Tampilkan postingan dengan label cult. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cult. Tampilkan semua postingan

Senin, 18 Juni 2018

Suspiria (1977) (4/5)

Suspiria (1977) (4/5)


"Susie, do you know anything about... witches?"
 
RottenTomatoes: 91% | IMDb: 7,5/10 | Metascore: 79/100 | NikenBicaraFilm: 4/5

Rated: R | Genre : Horror

Directed by Dario Argento ; Produced by Claudio Argento ; Written by Dario Argento, Daria Nicolodi ; Based on Suspiria de Profundis by Thomas De Quincey ; Starring Jessica Harper, Stefania Casini, Flavio Bucci, Miguel Bosé, Barbara Magnolfi, Susanna Javicoli, Eva Axén, Alida Valli, Joan Bennett ; Narrated by Dario Argento, William Kiehl (English version) ; Music by Goblin, Dario Argento ; Cinematography Luciano Tovoli ; Edited by Franco Fraticelli ; Production companySeda Spettacoli ; Distributed by Produzioni Atlas Consorziate ; Release date1 February 1977 ; Running time98 minutes : Country Italy ; Language Italian, Russian, English, German, Latin

Story / Cerita / Sinopsis :
Suzy Bannion (Jessica Harper) tiba di Tanz Dance Academy di Freiburg - Jerman, untuk belajar balet, tanpa mengetahui bahwa hal-hal aneh menantinya di sana.

Review / Resensi: 
Sebagai penikmat film yang moody, sejauh ini saya hanya nonton film yang memang ingin saya tonton aja. Berhubung saya bukan penikmat film-film klasik, maka film-film di bawah tahun 90-an yang sudah saya tonton juga masih sangat sedikit. Jadi, saya nggak akan ngeklaim diri ini sebagai movie expert (atau istilah yang belakangan lagi ngetrend: movie elitist?). Kenapa saya nggak suka nonton film klasik? Karena sejujurnya, buat saya film-film lama itu terasa sangat... awkward. Menurut saya, biasanya film klasik tetap disukai oleh banyak orang karena unsur nostalgianya. Tapi kalau penonton awam (apalagi generasi milenial yang lahir di tahun 2000-an) disuruh nonton film klasik, saya nggak yakin mereka akan mengapresiasi dengan baik. Saya aja kalo disuruh nonton film horror lawas bukannya takut malah pengen ketawa. Suspiria -  salah satu film horror-klasik yang sering disebut sebagai salah satu film horror terbaik dari dekade 70-80an - termasuk salah satu film lama yang buat saya terasa awkward kalo ditonton jaman sekarang. Maka ampuni saya jika review saya berikut ini terasa agak asal-asalan dan kurang bisa memberi penghormatan yang layak ....

Suspiria dimulai dari kedatangan Suzy Bannion (Jessica Harper) di bandara dari Amerika Serikat untuk belajar balet di Tanz Dance Academy, Jerman. Kedatangannya di tengah malam dan diiringi badai hujan itu disambut dengan peristiwa aneh, seorang perempuan bernama Pat - yang belakangan diketahui salah satu murid Tanz Dance Academy - lari dengan ketakutan dari akademi tersebut. Tak lama kemudian Pat ditemukan mati dengan cara mengenaskan. Peristiwa-peristiwa yang lebih anehpun kemudian terjadi di akademi tersebut, membuat Suzy curiga bahwa akademi tersebut menyimpan suatu misteri yang harus diungkap.

Dario Argento adalah sutradara Italia yang cukup berpengaruh di dunia film horror pada dekade 70-80an, terutama pada subgenre giallo - sebutan untuk film dan literatur thriller - horror dari Italia. Mengutip dari Wikipedia, genre giallo ini punya elemen misteri dan seringnya juga mengandung unsur slasher, fiksi kriminal, thriller dan horror psikologis, sexploitation, dan terkadang supranatural. Dario Argento menyutradarai sebuah trilogi yang disebutnya "The Three Mothers", yang berkisah tentang penyihir kuno di tiga kota modern yang berbeda. Suspiria adalah film pertama dalam trilogi tersebut, dan sering disebut sebagai salah satu karya terbaik Argento sekaligus paling populer. Anyway, Luca Guadagnino (Call Me By Your Name, 2017) tahun ini ngeremake Suspiria (atau Guadagnino lebih suka menyebutnya sebagai "interpretasi bebas") yang dibintangi oleh Dakota Johnson dan Tilda Swinton, dengan - oh yes - Thom Yorke dari Radiohead sebagai pengisi musiknya. Trailernya baru aja keluar, and omg it's scary af. Nah, sekarang kamu tahu kenapa saya akhirnya mbelani untuk nonton versi ori Suspiria kan? 

