Tampilkan postingan dengan label Fantasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fantasi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 20 Maret 2018

REVIEW : A WRINKLE IN TIME

REVIEW : A WRINKLE IN TIME


“You’re going to be tested every step of the way. Have faith in who you are.” 

Tidak ada yang menyalahkanmu apabila menaruh minat untuk menyaksikan A Wrinkle in Time di layar lebar. Siapa sih tidak tergoda saat bintang-bintang besar seperti Oprah Winfrey, Reese Witherspoon, sampai Chris Pine beradu akting dalam satu film yang materi penceritaannya diadaptasi dari literatur klasik rekaan Madeleine L'Engle? Menariknya lagi, film ini diproduksi oleh Walt Disney Pictures, mengambil jalur fiksi ilmiah, dan dikemas sebagai tontonan keluarga. Entah dengan kalian, namun saya memiliki ‘titik lemah’ terhadap film keluarga keluaran Disney sehingga nyaris tidak pernah sanggup untuk menolaknya (meski tidak jarang pula ini berakhir dengan kekecewaan). A Wrinkle in Time yang ditangani oleh pegiat sinema Ava DuVernay (Selma, 13th) pun terlihat telah mengantongi sejumlah syarat yang memungkinkannya untuk menjadi tontonan baik menengok jejak rekam siapa-siapa yang terlibat. Di atas kertas, satu-satunya tantangan yang mesti ditaklukkan film ini adalah mentransformasikan materi sumbernya yang konon kerap disebut “sulit difilmkan” ke bahasa gambar. Dibawah pengarahan sutradara terampil, tantangan ini sebetulnya bisa jadi perkara sepele – tengok saja Life of Pi garapan Ang Lee. Akan tetapi bagi sutradara yang kurang lihai bercerita, belum lagi masih gagap menangani film bujet besar, tantangan ini jelas sebuah masalah besar. Dan sayang beribu sayang untuk A Wrinkle in Time, Ava DuVernay tergolong ke dalam sutradara jenis kedua yang tidak mahir menyampaikan kisah kepada penonton. 

Karakter utama yang mesti kita beri perhatian lebih dalam A Wrinkle in Time adalah seorang remaja perempuan dengan otak encer bernama Meg Murry (Storm Reid). Sebelum memutuskan untuk mengisolasi diri dari pergaulan dan memasang muka masam sepanjang waktu yang membuatnya mengalami perisakan, Meg memiliki pribadi yang ceria serta tergolong siswi teladan di sekolahnya. Perubahan karakteristik yang sangat bertolak belakang ini disebabkan oleh menghilangnya sang ayah, Dr. Alexander Murry (Chris Pine), dalam misi memperbaiki alam semesta. Alex yang menaruh minat terhadap astrofisika, ditengarai telah menemukan tesseract – sebuah perjalanan lintas dimensi ruang dan waktu – dan kini tersesat di dimensi lain. Mencoba untuk percaya bahwa sang ayah masih hidup, Meg akhirnya perlahan tapi pasti kehilangan kepercayaannya setelah selama empat tahun tak kunjung mendapat kejelasan. Upaya Meg dalam menekan rasa duka atas kehilangan lantas mengubahnya menjadi pribadi bermasalah dan terpinggirkan. Satu-satunya siswa yang bersedia menjalin ikatan pertemanan dengannya adalah Calvin (Levi Miller). Kehidupan Meg yang kacau balau ini mulai menjumpai titik terangnya tatkala adik angkatnya, Charles Wallace (Deric McCabe), memperkenalkannya kepada tiga perempuan misterius; Mrs. Which (Oprah Winfrey), Mrs. Whatsit (Reese Witherspoon), serta Mrs. Who (Mindy Kaling), yang belakangan diketahui sebagai pelancong astral. Melalui mereka, Meg mendapati fakta bahwa ayahnya masih hidup dan satu-satunya orang yang dapat menyelamatkannya adalah Meg sendiri.


Berkaca pada sinopsis di atas maupun materi promosi yang telah digeber selama ini – terutama trailer, mudah untuk mengira bahwa A Wrinkle in Time adalah gelaran petualangan fiksi ilmiah tulen yang bisa dikudap beramai-ramai bersama seluruh anggota keluarga di waktu senggang. Jika kamu memiliki ekspektasi semacam ini, dan berharap film dapat membuatmu terhibur, saya menyarankan untuk cepat-cepat menghempaskannya. Karena kenyataan yang ada, A Wrinkle in Time cenderung lebih menyerupai film pengembangan diri ketimbang film eskapisme. Tentu bukan menjadi soal sama sekali tatkala film berusaha untuk menyampaikan pesan mengenai kekuatan cinta, penerimaan diri, dan berdamai dengan kehilangan. Dalam penanganan yang tepat, pesan-pesan klise semacam ini dapat menyentuh hati sekaligus menginspirasi penonton. Masalahnya, Ava DuVernay berusaha terlalu keras agar pesan tersebut dapat mengena sampai-sampai dia tidak menyadari bahwa filmnya ini terasa begitu palsu. Dipaksakan. Dialog luar biasa ceriwisnya yang tidak jauh-jauh dari “kamu harus tetap menjadi dirimu sendiri!” atau “kamu itu penuh bakat!” muncul secara terus menerus seakan tidak tahu kapan harus berhenti. Alhasil, daun telinga serasa mau rontok saking capeknya mendengar pengulangan pesan. Ini mungkin tidak akan terdengar seburuk itu apabila A Wrinkle in Time memiliki guliran pengisahan mengikat maupun parade akting mumpuni yang memungkinkan kita seolah terlibat ke dalam film (ingat The Help?). Masalahnya (lagi! Film ini benar-benar penuh masalah!), dua-duanya tidak bisa kamu jumpai di sini. 

Ya, disamping dialog bak dilontarkan oleh motivator kelas teri, A Wrinkle in Time terasa sangat melelahkan untuk disimak lantaran penuturannya yang lambat dan hambar. Penonton cilik mungkin akan terkantuk-kantuk begitu mendapati laju film nyaris tak bergerak selama setengah jam awal, sedangkan penonton dewasa bakal garuk-garuk kepala ditengah-tengah upaya memahami kemauan si pembuat film sampai kemudian tiba pada kesimpulan: A Wrinkle in Time ini sungguh film yang pretensius. Berbicara kesana kemari, mengutarakan istilah-istilah rumit, hanya demi menegaskan tentang kekuatan cinta? Oh, come on! Ketimbang fokus pada “cara membuat film agar kelihatan pintar”, DuVernay semestinya lebih fokus pada “cara mempermainkan emosi penonton” karena A Wrinkle in Time hampir tidak mempunyainya yang sedikit banyak menyulitkan kita untuk menjalin ikatan kepedulian dengan karakter-karakternya. Terlebih lagi, barisan pemainnya pun tidak dapat berbuat apa-apa. Storm Reid sebagai remaja bermasalah dan Deric McCabe sebagai adik angkat yang jenius memang menyumbangkan lakon apik ditengah segala keterbatasan yang melingkungi, akan tetapi trio Oprah Winfrey-Reese Witherspoon-Mindy Kaling terlihat begitu kikuk sampai-sampai berulang kali memunculkan ‘awkward moment’ tanpa disengaja. Kalau sudah begini, apa yang bisa diharapkan? Menengok gelontoran bujet yang tidak main-main, jawaban dari tanya tersebut adalah visual. Itupun jangan diharapkan banyak-banyak karena tidak jarang visualnya hanya sedikit lebih baik dari pemandangan di screensaver.


Poor (2/5)

Sabtu, 02 Desember 2017

REVIEW : COCO

REVIEW : COCO


“Never forget how much your family loves you.” 

