Tampilkan postingan dengan label Franchise. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Franchise. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

REVIEW : AVENGERS: INFINITY WAR

REVIEW : AVENGERS: INFINITY WAR


“The entire time I knew him, he only ever had one goal. To wipe out half the universe. If he gets all the Infinity Stones, he can do it with the snap of his fingers. Just like that.” 

Pertempuran terakbar di sejarah perfilman dunia dalam satu dekade terakhir telah tiba. Para pahlawan dengan kekuatan adidaya milik Marvel Studios yang pertama kali bahu membahu menyelamatkan dunia (atau New York?) dari kegilaan Loki melalui The Avengers (2012), lalu bereuni dalam Avengers: Age of Ultron (2015) tatkala mereka mendapat tugas dinas bersama di Sokovia yang terancam hancur lebur dari serangan Ultron, dan sempat pecah kongsi karena perbedaan ideologi di Captain America: Civil War (2016), akhirnya memperoleh perlawanan yang tidak lagi bisa dipandang sebelah mata lewat Avengers: Infinity War yang merupakan film ke-19 dalam rangkaian Marvel Cinematic Universe (MCU). Ya, di perayaan menapaki usia ke-10 sejak MCU pertama kali diperkenalkan dalam Iron Man (2008) ini, pertaruhannya benar-benar nyata dan berada di tingkatan sangat tinggi. Betapa tidak, para anggota Avengers kini mesti menghadapi Thanos yang digadang-gadang sebagai supervillain yang amat sulit untuk ditaklukkan. Dibandingkan dengan Thanos, Loki dan Ultron tidak lebih dari sebatas remah-remah renggingang. Dia mengoleksi enam batu akik, eh maksud saya, Batu Keabadian alias Infinity Stones, yang memungkinkannya untuk menguasai jagat raya dengan mudah semudah menjentikkan jari. Berbekal batu-batu tersebut, si Mad Titan ini akan melenyapkan separuh dari populasi galaksi yang dianggapnya telah berkontribusi terhadap kekacauan alam semesta sehingga suatu keseimbangan dapat dicapai. Gila, kan? 

Gila memang satu kata yang tepat untuk mendeskripsikan Avengers: Infinity War disamping ambisius serta epik. Duo sutradara Anthony dan Joe Russo (Captain America: The Winter Soldier, Captain America: Civil War) memastikan bahwa penantian khalayak ramai selama satu dekade tidaklah sia-sia. Mereka berupaya untuk mengkreasi Avengers: Infinity War sebagai sebuah pemuncak yang layak dikenang dan lebih gegap gempita dibandingkan dengan dua predesesornya. Salah satu caranya adalah dalam penceritaan yang merentang panjang hingga 149 menit, duo ini tidak mempersilahkan para penonton untuk memalingkan muka barang sejenak dari layar bioskop maupun mengambil jeda satu dua menit untuk ngacir ke toilet demi menuntaskan panggilan alam. Ya bagaimana bisa melepaskan atensi saat film telah mencengkram perhatian secara erat sedari menit pertama. Russo bersaudara yang mengejawantahkan naskah kreasi Christopher Markus dan Stephen McFeely ini tidak banyak berbasa-basi kala memulai alunan penceritaan dari Avengers: Infinity War. Mereka seketika menempatkan kita dalam situasi mendebarkan yang merupakan kelanjutan dari adegan bonus di Thor: Ragnarok (2017) yang memperlihatkan nasib para pengungsi Asgard selepas para penumpang dari sebuah kapal ruang angkasa misterius dengan ukuran raksasa tiba-tiba menyantroni kapal mereka. Kita mengetahui bahwa salah satu penumpang kapal tersebut adalah Thanos (Josh Brolin) dan kita mengetahui bahwa Batu Keabadian koleksinya telah bertambah.


Itu artinya, alam semesta tengah terancam bahaya. Bruce Banner (Mark Ruffalo) yang kebetulan menjadi saksi mata kala Thanos merebut Space Stone dari genggaman Thor (Chris Hemsworth) seketika mengabarkan ke bumi bahwa ada ancaman besar yang segera datang dalam wujud Thanos beserta kroni-kroninya yang dikenal dengan sebutan Black Order. Saya tidak perlu menjabarkan proses bersatunya kembali para anggota inti Avengers seperti Tony Stark (Robert Downey Jr.), Steve Rogers (Chris Evans), Natasha Romanoff (Scarlett Johansson), Rhodey (Don Cheadle), Wanda Maximoff (Elizabeth Olsen), Vision (Paul Bettany), serta Sam Wilson (Anthony Mackie) secara detil karena akan sedikit merusak kesenangan dalam menyaksikan Avengers: Infinity War. Yang jelas, mereka berkenan menyingirkan ego masing-masing dan memutuskan untuk bersatu sekali lagi lantaran dihadapkan pada satu musuh besar yang sama, yakni Thanos. Mengingat sang lawan sama sekali tidak bisa diremehkan – terlebih lagi jika dia sudah berhasil mengumpulkan keenam Batu Keabadian secara komplit – maka bala bantuan pun dibutuhkan oleh para personil Avengers yang sekali ini berasal dari Stephen Strange si penyihir (Benedict Cumberbatch), Peter Parker si remaja laba-laba (Tom Holland), T’Challa si Raja Wakanda (Chadwick Boseman), Bucky Barnes (Sebastian Stan) yang merupakan sohib kental Steve Rogers, sampai para bandit galaksi berhati mulia dari dwilogi Guardians of the Galaxy yang salah satu anggotanya memiliki keterkaitan secara langsung dengan Thanos. 

Semenjak adegan pembuka yang membuat diri ini terhenyak, daya cengkram memang tidak pernah sedikitpun mengendur sampai Avengers: Infinity War benar-benar mengakhiri gelarannya. Film ini memenuhi segala ekspektasi yang disematkan untuknya. Sepanjang durasi merentang, si pembuat film mengisinya dengan serentetan sekuens laga bombastis, humor yang efektif mengocok perut, serta momen emosional yang membuat mata sembab, yang menjadikan perjalanan panjang selama 2,5 jam terasa berlangsung dengan begitu cepat sampai-sampai kita tidak menyadari bahwa film telah tutup durasi. Seperti telah saya singgung di dua paragraf sebelumnya, mengalihkan pandangan dari layar dan melenggang ke toilet di sela-sela rangkaian konfrontasi adalah suatu hal yang hampir mustahil dilakukan selama menyaksikan Avengers: Infinity War. Ini tentu saja terdengar hiperbolis, tapi setidaknya begitulah situasi di bioskop tempat saya menyaksikan reuni para pahlawan bertubuh atletis ini. Penonton duduk anteng menyaksikan intrik yang menggeliat dalam film (jika ada suara tak diinginkan, akan terdengar ‘sssttt’ berjamaah), lalu gregetan dan harap-harap cemas ketika pertarungan antara Avengers melawan Black Order maupun Thanos mulai berlangsung, kemudian tertawa terbahak-bahak begitu mendengar celetukan atau tindakan kocak para karakter (favoritku secara personal: tatapan Okoye (Danai Gurira) saat melihat Hulkbuster terjerembab di medan tempur. Priceless!), sampai akhirnya menyeka air mata yang tidak nyana-nyana bakal mengalir di beberapa titik. Epik! 


Keberhasilan Russo bersaudara dalam melibatkan emosi penonton ini tentu berkat kombinasi dari pengarahan, naskah, elemen teknis (efek visualnya jempolan!), serta performa pemeran yang bekerja secara semestinya. Saat hendak menyaksikan Avengers: Infinity War, ada satu pertanyaan yang pastinya mencuat di benak sebagian penonton. Pertanyaan tersebut berbunyi, “bagaimana cara si pembuat film memberi mereka jatah tampil yang layak sementara jumlah mereka sangat banyak?.” Tidak bisa dipungkiri memang ada kekhawatiran bahwa beberapa pahlawan kesayangan kita akan terpinggirkan porsinya mengingat durasi film begitu terbatas sementara ada lusinan superhero dan satu penjahat besar yang mengambil peran. Namun kekhawatiran tersebut lenyap tak bersisa usai film menjalankan penceritaannya secara resmi. Pengarahan beserta naskah yang solid ditunjang oleh penyuntingan rapi dan akting jajaran pemain yang apik memungkinkan setiap karakter memiliki kesempatan untuk bersinar sekaligus berkontribusi nyata terhadap penceritaan termasuk pendatang baru macam Stephen Strange beserta para penjaga galaksi dan sang supervillain, Thanos, yang tak saja intimidatif tetapi juga menyimpan kompleksitas pada karakternya (dia bukanlah penjahat satu dimensi dengan motif dangkal) sehingga membuat kita berada di posisi serba salah; kita membencinya karena destruksi yang diciptakannya dan di saat bersamaan kita bersimpati kepadanya karena dibalik perangainya yang bengis, dia masih memiliki hati. 

