Tampilkan postingan dengan label True Event. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label True Event. Tampilkan semua postingan

Jumat, 02 Maret 2018

REVIEW : THE POST

REVIEW : THE POST


“If the government wins, The Washington Post will cease to exist.” 

Hanya berpatokan pada siapa-siapa yang terlibat, The Post sebetulnya telah terdengar begitu menggiurkan. Betapa tidak, film ini mengawinkan dua aktor besar, Tom Hanks dengan Meryl Streep, di garda terdepan departemen akting dan dibesut oleh Steven Spielberg yang telah memberi kita film-film legendaris seperti E.T. the Extra-Terrestrial (1982), Jurassic Park (1993), serta Saving Private Ryan (1998). Seolah ini belum cukup untuk membuat kita buru-buru memesan tiket bioskop, The Post turut menyodorkan materi cerita yang seksi terkait keterlibatan media massa di Amerika Serikat – khususnya The Washington Post – dalam mengungkap skandal militer yang berlangsung dibawah pemerintahan Richard Nixon pada awal dekade 70-an. Bukan, bukan mengenai Watergate yang menghebohkan itu, melainkan bocornya dokumen-dokumen rahasia setebal 4000 halaman lebih yang disebut Pentagon Papers. Dalam dokumen yang mencakup data-data dari tahun 1945 hingga 1967 tersebut, terpapar analisa mendalam yang menyatakan bahwa negeri Paman Sam sejatinya tidak memiliki kans untuk berjaya dalam Perang Vietnam. Alasan terbesar yang lantas membuat Amerika Serikat kekeuh bertahan dan enggan menarik pasukan dari medan tempur adalah ketidakrelaan untuk menanggung rasa malu karena kekalahan atau dengan kata lain, gengsi. 

Jatuhnya dokumen negara super rahasia ini ke tangan para jurnalis di The New York Times menjadi cikal bakal bagi The Post dalam memulai guliran pengisahannya. Dari sini, Steven Spielberg membagi fokus penceritaan menjadi dua cabang yang masing-masing dikomandoi oleh Katherine Graham (Meryl Streep) selaku penerbit dan Ben Bradlee (Tom Hanks) selaku editor eksekutif. Melalui sosok Katherine, penonton mendapati cerita cenderung personal mengenai perempuan pertama yang menempati posisi tertinggi dalam bidang penerbitan surat kabar di Amerika Serikat. Katherine mewarisi The Washington Post usai suami dan mertuanya berpulang. Meski memiliki kemampuan bersosialisasi yang mumpuni – terbukti dari lingkaran pertemanannya yang meliputi politikus-politikus besar, namun Katherine tidak cukup luwes dalam berbisnis. Keputusan-keputusan yang diambilnya, termasuk saat menjual saham perusahaan secara terbuka, acapkali dipengaruhi oleh penasehat-penasehatnya yang seluruhnya laki-laki. Sedangkan melalui sosok Ben, penonton memperoleh cerita mengenai upaya para jurnalis untuk mengangkat derajat The Washington Post yang selama ini dianggap sebatas koran lokal receh. Pasca mengetahui The New York Times memiliki materi berita yang berpotensi menggemparkan seluruh negara, Ben pun menitahkan anak buahnya untuk mengejar sang sumber berita sehingga mereka tidak saja dapat meningkatkan reputasi surat kabar tetapi juga menjalankan kewajiban untuk memberitakan kebenaran kepada masyarakat.

Tatkala menonton The Post, ada dua hal yang mesti banget dipersiapkan, yakni kesabaran dan konsentrasi. Selepas disuguhi sajian berupa para tentara negeri adidaya kewalahan dalam melayani serbuan Vietkong lalu dilanjut pembobolan berkas-berkas penting milik Departemen Pertahanan terkait relasi Amerika Serikat dengan Vietnam yang menciptakan intensitas di permulaan film, The Post mulai menstabilkan lajunya di level ‘pelan’. Letupan-letupan besar disisihkan terlebih dahulu demi memberi ruang bagi penonton untuk berkenalan secara intim dengan dua karakter kunci dalam film; Katherine dan Ben, sekaligus memahami secara utuh rentetan peristiwa yang tengah dihadapi oleh The Washington Post. Ya, sebelum bergerak lebih jauh, Spielberg selaku tukang cerita mencoba untuk memastikan bahwa penonton benar-benar memahami tentang posisi Katherine, urgensi dalam meyakinkan para investor saham, obsesi Ben, serta kebohongan-kebohongan yang disembunyikan pemerintah melalui Pentagon Papers. Kelihaian Spielberg dalam bercerita membuat materi dongeng yang rada-rada njelimet ini terasa menarik buat disimak alih-alih menjemukan. Ketertarikan memang tidak serta merta terbentuk melainkan muncul sedikit demi sedikit seiring bergilirnya durasi. Seiring didapatnya gambaran lebih utuh mengenai apa yang sejatinya hendak disampaikan oleh The Post

The Post bukanlah Spotlight (2016) yang meletakkan sebagian besar fokus penceritaannya pada pengejaran berita. Di sini, duo penulis skrip, Liz Hannah dan Josh Singer, turut memecah fokusnya ke pergulatan batin si penerbit yang dihadapkan pada pilihan dilematis: memilih teman-teman politikusnya yang jelas merupakan pilihan aman atau mempersilahkan para jurnalisnya untuk mempublikasikan kebohongan yang ditutup rapat oleh pemerintah selama bertahun-tahun meski konsekuensinya adalah dijauhi oleh investor serta dipenjara lantaran dianggap menyalahi UU spionase. Tentu dibutuhkan keahlian bercerita yang tinggi agar dua cabang ini tidak terasa penuh sesak atau timpang sebelah. Spielberg, seperti telah diperkirakan, mampu menyeimbangkan dua fokus penceritaan tersebut sehingga keduanya dapat berjalan beriringan dan saling menopang. Cerita milik Ben memang mesti diakui lebih menggigit karena menyoroti pada jurnalisme investigasi. Akan tetapi, cerita milik Katherine tidak lantas melempem sekalipun cakupannya personal terkait upayanya memperoleh kepercayaan dari dirinya sendiri maupun laki-laki alpha di sekelilingnya. Ditunjang oleh akting gemilang Meryl Streep, kita bisa memahami keragu-raguannya, ketakutannya untuk berbuat kesalahan, harapannya untuk mendapatkan respek dari pria-pria di sekitarnya yang memandangnya sepele, kemauannya belajar dari kesalahan, serta keberaniannya dalam mengambil keputusan. 