Melalui Inside Out (2015) yang amat inovatif baik dari sisi cerita maupun visual dan Finding Dory (2016) juga bisa dikatakan sebagai sekuel yang baik, Pixar membuktikan bahwa mereka masih mempunyai sentuhan magis. Namun kehadiran The Good Dinosaur (2016) dan Cars 3 (2017) yang kurang mampu memenuhi ekspektasi – untuk ukuran film kreasi Pixar, keduanya terhitung medioker – lagi-lagi menyurutkan harapan bahwa studio animasi terbesar di dunia ini masih bisa diandalkan. Apakah mungkin keajaiban ide dan presentasi yang ditawarkan oleh Inside Out bukan sebatas keberuntungan belaka? Bisa jadi memang sebatas keberuntungan. Itulah mengapa saya tidak terlalu meyakini produk terbaru mereka, Coco, yang guliran kisahnya didasarkan pada perayaan tahunan di Meksiko, Dia de Muertos (pada hari ini dipercaya mereka yang sudah tiada kembali ke dunia untuk mengunjungi sanak saudara yang masih hidup), sekaligus sedikit banyak mengingatkan ke The Book of Life (2014) yang mempunyai fondasi kisah senada. Jika ada yang kemudian membuat hati ini tergerak untuk menyimak Coco, maka itu adalah rasa ingin tahu terhadap bagaimana Pixar bermain-main dengan kultur Meksiko serta keterlibatan Lee Unkrich (sutradara film favorit saya, Toy Story 3) di kursi penyutradaraan. Memboyong sikap skeptisisme ke dalam gedung bioskop, tanpa disangka-sangka saya mendapatkan kejutan sangat manis dari Coco

Karakter utama dalam Coco adalah seorang bocah berusia 12 tahun bernama Miguel Rivera (Anthony Gonzalez) yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga pembuat sepatu serta mengharamkan permainan musik secara turun temurun. Larangan bermusik ini mencuat usai nenek canggah Miguel yang telah dikaruniai seorang putri bernama Coco (Ana Ofelia Murguia) ditelantarkan begitu saja oleh sang suami yang pergi berkelana demi menggapai mimpinya sebagai seorang musisi. Alhasil, Miguel yang memiliki bakat besar dalam hal memainkan alat musik serta berdendang ria pun mau tak mau mesti menjalani passion-nya ini secara sembunyi-sembunyi dan tidak pernah mengetahui identitas sebenarnya dari sang kakek canggah yang telah dihempaskan dari silsilah keluarga. Konflik internal dalam keluarga Rivera ini mencapai puncaknya pada perayaan Dia de Muertos kala Miguel mencoba untuk membuktikan kepada anggota keluarganya bahwa tidak ada yang salah dengan musik dan dia berupaya untuk berpartisipasi dalam kompetisi lokal. Keputusan Miguel yang membuat berang sang nenek (Renee Victor) sampai-sampai gitar miliknya dipatahkan ini membawa si bocah pada tindakan nekat, yakni mengambil gitar milik penyanyi legendaris Ernesto de la Cruz (Benjamin Bratt) di makamnya. Tindakan nekat tersebut seketika menghantarkan Miguel memasuki Dunia Orang Mati dan mempertemukannya dengan para leluhurnya.


Dibandingkan rekan-rekan sejawatnya sesama pembuat film animasi, Pixar memang bisa dibilang berada di level yang berbeda terutama dalam kaitannya memperhatikan detil-detil rumit dalam pembuatan animasinya sehingga terlihat amat nyata di mata penonton. Tengok saja bagaimana mereka mengkreasi helai bulu Sulley dalam Monsters University (2013), ekosistem bahari pada Finding Dory, atau beragam jenis mobil di Cars 3. Menakjubkan. Coco sebagai rilisan terbaru mereka pun tidak jauh berbeda. Sedari menit-menit pembuka, Coco telah membuat diri ini terperangah dengan keajaiban visualnya yang tergarap mendetail. Penggambaran sudut-sudut desa yang menjadi kampung halaman keluarga Rivera terlihat seperti dicuplik dari rekaman gambar yang diambil langsung di lokasi ketimbang rekaan para animator menggunakan komputer, kerutan-kerutan yang menghiasi kulit wajah nenek Coco, potongan adegan film klasik yang dibintangi Ernesto di televisi, sampai kelenturan jari jemari Miguel kala memetik senar gitar. Ini semua diperoleh, bahkan sebelum si protagonis menjejakkan kaki di Dunia Orang Mati yang menghadirkan tampilan visual yang lebih gila dan inovatif. Sulit untuk tidak berdecak kagum saat kamu melihat apa yang bisa diperbuat oleh para tengkorak dalam gerak langkahnya dan panorama penuh warna yang ditawarkan di Dunia Orang Mati. 

Bagusnya, Coco enggan untuk mengorbankan guliran pengisahannya demi mencapai visual yang berada di kelas premium itu. Racikan kisah dari Unkrich dan Adrian Molina yang mengusung tema utama seputar kematian serta keluarga dengan pendekatan yang cenderung riang (sehingga bisa dikudap oleh penonton cilik) sanggup menempatkan penonton Coco dalam tiga fase emosi seperti bersemangat, tertawa, hingga tersedu-sedu. Tiga fase emosi yang sukar dijumpai saat menyaksikan The Good Dinosaur maupun Cars 3 tempo hari. Fase bersemangat dipantik oleh guliran kisah petualangan Miguel menyusuri Dunia Orang Mati demi menjumpai sang idola, Ernesto, dan upaya para leluhurnya untuk membawanya pulang ke Dunia Orang Hidup yang dipenuhi lika-liku dalam prosesnya. Fase tertawa muncul berkat humor-humor kocak yang menyertai perjalanan Miguel, terutama dari Hector (Gael Garcia Bernal) yang membantunya melacak keberadaan Ernesto. Dan fase tersedu-sedu bersumber dari pesan klasik namun tetap relevan yang disodorkan oleh Coco; tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain keluarga. Bangunan karakter yang mudah untuk diberikan simpati (penonton secara sukarela memberi dukungan penuh kepada Miguel untuk menggapai mimpinya) membuat setiap emosi yang tersemat dalam sejumlah momen dapat tersalurkan seperti semestinya. Kemampuan Coco untuk memanjakan mata penonton melalui visual dan membuai hati melalui tuturan kisahnya ini menjadi bukti bahwa Pixar memang masih belum kehilangan sentuhan magisnya sama sekali. Warbiyasak!

Note : Jangan datang terlambat karena sebelum film dimulai, terdapat sebuah film pendek bertema Natal yang menampilkan karakter-karakter dari Frozen berjudul Olaf's Frozen Adventure.

Outstanding (4/5)


Jumat, 22 September 2017

REVIEW : GERBANG NERAKA

REVIEW : GERBANG NERAKA


“Yang dibutuhkan Indonesia itu sains, bukan klenik.” 

Jika kamu selama ini mengeluhkan kurangnya variasi genre dalam perfilman tanah air, rilisan terbaru rumah produksi Legacy Pictures bertajuk Gerbang Neraka yang menawarkan tema baru ini semestinya tidak kamu lewatkan begitu saja. Memiliki judul awal Firegate: Piramida Gunung Padang, film garapan Rizal Mantovani (Kuntilanak, 5 cm) ini menancapkan jejak utamanya di genre petualangan yang sebelumnya pernah coba dieksplorasi oleh sineas tanah air melalui Ekspedisi Madewa (2006) dan Barakati (2016) yang mungkin tidak terlalu familiar di telinga sebagian besar penonton tanah air. Yang lantas membedakan Gerbang Neraka dari kedua judul tersebut adalah Rizal bersama Robert Ronny selaku penulis skenario memadupadankannya dengan fantasi dan horor demi meningkatkan daya tariknya ke publik. Gagasan penceritaan untuk filmnya sendiri tercetus berkat keriuhan yang melingkungi situs punden berundak Gunung Padang di Jawa Barat pada tahun 2014 silam. Berbagai temuan para peneliti melahirkan sejumlah spekulasi dari berbagai pihak yang salah satu paling santer terdengar menyatakan adanya piramida berusia sangat tua (konon usianya melebihi Piramida Giza di Mesir!) yang terkubur di bawah Gunung Padang. Sebuah spekulasi yang jelas sangat menggiurkan untuk diejawantahkan menjadi tontonan layar lebar, bukan? 

Guna menggulirkan roda penceritaan, Gerbang Neraka menetapkan tiga karakter sebagai sorotan utama. Mereka adalah seorang jurnalis tabloid mistis yang mengorbankan idealismenya demi memberi penghidupan layak bagi anak istrinya bernama Tomo (Reza Rahadian), seorang dosen arkeologi yang memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan bernama Arni (Julie Estelle), serta seorang ahli spiritual yang memanfaatkan kemampuannya untuk mengejar ketenaran bernama Guntur Samudra (Dwi Sasono). Ketiga manusia yang memiliki visi saling bertolak belakang ini saling dipertautkan usai proses eskavasi situs Piramida Gunung Padang yang melibatkan sejumlah arkeolog terbaik Indonesia termasuk Arni justru mendatangkan malapetaka. Satu persatu personil yang menemukan kebenaran tersembunyi dibalik Piramida Gunung Padang meregang nyawa dengan cara tak wajar. Dilingkupi kepenasaran yang membuncah mengenai sabab musabab tewasnya rekan-rekan kerjanya, Arni pun mau tak mau bekerjasama dengan Tomo dan Guntur yang telah menunjukkan ketertarikan pada situs ini sedari awal. Dari penelusuran bersama, mereka mendapati bahwa ada sosok jin penunggu bernama Badurakh yang berusaha untuk menghalangi para manusia membuka Piramida Gunung Padang. Larangan Badurakh ini bukannya tanpa alasan karena apa yang bersemayam di dalam piramida dapat menghancurkan peradaban manusia.


