angga Dwimas Sasongko berhasil menyampaikannya dengan baik dan dapat dirasakan oleh penontonnya. Sensitivitas dalam mengarahkan inilah yang menjadi poin penting dalam Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody. Bagi penonton yang mengikuti film pertamanya, akan terasa kontinuitas dari karakter Ben dan Jody yang mengalami transisi. Penonton seakan-akan tahu bahwa ada nilai-nilai yang direvisi dalam diri Ben dan Jody seperti kedai kopi mereka yang berusaha lahir kembali.

Kedai Filosofi Kopi kembali hadir tak hanya sekedar mengalami transisi dalam memberikan esensi, tetapi juga estetika yang memperkuat visualisasi. Gambar dan musik menjadi medium bernarasi lain dari Angga Dwimas Sasongko yang semakin memperkuat dialog-dialog antar karakter di dalam film Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody. Ada rasa khusyuk dan syahdu yang muncul yang bisa mempengaruhi penonton untuk dapat dinikmati setiap seduhannya. Sehingga penonton bisa ikut larut dan ikut merenungi bagaimana Ben dan Jody menemukan solusi yang tak saling menyakiti satu sama lain. 


Sesuai dengan sub judulnya, Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody memiliki penekanan khusus terhadap karakter utamanya. Sehingga, konflik yang muncul di dalam Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody ini memiliki problematika dengan lingkup domestik yang akan terasa berbeda dengan film sebelumnya. Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody ini tak hanya sekedar memberikan konflik yang jauh lebih personal tetapi juga menjadi ruang bagi Ben dan Jody untuk berusaha berkontemplasi atas filosofi hidup yang mereka pegang selama ini. Dengan pengarahan Angga Dwimas Sasongko yang penuh atas kesensitivitasan ini, pesan yang secara implisit muncul itu dan berhasil disampaikan. Sehingga, di dalam Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody ini terasa sekali berusaha memunculkan transisi Ben dan Jody seperti kedai mereka yang berusaha lahir kembali. 

Jumat, 24 Februari 2017

BUKA’AN 8 (2017) REVIEW : Kapsul Waktu Penuh Kritik Sosial

BUKA’AN 8 (2017) REVIEW : Kapsul Waktu Penuh Kritik Sosial


Di setiap tahunnya, Angga Dwimas Sasongko akan selalu melahirkan sebuah film dengan kemasan yang berbeda. Kekuatan Angga Dwimas Sasongko dalam mengarahkan film-filmnya adalah ketika dia berhasil membuat karakternya sangat terkoneksi dengan penontonnya. Mulai dari Hari Untuk Amanda hingga Surat Dari Praha, Angga Dwimas Sasongko berhasil memberikan intimasi yang membuat penonton memiliki kedekatan dan simpati kepada karakter-karakter dan problematika yang ada di dalam filmnya.

Di tahun 2017 ini, Angga Dwimas Sasongko kembali menyuguhkan karya terbarunya. Proyek film besutannya kali ini bekerjasama dengan Salman Aristo sebagai penulis naskah. Film terbarunya ini dibintangi oleh Chicco Jerikho dan aktris pendatang baru, Lala Karmela. Angga Dwimas Sasongko mendedikasikan film ini sebagai bentuk kapsul waktu anak pertamanya. Kali ini, Angga Dwimas Sasong bermain dalam genre drama komedi lewat Buka’an 8.

Sebuah kapsul waktu untuk anak dari Angga Dwimas Sasongko, jelas membuat film terbarunya ini akan terasa sangat personal. Akan banyak referensi dan pengalaman pribadi dari sang sutradara yang mempengaruhi kemasan dari Buka’an 8. Meski film ini punya tujuan personal, tetapi Angga Dwimas Sasongko membuat Buka’an 8 dengan mudah dinikmati secara universal. Buka’an 8 bukan sekedar sebuah drama komedi yang dapat membuat penontonnya terhibur, tetapi juga penuh akan komedi satir yang emosional karena dibuat dengan hati yang besar.