Ndilalah, Meryl Streep memiliki lawan main yang tak kalah piawainya dalam berolah peran, Tom Hanks. Sosok Ben yang menyala-nyala memberi keseimbangan di saat sosok Katherine cenderung lebih kalem. Keduanya mulai sering bertatap muka tatkala dua cabang cerita saling beririsan yang sekaligus menandai terdeteksinya eskalasi ketegangan dalam The Post. Ketegangan dapat tercium dengan jelas pasca anak buah Ben menginformasikan bahwa dia telah mendapatkan materi berita yang dibutuhkan. Yang tidak disangka-sangka, adegan conference call yang berlangsung di rumah Katherine dan Ben demi mencapai mufakat mampu membuat diri ini berada dalam fase “dag dig dug” sekaligus meremas-remas kursi bioskop. Terhitung sedari momen emas ini, The Post secara konstan menghadirkan guliran pengisahan yang mencekam serta mencengkram. Kita mungkin telah mengetahui kemana muara film ini, tapi kita tidak ambil pusing karena yang diinginkan adalah menyaksikan proses para jurnalis di The Washington Post mencapai muara tersebut. Bagaimana mereka menyusun artikel bernas dari dokumen negara setebal ribuan halaman, bagaimana mereka memperjuangkan kebebasan pers di saat sang presiden mengancam akan membredel tempat mereka mencari penghasilan, dan bagaimana mereka menunjukkan tanggung jawab kepada masyarakat yang dianggap perlu mengetahui kebohongan-kebohongan pemerintah. Mengusung isu yang begitu relevan dengan dewasa ini yang mana kebebasan pers tengah terancam dan berita bohong kian marak dijumpai, tak salah kiranya menyebut The Post sebagai film yang penting disimak oleh siapapun.



Note : Satu lagi yang berkesan dari The Post, film ini memberi kita detil kecil mengagumkan tentang cara kerja mesin cetak surat kabar. Ya, kita tidak hanya diajak berkeliling ruang kerja jurnalis tetapi juga diajak mengunjungi percetakan!

Outstanding (4/5)

Senin, 28 Agustus 2017

REVIEW : AMERICAN MADE

REVIEW : AMERICAN MADE


“It’s not a felony if you’re doing it for the good guys.” 

Dalam kaitannya menjalankan misi tak masuk akal, Tom Cruise tentu sudah sangat terbiasa. Tengok saja salah satu franchise yang membantu melambungkan namanya ke jajaran pelakon kelas A, Mission: Impossible, yang seperti judulnya dipenuhi rangkaian laga melampaui nalar. Tapi seperti halnya sederet film laga yang dibintanginya dalam satu dekade terakhir – rupanya memasuki usia kepala 5, Tom Cruise malah makin sering berantem dan berlari – plotnya hanyalah fiktif belaka. Karakternya pun senada, sama-sama sebagai jagoan yang sulit terkalahkan. Jika kemudian si pelakon Ethan Hunt ini merasa jenuh dan ingin mencoba sesuatu yang sedikit berbeda dari beberapa peran terakhirnya, jelas sangat bisa dimaklumi. Dalam American Made yang mempertemukannya kembali dengan Doug Liman usai keduanya berkolaborasi di Edge of Tomorrow (2014), Tom Cruise memerankan sosok nyata yang semasa hidupnya kerap dilingkungi peristiwa tak masuk akal akibat campur tangan CIA bernama Barry Seal. Sosoknya pun tak sepenuhnya pahlawan, cenderung ke antihero, lantaran jalan hidupnya kerap mengabaikan moralitas dan sempat pula bersinggungan dengan aktivitas ilegal yang melibatkan kartel besar asal Amerika Selatan. Sesuatu yang terdengar agak menyegarkan, bukan? 

Mulanya, Barry Seal (Tom Cruise) hanyalah seorang pilot pesawat komersil biasa yang bekerja untuk maskapai Trans World Airlines demi menghidupi keluarga kecilnya yang terdiri atas seorang istri bernama Lucy (Sarah Wright) dan dua putri. ‘Kenakalannya’ guna memperoleh penghasilan tambahan tidak pernah lebih dari membantu menyelundupkan cerutu Kuba ke Kanada. Rupa-rupanya, aktivitas Barry ini terendus oleh CIA yang lantas memanfaatkan keahlian Barry dalam menerbangkan pesawat untuk mengambil foto udara dari kelompok militan di kawasan Amerika Selatan. Seiring berjalannya waktu, tugas yang mesti diemban oleh Barry terus bertambah sehingga hanya tinggal menunggu waktu identitasnya diketahui oleh masyarakat sekitar. Betul saja, Kartel Medellin di Kolombia – salah satu anggotanya adalah gembong narkoba ternama, Pablo Escobar – menyadari penuh tindak-tanduk Barry dan lantas merekrutnya menjadi kurir narkotika. Menjalani peran ganda sebagai mata-mata negara dan kurir narkoba jelas membawa Barry ke dalam serangkaian peristiwa yang sama sekali tak terbayangkan dan berbahaya. Ya, bahaya tentu tak bisa dilepaskan dari kehidupan Barry beserta keluarganya terlebih usai Barry memutuskan untuk mengkhianati salah satu pihak.


Menengok jalinan pengisahannya yang dibentuk dari kombinasi antara biopik mantan pilot pesawat komersil, permainan politik negeri adidaya, keterlibatan CIA, kartel raksasa, dan penyelundupan narkoba, mudah untuk mengira Doug Liman akan melantunkan American Made dalam format docu-drama berbumbu thriller. Terlebih, filmografi sang sutradara seperti The Bourne Identity (2002) dan Fair Game (2010) seolah mengonfirmasinya. Bahasa kasarnya sih, serius-serius njelimet gitu deh. Di saat telah mengantisipasi akan memperoleh penceritaan yang cukup berat dan belibet untuk dicerna mengingat muatan politiknya terbilang kental juga, Liman memberi kejutan untuk kita semua: American Made dibawakannya secara ringan dan bergaya. Ya, kandungan humor yang diinjeksikannya ke dalam film terhitung tinggi sehingga memungkinkan penonton untuk tergelak-gelak disela-sela berlangsungnya transaksi obat-obatan terlarang, puyengnya Barry dalam mengurus bisnis barunya yang membuat rumahnya kebanjiran uang (literally!) sampai upaya sang kurir melarikan diri dari kejaran pihak-pihak yang mengincar dirinya. Kalau itu belum cukup terdengar menyenangkan, maka tentu tambahkan sejumlah laga seru yang beberapa diantaranya melibatkan pesawat yang konon kabarnya dikemudikan sendiri oleh Tom Cruise. Hitung-hitung pemanasan sebelum sekuel Top Gun, bukan begitu? 