Telah dirampungkan sedari tahun 2015, nyatanya membutuhkan waktu hingga dua tahun bagi Gerbang Neraka untuk akhirnya dilempar secara resmi ke hadapan publik. Salah satu faktor pemicunya yakni kebutuhan untuk menyempurnakan CGI yang memang memegang andil besar dalam memvisualisasikan Piramida Gunung Padang dan Badurakh. Pengorbanan selama dua tahun demi memperhalus tampilan ini untungnya terbayar impas dengan hasilnya yang sama sekali tidak mengecewakan dan bisa dikata merupakan salah satu yang paling mulus dalam perfilman Indonesia. Efek khusus Gerbang Neraka mampu memberikan kita gambaran tergolong meyakinkan mengenai semesta berikut mitologi bentukan si pembuat film, seperti bagaimana wujud si jin penunggu dan seperti apa bentuk situs prasejarah incaran banyak pihak tersebut. Skripnya memang tidak sepenuhnya rapi – masih meninggalkan satu dua pertanyaan yang semestinya bisa dielaborasi lebih mendalam – namun memiliki daya cengkram cukup kuat yang menggelitik rasa penasaran penonton untuk mengetahui perihal rahasia nenek moyang yang terkubur di dalam Piramida Gunung Padang. Apakah ada sesuatu yang berharga di sana? Atau justru tersimpan sesuatu yang berbahaya? Apabila ya, apakah itu? Mengapa sosok Badurakh berusaha untuk menutup-nutupinya dari para manusia? 

Keinginan untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut ditambah lagi adanya sempilan berupa sentilan sentilun terhadap situasi sosial Indonesia masa kini membuat saya tertarik mengikuti penceritaan Gerbang Neraka yang tanpa dinyana-nyana mampu dilantunkan secara mengasyikkan. Rizal Mantovani yang belakangan ini tampak kesulitan menyampaikan cerita yang menghibur melalui medium audio visual, akhirnya dapat menemukan ritmenya kembali disini. Tidak selalu mulus, terkadang penggunaan jump scare untuk membuat penonton terlonjak agak berlebihan dan humornya beberapa kali terasa janggal, akan tetapi Rizal cukup berhasil menjadikan kisah petualangan trio Tomo-Arni-Guntur terasa enak untuk disimak. Beruntung bagi Rizal, ada sokongan mumpuni yang diperolehnya dari iringan musik gubahan Andi Rianto yang diberi sentuhan etnik dan jajaran pemain yang menghadirkan performa gemilang. Reza Rahadian sekali lagi menunjukkan karisma kuat sebagai lead, Julie Estelle berhasil melakonkan karakter perempuan cerdas pula tangguh, Dwi Sasono meniupkan elemen komedik pada film (ada semacam ambiguitas antara karakternya memang sengaja dibentuk agak komikal atau ada pengaruh dari peran yang dibawakannya di sitkom), serta Lukman Sardi dalam peran mengejutkan di klimaks yang mengusik pemikiran. Berkat kombinasi baik dari unsur-unsur tersebut, Gerbang Neraka yang mengusung konsep segar ini pun berhasil tersaji sebagai tontonan yang menghibur sekaligus menjadi salah satu kejutan manis bagi perfilman Indonesia tahun ini.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Senin, 26 Juni 2017

REVIEW : SWEET 20

REVIEW : SWEET 20



“Mbak, pernah ada nggak yang nyuruh kamu untuk ngebuang muka rombeng kamu?” 

Bagaimana jadinya saat seorang nenek berusia 70 tahun yang luar biasa bawel dan menjengkelkan memperoleh kesempatan kedua untuk memperbaiki hidupnya usai secara tiba-tiba berubah menjadi perempuan muda berusia 20 tahun? Premis menggelitik yang sejatinya bukan juga sesuatu baru dalam khasanah film komedi keluarga berbasis fantasi ini lantas diterjemahkan oleh sineas Korea Selatan, Hwang Dong-hyuk, ke dalam sajian berpenggarapan apik bertajuk Miss Granny. Dilepas di bioskop pada tahun 2014, Miss Granny memperoleh sambutan luar biasa hangat dari khalayak ramai dan berujung pada dipinangnya hak cipta pembuatan versi lokal untuk film keluaran CJ Entertainment ini oleh berbagai negara. Dimulai dari Cina yang mendaur ulangnya melalui 20 Once Again, berturut-turut negara lain mengikuti yakni Vietnam (Sweet 20), Jepang (Ayashii Kanojo), Thailand (Suddenly 20), Filipina (segera tayang) hingga Indonesia yang menggunakan judul serupa dengan versi Vietnam. Menunjuk Ody C Harahap (Kapan Kawin?, Me Vs Mami) untuk menduduki kursi penyutradaraan, Sweet 20 produksi Starvision dimeriahkan barisan pelakon papan atas tanah air seperti Tatjana Saphira, Slamet Rahardjo, Niniek L Karim, Widyawati, Morgan Oey, sampai Lukman Sardi yang bisa dikata merupakan salah satu kekuatan utama yang dimiliki film.

Si nenek berusia 70 tahun yang bawel pula bikin gregetan dalam Sweet 20 bernama Fatmawati (Niniek L Karim). Dia tinggal bersama keluarga dari putra semata wayangnya, Aditya (Lukman Sardi), yang berprofesi sebagai dosen. Fatmawati amat sangat menyayangi Aditya dan cucu laki-lakinya, Juna (Kevin Julio), namun begitu sinis terhadap menantunya, Salma (Cut Mini), yang dipandangnya kurang becus mengurus rumah tangga serta cucu perempuannya, Luna (Alexa Key), yang tak memiliki kegiatan. Selepas suatu insiden yang menyebabkan Salma terbaring di rumah sakit, Fatma tanpa sengaja mencuri dengar obrolan antara Aditya beserta kedua anaknya mengenai rencana memindahkan Fatma ke panti jompo. Merasa dikecewakan oleh putra kesayangannya, Fatma meninggalkan rumah tanpa pamit. Di tengah kesendiriannya dalam suatu malam, Fatma menemukan sebuah studio foto dan memutuskan untuk mengambil foto demi pemakamannya kelak. Terkesan seperti studio foto biasa dari tampilan luar, nyatanya selepas Fatma difoto, fisiknya mengalami transformasi hingga 50 tahun lebih muda. Demi menghindari kecurigaan, Fatma pun mengubah identitasnya menjadi Mieke (Tatjana Saphira) sesuai nama artis idolanya, Mieke Wijaya, dan menyewa sebuah kamar di rumah kawan baiknya, Hamzah (Slamet Rahardjo), yang diam-diam menaruh hati. Menjelma menjadi gadis berusia 20 tahun, Mieke lantas memanfaatkannya untuk mewujudkan mimpinya menjadi penyanyi sekaligus memperbaiki hubungan dengan orang-orang terdekatnya. 

Menilik statusnya sebagai remake (resmi ya, bukan jiplakan!), tentu sama sekali tidak bisa dihindarkan bahwa guliran pengisahan yang diusung oleh Sweet 20 akan memiliki banyak sekali keserupaan dengan materi sumbernya, Miss Granny. Keserupaan yang lantas menuntun pada bermunculannya tanggapan-tanggapan sinis di dunia maya mengenai menciutnya daya kreativitas si pembuat film. Tunggu dulu, siapa bilang bikin remake tidak butuh kreativitas? Yang kerap disalahpahami oleh netizen, remake berarti sekadar copy paste plek ketiplek tiplek dari versi terdahulu tanpa sedikitpun memberikan corak tersendiri bagi versi termutakhir. Kenyataannya tidak sesederhana itu, saudara-saudara. Ketika film yang disadur berasal dari era apalagi negara dengan kultur berbeda, penyesuaian perlu dilakukan demi menghindari ‘lost in translation’ (Yes, I am looking at you, Love You Love You Not!). Disinilah sutradara berikut peracik skrip mesti memutar otak – mengerahkan seluruh kreativitas yang dimiliki – sehingga film saduran dapat tertranslasi secara baik. Apabila kamu telah mencicipi setidaknya sebagian besar produk olahan baru dari Miss Granny, jelas bakal menyadari bahwasanya ada pembeda di setiap versi. Paling terpampang nyata terletak pada pemilihan tembang-tembang kenangan khas masing-masing negara yang dibawakan sang protagonis, sementara pembeda lainnya dapat dicecap lewat lontaran-lontaran humor yang disesuaikan dengan budaya atau ‘kearifan lokal’ dari negara si pembuat. Mudahnya, serupa tapi tak sama.