Tagline pada poster Suspiria berbunyi seperti ini: "The Only Thing More Terrifying Than The Last 12 Minutes Of This Film Are The First 92". Wow, emangnya seseram dan sebagus apa sih Suspiria ini?



Oke, saya akan ngasih opini jujur sehubungan dengan saya yang baru nonton 41 tahun sejak filmnya pertama kali ditayangkan. Saya sudah bilang kan kalo saya agak sedikit punya masalah dengan nonton film lama? Buat saya yang terbiasa nonton film mondern. saya susah untuk ngelepas konteks bahwa film ini dibuat tahun '77. Pertama, yang paling mengganggu, tentu aja Suspiria masih sangat terbatas dalam perkara practical dan special effect-nya. Hal ini bikin efek gore yang muncul bukannya nakutin, malah buat saya pengen ketawa (*maafin*). Darah yang muncul, lebih terlihat seperti saos tomat ga jelas yang sering kita jumpai saat makan bakso pinggir jalan atau malah kayak selai strawberry. Kedua, editing dan pengambilan gambarnya masih sangat lama dan kasar. Belum lagi teknik yang digunakan masih teknik dubbing yang umum dilakukan kala itu di industri perfilman Italia. Ketiga, saya selalu agak terganggu dengan film lama karena akting para pemainnya terasa nggak natural dan dibuat-buat. Termasuk Jessica Harper yang akting pas pusingnya terasa sangat lebay di mata saya. Keempat, saya nonton ini sama mama saya. Beliau selalu nyinyir tiap nonton film horror, dan saat nonton Suspiria ini beliau jadi komentator yang berisik setiap tokoh utamanya melakukan kebodohan. Gimana mood saya nggak makin ancur. (Tapi yang bikin saya heran, film cult-classic macam Suspiria ini beliau nyinyirin, tapi di lain sisi beliau serius banget kalau nonton Karma di Anteve. Ya Allah ~).

Tapi saya bisa memahami betapa seramnya Suspiria pada masa itu. Nggak seperti Rosemary's Baby (1968) atau The Exorcist (1973) yang agak bertele-tele dalam ceritanya, Suspiria langsung menyajikan adegan gore penyiksaan seorang perempuan di menit-menit awal. Adegan brutalnya emang agak "wagu" kalo ditonton sekarang, tapi kalo inget film ini dibikin tahun '77, scene gore-nya sudah termasuk eksplisit dan ngeri. Favorit saya tentu aja puas adegan nyemplung ke "kamar berduri" - salah satu scene cerdas dimana Argento menampilkan adegan ini dalam satu menit yang bikin ngilu. Argento juga pintar menyisipkan momen-momen suspense yang menegangkan dan terasa khas Hitchcock, salah satunya ketika kita diajak menjelajahi ruangan demi ruangan Tanz Academy dan suara parau misterius nan menyeramkan dari sosok bayangan aneh.

Yang paling spesial dari Suspiria tentu saja bahwa Suspiria bukan sekedar film horror, tapi film horror yang artsy. Saya rasa ini hal paling mengesankan dari Suspiria yang membuatnya relevan hingga saat ini. Saya suka dekorasi dan interior bangunan yang ada, dengan ciri khas retro dan art-deco yang super cantik (dan creepy). Eksterior Tanz Academy dengan cat merahnya terasa gothic, kabarnya terinspirasi langsung dari Haus de Walfisch di Jerman. Ciri bangunannya mengingatkan saya dengan sebuah hotel di Lawang, Malang yang kabarnya banyak hantunya. Gimana ga serem.


Yang juga sangat impresif dan mengukuhkan Argento sebagai auteuristic director adalah penggunaan cahayanya dengan dominasi warna merah yang terasa bold, dramatis, dan psychedelic. Untuk mencapai palette warna-warna yang kaya ini, Suspiria menggunakan teknik proses pasca produksi dengan mesin Technicolor (apa itu? Saya juga ga ngerti-ngerti banget haha). Suspiria adalah salah satu film terakhir yang menggunakan ini. Menonton Suspiria mengingatkan saya dengan visual style film-film Nicolas Winding Refn, dan kabarnya Suspiria memang salah satu film yang menginspirasi doi. Guilermo del Toro juga kabarnya terinspirasi dari Suspiria saat menggarap Crimson Peak.