Bagusnya, para karakter yang jumlahnya bejibun ini dimunculkan karena mereka memang dibutuhkan untuk menggerakkan kisah, bukan sebatas untuk memeriahkan film semata. Demi menegaskan peranan masing-masing, film berjalan sedikit pelan di paruh pertama – itupun sudah sarat laga dan humor jadi tak ada kesempatan untuk menguap. Ketika job description telah dipaparkan dengan jelas, Avengers: Infinity War seketika lepas landas di satu jam terakhir yang bersinonim erat dengan ‘kegilaan’. Pertaruhannya meningkat diikuti dengan pertempuran yang keseruannya mengalami eskalasi dan tonjokkan pada sisi emosi. Selepas film berakhir kita memang tidak akan langsung bertepuk tangan (momen itu telah muncul di adegan ‘kembalinya Thor’ yang disambut sorak sorai), tetapi muncul satu perasaan yang membuat kita pada perenungan. Memandang ke layar bioskop yang telah kosong seraya berusaha mencerna tontonan yang baru saja kita saksikan. Bahkan perasaan ini masih menghinggapi hingga beberapa jam kemudian. Sebuah perasaan yang hanya bisa muncul saat film yang baru saja kita saksikan telah meninggalkan impak yang sangat kuat pada emosi. 


Note : Avengers: Infinity War hanya memiliki satu adegan bonus di penghujung durasi, tapi penting untuk disimak.

Outstanding (4,5/5)
REVIEW : DEADPOOL 2

REVIEW : DEADPOOL 2


“You're no hero. You're just a clown, dressed up like a sex toy.” 
“So dark. You sure you're not from the DC universe?” 

Ditengah-tengah riuhnya film superhero yang menjunjung tinggi kebajikan, Deadpool (2016) yang diproduksi oleh 20th Century Fox berdasarkan komik berseri terbitan Marvel Comics menawarkan sebuah alternatif yang nyeleneh. Dia menjadi antitesis dari para pahlawan yang tergabung dalam Marvel Cinematic Universe berkat tutur kata dan tindakannya yang tak mengenal kompromi. Menerabas habis batasan-batasan rating yang biasanya membelenggu kreativitas dari film sejenis. Mengingat film ini dijual sebagai tontonan dewasa (jangan bilang belum diperingatkan, wahai para orang tua tukang ngeluh!), sang superhero dengan kostum ketat berwarna merah pekat ini pun mendapat keleluasaan dari pihak studio untuk menghabisi lawan-lawannya menggunakan cara yang berdarah-darah, berasyik masyuk dengan perempuan pujaannya, sampai melontarkan nyinyiran pedas penuh dengan referensi ke budaya populer yang tidak sedikit diantaranya mencakup F-word. Komponen-komponen yang amat sangat jarang dijumpai di film superhero belakangan ini, bukan? Pendekatannya yang berani ditambah gaya tuturnya yang nyentrik – merobohkan dinding keempat (berinteraksi dengan penonton) – ini menjadi sebuah kejutan manis sekaligus membuat Deadpool tampil menjulang. Tidak mengherankan jika kemudian sekuelnya yang bertajuk Deadpool 2 kembali mengaplikasikan formula yang terbukti berhasil ini meski tentunya bakal mengundang satu pertanyaan besar; akankah sensasi yang diberikannya kepada penonton masih sama seperti predesesornya? 

Berlatar dua tahun selepas peristiwa di film pertama, Wade Wilson (Ryan Reynolds) digambarkan telah menikmati kehidupannya sebagai pahlawan pembasmi kejahatan bernama Deadpool. Hubungannya dengan Vanessa (Morena Baccarin) pun kian mesra, bahkan keduanya telah berencana untuk memiliki momongan. Jika segalanya berjalan sesuai rencana seperti ini, lalu apa pemantik konflik dalam Deadpool 2 yang membuat penonton tertarik mengikuti guliran penceritaannya? Demi menghindari spoiler – saya peduli dengan kenyamanan kalian semua, para pembaca yang budiman! – rasa-rasanya tak perlu menjlentrehkan secara detil apa yang kemudian terjadi. Yang jelas, menginjak menit belasan, Deadpool mengalami goncangan hebat dalam hidupnya sampai-sampai mendorong Colossus (Stefan Kapičić) untuk turun tangan dan menyeretnya ke markas X-Men. Pertemuannya dengan para anggota X-Men yang sebagian besar diantaranya tidak terkenal (menurut si karakter tituler yang tak tahu sopan santun ini, tentu saja) perlahan tapi pasti membuat Deadpool menemukan kembali tujuan hidupnya. Bersama dengan sejumlah karakter baru, salah satunya adalah Domino (Zazie Beetz) yang kekuatan utamanya adalah ‘keberuntungan’, Deadpool membentuk kelompok superhero bernama X-Force. Misi besar yang mereka jalankan yakni menyelamatkan seorang mutan remaja bernama Russell (Julian Dennison) yang memiliki kekuatan dalam menyulut api dari mutan penjelajah waktu, Cable (Josh Brolin yang juga memerankan Thanos di Avengers: Infinity War), yang berniat untuk mencabut nyawanya. 



Tidak ada perubahan signifikan yang bisa dijumpai dalam Deadpool 2 sekalipun kursi penyutradaraan kini bergeser ke David Leitch (John Wick, Atomic Blonde). Leitch bersama dengan tiga penulis skrip memahami betul, tidak ada gunanya memperbaiki sesuatu yang tidak rusak. Oleh karena itu, Deadpool 2 dihidangkan sesuai dengan ekspektasi penonton yang telah menyaksikan jilid pertamanya; kekerasannya berada di level ‘pedas’, humornya yang nakal banyak mencuplik referensi ke budaya populer. Walau unsur kejutannya tak lagi besar, sensasi yang disalurkan kepada penonton kurang lebih masihlah sama. Deadpool 2 tetaplah sebuah sajian eskapisme gila-gilaan yang menghibur. Demi memenuhi aturan tidak tertulis untuk sekuel, cakupan skalanya pun sekali ini ditingkatkan. Si pembuat film mengkreasi lebih banyak laga di seri ini – dimulai dari menit pembuka yang membangkitkan semangat sampai klimaks yang lebih menggigit – begitu pula dengan lawakan-lawakan khas Deadpool yang makin tak terkontrol dan kian bejibun. Semuanya menjadi sasaran empuk nyinyirannya, terlebih jika namamu terafiliasi dengan semesta yang diciptakan oleh Marvel Cinematic Universe atau DC Extended Universe. Deadpool menyentil para personil Avengers sekaligus mencibir DC (duo Martha yang ikonik tentu tak terlewatkan). Dia juga tidak ragu-ragu mempertanyakan orisinalitas lagu ‘Do You Want to Build a Snowman?’ dari Frozen (2013), kebingungan dengan penulisan nama Kirsten Dunst yang benar (saya memahamimu, Deadpool!), mengeluhkan keputusan Logan (2017) untuk ikut-ikutan menjadi film superhero dewasa, menghujat karir aktor berkebangsaan Kanada bernama Ryan Reynolds (!), hingga paling meta: mengkritisi penulis skrip Deadpool 2 yang terlampau malas menciptakan konflik rumit. 

Tak pelak, kekuatan utama Deadpool 2 berada pada materi ngelabanya yang harus diakui cerdas dan kreatif. Ini masih belum ditambah dengan lelucon yang dikembangkan dari situasi-situasi yang berlangsung di sepanjang durasi. Saya juga tidak akan menyebutkannya satu demi satu karena lelucon merupakan bagian dari kejutan yang dimiliki oleh Deadpool 2. Hitung-hitung sebagai bentuk kompensasi atas jalinan kisah yang cenderung lurus-lurus saja, minim kelokan yang digemari sebagian penonton. Leitch mengombinasikan banyolan-banyolan dengan hidangan laga yang lebih gahar (plus sadis) dibandingkan film pertama. Menilik fakta bahwa Deadpool 2 tidak digelontori bujet sejor-joran Avengers: Infinity War, maka sebaiknya hempaskan bayangan adegan laganya bakalan segegap gempita film tersebut. Sebagian diantaranya memang tidak menawarkan pembaharuan (kamu telah melihatnya beberapa kali di film laga), tapi Leitch sanggup meniupkan excitement kedalamnya sehingga tak peduli seberapa pun seringnya kamu menjumpai adegan ini, tetap ada kesenangan tersendiri kala menyaksikannya. Malah, Deadpool 2 mempunyai momen klimaks membekas (sayangnya tak ada guyonan merujuk ke Carrie (1976)!) yang turut mengonfirmasi pelabelan ‘film keluarga’ oleh Deadpool di permulaan film – sekadar info, film pertama disebut ‘film percintaan’. Tentu ini bukan memiliki makna bahwa si pembuat film mempersilahkan penonton-penonton cilik memenuhi gedung bioskop, melainkan menunjukkan bahwa si pahlawan bermulut kotor ini tak lagi berjuang sendirian. Dia menjalin pertemanan dengan karakter-karakter baru yang mengisi kekosongan hatinya.


