Tampilkan postingan dengan label Steven Spielberg. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Steven Spielberg. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 31 Maret 2018

REVIEW : READY PLAYER ONE

REVIEW : READY PLAYER ONE


“People come to the Oasis for all the things they can do, but they stay because of all the things they can be.” 

Steven Spielberg is back! 

Oke. Seruan ini mungkin terdengar agak berlebihan karena kita sama-sama tahu beliau tidak pernah pergi kemana-mana. Dalam satu dekade terakhir, Pak Spielberg masih sangat aktif menghasilkan karya, menempatkan filmnya di jajaran film laris, sampai wara-wiri ke berbagai ajang penghargaan. Hanya saja, film kreasinya dalam beberapa tahun terakhir ini semacam hanya mengincar Oscar beserta rekan-rekannya semata. Minim unsur hiburan. Kalaupun ada yang ditujukan sebagai sajian eskapisme seperti The Adventures of Tintin (2011) dan The BFG (2016), hasil akhirnya terasa kurang menggigit dan seolah-olah Pak Spielberg telah kehilangan sentuhan magisnya yang menjadi salah satu alasan mengapa beliau bisa memiliki nama besar di perfilman dunia. Terlalu sering dicekoki film-film serius garapannya, saya pun bertanya-tanya, “apa mungkin beliau akan kembali menghasilkan film semacam E.T. The Extra Terrestrial (1982) dan Jurassic Park (1993) yang sanggup membuat kita kegirangan sekaligus melongo kagum?”. Harapan itu sepertinya nyaris sirna sampai kemudian mendapati kabar bahwa Steven Spielberg memutuskan untuk kembali bersenang-senang dengan menyajikan tontonan eskapisme murni yang menjelajah teritori yang dikuasainya, fiksi ilmiah dan petualangan. Tontonan ini didasarkan pada novel rekaan Ernest Cline bertajuk Ready Player One. Walau agak skeptis berkaca pada dua film ‘hura-hura’ terakhirnya, tapi tidak bisa disangkal kalau hati ini merasa bungah karena bagaimanapun hasilnya, sebuah popcorn movies garapan sang maestro tetap harus disambut meriah. 

Melalui Ready Player One, Pak Spielberg memboyong kita untuk mengunjungi Columbus, Ohio, di masa depan atau secara spesifik pada tahun 2045. Populasi membludak, korupsi, polusi, serta perubahan iklim yang ekstrim menyebabkan masyarakat dunia hidup dalam kondisi finansial yang memprihatinkan. Itulah mengapa sang karakter utama, Wade Watts (Tye Sheridan), tinggal di sebuah tempat yang disebut ‘Tumpukan’ – well, maknanya pun harfiah karena ini memang tumpukan trailer – bersama bibi dan kekasihnya yang pemabuk. Demi menjauhkan diri dari kepenatan hidup, Wade beserta sebagian populasi masyarakat dunia memilih untuk menghabiskan waktu dengan memainkan game berbasis realitas maya bernama OASIS. Di sini, setiap orang bisa menjadi apapun yang mereka mau tanpa ada batasan-batasan yang mengekang. Wade yang menggunakan avatar bernama Parzival menjalin pertemanan dengan Aech (Lena Waithe), Sho (Philip Zhao), Daito (Win Morisaki), serta Art3mis (Olivia Cooke) yang juga ditaksirnya di OASIS. Mereka berlima membentuk komplotan dengan nama ‘High Five’ demi menuntaskan permainan kreasi James Halliday (Mark Rylance) yang disebut Anarok’s Quest yang mengiming-imingi hadiah berupa tampuk kepemimpinan di OASIS. Mulanya sih, Wade dan kawan-kawan memainkannya secara nothing to lose sampai kemudian tujuan mereka berubah kala Nolan Sorrento yang licik (Ben Mendelsohn), pemilik IOI yang merupakan perusahaan kompetitor OASIS, ikut bermain dan menghalalkan segala cara demi memenangkan permainan termasuk menyingkirkan High Five yang menghalangi jalannya dari dunia maya maupun dunia nyata.