Ada banyak isu yang berusaha disampaikan oleh Angga Dwimas Sasongko saat mengarahkan Buka’an 8. Lewat film ini, sang sutradara berusaha memberikan informasi dan pengertian tentang isu menjadi orang tua yang penuh dengan tanggung jawab. Belum lagi isu-isu sosial dan politik lainnya yang disematkan oleh setiap karakternya. Film Buka’an 8 memang akan terasa penuh akan tujuan-tujuan yang pretensius, tetapi Salman Aristo sebagai penulis naskah berhasil memberikan porsi yang baik sehingga semua isu itu terasa seimbang.

Buka’an 8 bertumpu pada cerita tentang satu titik kejadian yang terjadi pada karakternya, bukan berusaha mengenalkan siapa Alam dan Mia secara runtut dari awal hingga akhir. Berangkat akan satu premis yang sederhana dan satu titik kejadian dalam hidup mereka, Angga Dwimas Sasongko sangat berhasil membuat konflik dan setiap karakternya begitu kaya. Penonton pun dengan mudah menaruh simpati kepada Alam dan Mia dan problematikanya menantikan anak pertama. 


Problematika film ini sederhana, menceritakan bagaimana Alam (Chicco Jerikho) dan Mia (Lala Karmela) yang sedang menantikan kelahiran anak pertamanya. Tetapi, proses adminitrasi di rumah sakit tak semudah dan baik-baik saja seperti yang dikira oleh Alam. Kendala ada pada biaya administrasi Rumah Sakit yang kurang. Alam pun memutar otak untuk mencari sisa uang agar Mia dapat melahirkan dengan perawatan yang layak.

Konflik ini sudah terjadi di berbagai kalangan, tetapi yang menjadi berbeda adalah sosok Alam yang unik. Dia adalah selebtwit yang memiliki banyak followers di sosial media. Tak berhenti di sana, Alam sering melakukan perang opini di sosial terbuka yang membuat dirinya semakin mendapat masalah dengan opininya. Inilah yang membuat proses menantikan kelahiran anak pertama keluarga Alam dan Mia menjadi berbeda. 


Dengan menekankan pada konflik keluarga yang rumit ini, akan terasa terlalu berat apabila Buka’an 8 malah dikemas terlalu serius. Angga Dwimas Sasongko menyiasatinya dengan mengemas Buka’an 8 menjadi film komedi. Film ini penuh akan misi untuk memberikan kritik sosial yang ada di sekitar masyarakat. Buka’an 8membangun relevansi antara karakter fiksi dengan realita sosial yang ada. Sehingga, sang sutradara mengajak penontonnya untuk bersama-sama menertawakan problematika sosial yang sebenarnya mereka jalani.

Angga Dwimas Sasongko tahu benar atas segala konflik di dalam Buka’an 8 dan berhasil diterjemahkan lewat naskah yang disusun begitu rapi dan detil oleh Salman Aristo. Keduanya berhasil memberikan sebuah kolaborasi yang pintar. Penonton akan tahu bahwa film ini sangat personal yang didasari pengalaman pembuatnya. Bila dapat diibaratkan, Buka’an 8 adalah anak dari Angga Dwimas Sasongko yang dirawat penuh dengan kasih dan penuh tanggung jawab.

Dengan problematika dan kritikan sosial yang pretensius itu, Angga Dwimas Sasongko tak menyampaikannya dengan menggebu-gebu. Angga Dwimas Sasongko menuturkan setiap konflik ceritanya dengan begitu lembut. Sang sutradara berusaha untuk memberikan romantisasi atas konfliknya yang sudah terlalu berat ini. Dengan begitu, penonton akan dengan mudah menangkap maksud dan tujuan di dalam Buka’an 8. Film ini tak akan menjadi personal bagi pembuatnya, tetapi juga bagi siapa saja yang menontonnya.  


Buka’an 8 sebenarnya sebuah surat cinta kepada masyarakat yang menganggap bahwa menikah adalah jawaban atas segala masalah kehidupan satu individu yang bertambah berat. Buka’an 8 membuka fakta bahwa sebenarnya menikah pun akan membuat tanggung jawab akan semakin besar. Keluarga bukan tentang satu individu dengan problematikanya, tetapi tentang sekelompok individu yang memiliki masalah masing-masing. Butuh kepala dingin agar dapat mendapatkan solusi atas setiap masalah yang akan mereka hadapi.