Pertemanan ini memungkinkan Deadpool 2 untuk menghadirkan sederet momen mengharu biru yang menghangatkan hati. Tidak semuanya bekerja dengan baik – ada kalanya diruntuhkan oleh guyonannya sendiri – seperti persahabatan Deadpool dan Russell yang tak segreget perkiraan, tapi paling tidak masih ada senyum mengembang di penghujung film ketika kita melihat sejauh mana Wade Wilson telah berkembang sebagai seorang manusia. Ryan Reynolds mampu menangani momen dramatik seiring bergejolaknya batin Wade seapik dia menangani momen komedik yang mengharuskannya melontarkan nyinyiran secara cepat seraya bertingkah nyeleneh. Chemistry yang dibangunnya bersama Julian Dennison berlangsung cukup baik, sementara pemeran-pemeran pendukung mampu mengimbangi performa ciamik dari Reynolds. Zazie Beetz mencuri perhatian sebagai Domino yang keberuntungannya tak pernah habis, Karan Soni sebagai Dopinder yang memiliki obsesi menjalani misi bersama Deadpool, dan Josh Brolin menunjukkan sisi rapuh dari Cable dibalik tampilan fisiknya yang sangar. Disamping kombinasi mulus antara banyolan, laga, beserta performa pemain, elemen lain yang membantu menciptakan kesenangan dalam Deadpool 2 adalah pilihan lagu pengiring di setiap adegannya. Bukan lagu-lagu beraliran rap, metal, atau rock yang menghentak-hentak melainkan tembang-tembang lembut dengan sisi emosional tinggi yang mungkin tak pernah terbayangkan akan menghiasi film superhero ‘ngaco’ semacam ini. Tembang-tembang tersebut antara lain ‘Take on Me’ milik A-Ha, ‘We Belong’ oleh Pat Benatar, ‘All Out of Love’-nya Air Supply, ‘Tomorrow’ dari drama musikal Annie (1977), sampai lagu tema film ini, ‘Ashes’, yang dibawakan Celine Dion bak lagu tema dari James Bond. Gokil!

Note : 1) Jangan terburu-buru tinggalkan gedung bioskop karena ada dua adegan bonus yang sangat layak buat dinanti. Keduanya terletak di sela-sela credit title jadi kamu tidak perlu menunggu terlalu lama.
2) Pastikan kamu menuntaskan urusan belakang sebelum film dimulai karena salah satu poin kejutan Deadpool 2 terletak pada cameo. Kemunculannya sangat cepat sehingga jika kamu keluar atau terlalu sibuk mengecek ponsel saat menonton, hampir bisa dipastikan akan terlewat. Blink, and you'll miss it

Outstanding (4/5)


Rabu, 13 Juni 2018

REVIEW : OCEAN'S 8

REVIEW : OCEAN'S 8


“In three and a half weeks the Met will be hosting its annual ball and we are going to rob it. Sixteen point five million dollars in each of your bank accounts, five weeks from now.” 

Apabila ditanya mengenai film perampokan terbaik yang pernah dibuat, rasanya kurang afdol kalau tak menyebut judul Ocean’s Eleven (2001) yang didasarkan pada film berjudul sama rilisan tahun 1960. Kisah perampokan beserta pembalasan dendam yang memercikkan ketegangan, kejutan, serta humor dipadupadankan dengan begitu elegan sehingga sulit untuk menyangkal pesonanya. Terlebih lagi, film ini dianugerahi pemain ansambel menggiurkan seperti George Clooney, Brad Pitt, Matt Damon, Andy Garcia, Don Cheadle sampai Julia Roberts. Menilik kombinasi mautnya tersebut, tak mengherankan jika resepsi hangat berhasil diperolehnya dari kritikus maupun penonton sehingga melahirkan dua buah sekuel yang juga renyah buat dikudap, Ocean’s Twelve (2004) dan Ocean’s Thirteen (2007). Satu dekade berselang sejak jilid ketiga dilepas, seri lain bertajuk Ocean’s 8 dikreasi yang masih menerapkan konsep serupa; perekrutan tim dengan jumlah beserta keahlian tertentu, perampokan besar yang penuh gaya, dan didukung barisan pemain ansambel. Yang kemudian membedakan Ocean’s 8 dengan trilogi utama adalah ini sebentuk spin-off alih-alih sekuel langsung dan seluruh pemain utamanya adalah perempuan alih-alih laki-laki. Jadi mari kita ucapkan selamat tinggal kepada Danny Ocean (George Clooney), lalu ucapkan selamat datang kepada sang adik, Debbie Ocean (Sandra Bullock). Era baru dari kisah perampokan yang dinahkodai klan Ocean yang lain telah dimulai! 

Seperti halnya Ocean’s Eleven, guliran penceritaan di Ocean’s 8 dimulai dengan adegan yang memperlihatkan karakter utama, Debbie, baru saja menghirup udara kebebasan usai meringkuk di tahanan selama lima tahun lamanya. Kakak tercintanya, Danny, diceritakan telah meninggal dan Debbie yang mewarisi bakat kriminal sang kakak sudah merencanakan perampokan akbar di helatan prestisius tahunan, Met Gala. Bukan uang yang menjadi incaran utamanya, melainkan kalung Toussaint senilai $150 juta yang akan dikenakan oleh seorang aktris yang tengah naik daun, Daphne Kluger (Anne Hathaway). Demi memuluskan rencananya, Debbie pun merekrut enam anggota yang konfigurasinya terdiri dari Lou (Cate Blanchett) yang merupakan sahabat baik Debbie, Amita (Mindy Kaling) si pengrajin perhiasan, Nine Ball (Rihanna) si peretas, Constance (Awkwafina) si pencopet jalanan, Tammy (Sarah Paulson) si penadah barang curian, serta Rose Weil (Helena Bonham Carter) si perancang busana. Lagi-lagi seperti halnya Ocean’s Eleven, motif utama Debbie dalam merancang perampokan ini bukanlah semata-mata untuk memperoleh penghasilan dari barang jarahannya melainkan demi membalas dendam kepada seseorang yang telah mengkhianatinya dan menghancurkan hidupnya. Seseorang tersebut adalah mantan kekasihnya, Claude Becker (Richard Armitage), yang telah menjadikan Debbie sebagai kambing hitam dalam suatu kasus penipuan sehingga dia berakhir di penjara selama lima tahun.


Sebagai sebuah tontonan yang mengatasnamakan hiburan, Ocean’s 8 sejatinya bisa dibilang cukup berhasil. Menyaksikan segambreng aktris-aktris kenamaan pemenang penghargaan dalam satu frame di Ocean’s 8 jelas merupakan keistimewaan dan kesenangan tersendiri bagi para penikmat film. Kapan lagi coba kita bisa melihat Sandra Bullock beradu akting dengan Cate Blanchett, Anne Hathaway, Helena Bonham Carter, dan Sarah Paulson? Ocean’s 8 menyediakan kesempatan langka tersebut dan aktris-aktris ini menyanggupinya dengan mempersembahkan performa yang tidak mengecewakan. Bullock memperlihatkan karisma sebagai pemimpin grup lalu menjalin chemistry rekat bersama Blanchett, sementara Hathaway yang memiliki sensitivitas kuat dalam ngelaba membentuk ‘duo gesrek’ bersama Carter yang memungkinkan keduanya untuk senantiasa mencuri perhatian sekaligus mengundang gelak tawa di setiap kemunculan. Harus diakui, performa dari jajaran pemain (khususnya Hathaway sebagai seorang aktris yang ego besarnya tidak sejalan dengan kapasitas otaknya) plus ditambah Awkwafina dan James Corden yang baru nongol di babak ketiga adalah sumber energi utama yang dimiliki oleh film. Penampilan mereka yang cenderung nyantai kayak di pantai terasa menyenangkan untuk disimak sekaligus membantu menyelamatkan film dari keterpurukan akibat penggarapan kurang bertenaga dari Gary Ross (Pleasantville, The Hunger Games) serta skrip lemah yang diracik Ross bersama dengan Olivia Milch. 