Dalam Sweet 20, Ody C Harahap dan Upi selaku penulis skenario menyelipkan keriuhan jelang sungkem Lebaran, meriahnya orkes jalanan, dan sinetron stripping yang episodenya tak berkesudahan sebagai bagian dari ‘kearifan lokal’ yang berfungsi untuk memantik tawa. Hasilnya? Tidak buruk sama sekali. Malah boleh dibilang berhasil terutama adegan Mieke yang menempelkan koyo di kepalanya tengah menonton sinetron bersama Hamzah. Perhatikan ekspresi pemain sinetron! Dengarkan dialog yang pemain sinetron lontarkan! Perhatikan pula bagaimana Mieke dan Hamzah ikut gregetan menunggu datangnya moment of truth dalam adegan di sinetron! Sangat, sangat kocak. Tanpa perlu dikomando, seluruh penonton di tempat saya menonton film ini serempak tertawa terbahak-bahak. Inilah momen paling pecah dalam Sweet 20, namun bukan satu-satunya yang mengundang gelak tawa heboh. Film yang nada penceritaannya telah menggila sedari mula ini juga mempersembahkan kegilaan maksimal tatkala anggota band Mieke beserta Juna berkunjung ke taman ria bersama Hamzah dan produser acara musik di televisi, Alan (Morgan Oey), lalu saat Hamzah menjelaskan kepada Aditya dan Salma mengenai perkembangan terbaru keberadaan Fatma, pertengkaran dua nenek-nenek genit memperebutkan Hamzah, makan malam pertama antara Mieke dengan Juna yang disisipi kesalahpahaman, dan masih ada beberapa adegan kocak lainnya yang rasa-rasanya sayang jika dijabarkan seluruhnya. 

Kejelian Ody C Harahap dalam mengatur timing yang tepat untuk melontarkan bom-bom humor memang telah terbukti di Kapan Kawin? dan Me Vs Mami. Akan tetapi melalui Sweet 20, kapabilitasnya kian terkonfirmasi. Beruntung bagi Ody karena dia dianugerahi pemain ansambel yang menyuguhkan lakon sungguh prima dalam Sweet 20. Dari Tatjana Saphira yang sanggup membuktikan bahwa hanya tinggal menunggu baginya untuk melesat ke jajaran pemain kelas A di perfilman tanah air dengan kecakapannya menghidupkan sosok Mieke yang merupakan nyawa bagi film sampai-sampai kita meyakini bahwa dia memang seorang nenek yang terjebak di tubuh seorang gadis, kemudian trio pemain senior Slamet Rahardjo-Niniek L Karim-Widyawati yang tampak begitu bersenang-senang dengan karakter yang mereka perankan, lalu kolaborasi pemain muda seperti Kevin Julio yang mengisi momen komedik dan Morgan Oey yang berkontribusi dalam momen romantik, ada pula Lukman Sardi yang ditugaskan untuk memberi sentuhan dramatik pada film khususnya di klimaks yang hangat pula mengharu biru, sampai penampilan singkat namun meninggalkan kesan mendalam dari Tika Panggabean, Alexa Key, Barry Prima, McDanny, Joe P Project, dan Aliando Syarief. 

Ya, pemain ansambel ini merupakan salah satu kekuatan utama yang dipunyai Sweet 20 disamping lontaran-lontaran kelakar yang tepat mengenai sasaran, tembang-tembang lawas pengiring film yang melebur mulus macam “Layu Sebelum Berkembang”, “Payung Fantasi”, dan “Selayang Pandang”, serta muatan emosional yang bekerja secara efektif. Dengan kombinasi maut semacam ini, tepatlah kiranya menyebut Sweet 20 sebagai sebuah tontonan hiburan menyenangkan untuk seluruh keluarga kala liburan sekaligus remake yang sangat pantas bagi Miss Granny. Bahkan, termasuk salah satu yang terbaik. Menghibur, lucu, dan hangat. Sungguh sebuah obat pelepas penat yang mujarab. Pecah! 

Outstanding (4/5)




Kamis, 08 Juni 2017

REVIEW : THE MUMMY

REVIEW : THE MUMMY


“Welcome to a new world of gods and monsters.” 

Disamping keranjingan mengeruk pundi-pundi dollar melalui sekuel, remake, reboot, atau apalah-apalah itu sebutannya, studio-studio raksasa di Hollywood tengah menggemari cara lain untuk membentuk sebuah franchise yakni menciptakan shared universe yang menghubungkan sejumlah judul film menggunakan ‘tali pengait’ berbentuk karakter, plot, sampai bangunan dunianya. Semesta-semesta film yang mengemuka dalam beberapa tahun terakhir antara lain Marvel Cinematic Universe, DC Extended Universe, MonsterVerse, hingga paling anyar Dark Universe yang menyatukan sederet makhluk jejadian legendaris dari dunia fiksi semacam Dracula, Frankenstein, Invisible Man, serta Wolf Man. Diinisiasi oleh Universal Pictures, Dark Universe mencoba mengawalinya dengan versi paling mutakhir The Mummy yang menggaet Tom Cruise untuk menempati garda terdepan menggantikan posisi Brendan Fraser dari trilogi sebelumnya dan menempatkan Alex Kurtzman yang lebih berpengalaman sebagai produser di kursi penyutradaraan. Apakah ini berhasil? Well, sayangnya saya harus mengatakan bahwa The Mummy versi Tom Cruise yang mengawinkan beragam genre ini bukanlah suatu upaya yang berhasil untuk memperkenalkan penonton kepada sebuah semesta film baru. Tidak buruk, hanya saja jauh dari kata greget. 

Dalam The Mummy, Tom Cruise memerankan seorang tentara Amerika Serikat bernama Nick Morton yang tengah ditugaskan di Irak. Guna menghabiskan waktu luangnya (atau memang pada dasarnya dia tidak pernah menjalankan kewajibannya sebagai tentara? Dunno), Nick mengajak serta rekannya, Chris Vail (Jake Johnson), untuk berburu barang-barang antik bernilai tukar tinggi. Dalam perburuan terbaru, Nick mencuri peta dari seorang arkeolog, Jenny Halsey (Annabelle Wallis), yang mengantarkannya pada sebuah makam. Belakangan diketahui, makam tersebut menyimpan sebuah sarkofagus yang ‘dihuni’ oleh mumi Putri Ahmanet (Sofia Boutella) yang dibuang jauh-jauh dari Mesir selepas sang putri membunuh ayahnya yang notabene seorang raja berpengaruh dan adik tiri laki-lakinya lantaran tidak beroleh kesempatan untuk berkuasa. Keinginan untuk menyelidiki lebih jauh tentang Ahmanet membuat Jenny berinisiatif memboyong sang mumi ke London. Sebuah keputusan yang tidak bijak, tentu saja, karena perjalanan ini membangunkan Ahmanet dari tidur panjangnya. Ahmanet yang dikuasai amarah dan kebencian berencana melancarkan agendanya untuk menciptakan kekacauan di dunia berbekal pisau sakti milik dewa kegelapan, Set. Berpacu dengan waktu, Nick dan Jenny pun harus bekerjasama untuk menghentikan rencana Ahmanet atau kekuatan gelap akan menguasai dunia.


Apabila menengok presentasi yang digeber lewat trailernya, The Mummy seolah menjanjikan tontonan petualangan yang seru dan mendebarkan. Tidak juga sepenuhnya salah, toh kita mendapati kesan tersebut di separuh awal durasi yang gegap gempita. Bisa dikata, beberapa menit sekali ada kemeriahan yang menyeruak menghiasi layar bioskop. Mula-mula penonton diajak mengikuti ekspedisi penelusuran peta milik Jenny di Irak yang berlangsung mengasyikkan serta membangkitkan semangat untuk mengikuti lantunan kisah dalam film. Lalu berlanjut pada detik-detik jatuhnya pesawat yang sekalipun telah cukup sering disimak lewat materi promosi, masih berhasil memberikan ketegangan yang dibutuhkan. Inilah momen terbaik yang dipunyai oleh The Mummy sekaligus (sedihnya) momen puncak. Ya, selepas sekuens kandasnya pesawat dan latar penceritaan film dialihkan ke Britania Raya, daya cengkram berangsur-angsur mulai mengendur terhitung semenjak sang villain utama melahap mangsa-mangsanya. Ini tentu terasa ironis karena kebangkitan Putri Ahmanet yang seharusnya menjadi titik lontar dimana ketegangan mengalami eskalasi malah menjadi titik awal dimana film mengalami kemunduran. Seolah-olah sang mumi turut menghisap habis jiwa dari The Mummy sehingga sisa durasi pun berjalan gontai. 