Keputusan Doug Liman dalam menarasikan American Made secara ringan dibubuhi canda tawa disana sini boleh jadi demi menghindarkan penonton dari rasa jenuh yang sangat mungkin menyerang. Memang sih, jalan hidup Barry yang penuh kejutan sangat menarik buat diikuti (seberapa jauh pelintiran dramatisasinya, hanya Tuhan dan si pembuat film yang tahu), namun ada banyak sekali hal yang melingkunginya. Banyak sekali informasi yang mesti dicerna dan beberapa diantaranya dilewatkan begitu saja tanpa ada penggalian lebih lanjut. Tak pelak, film sempat goyah pula begitu memasuki pertengahan durasi. Yang kemudian menyelamatkannya, siapa lagi kalau bukan Tom Cruise dengan karisma memancar yang dipunyainya? Dia bermain bagus sebagai Barry yang terpaksa menghempaskan jauh-jauh what-so-called moralitas serta integritas demi memberi sandang, pangan, dan papan yang layak bagi keluarganya, sekalipun sosok Barry sendiri ada kalanya masih terlihat terlalu ‘bersih’ di tangan Cruise. Dalam berolah peran, Tom Cruise mendapat sokongan memadai dari Sarah Wright sebagai istri Barry yang mencintainya dan Domhnall Gleeson sebagai Monty Schafer, agen CIA oportunis. Kekuatan lain yang dipunyai American Made bersumber dari pilihan tembang-tembang pengiring dan tata kostum yang menghidupkan nuansa era 70-80’an, lalu gerak kamera dan penyuntingannya yang dinamis.

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/9_a5nf

Exceeds Expectations (3,5/5)


Senin, 14 Agustus 2017

REVIEW : BAD GENIUS

REVIEW : BAD GENIUS


“To me ‘cheating’ means someone gets hurt. What we do doesn’t hurt anyone. It’s win-win.” 

Siapa bilang perfilman Thailand hanya jago memproduksi film horor dan percintaan? Rumah produksi terkemuka di Negeri Gajah Putih, GDH 559 (sebelumnya dikenal dengan nama GTH), membuktikan bahwa mereka pun jagoan dalam mengkreasi tontonan mencekam dengan subgenre heist film melalui rilisan teranyar mereka bertajuk Bad Genius. Tak seperti para karakter dari film beraliran sama yang umumnya memiliki riwayat sebagai kriminal dan misi utamanya adalah melakukan perampokan demi mendapatkan setumpuk uang atau emas sebagai bekal dapatkan hidup sejahtera, para karakter dalam film arahan Nattawut Poonpiriya (Countdown) ini hanyalah siswa-siswi setingkat SMA yang masih berusia belasan. Yang mereka incar juga bukan kemilau emas melainkan skor bagus dalam ujian-ujian sekolah yang menentukan. Berbeda pula dengan The Perfect Score (2004) dimana tokoh-tokohnya saling berkonspirasi untuk nyolong kunci jawaban, Bad Genius lebih ke menyoroti sepak terjang sindikat penyedia jasa sontekan kecil-kecilan dalam menyusun trik menyontek agar tak kepergok pengawas ujian selama tes kemampuan akademis berlangsung. Suatu kecurangan semasa sekolah yang sejatinya pernah dilakukan hampir semua siswa, bukan? 

Guliran pengisahan Bad Genius sendiri terinspirasi dari berita mengenai pembatalan nilai tes SAT – tes standardisasi bagi pelajar yang ingin melanjutkan kuliah di universitas-universitas Amerika Serikat – setelah terbongkar adanya praktik menyontek massal dalam ujian di Tiongkok. Lewat Bad Genius, peristiwa tersebut direka ulang dan didramatisir sedemikian rupa menjadi kasus kecurangan dalam tes STIC yang merupakan fiksionalisasi SAT. Empat siswa yang dianggap bertanggungjawab antara lain Lynn (Chutimon Chuengcharoensukying), Bank (Chanon Santinatornkul), Pat (Teeradon Supapunpinyo), dan Grace (Eisaya Hosuwan). Di permulaan film, kita mendapati mereka dibombardir pertanyaan dalam suatu ruang interogasi usai kedapatan menyontek. Ada yang mengakui, ada pula yang mengelak. Kita pun dibuat bertanya-tanya, bagaimana semuanya ini bisa terjadi? Guna memaparkan kronologi peristiwanya, si pembuat film lantas melempar alur penceritaan ke tiga tahun sebelumnya saat para siswa ini baru memulai tahun ajaran awal di sebuah sekolah swasta terbaik. Penonton diperkenalkan kepada Lynn, siswi berotak brilian dari keluarga berekonomi pas-pasan yang mengalami kesulitan dalam interaksi sosial. 

Satu-satunya teman Lynn di sekolah adalah Grace yang bergabung dengan klub drama dan mewakili stereotip siswi cantik yang tidak pintar. Mengetahui Grace bermasalah dengan nilainya, Lynn berinisiatif untuk membantunya termasuk memberikan sontekan secara sukarela saat ujian. Kebaikan serta kecerdasan Lynn ini lantas dimanfaatkan kekasih Grace yang kaya raya sekaligus oportunis, Pat, yang menjanjikan senilai uang asalkan Lynn bersedia memberi dia dan beberapa kawan baikannya berupa sontekan saat ujian. Mengingat sang ayah (Thaneth Warakulnukroh) mengalami kesulitan secara finansial, Lynn menerima tawaran Pat. Perlahan tapi pasti, bisnis ilegal berkedok ‘les piano’ ini berkembang pesat seiring semakin banyaknya siswa yang bergabung bahkan merambah lebih jauh hingga ke tes STIC. Ancaman akan terbongkarnya praktik terlarang ini muncul dari siswa teladan yang polos dan memiliki jiwa pekerja keras, Bank. Tapi tentu saja Nattawut Poonpiriya tak akan membiarkan ‘les piano’ ini bubar jalan begitu saja hanya karena seorang Bank terlebih misi raksasa belum tercapai. Agar perjalanan menuju klimaks kian terasa greget, dia pun menghadirkan beberapa kelokan-kelokan yang akan membuatmu enggan untuk memalingkan muka barang sedetikpun dari layar bioskop.