Nilai tentang Tanggung jawab inilah yang berusaha ditekankan di dalam film Buka’an 8. Mulai dari tanggung jawab menjadi kepala keluarga, hingga bertanggung jawab dalam opini yang disampaikan. Entah opini tersebut dilayangkan secara verbal atau pun di ruang publik yang berpindah ke sosial media. Poin ini dilekatkan pada karakter Alam yang meskipun tak perlu kilas balik latar belakang ceritanya, akan terasa bagaimana tranformasi Alam dalam mengemban tanggung jawabnya.

Tak hanya kolaborasi Angga Dwimas Sasongko dan Salman Aristo saja yang bersinergi, tetapi juga performa dari Chicco Jerikho dan Lala Karmela. Mereka dapat menumbuhkan ikatan kuat yang meyakinkan penontonnya. Mereka bisa memperkuat setiap adegan demi adegan dan ketika mencapai pada adegan kunci, penonton bisa merasakan emosinya. Belum lagi Dayu Wijanto dan Sarah Sechan sebagai pemeran pembantu juga bisa mengiringi tanpa perlu mendominasi peran mereka. Semua pemainnya bersinergi dengan iringan musik yang tahu tempat. 


Maka dari itu, Buka’an 8bukan hanya karya personal dari Angga Dwimas Sasongko tetapi juga mampu membuat karyanya ini terasa personal bagi siapa saja yang menontonnya. Meskipun personal, film ini mampu memberikan kritik sosial yang bersinergi dengan baik. Buka’an 8 penuh akan misi tentang banyak hal pretensius yang bagusnya bisa berjalan seimbang dan tak menggebu-gebu. Ada penuturan yang lembut layaknya seorang ayah yang menasihati anaknya di dalam film. Dengan penulisan naskah Salman Aristo yang detil dan pengarahan Angga Dwimas Sasongko yang kuat,  Buka’an 8 adalah sebuah opini dari Angga Dwimas Sasongko tentang tanggung jawab dalam setiap aspek kehidupan. Sebuah kapsul waktu yang didedikasikan kepada para buah hati yang sangat emosional. Luar biasa!

Kamis, 23 Februari 2017

REVIEW : BUKAAN 8

REVIEW : BUKAAN 8


“Apa memang cara terbaik untuk membahagiakan orang tua adalah dengan memiliki anak?” 

Angga Dwimas Sasongko dan film drama sih pasangan klop yang sudah tiada perlu diragukan lagi keserasiannya. Tapi Angga dan film komedi? Hmmm... menggugah rasa ingin tahu untuk menguji cobanya mengingat pembesut Surat Dari Praha ini belum fasih menekuni genre komedi. Menariknya lagi, percobaan perdana Angga untuk ngelaba di film bertajuk Buka’an 8 didasarkan pada pengalaman nyatanya yang sarat akan suka duka kala menyambut lahiran buah hati pertamanya. Sebuah kisah personal yang rasa-rasanya akan mudah terhubung ke penonton yang telah (atau segera) dikaruniai momongan serta mereka yang mempunyai hubungan erat dengan orang tua. Hanya bermodalkan tiga faktor ini saja, Buka’an 8 telah nangkring manis di posisi teratas dalam deretan film paling diantisipasi kemunculannya versi saya pada bulan Februari. Lalu tambahkan lagi dengan faktor lain: barisan pemain yang mempunyai jejak rekam meyakinkan, seperti Chicco Jerikho, Lala Karmela, Tyo Pakusadewo, Sarah Sechan, serta Dayu Wijanto. Bagaimana tidak dilingkungi rasa penasaran coba jika kombinasinya semaut ini? 