Oke. Seruan “Steven Spielberg is back!” tidak lagi terdengar berlebihan usai menyaksikan apa yang telah beliau perbuat kepada Ready Player One. Setelah beberapa film kelas berat dan satu dua tontonan eskapisme yang mudah dilupakan, Pak Spielberg akhirnya kembali menghadirkan sajian spektakel yang layak untuk dirayakan besar-besaran. Sebuah sajian gegap gempita nan mengasyikkan yang sudah sangat lama tidak kita peroleh dari beliau sejak Jurassic Park (kamu boleh tidak sependapat soal hal ini karena sekuelnya yang dirlis pada tahun 1997 dan Minority Report (2002) juga masih asyik). Apabila kamu adalah penonton film biasa, dalam artian sekadar untuk membunuh waktu dan tidak pernah menganggap film sebagai ‘belahan jiwa’ atau menaruh ketertarikan sangat mendalam kepada budaya populer, Ready Player One mungkin akan terlihat seperti film seru pada umumnya yang kebetulan memiliki penggarapan setingkat lebih baik ketimbang film sejenis yang rilis dalam beberapa bulan belakangan ini. Sekadar disokong efek visual bombastis dan dipenuhi dengan sekuens laga yang (apiknya) senantiasa mengalami eskalasi dari segi intensitas pada setiap menitnya. Boleh jadi, tidak pernah lebih dari itu. Akan tetapi, apabila kamu memiliki kecintaan terhadap film, video game, dan budaya populer lainnya (itu berarti kamu adalah seorang ‘geek’), apa yang disajikan oleh Ready Player One akan membuatmu terperangah hebat dan menggeleng-geleng kepala berulang kali sepanjang durasi. Betapa tidak, referensinya bejibun! Dari yang sangat kentara sampai selewat-selewat saja yang sangat mungkin kamu lewatkan jika berkedip. 

Ada Batman! Ada King Kong! Ada Chucky si boneka iblis! Ada robot dari The Iron Giant (1999)! Ada motor yang ditunggangi Kaneda di Akira (1988)! Ada Mechagodzilla! Ada DeLorean dari trilogy Back to the Future! Ada Gundam! Ada hotel penuh teror dari The Shining (1980) yang penempatannya sungguh jenius serta tak terduga! Dan ‘ada-ada’ lainnya yang bakal panjang sekali apabila dijlentrehkan satu demi satu di sini terlebih ini belum mencakup referensi ke video game dan musik. Ready Player One memang tak ubahnya sebentuk surat cinta dari Pak Spielberg kepada budaya populer yang telah membawanya hingga ke titik ini. Beliau memperlakukannya dengan penuh hormat dan penuh perhitungan matang, bukan asal comot lalu diselipkan sekenanya. Keberadaannya melebur ke dalam plot secara tepat sehingga tidak mendistraksi narasi utama. Penonton awam tetap bisa mengikuti jalinan pengisahan yang ditawarkan oleh film tanpa pernah merasa teralienasi, sedangkan penonton jemaatnya Sheldon Cooper tetap bisa melompat-lompat kegirangan seraya mengikuti guliran penceritaan yang ditawarkan. Seperti telah saya singgung sebelumnya, dengan atau tanpa setumpuk referensi ke budaya populer, Ready Player One tetaplah sebuah sajian hiburan yang gemilang. Sebuah sajian yang mengingatkan kita kepada karya-karya akbar Steven Spielberg di era 70 hingga 90-an sekaligus mengingatkan kita sekali lagi mengapa namanya kerap dielu-elukan oleh para pecinta film.


Ready Player One mempunyai sense of wonder atau sensasi sinematik yang magis atau apalah itu sebutannya yang membuat pengalaman menyaksikan film di layar lebar terasa sulit untuk digantikan. Di film ini, Pak Spielberg membuktikan bahwa dia masih memiliki kemampuan untuk meramu sebuah tontonan spektakel yang menciptakan decak kagum. Visualnya yang mengawinkan animasi dan live action (saat beralih ke animasi, sensasinya seperti sedang bermain video game) tampak memukau, rentetan sekuens laganya yang menggenjot adrenalin tak pernah gagal menghadirkan fase ‘berdebar-debar’, guliran pengisahannya yang menarik membuat penonton tertambat untuk mengikuti misi pencarian ‘telur paskah’ sekaligus terusik untuk menggelar diskusi dengan topik pengaruh kemajuan teknologi pada masyarakat modern, dan lakon jajaran pemainnya apik terutama Mark Rylance yang senantiasa sendu, Ben Mendelsohn sebagai villain utama yang terkadang bengis terkadang lucu, serta Tye Sheridan yang membentuk chemistry apik dengan Olivia Cooke. Berkat kombinasi-kombinasi tersebut, petualangan mengarungi OASIS sepanjang 140 menit pun berlalu dengan begitu cepatnya sampai-sampai muncul keinginan untuk mengulanginya kembali sesaat setelah petualangan berakhir. Betapa tidak, selama bertualang bersama High Five, saya acapkali dibuat tergelak-gelak, bersemangat, melompat-lompat kegirangan bak bocah cilik yang baru diberi mainan baru, sampai menyeka air mata haru. Buagus!