Keengganan untuk memalingkan muka pada dasarnya telah terbentuk semenjak film memulai langkahnya. Cuplikan adegan interogasi di sela-sela babak introduksi mengapungkan kepenasaran untuk mengetahui lebih dalam kesulitan semacam apa yang menjerat keempat tokoh utama. Sedikit demi sedikit petunjuk yang mengarahkan pada adegan tersebut ditebar. Proses menuju detik-detik ‘pengungkapan fakta’ berlangsung amat menegangkan dengan intensitas yang tak sekalipun mengendur. Daya sentak untuk penonton secara resmi muncul pertama kali dalam adegan ujian di ruang kelas yang melibatkan Lynn dan Grace. Hanya bermodalkan properti berupa sepatu dan karet penghapus, sang sutradara yang memperoleh sokongan bagus dari penyuntingan lincah Chonlasit Upanikkit dan gerak kamera dinamis Phaklao Jiraungkoonkun berhasil menempatkan penonton dalam fase harap-harap cemas; menggigit-gigit kuku, menggenggam erat kursi bioskop, dan bercucuran keringat. Ya, ruang ujian dalam Bad Genius tak ubahnya bank atau ruang brankas di rumah seorang kaya dalam heist film pada umumnya. Situasinya memang tidak sampai tahapan seekstrim hidup-mati dan sekadar berhasil-gagal, namun tetap tak berdampak pada berkurangnya kadar ketegangan terlebih jika kamu pernah melakukan praktik menyontek atau memberi sontekan semasa sekolah. Mudah sekali untuk merasa terhubung. 

Seiring makin meluasnya bisnis yang dijalankan Lynn dan kawan-kawan, kemampuan Bad Genius dalam mencekam penonton turut berlipat ganda. Pasalnya, pertaruhannya terus ditingkatkan dan tidak lagi melibatkan satu dua karakter saja. “Apa yang akan terjadi selanjutnya?” adalah pertanyaan yang terus menerus berkecamuk di benak dan kandungan zat adiktif di Bad Genius memungkinkan kita untuk ketagihan mencari informasi yang lebih, dan lebih. Disamping pengarahan Nattawut, tata kamera Phaklao, serta editing Chonlasit, kunci keberhasilan lain dari Bad Genius sehingga penonton seolah-olah dilibatkan ke dalam film adalah akting cemerlang jajaran pemainnya khususnya pendatang baru Chutimon sebagai siswi yang dihimpit keadaan, Thaneth sebagai ayah yang sangat menyanyangi putrinya, dan Teeradon sebagai siswa kaya manja yang terkadang menyuplai humor, lalu naskah berisi racikan Nattawut bersama Tanida Hantaweewatana dan Vasudhorn Piyaromna. Tidak selamanya mulus – beberapa tindakan ada kalanya menyebabkan dahi mengerut – tapi masih sangat bisa dimaafkan karena terbayar oleh kesanggupannya menyuarakan kritik terhadap dunia pendidikan yang korup dan kerap kali menekan siswa dengan cara sangat mengasyikkan. Saya tak pernah sedikitpun menyangka lembar jawab pilihan ganda bisa membuat jantung berdegup begitu kencang kala ditampilkan dalam sebuah film layar lebar. Dalam Bad Genius, saya menjumpai itu.

Outstanding (4/5)


Minggu, 23 Juli 2017

REVIEW : DUNKIRK

REVIEW : DUNKIRK


“You can practically see it from here. Home.” 

Tiada lagi penjelajahan antar galaksi antar dimensi. Tiada lagi perjalanan menyusuri alam mimpi. Tiada lagi manusia kelelawar berkedok pengusaha kaya yang memberantas para kriminal kala malam menyingsing. Dalam film terbarunya bertajuk Dunkirk, sutradara Christopher Nolan memutuskan untuk tetap menjejakkan kaki di semesta yang sangat kita kenal. Menjauhi fantasi yang berada di ranah kekuasaannya, pembesut Inception dan The Dark Knight ini mencoba untuk lebih merangkul realita dengan menghadirkan sebuah retrospektif tentang Perang Dunia II. Diantara setumpuk topik ihwal ‘teror perang, kemanusiaan, dan keajaiban’ yang dapat dipilih dari kurun waktu tersebut, Nolan menjumput topik perihal Evakuasi Dunkirk yang berlangsung sedari 26 Mei hingga 4 Juni 1940. Sebuah bahan obrolan yang terhitung menarik lantaran pahlawan dalam peristiwa ini bukanlah para prajurit yang diterjunkan ke medan peperangan melainkan rakyat sipil yang memenuhi panggilan mendadak dari pemerintah Britania Raya untuk membantu keberlangsungan proses evakuasi sebanyak 400 ribu tentara sekutu yang posisinya terdesak oleh pergerakan pasukan Adolf Hitler dari pesisir pantai di Dunkirk, Prancis. 

Dalam menuturkan kembali peristiwa ini, Nolan mengaplikasikan metode penceritaan non-linear yang digemarinya dengan harapan dapat tersaji lebih menarik. Untuk itu, tuturan Dunkirk dipecah ke dalam tiga narasi yang masing-masing memiliki rentang waktu penceritaan berbeda satu sama lain sebelum akhirnya saling beririsan dalam klimaks. Narasi pertama berlangsung di tanggul selama sepekan dimana para tentara mengantri panjang untuk menaiki kapal-kapal penyelamat yang merapat seraya berharap agar bom kiriman pesawat tempur Nazi tidak jatuh lebih dulu. Karakter yang mendapat sorotan pada bagian ini adalah tiga tentara muda; Tommy (Fionn Whitehead), Gibson (Aneurin Barnard), dan Alex (Harry Styles), yang berjuang mati-matian demi memperoleh jatah tempat di kapal. Lalu narasi kedua berlangsung di atas sebuah kapal kecil selama sehari yang meletakkan fokusnya pada seorang pelayar bernama Pak Dawson (Mark Rylance), putranya Peter (Tom Glynn-Carney) serta sahabat sang putra George (Barry Keoghan) dalam upaya mereka untuk menyelamatkan para tentara yang terdampar di pantai. Dan narasi ketiga yang bertempat di udara selama satu jam menyoroti tiga pilot pesawat tempur Inggris dalam memburu pesawat tempur Jerman yang hendak menjatuhkan bom di Dunkirk. 