Alex Kurtzman tampak kebingungan dalam menentukan nada penceritaan yang jelas bagi film. Elemen laga petualangan, horor, serta komedi dicampurbaur sesuka hati yang berdampak pada masing-masing tersaji setengah matang. Sisi laganya kurang menghentak (tak ada momen berkesan seperti badai gurun membentuk wajah di The Mummy terdahulu), sisi horornya tidak meneror (errr.. lebih banyak zombie ketimbang mumi di sini), dan sisi komedinya seringkali mentah sampai-sampai sulit mengundang derai tawa lepas. Alhasil, The Mummy terasa sungguh melelahkan nan menjemukan buat disimak. Pengarahan sang sutradara yang kurang efektif turut diperparah pula oleh susunan naskah berantakan dari trio David Koepp, Christopher McQuarrie, dan Dylan Kussman sampai-sampai tidak menyisakan ruang bagi perkembangan karakter. Jangan harap kamu bisa bersorak memberikan semangat kepada Tom Cruise, Annabelle Wallis, maupun Jake Johnson seperti yang bisa kamu lakukan kepada Brendan Fraser, Rachel Weisz, serta John Hannah dari The Mummy gubahan Stephen Sommers keluaran tahun 1999 (yang sungguh mengasyikkan itu!) karena tidak ada chemistry diantara mereka. 

Bahkan, karakter masing-masing pun amat hampa. Tom Cruise ya Tom Cruise yang terbantu karisma kuatnya sehingga penonton masih berkenan untuk peduli pada sosok Nick, Annabelle Wallis tidak lebih dari sekadar damsel in distress, dan Sofia Boutella sebagai villain pun lebih sering terbantu oleh make-up ketimbang benar-benar menguarkan aura berbahaya terlebih motivasi atas tindakannya serasa dibuat-buat. Jika ada yang sanggup menandingi Tom Cruise, maka itu adalah Russell Crowe (memerankan karakter ikonik) yang seperti halnya Cruise, terhalangi potensinya oleh naskah. Pada akhirnya menonton ulang The Mummy versi Fraser untuk kesekian kalinya masih terasa lebih menyenangkan ketimbang menyaksikan The Mummy versi Cruise. Sayang sekali. Semoga saja instalmen berikutnya dalam Dark Universe mampu menebus kesalahan dari tontonan ini.

Acceptable (2,5/5)


Sabtu, 03 Juni 2017

REVIEW : WONDER WOMAN

REVIEW : WONDER WOMAN


“I used to want to save the world, this beautiful place. But the closer you get, the more you see the great darkness within. I learnt this the hard way, a long, long time ago.” 

Sejujurnya, kepercayaan terhadap film-film hasil adaptasi komik keluaran DC Comics yang tergabung dalam DC Extended Universe (DCEU) telah menguap semenjak dikecewakan secara berturut-turut oleh dua film terakhirnya yang menjemukan serta sarat akan pesimisme, Batman v Superman: Dawn of Justice dan Suicide Squad. Kemuraman nada maupun pesan yang menghiasi kedua film tersebut nyatanya berimbas ke diri ini yang ditandai pupusnya harapan bakal memperoleh tontonan superhero berkualitas jempolan dari penghasil pahlawan-pahlawan fiktif berkekuatan mahadahsyat yang ikonik ini. Semacam, hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan masa depan DCEU. Tatkala ekspektasi tidak lagi ditanamkan, keragu-raguan lebih sering mencuat, keajaiban yang didambakan justru datang menghampiri. Keajaiban yang diiringi setitik harapan tersebut dihantarkan oleh sutradara perempuan Patty Jenkins (Monster) melalui Wonder Woman yang menandai debutnya dalam mengarahkan film berskala blockbuster. Seolah telah belajar dari kesalahan film terdahulu, Wonder Woman menjauhkan diri dari nada penceritaan bermuram durja dan merangkul erat sikap optimistis yang menjadikannya terasa berenergi sekaligus menguarkan rasa beserta emosi yang kuat. Ya, Wonder Woman bukan saja akan membuatmu bersemangat oleh rangkaian aksi plus pesan positifnya tetapi juga tertawa oleh humornya dan tersentuh oleh sederet momen emosionalnya. 

Dalam menuturkan kisahnya, Wonder Woman menggunakan pendekatan origin story yang berarti membawa penonton untuk menelusuri jejak rekam sang heroine di masa-masa awal – atau jauh sebelum berkolaborasi dengan Bruce Wayne maupun Clark Kent guna memberangus Doomsday. Latar waktunya adalah ketika Perang Dunia I berkecamuk dengan lokasi berlangsungnya kisah terbagi ke empat tempat; Prancis, Inggris, Belgia, dan Themyscira. Yang terakhir disebut, merupakan sebuah pulau dimana Diana Prince (Gal Gadot) – sosok dibalik kostum Wonder Woman – bersama perempuan-perempuan bangsa Amazon lain tumbuh dan ditempa sebagai prajurit tangguh demi mengantisipasi kemunculan Ares, dewa perang, yang mungkin saja sewaktu-waktu menyerang. Konflik dalam film mulai mengemuka semenjak pesawat dari seorang pilot Amerika, Steve Trevor (Chris Pine), kandas di perairan Thermyscira. Cerita Steve mengenai perang besar antar negara yang tengah berkecamuk di dunia luar, menggugah Diana untuk meninggalkan kampung halamannya dan berjuang demi kemanusiaan. Diana sendiri meyakini, kekacauan ini ada sangkut pautnya dengan Ares. Berbekal intuisi tersebut dan pedang God-killer, Diana pun meminta bantuan Steve beserta rekan-rekannya untuk menemaninya melangkah ke garda terdepan karena satu-satunya cara mengakhiri peperangan adalah dengan menundukkan Ares. Dan satu-satunya orang yang mempunyai kemampuan untuk menundukkan Ares adalah Diana, darah daging Zeus sekaligus saudari tiri Ares.


Tidak membutuhkan waktu lama untuk jatuh hati, lalu terpikat pada Wonder Woman. Semenjak lanskap meneduhkan mata dari negeri utopia Thermyscira terhampar di layar, penonton telah terpanggil untuk menaruh atensi. Bukan sekadar pameran visualisasi indah hasil dari kinerja kolaboratif antara penata kamera, penata artistik, penata kostum serta tim efek khusus, ada penceritaan menarik buat disimak yang disiapkan oleh Patty Jenkins agar penonton mengenal lebih mendalam mengenai sosok Diana Prince. Mengenal asal usulnya, mengenal karakteristiknya, sampai mengenal motivasi atas segala keputusan-keputusannya. Dikondisikan untuk benar-benar terhubung pada sang karakter tituler, tidak mengherankan jika film melangsungkan durasi penceritaan cukup panjang di Thermyscira demi menampakkan tumbuh berkembangnya Diana. Tatkala dia melontarkan niatan untuk bergabung dengan Steve menuju ke ‘dunia luar’ yang berarti meninggalkan kampung halamannya seraya mengucap “how will I be if I stay?” kepada sang ibunda, Queen Hippolyta (Connie Nielsen), kita pun bisa memahaminya. Malah, tidak saja memahami, melainkan mendukung penuh keputusan besar yang diambilnya. Mengetahui fakta bahwa kemungkinan Diana berjumpa lagi dengan kaumnya amatlah kecil, adegan perpisahan ini pun menghasilkan momen emosional bagi film. Bukan kali pertama, karena sebelum mencapai titik ini, emosi penonton telah dibuat bergejolak terlebih dahulu oleh sebuah kehilangan yang turut melandasi mencuatnya niatan Diana untuk mengakhiri peperangan. 

Tunggu, tunggu, kehilangan dan perpisahan? Bukankah dua kata kunci itu melambangkan kemuraman? Memang betul, hanya saja dosis yang diinjeksikan dalam Wonder Woman masih dalam batas sewajarnya. Lagipula, Diana membawa harapan melalui kombinasi antara keberaniannya, kecerdasannya, dan kekuatan tekadnya demi mencapai misi utamanya untuk menegakkan perdamaian di dunia. Tidak ada pandangan pesimistis, Patty justru ingin pula mengedepankan soal women empowerment dalam tuturan kisah. Kita pun sempat juga menengok pertarungan seru pembangkit semangat dan lontaran humor-humor penggelitik urat syaraf sewaktu masih di Thermyscira. Kuantitasnya lantas dilipatgandakan begitu film berpindah latar tempat ke London. Derai-derai tawa banyak bermunculan di sini akibat menengok gegar budaya yang dialami oleh Diana. Lihatlah pada adegan emas saat Diana mencoba-coba pakaian bersama sekretaris Steve, Etta Candy (Lucy Davis), untuk dikenakannya dalam penyamaran. Lucu sekali! Komentar-komentar sosial mengenai seksisme dan rasisme sempat pula disisipkan secara efektif ke beberapa dialog yang sedikit banyak menambah daya tarik bagi Wonder Woman. Dan jika kita berbicara soal daya tarik film, maka sesungguhnya itu terletak pada performa penuh karisma dari dua pelakon utamanya, Gal Gadot dan Chris Pine, yang mempersembahkan chemistry menyengat sehingga secara otomatis penonton pun bersorak sorai untuk keduanya. 