Outstanding (4,5/5)

Jumat, 02 Maret 2018

REVIEW : THE POST

REVIEW : THE POST


“If the government wins, The Washington Post will cease to exist.” 

Hanya berpatokan pada siapa-siapa yang terlibat, The Post sebetulnya telah terdengar begitu menggiurkan. Betapa tidak, film ini mengawinkan dua aktor besar, Tom Hanks dengan Meryl Streep, di garda terdepan departemen akting dan dibesut oleh Steven Spielberg yang telah memberi kita film-film legendaris seperti E.T. the Extra-Terrestrial (1982), Jurassic Park (1993), serta Saving Private Ryan (1998). Seolah ini belum cukup untuk membuat kita buru-buru memesan tiket bioskop, The Post turut menyodorkan materi cerita yang seksi terkait keterlibatan media massa di Amerika Serikat – khususnya The Washington Post – dalam mengungkap skandal militer yang berlangsung dibawah pemerintahan Richard Nixon pada awal dekade 70-an. Bukan, bukan mengenai Watergate yang menghebohkan itu, melainkan bocornya dokumen-dokumen rahasia setebal 4000 halaman lebih yang disebut Pentagon Papers. Dalam dokumen yang mencakup data-data dari tahun 1945 hingga 1967 tersebut, terpapar analisa mendalam yang menyatakan bahwa negeri Paman Sam sejatinya tidak memiliki kans untuk berjaya dalam Perang Vietnam. Alasan terbesar yang lantas membuat Amerika Serikat kekeuh bertahan dan enggan menarik pasukan dari medan tempur adalah ketidakrelaan untuk menanggung rasa malu karena kekalahan atau dengan kata lain, gengsi. 

Jatuhnya dokumen negara super rahasia ini ke tangan para jurnalis di The New York Times menjadi cikal bakal bagi The Post dalam memulai guliran pengisahannya. Dari sini, Steven Spielberg membagi fokus penceritaan menjadi dua cabang yang masing-masing dikomandoi oleh Katherine Graham (Meryl Streep) selaku penerbit dan Ben Bradlee (Tom Hanks) selaku editor eksekutif. Melalui sosok Katherine, penonton mendapati cerita cenderung personal mengenai perempuan pertama yang menempati posisi tertinggi dalam bidang penerbitan surat kabar di Amerika Serikat. Katherine mewarisi The Washington Post usai suami dan mertuanya berpulang. Meski memiliki kemampuan bersosialisasi yang mumpuni – terbukti dari lingkaran pertemanannya yang meliputi politikus-politikus besar, namun Katherine tidak cukup luwes dalam berbisnis. Keputusan-keputusan yang diambilnya, termasuk saat menjual saham perusahaan secara terbuka, acapkali dipengaruhi oleh penasehat-penasehatnya yang seluruhnya laki-laki. Sedangkan melalui sosok Ben, penonton memperoleh cerita mengenai upaya para jurnalis untuk mengangkat derajat The Washington Post yang selama ini dianggap sebatas koran lokal receh. Pasca mengetahui The New York Times memiliki materi berita yang berpotensi menggemparkan seluruh negara, Ben pun menitahkan anak buahnya untuk mengejar sang sumber berita sehingga mereka tidak saja dapat meningkatkan reputasi surat kabar tetapi juga menjalankan kewajiban untuk memberitakan kebenaran kepada masyarakat.

Tatkala menonton The Post, ada dua hal yang mesti banget dipersiapkan, yakni kesabaran dan konsentrasi. Selepas disuguhi sajian berupa para tentara negeri adidaya kewalahan dalam melayani serbuan Vietkong lalu dilanjut pembobolan berkas-berkas penting milik Departemen Pertahanan terkait relasi Amerika Serikat dengan Vietnam yang menciptakan intensitas di permulaan film, The Post mulai menstabilkan lajunya di level ‘pelan’. Letupan-letupan besar disisihkan terlebih dahulu demi memberi ruang bagi penonton untuk berkenalan secara intim dengan dua karakter kunci dalam film; Katherine dan Ben, sekaligus memahami secara utuh rentetan peristiwa yang tengah dihadapi oleh The Washington Post. Ya, sebelum bergerak lebih jauh, Spielberg selaku tukang cerita mencoba untuk memastikan bahwa penonton benar-benar memahami tentang posisi Katherine, urgensi dalam meyakinkan para investor saham, obsesi Ben, serta kebohongan-kebohongan yang disembunyikan pemerintah melalui Pentagon Papers. Kelihaian Spielberg dalam bercerita membuat materi dongeng yang rada-rada njelimet ini terasa menarik buat disimak alih-alih menjemukan. Ketertarikan memang tidak serta merta terbentuk melainkan muncul sedikit demi sedikit seiring bergilirnya durasi. Seiring didapatnya gambaran lebih utuh mengenai apa yang sejatinya hendak disampaikan oleh The Post