Sulit ditampik bahwa Christopher Nolan mampu menghadirkan Dunkirk sebagai sebuah pengalaman sinematis yang memikat. Elemen teknisnya berada di kelas teratas dan amat tidak mengherankan apabila nantinya menjadi kontender kuat dalam beragam ajang penghargaan untuk insan perfilman dunia. Lihat bagaimana kinerja Hoyte van Hoytema yang sebelumnya berkolaborasi dengan Nolan dalam Interstellar kala melensakan setiap gambar di darat, air, serta udara secara mengagumkan sehingga rekonstruksi peristiwa Evakuasi Dunkirk dalam bentuk adegan terasa meyakinkan. Penonton seolah-olah ditempatkan berada di tengah-tengah para pejuang yang kelelahan menanti datangnya kapal dan ketakutan akan datangnya ajal. Kegemilangan dari sisi visual yang tak jarang pula tampil puitis ini turut memperoleh sokongan dari departemen tata suara yang berhasil mengkreasi suara gemuruh pesawat, dentuman bom, desingan peluru, sampai deburan ombak dalam tingkatan akurasi yang tinggi serta iringan skoring musik gubahan Hans Zimmer yang membantu mempertajam nuansa meneror medan peperangan dalam Dunkirk. Membuatnya sangat perlu ditonton di layar lebar. Mempunyai kombinasi elemen teknis sekuat ini, jelas bukan perkara sulit untuk mengagumi pencapaian Nolan dalam Dunkirk. Yang kemudian pertanyaan adalah apakah kekaguman ini berakhir sebatas kekaguman atau dapat pula berkembang lebih jauh menjadi cinta? 

Sayangnya, jawaban atas pertanyaan tersebut adalah Dunkirk mudah untuk dikagumi tetapi tidak untuk dicintai. Sulit untuk benar-benar terhubung secara emosional pada film. Saat melangkahkan kaki ke luar bioskop, tidak ada impak apapun yang membuatnya terus terngiang-ngiang dalam pikiran dan meninggalkan kesan mendalam di hati. Ini ditengarai hasil dari keputusan sang sutradara untuk membingkainya dengan gaya tutur bercabang yang mesti diakui beresiko tinggi. Penonton diminta untuk mencerna kisah dari tiga sudut pandang berbeda yang acapkali terasa membingungkan lantaran peralihan antar narasi tidak diberi penanda yang jelas sekaligus terasa melelahkan akibat adanya sederet adegan repetitif tanpa urgensi dan emosi. Apabila kamu sama sekali tidak familiar dengan peristiwa Evakuasi Dunkirk, sangat disarankan untuk menggali informasinya terlebih dahulu sebelum menonton atau kamu akan kian kebingungan di dalam bioskop karena film memang enggan menyediakan banyak penghantar. Disamping itu, Nolan juga memutuskan memilih untuk lebih memberi penekanan pada suasana ketimbang rasa yang menyebabkan lantunan narasi kian menantang buat disimak. Betapa tidak, penonton hanya diberi sedikit kesempatan untuk memiliki ikatan dengan barisan karakter yang ada dalam film. 

Jangan berharap kamu akan memperoleh penokohan memadai dari Tommy, Gibson, Alex, Pak Dawson, Peter, George, apalagi para petarung udara. Mereka tidak ubahnya para figuran dalam film, kecuali mereka mempunyai jatah tampil lebih banyak dan diperankan aktor-aktor ternama dengan kualitas akting mumpuni termasuk Cillian Murphy yang menciptakan ‘drama’ di atas kapal Pak Dawson. Ketidaksanggupan untuk berakrab ria dengan karakter inti (hmmm... mungkin hanya George yang bisa membuat kita sedikit peduli) berdampak munculnya ketidakpedulian atas nasib mereka. Karena tidak mengenal, tidak ada rasa peduli, maka situasi yang mengepung mereka pun kurang memberi daya sentak seperti semestinya. Andai Nolan mempersilahkan film dibubuhi lebih banyak rasa dibalik tema besarnya mengenai ‘kepahlawanan dan kemanusiaan’ tanpa harus menahan-nahan emosi, bisa jadi Dunkirk akan lebih membekas dan montase di ujung film bakal mengendap lama dalam benak. Jika niat si pembuat film adalah agar Dunkirk tetap tersaji realistis, ‘bersihnya’ medan pertempuran tentu susah dimaklumi. Tanpa ada darah, intensitas film tereduksi. Memang masih mencekam, tapi kalau mesti dibandingkan dengan film berlatar Perang Dunia II lain seperti Saving Private Ryan atau Hacksaw Ridge, teror dalam Dunkirk tidaklah seberapa. Itulah mengapa sulit bagi saya untuk mendaulat Dunkirk sebagai film tentang Perang Dunia II terbaik yang pernah dibuat atau karya paling gemilang dari seorang Christopher Nolan. Bagus sih, hanya saja tidak istimewa.

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/7_1G60F

Exceeds Expectations (3,5/5)


Rabu, 01 Maret 2017

REVIEW : LION

REVIEW : LION


“I'm not from Calcutta... I'm lost.” 

Jelang mengularnya credit title, Lion beberkan sebuah informasi yang bikin hati serasa teriris. Informasi tersebut memuat statistik miris di India terkait bocah-bocah menghilang tanpa kabar setiap harinya yang mencapai angka 80 ribu serta para anak jalanan yang jumlahnya telah menyentuh 11 juta. Lewat Lion, sutradara Garth Davis yang baru sekali ini menggarap film layar lebar mencoba membahasagambarkan fenomena yang boleh jadi umum terjadi di negara-negara berpopulasi lebih dari ratusan juta jiwa ini. Bukan menggunakan sudut pandang keluarga ditinggalkan, melainkan dari kacamata korban. Ndilalah, ada satu penyintas bernasib mujur yang pernah berada di posisi terpisahkan dari keluarga maupun terlunta-lunta di jalanan semasa cilik, namanya Saroo Brierly. Pengalaman luar biasa yang memaksanya putus kontak selama 25 tahun lamanya dengan keluarga biologisnya ini dituangkan Saroo ke sebuah buku nonfiksi bertajuk A Long Way Home. Buku yang merupakan cikal bakal dari lahirnya film ‘keji’ pengoyak emosi berjudul Lion