Eits, dan jangan lupakan juga soundtrack music tak terlupakan dari band progresif rock Goblin yang bekerjasama dengan Dario Argento sendiri. Tidak seperti film-film horror sunyi yang meminimalkan penggunaan suara dan memanfaatkan bunyi-bunyian bernada tinggi yang seram di saat yang tepat, Suspiria adalah film horror yang berisik. Hal ini bahkan sudah dimulai dari awal film dimulai, scoring music dari Goblin ft Argento sudah didendangkan dan menjadi penanda tentang hal-hal buruk yang akan terjadi. Musiknya terdengar aneh, animalistik, dengan racauan parau nggak jelas yang beneran seperti suara setan dari neraka. Sangat eksperimental pada masanya, bikin saya berpikir bahwa dipilihnya Thom Yorke sebagai pengisi musik di versi baru Suspiria adalah pilihan yang tepat karena musiknya memang terdengar seperti Radiohead. Bedanya, Goblin ini terdengar lebih berisik, penuh amarah, dan sadis, sementara musik Radiohead lebih terasa depresif yang suram (demikian juga kalo saya menganalisa sekilas dari trailernya). Scoring music dari Goblin ini mungkin terdengar terlalu ramai bagi sebagian orang dan sebagian penempatannya agak kurang pas, tapi Dario Argento masih pintar kok menampilkan adegan-adegan sunyi yang menegangkan.

Overview :
Sebagai penikmat film biasa, tentu buat saya menonton Suspiria yang diproduksi lebih dari empat puluh tahun terasa sedikit wagu dan konyol. Tapi toh hal ini kerap saya alami pada sebagian besar film-film lama yang diproduksi di bawah dekade 90an. But I get it why people call Suspiria is a cult-classic horror movie. Suspiria cukup seram pada masanya, namun aspek artistik-lah yang paling menonjol dan menjadikan Suspiria masih relevan hingga saat ini. Interior dekorasinya super-retro dan cantik, penggunaan lighting yang menawan dan iconic, dan scoring music dari Goblin membuat Suspiria makin membekas di ingatan.  

Minggu, 11 Februari 2018

Chasing Amy (1997) : Review & Analysis

Chasing Amy (1997) : Review & Analysis

A little note for me :
Hai, guys. Ga kerasa sudah hampir 2 bulan sejak terakhir kali saya nulis artikel di blog ini. Yang terjadi adalah seperti ini:  saya terbentur dengan kenyataan bahwa nulis blog tidak menghasilkan uang. Jadi, terpaksa deh blog ini jadi agak terbengkalai. Selama 2 bulan ini saya disibukkan dengan perkara pragmatis keduniawian sehingga ga sempat nulis blog. Bahkan nonton film (apalagi di bioskop) sudah jarang-jarang. Ditambah lagi, ga ada lagi unlimited wifi di rumah (So, selamat tinggal film-film nominasi Oscar...). Dan sekalinya saya nganggur, saya cuma bisa melirik koleksi film-film lawas saya yang belum sempat saya tonton dan berusaha memaksakan diri untuk mulai nulis blog lagi.

Oh, I know you miss me.. *cuih.
Maafkan ya kalo tulisan kali ini rada kacau, begitu lama nggak nulis otak saya jadi mampet.




"Since you like chicks, right, do you just look at yourself naked in the mirror all the time?"


RottenTomatoes: 88% | IMDb: 7,3/10 | Metascore: 71/100 | NikenBicaraFilm: 4/5

Rated: R
Genre: Drama, Comedy, Romance

Directed by Kevin Smith ; Produced by Scott Mosier ; Written by Kevin Smith ; Starring Ben Affleck, Joey Lauren Adams, Jason Lee, Dwight Ewell, Jason Mewes, Kevin Smith ; Music by David Pirner ; Cinematography David Klein ; Edited by Scott Mosier, Kevin Smith ; Production company View Askew Productions ; Distributed by Miramax Films ; Release date April 4, 1997 ; Running time 113 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $250,000

Story / Cerita / Sinopsis :

Holden (Ben Affleck) dan Banky (Jason Lee) adalah sahabat lama sekaligus comic artist yang menulis komik bersama. Suatu hari Holden bertemu seorang perempuan menarik, Alyssa (Joey Lauren Adams) dan jatuh cinta kepadanya - bahkan setelah mengetahui kalau Alyssa adalah seorang lesbian. Hal ini kemudian tidak hanya mempengaruhi hidup Holden namun juga persahabatannya dengan Banky. 