Di tangan Ross, Ocean’s 8 tak ubahnya versi inferior dari Ocean’s Eleven. Jalinan kisahnya bisa dikata serupa tapi tak sama (termasuk pembentukan karakter yang sebagian besar sekadar copy paste) dengan elemen komedi lebih ditekankan dan ketegangan yang anehnya malah direduksi. Jika Ocean’s 8 semata-mata menyebut dirinya sebagai komedi, tentu tidak ada keluhan berarti. Akan tetapi sebagai anggota keluarga Ocean dan heist film, Ocean’s 8 terasa kurang bernyali. Kemana perginya fase berdebar-debar serta harap-harap cemas kala para personil mengeksekusi rencana mereka? Terlihat mewah sih, menghibur juga sih, cuma saya tidak mendapatkan gregetnya. Tidak ada momen yang membuat saya bercucuran keringat seraya meremas-remas gemas kursi bioskop seperti saat menyaksikan Ocean’s Eleven. Ross terlalu banyak menghabiskan waktu pada perencanaan yang seringkali berlangsung monoton dan pertaruhan yang dihadapi oleh Debbie and the gang pun tidak ada apa-apanya dibandingkan Danny and the gang. Jika Danny mesti mengakali Terry (Andy Garcia) yang bengis, maka lawan terberat Debbie sebatas sistem keamanan yang ketat di lokasi perampokan. Itupun bisa diakali dengan satu jentikkan jari. Minimnya ketegangan yang mencekat ditambah guliran kisah yang kekurangan daya kejut membuat Ocean’s 8 kesulitan untuk memenuhi potensi besar yang dimilikinya dan gagal mengulangi pesona jilid-jilid terdahulu. Beruntung jajaran pemainnya bermain apik (kecuali Rihanna yang aposeeee) sehingga setidaknya film masih bisa dinikmati di kala senggang sekalipun akan sangat mudah untuk dilupakan dalam hitungan hari.

Acceptable (3/5)


Jumat, 08 Juni 2018

REVIEW : JURASSIC WORLD: FALLEN KINGDOM

REVIEW : JURASSIC WORLD: FALLEN KINGDOM


“Do you remember the first time you saw a dinosaur? You don’t really believe it. It’s like a miracle.” 

Masih terpatri dengan baik di benak bagaimana seorang Steven Spielberg mampu membuat saya terperangah kala melihat sekumpulan dinosaurus berjalan-jalan santai di pulau fiktif Isla Nublar sekaligus membuat saya terpaksa mengintip dari balik telapak tangan kala seekor T.rex mengamuk melalui Jurassic Park (1993). Sebuah film yang mendefinisikan istilah ‘keajaiban sinema’ secara jelas dan salah satu alasan mengapa saya jatuh hati kepada film. Meski dua film kelanjutannya, The Lost World (1997) dan Jurassic Park III (2001), tidak meninggalkan sensasi menonton yang serupa, keduanya tetap terbilang sebagai sajian eskapisme yang menyenangkan buat disimak. Dalam Jurassic World yang dilepas pada tahun 2015, Colin Trevorrow mencoba memunculkan kembali sisi magis dari sang dedengkot. Mengingat standar film pertama sudah teramat tinggi, bisa dimafhumi saat hasil akhirnya tidak persis sama. Akan tetapi yang mengejutkan, Jurassic World mampu berdiri setingkat di atas dua seri terakhir dari segi kualitas sekaligus mengingatkan kita kembali mengapa franchise ini bisa sedemikian populer dan dicintai banyak kalangan. Resepsi hangat yang diperolehnya lantas mendorong Universal Pictures untuk memberikan lampu hijau pada rencana penggarapan trilogi baru. Berselang tiga tahun kemudian, instalmen kedua dalam trilogi baru bertajuk Jurassic World: Fallen Kingdom yang sekali ini dikomandoi oleh J. A. Bayona (The Impossible, A Monster Calls) pun dilepas ke pasaran dengan nada penceritaan yang cenderung lebih gelap dibanding instalmen-instalmen terdahulu. 

Berlatar tiga tahun setelah peristiwa di penghujung seri sebelumnya, Jurassic World: Fallen Kingdom menyoroti nasib para dinosaurus yang sekali lagi berada dalam ambang kepunahan. Pemicunya, letusan besar gunung berapi di Isla Nublar. Claire Dearing (Bryce Dallas Howard) yang kini menjabat sebagai pemimpin dari organisasi pembela hak-hak dinosaurus tentu tak akan membiarkan hewan-hewan langka ini kembali lenyap dari peradaban. Menilik proses evakuasi membutuhkan suntikkan dana besar, Claire mustahil untuk bergerak sendiri. Pemerintah jelas tidak bisa diharapkan karena mereka memilih untuk lepas tangan dalam misi penyelamatan para dinosaurus berdasarkan saran dari Dr. Ian Malcolm (Jeff Goldblum). Bala bantuan untuk Claire lantas datang dari seorang miliarder, Benjamin Lockwood (James Cromwell), yang berencana memindahkan para dinosaurus ke sebuah suaka di pulau lain secara diam-diam sehingga tidak mendapat gangguan dari manusia. Dibantu oleh mantan kekasih Claire, Owen Grady (Chris Pratt), lalu Eli Mills (Rafe Spall) selaku tangan kanan Benjamin, dan Ken Wheatley (Ted Levine) yang mengomandoi pasukan penyelamat, proses evakuasi dinosaurus dari Isla Nublar pun dilancarkan. Tanpa disadari oleh Claire dan Owen, sebuah pengkhianatan terjadi ditengah-tengah evakuasi. Alih-alih diboyong menuju suaka, para dinosaurus ini justru dibawa ke daratan untuk dijual ke sejumlah pembeli dari berbagai negara. Si pengkhianat melihat potensi dinosaurus sebagai senjata perang yang mumpuni dan mesin uang sehingga dia memilih untuk menjadikannya komoditas ketimbang melindunginya.


Saat ditanya seorang teman melalui pesan singkat mengenai pendapat saya mengenai Jurassic World: Fallen Kingdom usai menontonnya, saya hanya memberi jawaban: seruuuuuuu. Ya mau bagaimana lagi, begitulah perasaan saya selama berkelana ke wahana permainan yang diorkestrai oleh J. A. Bayona ini. Entah dengan kalian, tapi bagi saya Fallen Kingdom adalah seri terbaik kedua dalam franchise ‘taman dino’ setelah Jurassic Park. Bahkan lebih baik dari Jurassic World yang itu artinya Fallen Kingdom sanggup membuat saya berdecak kagum. Film telah membetot atensi sedari adegan pembukanya yang memberikan nuansa mendebarkan: ditengah hujan lebat, satu pasukan yang terbagi ke dalam tiga tim berusaha untuk mengambil DNA dari bangkai Indominus rex. Siluet Mosasaurus yang mengintai dari balik air, siluet Tyrannosaurus yang berkelebat di kegelapan, membuat diri ini meremas-remas kursi bioskop. Sesuatu yang buruk akan menimpa tim ini. Tentu saja, amukan dua makhluk tersebut menghadirkan adegan pembuka yang menjanjikan untuk Fallen Kingdom. Di beberapa menit selanjutnya, intensitas sengaja dikendurkan demi memberi ruang bagi duo penulis skrip, Colin Trevorrow dan Derek Connolly, untuk menjabarkan latar belakang kisah yang bakal dikedepankan sekaligus memperkenalkan karakter-karakter anyar termasuk anak buah Claire; Zia si dokter hewan (Daniella Pineda) dan Franklin si ahli IT (Justice Smith). Skrip buatan mereka memang tergolong generik seperti versi pembaharuan dari The Lost World dan mempersilahkan sederet kekonyolan untuk menyelinap masuk, namun untungnya masih cukup bergigi untuk mengundang ketertarikan terkait sejauh mana franchise ini akan dikembangkan ke depannya. 

Berbicara soal gigi, salah satu alasan yang membuat Fallen Kingdom tampak lebih bertaring dibanding kakak-kakaknya, kecuali si sulung, adalah kelihaian J. A. Bayona dalam menyampaikan cerita. Apabila kamu telah menyaksikan film-film garapan sang sutradara seperti The Orphanage (2007), The Impossible (2012), dan A Monster Calls (2016), rasa-rasanya akan menyadari Bayona memberi sentuhan yang sedikit banyak serupa ke dalam Fallen Kingdom. Paruh pertama film membawa ingatan melayang ke The Impossible dengan elemen disaster movie-nya, sementara paruh akhir mengingatkan pada The Orphanage yang merupakan tontonan horor atmosferik. Di paruh pertama, kita bisa menyaksikan bagaimana para karakter inti beserta dinosaurus berkejar-kejaran dengan aliran dan lontaran lava pijar dalam sekuens laga yang amat mengasyikkan. Ditunjang polesan efek khusus menakjubkan (satu hal yang tidak bisa kamu sangkal), beserta penyuntingan dinamis dan tangkapan kamera yang penuh presisi, hari-hari terakhir Isla Nublar terangkum ke dalam bahasa gambar yang membuat saya terperangah bak anak kecil yang diajak ke istana mainan. Tidak ketinggalan, Bayona menyisipkan momen andalannya yakni momen emosional yang diperlihatkan dalam siluet seekor dinosaurus yang tertutup debu vulkanik. Hanya diiringi suara pekikan, satu shot ini sudah cukup efektif untuk menyesakkan dada maupun mengalirkan air mata manusia-manusia berhati sensitif. Usai shot ini, Fallen Kingdom memang tak memilki shot lain yang menusuk hingga ke ulu hati. Akan tetapi, film mempunyai setumpuk bahan yang bakal membuat admin akun One Perfect Shot melompat-lompat kegirangan.