Saroo cilik (Sunny Pawar) tinggal di sebuah perkampungan terpencil bersama kakaknya, Guddu (Abhishek Bharate), ibunya (Priyanka Bose), beserta adik perempuannya yang masih balita. Bersama Guddu, Saroo kerap mencuri batu bara dari kereta api yang melintas dekat perkampungan mereka guna ditukar dengan susu maupun makanan. Kehidupan keluarga miskin namun bahagia ini sontak berubah setelah Saroo memaksa ikut Guddu yang mencoba mencari pekerjaan di suatu malam dan keduanya terpisahkan. Saroo terjebak selama dua hari dalam sebuah kompartemen kereta api kosong yang menghantarkannya ke Kalkuta – hampir dua ribu kilometer jauhnya dari kampungnya – dan mengalami kesulitan untuk kembali. Berbagai cobaan lantas menghampirinya dari nyaris terjerembab dalam sindikat perdagangan anak, bertahan hidup di bawah kolong jembatan, sampai diboyong ke panti asuhan. Keengganan Saroo untuk menyerah mendorongnya berjumpa dengan nasib baik. Pasangan asal Australia, Sue (Nicole Kidman) dan John (David Wenham), mengadopsinya. Setelah 25 tahun, Saroo dewasa (Dev Patel) mencoba melacak kembali keberadaan keluarga biologisnya bermodalkan Google Earth dan ingatan-ingatan samar masa kecil. 

Lion terbagi menjadi dua babak besar. Babak pertama menaruh fokusnya kepada Saroo kecil, sementara babak kedua menggambarkan Saroo di usia dewasa. Kedua babak mempunyai kekuatannya masing-masing, meski separuh awal film bisa dikata adalah bagian terbaik dari Lion lantaran pergerakkan kisahnya lebih memiliki dinamika. Penonton disuguhi plot yang menyoroti jatuh bangunnya si bocah untuk memperoleh kesempatan berjumpa kembali dengan keluarganya semenjak terdampar di kota yang sama sekali asing baginya. Ada kepiluan, kengerian, serta sedikit kejenakaan di dalamnya. Tangguhnya paruh utama film dipersembahkan oleh materi cerita dan performa menakjubkan dari barisan pemainnya. Priyanka Bose hanya tampil sekejap tanpa banyak dibekali dialog, namun pancaran matanya sanggup menegaskan bahwa dia mencintai anak-anaknya. Pendatang baru Abhishek Bharate pun impresif sebagai kakak yang mengayomi adik-adiknya. Akan tetapi, Lion tidak akan mengaum selantang ini tanpa sokongan dari Sunny Pawar yang mempesembahkan salah satu akting terbaik dari seorang aktor cilik debutan (bahkan, Jacob Tremblay dari Room pun dibuat keok olehnya!).


Kita iba melihat bocah sekecil ini terkikis masa kanak-kanaknya yang semestinya dilalui penuh canda tawa, kita juga takjub menyimak ketangguhan usahanya agar bisa kembali ke pelukan sang ibunda – bayangkan, dia hanya sesekali menitikkan air mata tanpa pernah sekalipun merengek berkepanjangan. Seperti halnya para pelakon lain, Sunny Palwar membicarakan perasaannya melalui mata. Dari pancarannya, penonton bisa mendeteksi kesedihan, kebingungan, ketakutan, kebahagiaan, hingga harapan. Berkatnya, kita mampu teresonansi secara emosi dengan kisah hidup menakjubkan Saroo. Sekalipun kita telah mengetahui sesuatu yang baik telah menanti Saroo cilik di depan, namun tetap saja fase harap-harap cemas sempat menghampiri diri karena kepedulian terhadap jalan hidupnya membentuk keinginan untuk melihatnya berbahagia. Maka sulit untuk tidak merasakan kegundahan melihatnya terombang-ambing di jalanan tanpa kepastian, melihatnya didekati seorang pria misterius bernama Rama (Nawazuddin Shiddiqui) yang mempunyai agenda terselubung, dan melihatnya berakhir di panti asuhan tanpa fasilitas memadai. 

Dibandingkan babak pertama, babak kedua cenderung lebih tenang. Saroo dewasa telah memperoleh kehidupan yang layak dengan keluarga baru penuh kasih sayang, pekerjaan mapan, dan kekasih cantik, Lucy (Rooney Mara) yang mendukung keputusan-keputusannya. Gejolak konflik pada titik ini bersumber dari adik Saroo yang pemarah, Mantosh (Keshav Jadhav), serta relasi menghambar antara Saroo dengan orang-orang terdekatnya menyusul obsesinya untuk menemukan kampung halamannya. Dev Patel meng-handle babak kedua ini secara menawan dengan memunculkan kerapuhan berwujud penyesalan mendalam yang membawanya pada kemarahan-kemarahan, obsesi melampaui batas, serta kerinduan tak terbendung sehingga kepedulian penonton pada sosok Saroo pun tak terputus. Masih terus berlanjut. Kepedulian kita terhadap si tokoh utama merupakan kunci keberhasilan dari Lion atau berdasarkan konteks babak kedua, momen klimaks. Apabila penonton tidak pernah terhubung dengan Saroo, apa yang tersaji di penghujung film akan berakhir sia-sia belaka. Tapi jika penonton berhasil dibuat bersimpati pada Saroo – seperti telah dilakukan oleh Lion, apa yang tersaji di penghujung film akan menghajar emosimu sampai babak belur. Sebuah kisah 'pulang kampung' yang begitu hangat, mendebarkan, sekaligus menyentuh. Bagus!

Outstanding (4/5)


Minggu, 15 Januari 2017

REVIEW : PATRIOTS DAY

REVIEW : PATRIOTS DAY


“Welcome to Watertown, motherfuckers!” 