Buka’an 8 sendiri menempatkan fokus penceritaannya pada pasangan milenial, Alam (Chicco Jerikho) dan Mia (Lala Karmela), yang mengalami ketergantungan terhadap media sosial – Mia memanfaatkannya sebagai sumber penghasilan utama, sementara Alam menggunakannya untuk ‘bertempur’ dan seringkali meributkan perkara remeh temeh. Dengan sebagian besar waktunya difokuskan untuk meladeni netizen, tidak mengherankan jika kemudian kedua orang tua Mia, Ambu (Sarah Sechan) dan Abah (Tyo Pakusadewo), menganggap Alam sukar diandalkan karena tidak tampak memiliki pekerjaan tetap. Demi membuktikan bahwa dirinya bisa dikategorikan sebagai suami idaman, Alam pun memboyong Mia ke rumah sakit ternama kala jelang lahiran anak pertama mereka. Tapi rupa-rupanya, jalan Alam untuk mendapatkan restu dari kedua mertuanya tidaklah mulus. Dimulai dari promo persalinan incaran Alam yang ternyata telah berakhir sedangkan uang tidak mencukupi untuk melunasi biaya administrasi, rempongnya keluarga besar Mia yang memberi tuntutan macam-macam, sampai berurusan dengan lintah darah demi mendapatkan pinjaman uang. Pusing deh kepala Alam!


Kesenangan yang dipenuhi gelak tawa telah membayangi penonton semenjak beberapa menit usai Buka’an 8 mengawali langkahnya. Dalam berkelakar, Angga yang memvisualisasikan naskah racikan Salman Aristo banyak mengandalkan situasi kacau beserta sentilan-sentilun ke masyarakat Indonesia masa kini. Situasi kacau terbentuk dari betapa kemriyek-nya keluarga besar Mia sampai-sampai adegan kedatangan mereka untuk pertama kali di ruangan Mia telah mengundang riuh tawa, lalu relasi antara Alam beserta kedua mertuanya khususnya Abah. Kedua karakter tersebut mempersembahkan salah satu momen paling edan dalam film ketika mereka saling berkejar-kejaran di lorong rumah sakit, terpapar gas tawa, hingga akhirnya memutuskan menegakkan ‘gencatan senjata’ untuk sementara waktu. Disamping saat berinteraksi dengan anggota keluarga rempongnya, kekacauan yang menggelikan turut mencuat selama Alam pontang panting mencari cara untuk dapatkan doku maupun tatkala meladeni para pengikutnya yang ceriwis di Twitter. Dari sini, Angga secara cerdik menyelipkan sederet kritik menyentil berkisar soal kebebasan berbicara yang diartikan kebablasan, kegemaran netizen menciptakan peperangan kata-kata dalam dunia maya, sampai maraknya pemanfaatan agama untuk melancarkan agenda politik. 

Kuatnya momen-momen komedik sayangnya tidak dibarengi oleh momen dramatiknya. Peralihan nada filmnya tidak berlangsung mulus, begitu pula penyelesaian konflik yang serasa terlalu mudah membuat klimaks kurang greget. Untungnya ada banyak materi guyonan yang berulang kali mendorong tawa lepas plus barisan pemain ansambel yang menyumbangkan lakonan ciamik, sehingga nada agak sumbang yang menghiasi menit-menit terakhir dari Buka’an 8 ini dapat termaafkan. Chicco Jerikho bermain apik sebagai seorang kepala rumah tangga yang kecanduan media sosial. Transformasinya dari sesosok suami salah prioritas ke calon ayah yang bertanggung jawab berada di level meyakinkan. Kejengkelan pada Alam di awal film perlahan tapi pasti terpupus seiring berjalannya film dan tergantikan oleh keinginan untuk melihatnya berhasil beroleh restu. Chemistry yang dibentuknya bersama Lala Karmela pun berjalan secara semestinya. Para pemeran pendukung seperti Tyo Pakusadewo, Sarah Sechan, serta Dayu Wijanto juga menampilkan performa tidak kalah mengesankannya. Duo Tyo-Sarah cermat mengatur waktu yang tepat untuk melontarkan lawakan, sementara Dayu yang sesekali lucu memberikan rasa hangat sebagai ibunda Alam. Paling tidak, Buka’an 8 masih terbilang sangat menghibur sebagai tontonan komedi.

Exceeds Expectations (3,5/5)