Peralihan nada penceritaan ke arah lebih kelam mulai ditunjukkan saat para manusia (dan dinosaurus) kembali ke daratan. Menapaki babak pamungkas, Fallen Kingdom dilantunkan bak tontonan horor yang bermain-main dengan antisipasi penonton dan atmosfer mengusik. Jika kamu mendamba film bakal diakhiri dengan ‘boom boom bang’ yang membahana, bisa jadi akan sedikit mendengus kecewa. Bukannya tidak ada, hanya saja Bayona lebih memilih untuk fokus pada menciptakan ketegangan yang merangkak perlahan tapi pasti. Ekspektasimu di babak ini sebaiknya ditetapkan saja menjadi ‘menyaksikan sajian seram’, niscaya ada kepuasan tersendiri ketika memasuki wahana permainan milik Bayona yang sejatinya cukup banyak diilhami dari Jurassic Park. Niscaya kamu juga akan mengamini bahwa adegan bersembunyi di dalam kamar itu bikin jantung berdebar-debar. Phew! Menilik jajaran pelakonnya yang bermain bagus; baik chemistry Pratt-Howard yang menguat, Pineda dan Smith sebagai comic relief yang cukup menyegarkan, sampai aktris cilik Isabella Sermon sebagai cucu Maisie yang kemunculannya senantiasa mencuri perhatian, maka satu-satunya keluhan saya untuk Fallen Kingdom adalah musik tema Jurassic Park warisan John Williams yang hanya memiliki peranan kecil di sini sekalipun kemunculannya berada di posisi yang tepat. Andai saja musik ikonis tersebut memperoleh tempat lebih besar, bukan tidak mungkin Fallen Kingdom yang bercita rasa megah nan mewah tetapi tetap mempunyai hati ini akan terasa semakin greget.

Note : Jurassic World: Fallen Kingdom memiliki satu adegan tambahan di penghujung durasi. Jika kalian seperti saya (tidak mau rugi sepeserpun, jadi jika masih ada adegan yang sekalipun tidak penting ya mesti ditunggu), maka bertahanlah sampai detik terakhir.

Outstanding (4/5)


Minggu, 25 Februari 2018

REVIEW : BLACK PANTHER

REVIEW : BLACK PANTHER


“You cannot let your father’s actions define your life. You get to decide what kind of king you want to be.” 

Apabila ditengok sekilas lalu, film-film rilisan Marvel Studio memang memiliki corak seragam. Tergolong cerah ceria dengan setumpuk asupan humor dan laga yang membuatnya tampak ‘sepele’. Akan tetapi jika kita berkenan memperhatikannya lebih mendalam, film-film ini sejatinya mempunyai pendekatan berbeda antara satu dengan lainnya. Dalam satu tahun terakhir saja kita telah menyaksikan bagaimana Doctor Strange (2016) menghadirkan visual bergaya psikedelik dengan konten terkait perjalanan spiritual, lalu Guardians of the Galaxy Vol. 2 (2017) yang menyisipkan banyak hati ke dalam penceritaan sehingga memunculkan momen luar biasa emosional (tanpa diduga!), dan Thor Ragnarok (2017) mengajak penonton untuk tidak terlalu serius dalam memandang tontonan eskapisme yang memang bertujuan untuk menghibur. Adanya pendekatan berbeda-beda yang membuat masing-masing judul memiliki ciri khasnya sendiri inilah yang memberi ketertarikan tersendiri terhadap superhero movies kreasi Marvel Studio. Pemantiknya berasal dari satu pertanyaan sederhana, “apa kejutan berikutnya yang akan dipersiapkan oleh mereka?” Maka begitu Black Panther yang keterlibatannya dalam Marvel Cinematic Universe (MCU) pertama kali diperkenalkan melalui Captain America: Civil War (2016) diumumkan sebagai terbaru keluaran studio ini, kepenasaran dalam diri seketika membumbung. Terlebih lagi, sang sutradara, Ryan Coogler (Fruitvale Station, Creed), dan barisan pemainnya memiliki jejak rekam impresif dalam karir perfilman. 

Black Panther membuka jalinan pengisahannya dengan sekelumit narasi untuk membekali penonton dengan latar belakang Wakanda – sebuah negara fiktif di benua Afrika yang menjadi latar utama film – dan sosok Black Panther. Konon, berkat penemuan benda asing bernama Vibranium yang lantas dimanfaatkan sebagai bahan dasar untuk mengembangkan teknologi, negara cilik ini mampu tumbuh makmur. Demi mempertahankan kedigdayaan negara sekaligus menghindarkan Vibranium dari disalahgunakan oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab, Wakanda memutuskan untuk mengisolasi diri sampai-sampai citra mereka di mata dunia tak lebih dari sebatas negara dunia ketiga. Usai penjabaran singkat ini yang kemudian dilanjut sebuah prolog bertemakan drama pengkhianatan berlatar tahun 1992, Black Panther secara resmi memulai penceritaannya dengan mempertemukan kita pada T’Challa (Chadwick Boseman) di masa kini. T’Challa diangkat menjadi raja baru di Wakanda sekaligus pemilik identitas baru Black Panther pasca tewasnya sang ayah dalam peristiwa pengeboman yang berlangsung di Captain America: Civil War. Pada hari-hari pertama pemerintahannya, T’Challa seketika dihadapkan pada situasi genting terkait pencurian Vibranium yang membawanya terbang ke Korea Selatan berbekal bantuan dari tiga perempuan hebat; mantan kekasihnya Nakia (Lupita Nyong’o), pengawalnya Okoye (Danai Gurira), dan adiknya Shuri (Letitia Wright). Dalam perburuannya ini, T’Challa tidak saja dihadapkan pada Killmonger (Michael B. Jordan) yang memiliki misi terselubung terhadap Wakanda tetapi juga kegamangan hati yang membuatnya mempertanyakan tentang jati dirinya sebagai seorang raja.


Tidak ada keraguan sama sekali dalam diri ini bahwa Black Panther akan mampu menjadi sebuah tontonan yang menghibur – berpatokan pada pengalaman menyaksikan film-film pahlawan berkekuatan super keluaran Marvel Studio sejauh ini. Dan memang untuk urusan membuat hati merasa bungah, tidak pula menyesali telah meluangkan waktu serta menyisihkan uang, Black Panther berhasil melakukannya. Secara mendasar, Black Panther telah memenuhi semua kriteria yang bisa kamu harapkan dari sebuah film mengenai pahlawan super yang ajib. Rentetan laga mendebarkan? Check. Guyonan-guyonan menyegarkan? Check. Sosok penjahat yang bikin gregetan (sekaligus bersimpati)? Check. Tampilan visual yang membuat mata terbelalak? Check. Guliran penceritaan sarat intrik mengikat? Check. Dan paling penting, pahlawan yang mengajak penonton untuk bersorak sorai kepadanya? Check. Ya, Ryan Coogler telah memberikan tanda centang untuk seluruh bahan utama yang diperlukan demi menghindari munculnya raut muka penuh kekecewaan dari penonton. Tidak sebatas menggugurkan kewajiban, tentu saja, Coogler juga terampil meramunya sehingga setiap komponen ini terasa padu dan nikmat buat dikudap kala disorotkan ke layar lebar. Gelaran laganya sekalipun tidak semelimpah (dan semegah) yang diperkirakan, muncul sesuai kebutuhan. Keberadaannya sanggup membuat penonton merasa terlibat yang ditandai dengan aktifitas meremas-remas kursi bioskop maupun keinginan untuk bersorak sorai. Entah dengan kalian, tapi bagi saya, pertarungan T’Challa dengan para pengincar tahta di air terjun merupakan salah satu adegan laga terbaik di Black Panther

Seperti halnya elemen tarung-tarungan yang sedikit direduksi, elemen haha-hihi dalam Black Panther juga tidak sepekat beberapa film terakhir rilisan Marvel Studio. Masih bisa dijumpai di berbagai titik, utamanya setiap kali melibatkan Shuri yang sedikit nyentrik tidak seperti anggota kerajaan lain yang cenderung formal, tapi kentara sekali si pembuat film tidak ingin mengedepankannya sebagai jualan utama dan hanya mempergunakannya tatkala dirasa urat syaraf penonton mulai mengencang. Dampak positifnya, humor yang dipergunakan dalam Black Panther terasa lebih efektif sekaligus memberi efek kejut (boom!). Dalam artian, kita tidak pernah benar-benar tahu kapan bakal dilontarkan. Ditunjang dengan penempatan waktu yang tepat, ledakannya dapat lebih maksimal dan ini terjadi beberapa kali dalam Black Panther sehingga riuh tawa terdengar menggema di dalam bioskop. Mengasyikkan, bukan? Sebagai tontonan eskapisme, Black Panther memang tidak mengecewakan. Tapi yang membuatnya terasa lebih istimewa adalah Coogler tidak semata-mata mengkreasinya menjadi sebuah sajian pelepas penat yang ringan-ringan saja. Dia menjumput sejumlah topik pembicaraan tergolong serius berkenaan dengan representasi kelompok minoritas, black power, kesetaraan jender, isolasionisme, hingga opresi lalu membubuhkannya ke dalam penceritaan secara cermat – bukan sebatas di permukaan saja. Poin lebihnya, keberadaan topik ini membuat Black Panther memiliki greget tersendiri dalam penceritaannya yang sejatinya telah dipenuhi intrik ala drama Shakespeare dan mengundang bahan diskusi panjang-panjang bersama kawan (atau dalam ruang seminar). 