Ikatan diantara mereka terbentuk secara bertahap dan meyakinkan dengan prosesnya tergambar jenaka yang seiring mengalirnya durasi terasa semakin romantis. Ketika keduanya secara resmi memproklamirkan adanya benih-benih asmara di pedesaan Belgia, muncul keinginan untuk melihat Diana dan Steve bersatu pada akhirnya. Tapi seperti halnya Steve Rogers dengan Peggy Carter dari Captain America, keduanya berasal dari ‘dunia’ berbeda. Jadi apakah mungkin harapan ini dapat terwujud? Sepintas terdengar cemen, namun sulit dipungkiri bahwa keberadaan elemen romansa yang cenderung sentimentil ini justru kian memperkaya rasa dan emosi dalam Wonder Woman. Sensitivitas sang sutradara menunjukkan kontribusi pentingnya disini. Turut membantu memperkaya elemen laga dari Wonder Woman yang terorkestra secara apik pula seru agar mempunyai impak lebih terhadap penonton terutama dalam pertempuran di bibir pantai Thermyscira dan momen pertama kalinya Diana memasuki medan peperangan dan turut membantu memberikan penutup yang layak, manis, sekaligus mengharu biru bagi Wonder Woman di kala konfrontasi akhir yang mempertemukan Diana dengan sang villain utama berlangsung kurang menggigit dan terlampau mengingatkan pada klimaks Dawn of Justice beserta Suicide Squad. Dengan pencapaian sebaik ini, satu doa lantas dirapalkan seusai film menutup gelarannya: semoga saja, Wonder Woman bukanlah anomali dalam rangkaian film di DCEU. 

Note : Wonder Woman tidak memiliki post-credits scene.

Outstanding (4/5)


Minggu, 28 Mei 2017

REVIEW : PIRATES OF THE CARIBBEAN: SALAZAR'S REVENGE

REVIEW : PIRATES OF THE CARIBBEAN: SALAZAR'S REVENGE


“The dead have taken command of the sea. They're searching for a girl, a Pearl, and a Sparrow.” 

Ladies and gentleman, Jack Sparrow is back...!!! Setelah dibiarkan berhibernasi selama 6 tahun, salah satu franchise paling menguntungkan bagi Walt Disney, Pirates of the Caribbean, akhirnya dibangunkan dari tidur panjangnya. Mengingat raupan dollar dari franchise ini terbilang stabil, bahkan cenderung meningkat – instalmen keempat bertajuk On Stranger Tides sanggup menembus angka keramat $1 miliar dari peredaran seluruh dunia! – tentu tidak mengherankan jika pihak studio kekeuh memintanya berlayar sekalipun tiada lagi area tersisa untuk dijelajahi yang pada akhirnya menyebabkan tuturan terus berputar-putar di satu tempat. Repetitif. Memasuki jilid kelima yang diberi tajuk Salazar’s Revenge (atau Dead Men Tell No Tales di negara asalnya), tanya “apa lagi yang hendak dikedepankan sekali ini?” tentu tidak bisa terhindarkan. Agaknya belajar dari kesalahan On Stranger Tides yang kekurangan tenaga, duo sutradara Joachim Rønning dan Espen Sandberg (Kon Tiki) mencoba mengusung lagi semangat dari trilogi awal yang sempat pupus seraya merekrut kembali karakter kunci dari franchise ini; Will Turner (Orlando Bloom) beserta Elizabeth Swann (Keira Knightley), dengan harapan dapat mencegah franchise Pirates of the Caribbean ditenggelamkan oleh kritikus maupun penonton. 

Pirates of the Caribbean: Salazar’s Revenge memperkenalkan kita pada Henry Turner (Brenton Thwaites), putra dari Will dan Elizabeth yang kini telah tumbuh menjadi pria dewasa. Henry mempunyai satu misi besar dalam hidupnya, yakni membebaskan sang ayah dari kutukan yang mengikatnya bersama kapal Flying Dutchman. Dalam petualangannya untuk menemukan pusaka sakti, Trisula Poseidon, yang konon mampu memberi kekuatan kepada siapapun yang memilikinya termasuk mematahkan kutukan, Henry bertemu dengan seorang perempuan yang dituduh sebagai penyihir lantaran memiliki pengetahuan diatas rata-rata, Carina Smith (Kaya Scodelario), serta kawan lama sang ayah, Jack Sparrow (Johnny Depp). Perjumpaan Henry dengan Jack sendiri bukannya tanpa disengaja. Tatkala kapal armada Inggris yang dinaikinya kandas di kawasan Segitiga Iblis, Henry mendapat pesan dari Kapten Salazar (Javier Bardem) yang menyatakan niatnya untuk membalas dendam kepada Jack atas peristiwa di masa lalu. Mengetahui keselamatannya terancam, Jack pun ikut berpartisipasi mengarungi perairan dalam pencarian Trisula Poseidon bersama Henry dan Carina yang menginginkan benda tersebut agar dapat mengetahui keberadaan sang ayah yang selama ini menjadi misteri baginya.


Apabila disandingkan dengan On Stranger Tides, Salazar’s Revenge bisa dikata jauh lebih menghibur dan bisa dinikmati – walau ini juga tidak berarti banyak. Gegap gempita telah bisa diraba sejak menit-menit awal yang membawa penonton pada rentetan peristiwa seru pula lucu; dimulai dari pertemuan Henry dengan Salazar di Segitiga Iblis yang menguarkan nuansa mencekam, lalu berlanjut penyeretan bank (iya, BANK!) ala Fast Five oleh anak buah Jack yang menciptakan kekacauan besar, sampai guillotine berputar yang terus menerus ‘maju mundur cantik’ kala hendak memenggal kepala Jack. Hingga momen eksekusi Jack dan Carina di alun-alun yang justru berakhir petaka bagi para eksekutor, Salazar’s Revenge masih berasa renyah buat dikudap. Keriuhan semacam ini memang diidam-idamkan penonton pada film bercap ‘summer blockbuster’ sehingga tiada mengherankan derai-derai tawa penonton terdengar menggema dari berbagai titik di dalam bioskop. Namun segala bentuk kesenangan yang menghiasi babak perkenalan bersama beberapa karakter anyar ini sedikit demi sedikit mulai tergerus begitu tiga sekawan ini menunggangi Dying Gull. Layaknya laut, terkadang laju film bergelombang hebat yang memberi sentakan-sentakan, tetapi tak jarang pula mengalun amat tenang. Laju yang tak mempunyai konsistensi ini berdampak pada munculnya rasa lelah selama mengikuti pelayaran dan tak pelak terbersit keinginan agar film segera berakhir. 

Sentakan-sentakan yang ada pun tak selamanya menimbulkan semangat, malah acapkali berasa repetitif. Disamping pengarahan kurang luwes dari duo sutradara, ini disebabkan pula oleh naskah lemah racikan Jeff Nathanson yang juga turut andil dalam membatasi ruang gerak para pemain dalam menginterpretasikan peran masing-masing. Alhasil, tidak sedikit diantaranya berakhir hambar. Javier Bardem memang tampak mengerikan nan mengancam sebagai villain utama dari instalmen kelima ini, namun duo pelakon baru di franchise yaitu Brenton Thwaites beserta Kaya Scodelario kurang mempunyai momen untuk menonjolkan karisma mereka demi mengikat penonton, dan Johnny Depp selaku pemeran utama malah acapkali diperlihatkan teler (atau kebosanan?) seraya melontarkan banyolan-banyolan kering daripada memberi kontribusi signifikan terhadap pergerakan kisah. Agaknya, baik sang penulis naskah, sutradara, maupun Depp, telah kehabisan stok ide dalam mengembangkan sosok Jack Sparrow yang dulunya amat mengasyikkan buat ditengok ini. Kejenuhan yang sempat menyergap di pertengahan film, untungnya dapat sedikit teratasi setelah Salazar’s Revenge beralih ke babak ketiga. Kesenangan mencuat – kendati asupannya tidak setinggi awal mula – dan penonton pun berkesempatan menyambut kembalinya Will beserta Elizabeth ke keluarga besar Pirates of the Caribbean. Yaaa, paling tidak jilid ini masih memberikan hiburan sekalipun akan seketika terlupakan hanya beberapa hari setelah kita menyimaknya di gedung bioskop.

Note : Jangan terburu-buru beranjak, Pirates of the Caribbean: Salazar's Revenge mempunyai satu post-credits scene yang terletak paling ujung dan penting buat disimak terutama jika kamu penggemar franchise ini. 