Hanya berselang tiga bulan sejak dilepasnya Deepwater Horizon – sebuah film berbasis peristiwa nyata mengenai kebakaran hebat pengeboran kilang minyak di lepas pantai – yang menandai kolaborasi kedua antara Peter Berg dengan ‘male muse’-nya, Mark Wahlberg, seusai Lone Survivor (2013) hadir film lain yang juga dicuplik dari kejadian penghias tajuk utama media-media Amerika Serikat beberapa waktu lampau yang sekali lagi (!) mempertemukan Berg bersama Wahlberg yakni Patriots Day. Didasarkan buku nonfiksi gubahan Casey Sherman dan Chris Wedge, Boston Strong, serta beberapa materi yang pernah ditayangkan oleh program televisi 60 Minutes, Patriots Day soroti tragedi pengeboman di Boston kala helatan tahunan Maraton Boston pada 2013 silam. Berbeda halnya dengan baik Lone Survivor yang luar biasa mencekam maupun Deepwater Horizon yang separuh awalnya cenderung lempeng jaya, Wahlberg tidak memerankan karakter betulan dalam Patriots Day. Sosok Tommy Saunders yang dimainkannya hanyalah tokoh bentukan untuk film yang terinspirasi dari sejumlah petugas-petugas kepolisian Boston. Keberadaan Tommy Saunders sendiri dimanfaatkan Berg sebagai ‘mata’ bagi penonton sekaligus demi menggenjot efek dramatis. 

Melalui Saunders, kita ikut merasakan, mengamati, serta menyelidiki kekacauan yang disebabkan oleh peristiwa pengeboman yang meminta tumbal tiga jiwa tersebut. Keterlibatan lebih jauh Saunders dalam menuntaskan kasus Tragedi Boston dimulai kala dirinya diminta bekerja sama dengan Agen Khusus FBI, Richard DesLauriers (Kevin Bacon), lantaran dianggap mengenal baik setiap sudut kota Boston. Berkat ketajaman daya ingatnya akan keberadaan CCTV, wajah kedua pelaku dapat teridentifikasi secara cepat dan identitas mereka, Tamerlan (Themo Melikidze) serta Dzhokhar (Alex Wolff), pun mengemuka beberapa saat setelahnya. Telah memiliki modal lebih dari cukup untuk melakukan penangkapan, sayangnya tidak semudah itu melacak keberadaan dua bersaudara tersebut. Tamerlan dan Dzhokhar yang sangat aktif mengikuti perkembangan berita lantas bergerak begitu pihak kepolisian berhasil mengendus identitas mereka. Ditengah-tengah pelarian yang melahirkan gesekan satu sama lain, keduanya berbuat blunder setelah memutuskan membajak mobil seorang mahasiswa. 

Bagi penonton yang getol mengikuti perkembangan berita pengeboman Boston – dari liputan di TKP sampai perburuan terhadap tersangka – yang ramai dibahas tiada habis-habisnya di beragam jenis media hampir empat tahun lalu, Patriots Day boleh jadi tidak memberikan informasi atau perspektif baru karena apa yang dipaparkannya merupakan rahasia umum. Bagaimana prosesnya, lalu bagaimana ujungnya telah dikupas secara menyeluruh oleh media. Daya tarik tersisa terletak pada cara Berg mepresentasikannya ke medium film. Baik gayanya merekonstruksi momen-momen memburu kedua tersangka, penekannya pada sisi humanis, sampai keleluasaannya untuk hadirkan suasana mencekam di TKP yang pastinya luput di pemberitaan sarat sensor. Dibumbui dengan dramatisasi disana sini, tentu masih ada sensasi berbeda kala menyimak Patriots Day sekalipun materinya amat familiar. Apalagi, kita tidak bisa melihat tubuh bersimbah darah, luka-luka menganga, sampai potongan-potongan tubuh menghiasi layar secara eksplisit saat kamera menjumpai korban-korban ledakan bom di pemberitaan televisi, bukan? Ya, muatan kekerasan yang eksplisit dalam Patriots Day memang cukup mengganggu utamanya jika kamu mudah ngilu atau mual, tapi tak bisa disangkal, ini menambah efek cekam untuk filmnya itu sendiri. 

Efek cekam akan semakin dirasa buat penonton yang tidak tahu menahu perihal pengeboman Boston atau sebatas tahu permukaannya saja. Dijlentrehkan menggunakan pendekatan prosedural, penonton mengikuti tahap demi tahap penyusunan strategi dari pihak kepolisian guna menangkap para pelaku dengan sesekali kita melihat dari kacamata Dzhokhar yang mulai blingsatan dalam pelarian. Sedari meledaknya bom, intensitas Patriots Day memang merapat dan hampir tidak memberikan ruang bagi penonton untuk sekadar menghembuskan nafas lega. Wahlberg bermain bagus, namun bintang sesungguhnya dari Patriots Day adalah Alex Wolff yang mempertemukan amarah dan ketakutan dalam satu tempat sehingga menghindarkan penggambaran karikatural dari sosok villain. Memperoleh sokongan mantap dari duo Trent Reznor-Atticus Ross dengan iringan musik menghentak-hentaknya plus gerak kamera tangkas nan dinamis, ketegangan Patriots Day terjaga stabil sampai klimaks mendebarkannya. Selepas meredanya ‘badai’ – mengikuti tradisi dari dua film kisah nyata Berg yang lain – adalah kesempatan memberi penghormatan untuk para pahlawan beserta korban yang (sekali lagi) tergolong efektif dalam menyentuh hati-hati sensitif. Menarik.

Exceeds Expectations (3,5/5)

Sabtu, 12 November 2016

REVIEW : HACKSAW RIDGE

REVIEW : HACKSAW RIDGE


“While everybody is taking life I’m going to be saving it, and that’s going to be my way to serve.” 

Mengistirahatkan diri dari karir penyutradaraan selama satu dekade tercatat sedari Apocalypto (2006) dan lantas mengalihkan energinya ke bidang lakonan maupun produser yang kurang menuai sukses, Mel Gibson akhirnya memutuskan untuk kembali menekuni karir yang telah menghadiahinya satu piala Oscars (berkat Braveheart) lewat Hacksaw Ridge. Masih mengusung elemen epik kolosal seperti ketiga garapan terdahulunya – termasuk pemenang Oscars, Braveheart, dan film kontroversial tentang Yesus, The Passion of the ChristHacksaw Ridge didasarkan pada kisah nyata menakjubkan dari seorang prajurit bagian medis bernama Desmond T. Doss yang dianugerahi Medali Kehormatan atas jasa-jasanya menyelamatkan puluhan nyawa pada Perang Dunia II. Apabila fakta yang menyebutkan dia bisa membawa pulang sebanyak 75 prajurit (malah ada kemungkinan lebih dari itu!) secara selamat dari medan peperangan belum cukup membuatmu takjub, tunggu sampai kamu mengetahui kenyataan bahwa Doss sukses melakukan aksi penyelamatan tersebut sekalipun dirinya sama sekali enggan memanggul senjata selama diterjunkan mengikuti pertempuran melawan Nippon. 