Disamping barisan laga cadas, asupan humor segar, beserta guliran pengisah mengikat, sumber energi lain yang mampu membantu Black Panther berdiri kokoh adalah elemen teknisnya. Tengok saja efek visualnya yang merealisasikan Wakanda yang futuristis, kostumnya dengan detil yang kaya (ada yang mirip baju koko yes!), sinematografinya yang tak saja menyuplai gambar indah tetapi juga bergerak lincah, penyuntingannya yang dinamis, sampai iringan musiknya yang meniupkan identitas ke film baik melalui skoring dengan sentuhan etnik maupun pilihan tembang bernuansa R&B/Hip-hop. Ini masih belum ditambah kekuatan terbesar dari Black Panther yakni performa ansambel pemainnya yang mampu menghadirkan atraksi akting mengagumkan. Chadwick Boseman menunjukkan wibawa (dengan sesekali guratan keraguan) sebagai seorang raja terpilih merangkap pahlawan, Michael B. Jordan memberikan kompleksitas terhadap sosok Killmonger yang menjadikannya tidak sebatas penjahat gila yang sepatutnya kita benci, Lupita Nyong’o bersama Danai Gurira adalah dua perempuan tangguh yang akan diidolakan para gadis cilik, Letitia Wright menghadirkan tawa dalam setiap kemunculannya, Angela Bassett memberi keteduhan seorang ibu, dan Forest Whitaker memperlihatkan ambiguitas yang membuat kita menyadari bahwa karakter-karakter kunci di Black Panther berada dalam area abu-abu – tidak sepenuhnya putih, tidak pula sepenuhnya hitam. Memiliki kombinasi maut dari berbagai departemen seperti ini, tak mengherankan jika kemudian Black Panther mampu tersaji sebagai sebuah produk unggul dan menjadi kontender kuat sebagai film terbaik di tahun 2018.

Note : Black Panther memiliki dua adegan tambahan saat credit scene bergulir yang memberikan kita petunjuk mengenai The Avengers: Infinity War.

Outstanding (4/5)


Rabu, 30 Agustus 2017

REVIEW : WARKOP DKI REBORN: JANGKRIK BOSS! PART 2

REVIEW : WARKOP DKI REBORN: JANGKRIK BOSS! PART 2


“Asal lu tahu, kecepatan paling cepet di dunia itu mencret. Belum sempat kepikir, udah basah… kecepirit…” 

Memecah satu film menjadi dua bagian acapkali tidak memberikan hasil yang memuaskan. Terlebih jika motif utama yang melandasinya sekadar mengeruk uang sebanyak mungkin tanpa pernah memperhatikan kebutuhan cerita. Yang lantas terjadi, ketimpangan kualitas terpampang amat nyata. Satu bagian terasa sangat berisi, sementara bagian lain terasa seperti pelengkap yang dipanjang-panjangkan saja. Rumah produksi Falcon Pictures sempat mengambil keputusan kurang bijaksana ini untuk Comic 8: Casino Kings yang sejatinya sama sekali tidak membutuhkan dua bagian mengingat plotnya sendiri tidak memiliki kompleksitas berarti. Dicibir sebagian pihak, nyatanya keputusan beresiko tersebut berbuah manis. Tidak mengherankan saat kemudian rilisan besar terbaru mereka, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss!, arahan Anggy Umbara mendapatkan perlakuan serupa yakni dibagi ke dalam dua bagian. Sulit terhindarkan, belum apa-apa sudah muncul semacam kecemasan tontonan yang memberi penghormatan kepada grup lawak legendaris, Warkop DKI (Dono Kasino Indro), ini bakal menghadapi problematika senada seperti film yang memakai embel-embel ‘part’ lainnya. Yang lantas memunculkan secercah harapan, pernyataan dari si pembuat film yang mengatakan bahwa sejak awal film telah diniatkan untuk dibagi menjadi dua jilid. Memupuskan sedikit keraguan terhadap Part 2 yang mungkin saja kurang menghibur karena kesenangan sudah digeber habis di Part 1. Betulkah tidak ada yang perlu dikhawatirkan? 

Bagi kamu yang belum sempat menonton Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1, namun menunjukkan ketertarikan ingin menyaksikan Part 2, tak perlu risau akan tersesat dalam penceritaan. Sebelum kisah petualangan Dono (Abimana Aryasatya), Kasino (Vino G. Bastian), serta Indro (Tora Sudiro) dalam berburu harta karun di Malaysia berlanjut, penonton diajak mengilas balik ke serentetan kejadian di Part 1 terlebih dahulu. Hitung-hitung, menyegarkan ingatan. Selepas recap ditunaikan, film memulai guliran pengisahannya tepat setelah trio DKI beserta Sophie (Hannah Al Rashid), rekan kerja mereka dari CHIPS cabang Prancis, kehilangan jejak perempuan cantik berbaju merah yang disinyalir membawa tas berisi kode harta karun milik mereka. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari tas milik si perempuan, mereka diarahkan ke Perpustakaan Pusat yang kemudian mengantarkan mereka ke Pulau Langkawi. Di sana, kuartet asal Indonesia ini akhirnya berjumpa dengan si empunya tas yang tak lain tak bukan adalah seorang peneliti bernama Nadia (Nur Fazura). Menyadari Nadia mempunyai setumpuk informasi berharga mengingat statusnya sebagai penduduk setempat dan profesinya, trio DKI dan Sophie pun mengajak Nadia turut serta untuk berburu harta karun. Sebagai imbalannya, mereka akan bagi hasil. Kode harta karun yang mereka bawa lantas menuntun kelimanya menuju sebuah pulau tak berpenghuni di ujung barat. Berbagai peristiwa seram nan konyol yang turut melibatkan makhluk-makhlub gaib pun mewarnai petualangan mereka. 

Rupa-rupanya, kekhawatiran bahwa Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2 akan berakhir kopong dan garing lantaran kandungan hiburannya telah dipergunakan secara maksimal di Part 1 tidaklah terbukti. Selepas menyaksikan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2, barulah saya memahami mengapa si pembuat film begitu kekeuh memecah satu judul ini ke dalam dua bagian. Part 1 lebih bersifat sebagai babak introduksi yang memberi kesempatan kepada para penggemar Warkop DKI untuk mengakrabi kembali idolanya dalam ‘wujud’ baru sekaligus memberi kesempatan kepada para generasi muda yang tidak terlalu familiar dengan Warkop DKI berikut gaya ngelabanya untuk berkenalan. Inti konfliknya pun belum benar-benar dimunculkan – baru sebatas pemicunya – dan hampir sebagian besar durasi dibentuk selayaknya sketsa berisi kumpulan adegan ngelawak yang memadukan lawakan lawas sang legenda dengan kreasi baru. Barulah di Part 2 ini, penonton melihat para protagonis utama dihadapkan persoalan sesungguhnya seiring mulai berlangsungnya petualangan di Negeri Jiran. Tidak lagi menyerupai sketsa, humor dalam Part 2 terintegrasi dengan baik ke dalam plot yang sekali ini referensi utamanya adalah Setan Kredit dan IQ Jongkok. Yang menarik, tidak seperti katakanlah Comic 8: Casino Kings Part 2 yang berasa repetitif, tergolong kosong dan seolah sekadar pelengkap untuk jilid sebelumnya, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2 memang mempunyai jalinan pengisahan cukup memadai dan mengikat buat diikuti untuk diterjemahkan menjadi satu film.