Acceptable (3/5)


Jumat, 14 April 2017

Kong: Skull Island (2017)

Kong: Skull Island (2017)

Sebuah tim ilmuwan mengeksplorasi sebuah pulau yang belum dipetakan di Pasifik, bertualang ke domain dari Kong perkasa, dan harus berjuang untuk lolos dari Eden primal.
LK21 Unduh
Artis : Tom Hiddleston, Samuel L. Jackson, Brie LarsonNegara : USARilis : 10 maret 2017Kategori : Aksi, Petualangan, FantasiDurasi : 1 jam 58 menit ( 160 mb )IMDb : tt3731562

Sedang Proses...

Kamis, 23 Maret 2017

REVIEW : BEAUTY AND THE BEAST

REVIEW : BEAUTY AND THE BEAST


“Think of the one thing that you've always wanted. Now find it in your mind's eye and feel it in your heart.” 

Telah menjadi rahasia umum bahwa Disney telah mengakrabi kata ‘magis’ sedari lama. Tengok saja produk-produk animasi tradisionalnya dari generasi awal seperti Snow White and The Seven Dwarfs (1937) beserta kawan-kawannya maupun dari era keemasannya yang dimulai sedari The Little Mermaid (1989) sampai Tarzan (1999) – ini masih belum ditambah sejumlah judul live action dan animasi rekaan CGI yang juga ciamik. Visualisasinya tergurat indah membuat mata terbelalak, tuturan kisahnya meninggalkan rasa hangat yang menjalar manja di dada, dan rentetan nomor musikalnya terdengar renyah di telingga. Mudahnya, Disney mempunyai banyak koleksi film yang memaknai istilah “keajaiban sinema” atau ya, “magis” tadi. Salah satu judul yang tergabung di dalamnya yakni Beauty and the Beast (1991), sebuah film animasi penting yang merupakan interpretasi anyar dari dongeng Prancis klasik gubahan Jeanne-Marie Leprince de Beaumont. Mengapa dikata penting? Karena Beauty and the Beast semacam membukakan gerbang bagi genre animasi agar dapat berkompetisi di kategori utama Oscars, Best Picture. Disamping itu, film ini pun menandai pertama kalinya Disney mempersilahkan film animasinya diboyong ke panggung Broadway. Mempunyai cukup banyak catatan rekor membanggakan – belum ditambah lagu temanya yang legendaris itu – tentu tiada mengherankan jika lantas Beauty and the Beast dipilih untuk mengikuti jejak Cinderella dan The Jungle Book: diejawantahkan ke bentuk live action

Beauty and the Beast adalah dongeng romansa mengenai kisah cinta antara seorang perempuan ayu bernama Belle (Emma Watson) dengan seorang lelaki berparas buruk rupa akibat terkena kutukan yang dipanggil Beast (Dan Stevens). Belle tinggal di sebuah desa kecil bersama ayahnya, Maurice (Kevin Kline), sedangkan Beast menghuni kastil yang area sekitarnya senantiasa bersalju tak peduli apapun musimnya bersama pelayan-pelayan setianya yang berubah wujud menjadi perabotan rumah tangga. Satu-satunya cara bagi mereka untuk bisa kembali menjadi manusia atau dengan kata lain mematahkan kutukan adalah apabila ada cinta sejati hinggap ke sang majikan, Beast. Sayangnya, mengingat Beast jauh dari kata rupawan dan lokasi kastil yang amat sangat terpencil, mengharap datangnya asmara bagaikan pungguk merindukan bulan – suatu kemustahilan yang nyaris absolut. Nafas lega mulai berhembus ketika pada suatu hari, Belle menyerahkan dirinya secara sukarela kepada Beast untuk menggantikan posisi Maurice sebagai tahanan lantaran kepergok hendak mengambil bunga mawar di halaman kastil dalam perjalanan menuju ke kota. Beast menganggap apa yang dilakukan Belle adalah suatu kebodohan, namun para pelayannya justru melihat adanya harapan dari keberadaan Belle. Mungkinkah dia adalah seseorang yang akan membantu mematahkan kutukan? Membawa harapan tinggi, dipimpin oleh Lumiere (Ewan McGregor), para pelayan pun mengatur strategi agar kebencian yang menyelimuti hubungan Belle dan Beast perlahan tapi pasti tergantikan oleh hadirnya percikan-percikan asmara. 

Rasa-rasanya kebanyakan penonton Beauty and the Beast versi anyar tentu sudah familiar dengan jalinan penceritaan yang diusung film garapan Bill Condon (Dreamgirls, The Twilight Saga: Breaking Dawn) ini. Dongeng yang menjadi sumber asal film ini memang amat populer dan telah diceritakan berulang kali menggunakan beragam pendekatan – baik patuh hingga mendekonstruksinya – sampai-sampai sudah hampir tidak menyisakan celah untuk dibubuhi inovasi. Mungkin menyadari hal tersebut ditambah lagi versi animasi Disney rilisan 1991 yang dijadikan rujukan terbilang mahakarya, maka ya, Condon tidak kelewat lancang sehingga memberi banyak tambahan bahan kepada versi teranyar dari Beauty and the Beast ini. Dia memegang erat prinsip “if it ain’t broke, don’t fix it.” Tidak melenceng, tetapi juga tidak mirip sepenuhnya dengan materi kutipannya. Pembeda paling kentara, hubungan kedua karakter utama lebih dieksplor, begitu pula motivasi para pelayan untuk terbebas dari kutukan, dan beberapa lagu baru dimasukkan. Dampaknya durasi pun agak kebablasan memanjangnya walau tak terlalu jadi soal toh berhasil memberi kedalaman pada penceritaan dan paling penting, Beauty and the Beast penuhi segenap ekspektasi. Membuatku terperangah oleh kemegahan visualnya, terlarut dalam alunan melodinya, serta terpikat dengan permainan lakonnya. Atensi telah terbetot sedari adegan pelepas kutukan di gelaran pesta dansa pada awal mula yang berlangsung cukup singkat namun sama sekali tidak kekurangan intensitas. Nuansa kelam pula suram yang mencuat darinya lantas tergantikan oleh keriangan dalam nomor musikal dengan tata koreografi apik, “Belle”


Inilah titik lontar dari nomor-nomor musikal penghias film yang mayoritas merupakan pangkal dari terciptanya kemegahan visual yang dipunyai Beauty and the Beast – bisa dimengerti mengingat jejak rekam Condon kerap bersinggungan dengan film musikal seperti Chicago dan Dreamgirls. “Belle” adalah pemanasan sebelum menuju “Gaston” yang enerjik nan lucu serta “Be Our Guest” dengan visualisasi megah yang bikin geleng-geleng kepala sekaligus rahang menganga lebar-lebar. Mempunyai dampak hebat pada emosi, dua nomor musikal ini bisa dikata merupakan momen emas yang dipunyai oleh Beauty and the Beast. Dan oh, tentu saja tambahkan lagu tema film agar pas sebagai trio. Suara Emma Thompson sebagai Mrs. Potts memang tidak semenghanyutkan Angela Lansbury dari versi animasi kala mendendangkan lagu tema “Beauty and the Beast” untuk mengiringi dansa pertama kalinya Beast dengan Belle, tapi masih ada sebersit sisi magis mencuat dari adegan ikonik tersebut yang nyata sekali turut terangkat pula berkat tata kostum menawan (meski harus saya akui, efeknya tidak sehebat gaun biru bercahayanya Cinderella). Bukan semata-mata terbantu kinerja kolaborasi antara departemen kostum dengan musik, daya takjub yang dipunyai film juga bersumber dari sektor desain produksi yang mengkreasi setiap jengkal latar tempat secara indah, lalu disempurnakan oleh sektor efek khusus yang memungkinkan penonton meyakini bahwa apapun yang terpampang di layar nyata adanya, dan kian dipertangguh barisan pemain berlakon jitu. 

Konfigurasi pelakon pendukung adalah juaranya. Ewan McGregor bersama Emma Thompson, Ian McKellen (Cogsworth), serta Audra McDonald (Madame de Garderobe) dari sektor pelayan setia acapkali mencuri perhatian sekalipun jatah tampil memungkinkan mereka lebih sering berakting dari suara. Interaksi lekat diantara mereka memberi rasa hangat, sementara tingkah polah dan celetukan-celetukan mereka tak jarang mengundang gelak tawa renyah dari penonton. Dua pemain yang diposisikan sebagai antagonis, Luke Evans (Gaston) dan Josh Gad (LeFou), pun memperkuat dinamika film. Evans membuat sosok Gaston yang terobsesi ingin mempersunting Belle terlihat sungguh menjengkelkan tanpa harus kelewat karikatural – kita paham pemicu tabiat buruknya, dan Gad yang ekspresif membawa keceriaan lainnya sekaligus memperkuat karakter Gaston. Lantas, bagaimana dengan Emma Watson dan Dan Stevens? Mereka sama sekali tidak mengecewakan. Ya, ada kalanya air muka Emma Watson berasa datar di beberapa titik yang menyulitkan sosok Belle untuk bisa lebih hidup namun untungnya terbayarkan oleh kebolehannya dalam menaklukkan tantangan berolah vokal seperti halnya para pemain lain (kejutan manis dipersembahkan oleh Stevens saat melantunkan nomor “Evermore”) dan adanya senyawa-senyawa asmara yang bisa dicecap antara dirinya dengan Stevens. Paling tidak, emosi yang dibutuhkan film masih bisa dirasakan dan itu terbukti dari mata yang dibuat berkaca-kaca ketika Beauty and the Beast hendak tutup durasi.