The Post bukanlah Spotlight (2016) yang meletakkan sebagian besar fokus penceritaannya pada pengejaran berita. Di sini, duo penulis skrip, Liz Hannah dan Josh Singer, turut memecah fokusnya ke pergulatan batin si penerbit yang dihadapkan pada pilihan dilematis: memilih teman-teman politikusnya yang jelas merupakan pilihan aman atau mempersilahkan para jurnalisnya untuk mempublikasikan kebohongan yang ditutup rapat oleh pemerintah selama bertahun-tahun meski konsekuensinya adalah dijauhi oleh investor serta dipenjara lantaran dianggap menyalahi UU spionase. Tentu dibutuhkan keahlian bercerita yang tinggi agar dua cabang ini tidak terasa penuh sesak atau timpang sebelah. Spielberg, seperti telah diperkirakan, mampu menyeimbangkan dua fokus penceritaan tersebut sehingga keduanya dapat berjalan beriringan dan saling menopang. Cerita milik Ben memang mesti diakui lebih menggigit karena menyoroti pada jurnalisme investigasi. Akan tetapi, cerita milik Katherine tidak lantas melempem sekalipun cakupannya personal terkait upayanya memperoleh kepercayaan dari dirinya sendiri maupun laki-laki alpha di sekelilingnya. Ditunjang oleh akting gemilang Meryl Streep, kita bisa memahami keragu-raguannya, ketakutannya untuk berbuat kesalahan, harapannya untuk mendapatkan respek dari pria-pria di sekitarnya yang memandangnya sepele, kemauannya belajar dari kesalahan, serta keberaniannya dalam mengambil keputusan. 

Ndilalah, Meryl Streep memiliki lawan main yang tak kalah piawainya dalam berolah peran, Tom Hanks. Sosok Ben yang menyala-nyala memberi keseimbangan di saat sosok Katherine cenderung lebih kalem. Keduanya mulai sering bertatap muka tatkala dua cabang cerita saling beririsan yang sekaligus menandai terdeteksinya eskalasi ketegangan dalam The Post. Ketegangan dapat tercium dengan jelas pasca anak buah Ben menginformasikan bahwa dia telah mendapatkan materi berita yang dibutuhkan. Yang tidak disangka-sangka, adegan conference call yang berlangsung di rumah Katherine dan Ben demi mencapai mufakat mampu membuat diri ini berada dalam fase “dag dig dug” sekaligus meremas-remas kursi bioskop. Terhitung sedari momen emas ini, The Post secara konstan menghadirkan guliran pengisahan yang mencekam serta mencengkram. Kita mungkin telah mengetahui kemana muara film ini, tapi kita tidak ambil pusing karena yang diinginkan adalah menyaksikan proses para jurnalis di The Washington Post mencapai muara tersebut. Bagaimana mereka menyusun artikel bernas dari dokumen negara setebal ribuan halaman, bagaimana mereka memperjuangkan kebebasan pers di saat sang presiden mengancam akan membredel tempat mereka mencari penghasilan, dan bagaimana mereka menunjukkan tanggung jawab kepada masyarakat yang dianggap perlu mengetahui kebohongan-kebohongan pemerintah. Mengusung isu yang begitu relevan dengan dewasa ini yang mana kebebasan pers tengah terancam dan berita bohong kian marak dijumpai, tak salah kiranya menyebut The Post sebagai film yang penting disimak oleh siapapun.



Note : Satu lagi yang berkesan dari The Post, film ini memberi kita detil kecil mengagumkan tentang cara kerja mesin cetak surat kabar. Ya, kita tidak hanya diajak berkeliling ruang kerja jurnalis tetapi juga diajak mengunjungi percetakan!

Outstanding (4/5)