Berita bagus lainnya untuk para penonton, tiada kelakar yang direduksi dalam Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2 demi memberi ruang lebih bagi sesi petualangan maupun aksi. Malahan, Anggy Umbara beserta dua penulis skrip, Bene Dion Rajagukguk dan Andi Awwe Wijaya, memilih untuk melipatgandakannya. Sebuah keputusan yang berpotensi mendatangkan ‘kerusuhan’ di dalam bioskop. Sebentar, sebentar, ‘kerusuhan’? Ya, saat saya menontonnya di Gala Premiere beberapa waktu lalu, suasana senyap tak pernah sekalipun terjadi. Gelak tawa heboh dari penonton hampir selalu terdengar di sepanjang durasi. Betapa tidak, sedari menit pembuka yang tepat melanjutkan apa yang tertinggal dari Part 1, penonton telah dihujani dengan banyolan-banyolan penggelitik saraf tawa meliputi keributan dengan penjual sabuk, toko serba KW yang memberi penghormatan ke Sama Juga Bohong, serta pertengkaran akibat lokasi toilet. Baru juga mereda, tawa berderai-derai lain dapat dipastikan muncul saat trio Warkop DKI beradu mulut dengan penjaga perpustakaan bersuara toa. Jika kamu berpikir bahwa humornya tidak bisa lebih lucu lagi, tunggu sampai kamu dibawanya mengikuti kelima tokoh dalam film menjejakkan kaki di pulau seram tak berpenghuni. Dimulai dari sini, kegilaannya semakin tak terbendung apalagi tatkala mereka bersentuhan dengan televisi ajaib yang memberi tawa heboh itu. Dilontarkan secara gesit dalam bentuk beraneka ragam (entah dialog sarat referensi yang terkadang nyentil, situasi ganjil, atau slapstick) dengan ketepatan waktu yang layak diacungi jempol membuat sebagian besar humor berhasil mengenai sasarannya. 

Satu dua keluhan tentu ada. Adegan di laboratorium yang melibatkan aktris Malaysia Nora Danish, daya bunuh komedinya tidak terlalu kuat begitu pula momen musikal Andeca Andeci. Pertarungan Indro melawan pocong, lalu Kasino melawan pohon hidup pun berlangsung agak terlalu lama dari semestinya yang sedikit banyak melunturkan kelucuannya. Mengalami sedikit sendatan di beberapa titik, untungnya tak mengganggu kesenangan secara keseluruhan yang diciptakan oleh Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2. Ketimbang jilid sebelumnya, Part 2 jelas lebih mengasyikkan, menghibur dan kocak. Sekali ini, penonton tidak saja diajak bernostalgia ke masa-masa kejayaan Warkop DKI tetapi juga bernostalgia dengan beberapa karakter / film Indonesia klasik. Dari sisi permainan lakon, trio Abimana Aryasatya, Vino G. Bastian, dan Tora Sudiro terasa semakin menyatu ke dalam karakter yang mereka mainkan khususnya Abimana dan Vino yang tampak meyakinkan sebagai Dono serta Kasino. Ketiganya memperoleh dukungan sangat baik dari barisan pemain pendukung seperti Indro Warkop, Hannah Al Rashid, Nur Fazura, Nora Danish, serta Babe Cabita dalam penampilan yang sangat menggelitik. Ya, departemen akting adalah salah satu kunci yang menjadikan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2 terasa begitu semarak disamping penyutradaraan, naskah, tata kamera oleh Yunus Pasolang yang memberi kesan vintage, iringan musik gubahan Andhika Triyadi, penyuntingan dari Wawan I Wibowo, dan polesan efek khusus. Sungguh sebuah penghormatan yang pantas bagi Warkop DKI dan sungguh pecah sekali film ini!

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/9_a5nd

Outstanding (4/5)


Selasa, 01 Agustus 2017

REVIEW : WAR FOR THE PLANET OF THE APES

REVIEW : WAR FOR THE PLANET OF THE APES


“I did not start this war. I offered you peace. I showed you mercy. But now you're here. To finish us off, for good.” 

Usai sebuah virus bernama Simian Flu menyebar ke seantero dunia di penghujung instalmen pertama dari trilogi prekuel ini, perlahan tapi pasti jumlah kera yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata membengkak sementara populasi manusia terus menyurut secara drastis. Menyadari bahwa peradaban manusia berada di ujung tanduk, berbagai upaya untuk menundukkan pertumbuhan masif kera-kera cerdas pun terus dilakukan oleh faksi-faksi militan. Koba, salah satu kera yang menyimpan dendam pada manusia lantaran pernah menjadi bahan eksperimen, tentu tak tinggal diam mengetahui adanya upaya pemberantasan ini sehingga dia pun menghimpun pasukan yang berasal dari kaumnya sendiri untuk memerangi manusia-manusia keji di seri kedua. Pertentangan antara manusia dengan para kera berotak brilian selama bertahun-tahun ini akhirnya mencapai titik kulminasinya dalam War for the Planet of the Apes. Melalui jilid ketiga, Matt Reeves yang turut membesut instalmen sebelumnya, Dawn of the Planet of the Apes, menghadirkan peperangan penting yang bukan saja menentukan masa depan dari dua spesies tersebut di muka bumi tetapi juga membentuk jalan menuju semesta yang dihadirkan oleh Planet of the Apes rilisan tahun 1968 selaku dedengkot franchise ini. 

Kematian Koba (Toby Kebbell) di film kedua nyatanya tak mengubah keadaan sedikitpun. Para manusia terus melacak keberadaan para kera yang tersisa, utamanya kelompok dari Caesar (Andy Serkis) yang kini memilih untuk bersembunyi jauh di dalam hutan. Namun persembunyian ini tak bertahan lama karena pada menit-menit pertama War for the Planet of the Apes, penonton langsung mendapati fakta bahwa persembunyian Caesar telah terendus. Pertempuran tak lagi terelakkan yang mula-mula dimenangkan dengan mudah oleh pihak manusia sampai kemudian keadaan berbalik saat sang pemimpin kaum kera yang tidak lain adalah Caesar memutuskan untuk turun tangan dan mengerahkan pasukan perangnya. Beberapa prajurit yang selamat dari pertempuran tersebut lantas dibawa sebagai tawanan ke markas para kera yang belakangan dilepas oleh Caesar demi menyampaikan pesan perdamaian ke atasan mereka, Kolonel (Woody Harrelson). Alih-alih menyanggupi permohonan untuk berdamai, Kolonel yang kini telah mengetahui secara pasti lokasi markas para kera justru membantai keluarga Caesar. Diliputi amarah yang meluap-luap, sang raja kera pun memutuskan untuk meninggalkan kawanannya dan menempuh perjalanan panjang guna membalas dendam pada Kolonel.
 

Setidaknya di 15 menit awal, War for the Planet of the Apes memenuhi permintaan dari khalayak ramai yang berbondong-bondong memenuhi gedung bioskop: peperangan yang seru. Selepas menyegarkan ingatan penonton mengenai alur penceritaan dari dua seri sebelumnya, Matt Reeves tanpa banyak berbasa-basi langsung menempatkan kita di tengah-tengah penyergapan. Secara silih berganti, terdengar suara tembakan, lalu suara anak panah dilesakkan. Untuk ukuran sebuah film yang mengantongi rating PG-13 (13 tahun ke atas), pemandangan yang terhampar di adegan pembuka ini terhitung kelam – meski ya, darah tidak terlalu nampak karena cahaya nyaris absen. Intensitasnya pun tinggi. Ada baiknya, penonton cilik yang mudah ketakutan atau merengek, tidak diajak ikut serta menonton War for the Planet of the Apes di bioskop karena nuansa yang dikedepankannya menyesakkan sekaligus menghantui. Keputusan yang cukup mengagetkan sebetulnya mengingat seri ini diniatkan sebagai tontonan eskapisme untuk menyemarakkan liburan panjang. Usai pertempuran pertama di film yang dimenangkan oleh pasukan Caesar, nada penceritaan kian muram. Pemicunya, Kolonel menyelinap masuk ke markas para kera lalu membunuh istri dan putra sulung Caesar. Belum sempat kita pulih dari serangan membabi buta, hati kembali dibuat terhenyak dengan kematian tak disangka-sangka. 

Canggihnya efek khusus yang membuat kita yakin bahwa para kera ini nyata adanya – bukan sebatas hasil kreasi komputer – sanggup mentranslasi perubahan mimik wajah dari Andy Serkis secara sempurna. Berkatnya, kita bisa mendeteksi adanya kepiluan, amarah, sekaligus kebencian yang melahirkan obsesi untuk membalas dendam dalam tubuh Caesar. Perlahan tapi pasti, jiwa Koba yang coba ditolaknya merasuk ke dalam dirinya. Dari sini, laju pengisahan film yang semula bergegas mulai melambat. Reeves ingin fokus kepada pertumbuhan karakter dari Caesar dengan menunjukkan peperangan sang protagonis dalam menekan sisi gelapnya yang mulai tumbuh tak terkendali. Sosok manusia yang mengayomi para kera tak lagi nampak disini dan sebagai gantinya, Caesar memperoleh bantuan serta wejangan dari sesamanya seperti Maurice yang bijak (Karin Konoval), Rocket yang setia (Terry Notary), Luca yang pemberani (Michael Adamthwaite), dan Bad Ape (Steve Zahn) yang celetukan berikut tindak tanduk menggelitiknya difungsikan untuk memberi sedikit keceriaan di sela-sela nuansa yang nyaris melulu tegang seperti bagaimana semestinya suatu medan peperangan. Disamping mereka, masih ada pula sesosok perempuan cilik bernama Nova (Amiah Miller) yang keberadaannya tidak saja memberi tribute pada Planet of the Apes tetapi juga untuk mengingatkan Caesar mengenai sisi ‘manusiawi’ dari dirinya. 