Outstanding (4/5)


Senin, 20 Maret 2017

Rabu, 15 Maret 2017

Jumat, 10 Maret 2017

REVIEW : KONG: SKULL ISLAND

REVIEW : KONG: SKULL ISLAND


“This planet doesn't belong to us. Ancient species owned this earth long before mankind. I spent 30 years trying to prove the truth: monsters exist.” 

Baru satu dekade lalu Peter Jackson membangunkan kera berukuran gigantis dari tidur panjangnya lewat King Kong (2005), Hollywood telah meluncurkan interpretasi lain atas mitologi Kong melalui Kong: Skull Island yang dinahkodai sutradara The Kings of Summer (2013), Jordan Vogt-Roberts, serta ditumpangi barisan-barisan pemain berbakat dengan beberapa diantaranya pernah memenangkan Oscars (Brie Larson) atau minimal dinominasikan (John C. Reilly dan Samuel L. Jackson). Akan tetapi, berbeda halnya dengan King Kong yang pokok penceritaannya merupakan sebentuk pembaharuan dari versi rilisan 1933, materi kulikan Kong: Skull Island tergolong sama sekali baru. 

Ini bukanlah remake, reboot, maupun sekuel dari film mengenai Kong manapun. Kemunculannya diinisiasi oleh Legendary Pictures dibawah naungan Warner Bros. yang berencana membentangkan Monsterverse secara lebih luas sehingga alih-alih terhubung ke film buatan Peter Jackson tersebut atau King Kong klasik, Kong: Skull Island justru berdiri di semesta yang sama bersama Godzilla (2014). Ya, film ini adalah pemanasan jelang pertarungan epik antar dua monster yang direncanakan berlangsung pada tahun 2020 mendatang. 

Berlatar tahun 1973 selepas Amerika Serikat ditumbangkan Viet Cong dalam Perang Vietnam, Kong: Skull Island mengikuti satu tim ekspedisi bentukan agen pemerintah ambisius, Bill Randa (John Goodman), kala menyambangi Pulau Tengkorak yang misterius. Hanya beberapa saat seusai helikopter yang ditumpangi para anggota tim memasuki area Pulau Tengkorak, sambutan jauh dari kata hangat mereka terima dari seekor kera raksasa berjulukan Kong yang secara membabi buta berupaya meremukkan setiap helikopter. 

Kemarahan Kong sendiri bukannya tanpa dipicu alasan. Kroni-kroni dari Letkol Preston Packard (Samuel L. Jackson) telah menjatuhkan bom ke pemukiman Kong dengan dalih untuk keperluan penelitian ilmiah yang belakangan terungkap bahwa maksud mereka sejatinya adalah memancing kemunculan makhluk-makhluk seperti Kong. Dengan bertumbangannya helikopter akibat serangan Kong, anggota tim ekspedisi yang selamat pun terpecah menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama yang dipimpin Packard menjalankan misi menemukan anak-anak buahnya yang tersisa, sementara kelompok kedua yang melibatkan tentara bayaran James Conrad (Tom Hiddleston) dan jurnalis foto Mason Weaver (Brie Larson) mendapatkan kebenaran informasi mengenai Kong seusai bertemu dengan warga lokal dalam perjalanan menuju pantai. 

Dalam menuturkan Kong: Skull Island, Jordan Vogt-Roberts menerapkan alur bergegas. Tidak membutuhkan waktu lama bagi penonton untuk berjumpa secara langsung dengan ‘sang raja’. Dimulai dari kemunculan singkat dalam prolog, Kong lantas menunjukkan wujudnya secara gamblang kala menyerang tim ekspedisi untuk pertama kali yang bahkan belum sampai setengah jam film mengalunkan durasinya. Ya, Kong telah menyapa sedari mula termasuk hadir pula di beberapa kesempatan seperti saat anak buah Packard yang hilang, Chapman (Toby Kebbell), melihat Kong membasuh dirinya di sungai yang merupakan salah satu momen membelalakkan mata dalam film. 


Bagi saya, keputusan menghadirkan sang karakter tituler di paruh awal bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi akan memompa semangat penonton sampai menggelora lantaran si pembuat film telah bermurah hati untuk menggelar sekuens pertempuran-pertempuran liar sejak film memulai langkahnya tanpa pernah juga sekalipun menutupi perawakan Kong. Namun di sisi lain, menggeber kemeriahan semenjak permulaan film berpotensi pula memberikan kekecewaan apabila sekuens laga lanjutannya tidak seheboh sebelumnya atau dengan kata lain, kehabisan gas. Kong: Skull Island, sayangnya turut dirundung problematika kesulitan menjaga tempo agar terus terjaga konstan hingga tutup durasi. 

Laga lanjutannya memang tidak lebih buruk, malahan pertarungan final Kong di 30 menit terakhir adalah definisi dari istilah “kece badai”. Hanya saja guna mencapai titik tersebut, ada kalanya perjalanan berlangsung melelahkan. Kesenangan berikut ketegangan direduksi, tergantikan oleh ketenangan. Ketika para karakter manusia mengambil alih lampu sorot dari makhluk-makhluk raksasa, muncul sekelumit rasa jemu. Skrip dan karakterisasi tipis menyulitkan penonton menaruh ketertarikan terhadap para anggota tim ekspedisi, termasuk James dan Mason selaku karakter utama yang membuat keberadaan Tom Hiddleston serta Brie Larson terasa sia-sia. 

Daya pikat justru bisa dijumpai dari karakter milik John C. Reilly, Hank Marlow, yang tampaknya direncanakan sebatas sebagai comic relief pada mulanya. Berkat sosok Marlow, Kong: Skull Island tidak sampai berjalan lunglai di pertengahan film – masih ada sedikit dinamika lah. Pengaturan waktu John C. Reilly dalam melontarkan humor seringkali tepat (tidak seperti karakter lain yang seringkali meleset) dan backstory untuk karakternya menarik sekaligus menyentuh sehingga tidak heran Marlow pun menjadi satu-satunya karakter dalam film yang meninggalkan rasa tidak rela apabila sosoknya tewas. 

Untungnya Jordan Vogt-Roberts tidak membiarkan manusia-manusia malang ini beristirahat lama-lama. Usai perjalanan diputuskan berlanjut – dan Packard kian berambisi menaklukkan Kong, intensitas kembali melambung. Begitu mereka menjejakkan kaki di Zona Terlarang, saat itulah Kong: Skull Island mulai benar-benar enggan membuatmu melepaskan cengkraman dari kursi bioskop dan enggan pula mengalihkan pandangan dari layar. Sebagai penutup, an epic final showdown!

Post-credits scene: Ada. Bertahanlah sampai penghujung film karena sayang sekali buat dilewatkan. 

Exceeds Expectations (3,5/5)


Senin, 27 Februari 2017

Percy Jackson & the Olympians: The Lightning Thief (2010)

Percy Jackson & the Olympians: The Lightning Thief (2010)

Seorang remaja menemukan dia keturunan dewa Yunani dan menetapkan pada petualangan untuk menetap pertempuran berlangsung antara para dewa.
LK21 Unduh
Artis : Logan Lerman, Kevin McKidd, Steve Coogan Negara : USARilis : 12 Februari 2010Kategori : Petualangan, Keluarga, FantasiDurasi : 1 jam 58 menit ( 159 mb )IMDb : tt0814255

Sedang Proses...

Rabu, 22 Februari 2017

Assassin's Creed (2016)

Assassin's Creed (2016)

Ketika Callum Lynch mengeksplorasi kenangan Aguilar leluhurnya dan keuntungan keterampilan Master Assasin, ia menemukan ia adalah keturunan dari masyarakat Assassins rahasia.
LK21 Unduh
Artis : Asyiela Putri, Awie, Puteri Balqis, Remy Ishak, Sara AliNegara : USARilis : 21 Desember 2016Kategori : Aksi, Petualangan, FantasiDurasi : 1 jam 55 menit ( 115 mb )IMDb : tt2094766

Sedang Proses...

Selasa, 21 Februari 2017