Ya, Doss (Andrew Garfield) telah menyatakan keberatannya untuk memegang senjata sejak berada di kamp pelatihan lantaran membunuh orang bertentangan dengan ajaran agama yang dianutnya – Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh. Selain itu, mengingat Sabtu merupakan hari Sabat, Doss juga memilih tidak mengikuti pelatihan di hari Sabtu. Keteguhan hati Doss untuk mempertahankan keyakinannya tentu mengundang kontroversi terlebih, hey, mana mungkin kamu bisa ikut berperang tanpa dilengkapi senjata dan peluru? Terdengar seperti misi bunuh diri. Nyatanya, sekalipun atasannya, Sersan Howell (Vince Vaughn), dan rekan-rekan infanterinya telah mengerahkan beragam upaya guna menggoyahkan imannya termasuk melancarkan aksi perundungan berbentuk verbal (menyebutnya seorang pengecut, salah satunya) dan fisik, menyeretnya ke pengadilan karena keenggannya berkompromi dengan keyakinannya berpotensi membahayakan nyawa prajurit lain, sampai memenjarakannya yang berdampak ke tertundanya pernikahan Doss dengan sang kekasih, Dorothy (Teresa Palmer), Doss bergeming. Dia tetap menunjukkan tekad bulatnya berpartisipasi dalam Pertempuran Okinawa tanpa sedikitpun bersentuhan dengan senjata karena tujuannya mengikuti perang bukanlah menundukkan musuh melainkan menyelamatkan nyawa orang lain. 

Diam-diam, ternyata Hacksaw Ridge bermain-main di ranah religi horor, atau setidaknya demikian berdasarkan pandanganku. Sebetulnya, apabila kita berpatokan pada karya terdahulu Mel Gibson – plus fakta bahwa dia adalah penganut Katolik – pendekatan yang diambil oleh si pembuat film untuk menyampaikan kisah hidup penuh keajaibannya Desmond Doss tidak lagi mengejutkan. Apalagi, sang subjek dideskripsikan pula taat beragama. Tapi jangan risau akan diperdengarkan ceramah-ceramah agama berkepanjangan (lengkap dengan kutipan satu dua ayat dari Injil) karena Gibson tak berniat mencekoki penonton dengan dogma-dogma. Dia berusaha sebisa mungkin agar nilai-nilai relijius yang diaplikasikan oleh Doss dalam kehidupannya tidak terlampau tersegmentasi ke agama tertentu, melainkan dapat terkoneksi ke audiens secara universal. Penonton diharapkan memahami pesan yang coba dilontarkan Gibson melalui tindak-tanduk Doss. Bukan semata-mata mengenai patriotisme, keberanian, pembuktian diri, maupun determinasi, tetapi juga bagaimana mempertahankan keyakinan yang kamu miliki ditengah-tengah gempuran pihak-pihak yang mencoba meruntuhkannya. Juga, sedikit banyak menyentil khalayak ramai yang berani mengklaim dirinya ‘beriman’ sekalipun perangainya tergolong kontradiktif – lebih memilih menyebarkan kebencian alih-alih kebaikan. Familiar? 

Dari penjabaran sekelumit ini, telah terkuak sisi religiusitas yang dikulik Hacksaw Ridge. Lalu, dimana letak horornya? Well, untuk sekali ini, istilah ‘horor’ tidak dipegunakan untuk merujuk kepada kehebatan film menggempur emosi pemirsanya sedemikian rupa, melainkan pada visualisasi yang nyata-nyata meneror. Disamping kerap mengusung tema berbau samawi, Gibson dikenal dengan kecintaannya mempresentasikan kekerasan serealistis mungkin. Ingat adegan penyaliban Yesus di The Passion of the Christ yang luar biasa bikin ngilu? Saya bisa meyakinkan, itu tidak ada apa-apanya dibanding apa yang terpampang dalam Hacksaw Ridge. Medan pertempuran yang biasanya terlihat tak ubahnya wahana paintball di kebanyakan film Hollywood – salah satu alasan, demi memperendah batasan klasifikasi usia penonton – disini menunjukkan kengeriannya. Peringatan bagi kalian yang tidak tahan melihat darah, apalagi bagian-bagian tubuh manusia tercecer, visualisasi dalam Hacksaw Ridge mungkin akan menonjok perutmu hebat-hebat. Gibson tak berkeberatan menampilkan pemandangan mengganggu kenikmatan menyantap cemilan semacam semburat otak akibat kepala tertembus peluru, kaki-kaki terpenggal, usus terburai kemana-mana, sampai gelimpangan mayat yang dikerumuni hewan pengurai bangkai. Semuanya dipertahankan atas nama ‘rasa’. 

Kehebatan Hacksaw Ridge setidaknya bersumber dari dua pilar, yakni elemen drama bernafaskan siraman rohani yang merasuk di hati dan elemen laga pada adegan peperangannya yang menggedor jantung. Keduanya bersinergi sempurna, turut terbantu pula oleh performa menakjubkan dari barisan bintang-bintang ternamanya. Kita telah mengetahui kapabilitas seorang Andrew Garfield berolah peran, namun Hacksaw Ridge boleh jadi merupakan ‘game changer’ bagi karir keaktorannya. Dengan keimanannya mendekati level Santo, Doss berpotensi menjelma sebagai sosok out-of-the-world yang sulit didekati (dan diyakini ada) apabila dimainkan aktor yang tak tepat. Di tangan Garfield, kita bisa terhubung dengan Doss sekaligus percaya pada perkembangan karakternya sepanjang film yang berujung ke terinspirasi terhadap tindakan-tindakannya. Selain Garfield, Hacksaw Ridge yang begitu hebat menyentuh sensibilitas kemanusiaan penontonnya melalui tuturan mencerahkan nan mencengkram ini juga menjadi saksi atas kemahiran berlakon dari Vince Vaugh, Sam Worthington, Hugo Weaving, Rachel Griffiths, serta Teressa Palmer. Jika ada yang menyebutnya sebagai film perang terbaik sejak Saving Private Ryan, itu tidaklah berlebihan. 

Outstanding (4/5)