Ya, War for the Planet of the Apes bukan semata-mata sebuah spektakel pengisi liburan musim panas yang disesaki rentetan sekuens eksplosif – kamu akan mendapatinya di klimaks seru film ini – karena Matt Reeves mencoba pula untuk bercerita, mencoba memberi penutup layak bagi sebuah trilogi prekuel/reboot, dan mencoba membangun jembatan penghubung antar franchise yang dapat diterima dengan baik. Dalam War for the Planet of the Apes, selain menyoroti perjuangan beserta tumbuh berkembangnya Caesar sebagai suatu karakter sehingga pada akhirnya kita bisa memahami mengapa dia sangat pantas menyandang gelar ‘pemimpin sejati’, Reeves turut menyinggung isu gelap nan sensitif semacam rasisme, kekejaman peperangan, sampai sisi kelam makhluk hidup meliputi dendam dan ambisi yang disisipkannya secara cerdik ke dalam penceritaan bersama Mark Boomback. Alhasil, naskah War for the Planet of the Apes terasa bernas tanpa pernah terjerumus menjadi pretensius. Ini lantas diolah oleh Reeves menjadi bahasa gambar yang megah, mendebarkan, mengusik pikiran sekaligus menyayat hati. Kecakapan Reeves sanggup menempatkan War for the Planet of the Apes sebagai penutup trilogi yang amat baik sekaligus salah satu sajian musim panas paling berkesan tahun ini.

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/8_8jiV

Outstanding (4/5)


Selasa, 11 Juli 2017

REVIEW : DESPICABLE ME 3

REVIEW : DESPICABLE ME 3


“Face it, Gru. Villainy is in your blood!” 

Saat ini, siapa sih yang tidak mengenal serombongan makhluk cilik berwarna kuning penggemar pisang bernama Minions? Semenjak diperkenalkan pertama kali lewat Despicable Me (2010), popularitasnya langsung membumbung tinggi sampai-sampai studio animasi yang mencetuskannya, Illumination Entertainment, merasa perlu untuk menggunakannya sebagai logo studio saking ikoniknya dan mempersilahkan krucil-krucil menggemaskan nan menyebalkan ini untuk berlaga di film solo perdana mereka, Minions (2015). Meski respon dari para kritikus kurang begitu baik, khalayak ramai masih menyambutnya dengan amat antusias yang terbukti lewat torehan dollar mencapai $1 miliar dari peredaran seluruh dunia dan penjualan merchandise yang laris manis. Menilik betapa Minion masih menjadi aset menguntungkan bagi studio, maka tidak tanggung-tanggung dua judul dalam franchise Despicable Me pun dipersiapkan; pertama, jilid ketiga dari Despicable Me (2017), dan kedua, sekuel untuk Minions (2020). Masih mempertahankan tim yang sama dengan pendahulu, Despicable Me 3 dilepas sembari berharap-harap cemas film dapat mengulangi kesuksesan instalmen-instalmen sebelumnya dan terlepas dari kutukan seri ketiga dalam suatu trilogi yang umumnya mengalami kemerosotan kualitas maupun kuantitas. Mampukah? 

Dalam Despicable Me 3, Gru (disuarakan oleh Steve Carell) yang kini telah menikahi rekannya dalam Liga Anti Penjahat, Lucy (Kristen Wiig), ditugaskan untuk menggagalkan aksi pencurian berlian dari seorang mantan aktor cilik era 80-an yang bertransformasi menjadi penjahat berbahaya, Balthazar Bratt (Trey Parker). Ketidakberhasilan Grucy – akronim untuk Gru dan Lucy – dalam menghentikan sepak terjang Balthazar berujung pada pemecatan. Di tengah upaya mencerna kenyataan yang baru saja dihadapinya, Gru dikejutkan oleh datangnya berita bahwa sebagian besar Minion enggan mengabdi lagi padanya, lalu ayah kandung yang tidak pernah ditemuinya telah berpulang dan dia memiliki saudara kembar bernama Dru. Ditemani oleh Lucy bersama dengan ketiga putri ciliknya; Margo (Miranda Cosgrove), Edith (Dana Gaier), dan Agnes (Nev Scharrel), serta dua Minion yang masih setia kepadanya, Gru pun bertolak ke Freedonia demi menemui saudara kembarnya. Kehadiran Gru disambut gegap gempita oleh Dru yang berharap dapat memperoleh pelatihan untuk menjadi supervillain dari Gru. Tidak ingin mengecewakan Dru, Gru yang sejatinya telah insyaf pun mengajaknya terlibat dalam misi merebut kembali berlian dari markas Balthazar guna menyelamatkan pekerjaannya – sekaligus dunia, tentu saja – yang dikamuflasekan olehnya seolah-olah ini adalah misi pencurian dua penjahat berbahaya. 


Menapaki seri ketiga, nyatanya franchise Despicable Me mengalami apa yang dikhawatirkan banyak pihak: pesona yang mengendur. Apabila disandingkan dengan dua jilid awal, daya pikatnya telah mengalami penurunan. Salah satu faktor penyebabnya adalah jalinan pengisahan yang terlalu banyak mau. Ketimbang menempatkan fokus cerita sebatas pada pengejaran Balthazar, si pembuat film turut memunculkan cabang-cabang plot lain yang mengulik soal pertemuan Gru bersama saudara kembarnya, Minions yang membangkang dari Gru lalu berkelana dengan harapan dapat menemukan majikan baru, Agnes yang mempercayai bahwa ada unicorn di hutan Freedonia, sampai upaya Lucy untuk menyesuaikan diri menjadi seorang ibu yang baik bagi ketiga putrinya. Terasa saling tumpang tindih, penuh sesak dan berdampak pada sebagian besar subplot yang terhidang kurang matang ke penonton. Tahu-tahu sudah selesai begitu saja tanpa meninggalkan kesan lebih mendalam. Padahal subplot soal Lucy sebagai ibu baru berpotensi memberi sentuhan hangat pada film yang sekali ini urung hadir demi memberikan ruang untuk kegilaan demi kegilaan yang rasa-rasanya memang diingini sebagian besar penonton – utamanya penonton cilik. Bahkan sisi kebapakan Gru yang biasanya memperoleh porsi tersendiri pun agak dikesampingkan dan hanya menyisakan momen berkesan seperti Gru memberi kecupan selamat tidur pada si bungsu Agnes di ranjang tinggi yang cukup manis. 

Berita baik dari agak berkurangnya sentuhan emosional dalam Despicable Me 3 adalah duo Pierre Coffin dan Kyle Balda menggenjot lawakannya. Memang tidak semuanya mengenai sasaran, banyak pula yang berakhir garing dan mengesalkan terutama di bagian Dru. Namun ketika mencapai yang diingini, bisa benar-benar lucu. Kelucuan paling menonjok dalam film dipersembahkan oleh siapa lagi kalau bukan para Minion. Keputusan tepat mereduksi jatah tampil makhluk-makhluk kuning ini karena justru memperkuat kerinduan sekaligus mengurangi kejengkelan kita pada mereka. Sekalinya Minion muncul, derai-derai tawa terdengar riuh menggema di gedung bioskop semacam ditampakkan dalam adegan di penjara yang menggelikan dan kompetisi menyanyi yang berujung kacau. Disamping mereka, Gru dan Balthazar ikut berkontribusi agar unsur hiburan di Despicable Me 3 terjaga konstan. Lewat sosok Balthazar yang sayangnya kurang memperoleh penggalian karakter ini, penonton mendapatkan banyolan dengan referensi budaya populer cukup pekat yang sebagian besar diantaranya berasal dari era 1980-an. Iringan lagu-lagu legendaris dari Michael Jackson, Madonna, a-ha, sampai Olivia Newton John membantu menginjeksikan sisi fun pada film yang gagal diangkat oleh tembang-tembang anyar gubahan Pharrell Williams yang sekalipun enak buat dinikmati namun mudah dilupakan. Ya, enak dinikmati namun mudah dilupakan seperti halnya Despicable Me 3 itu sendiri.

Acceptable (3/5)