Review / Resensi :

Saya sebenarnya belum familiar dengan film-film Kevin Smith, dan ini adalah film pertama doi yang saya tonton. Selain indie-movie Clerks (1994), Chasing Amy sering disebut sebagai salah satu film terbaik dari Kevin Smith - dan konon katanya merupakan salah satu film tahun 1997 yang menjadi favorit Quentin Tarantino. Ga cukup bertindak sebagai penulis naskah sekaligus sutradara, Kevin Smith juga jadi aktor yang memerankan Silent Bob - salah satu anggota dari duo Jay and Silent Bob - yang merupakan karakter fiksi yang nongol di hampir setiap film-film Kevin Smith dan membentuk universe sendiri: Askewniverse. 

Dengan plot mengenai protagonis cowok yang jatuh cinta dengan perempuan lesbian, kamu mungkin sudah bisa menebak kalau Chasing Amy adalah sebuah film romance-comedy drama yang berbeda dari film-film sejenis kebanyakan. Melalui Chasing Amy, Kevin Smith nggak cuma ngomongin soal cinta, tapi juga membahas tentang seksualitas, persahabatan, serta garis batas abu-abu antara seks dan cinta. Saya sih bahkan merasa film ini jauh melampaui masanya - which is tahun 1997, yang artinya sudah 20 tahun lalu. Isu LGBT dan gender mungkin sudah merupakan isu yang telah lama didengungkan di Amerika Serikat, namun saya rasa bahkan hingga 20 tahun kemudian isu ini masih menjadi isu yang memicu pro kontra di Amerika Serikat (dan apalagi Indonesia dengan kaum bigot homophobicnya yang mendadak jadi agamis saat ngomongin homoseksual tapi khilaf saat menikmati girl-on-girl action).

Saya mungkin ga familiar dengan film Kevin Smith, namun menonton film doi untuk pertama kali saya langsung bisa membaca ciri khasnya yang menjadikan Chasing Amy sebagai sebuah drama unik yang "Kevin Smith" banget. Selain performa manja-seksi dari Joey Lauren Adams, kekuatan utama Chasing Amy hadir melalui naskahnya yang cerdas dan nonjok. Sentuhan humornya yang pintar dan sedikit sarkastik merupakan unsur hiburan tersendiri. Film ini juga punya dialog-dialog yang ramai, seru, dan asyik. Bahasanya mungkin kelewat kasar dan dengan istilah-istilah slang yang buat saya pribadi agak membingungkan, tapi overall masih bisa dinikmati. Cuma saya rasa ga banyak orang yang bisa menikmati film yang terlalu "berisik" ini. 

But anyway, setau saya di kalangan LGBT community sendiri Chasing Amy mendapatkan protes keras karena mereka menuduh Kevin Smith seolah-olah hendak mengatakan bahwa seorang lesbian hanya butuh pria yang tepat untuk mengubahnya ke jalur yang "lurus" (Just like Banky said: "All every woman really wants, be it mother, senator, nun, is some serious deep-dickin',"). Lesbian sepertinya cuma sekedar fase dari seorang perempuan yang bereksperimen dengan kehidupan seksualnya. Tapi coba simak dialog renungan Alyssa kepada Holden:
"And while I was falling for you I put a ceiling on that, because you *were* a guy. Until I remembered why I opened the door to women in the first place: to not limit the likelihood of finding that one person who'd complement me so completely. So here we are. I was thorough when I looked for you. And I feel justified lying in your arms, 'cause I got here on my own terms, and I have no question there was some place I didn't look. And for me that makes all the difference,".
Saya rasa di sini Kevin Smith berusaha mendobrak batas standar yang tidak hanya diterapkan oleh heteroseksual yang homophobic, namun juga dari komunitas LGBT sendiri: bahwa stop melabeli diri sendiri dengan straight, gay, atau bahkan biseksual. Mungkin orientasi seksual manusia tidak semuanya biner. Gampangnya: jika emang cinta, ya cinta aja! Inilah kenapa saya rasa Chasing Amy mengangkat kisah yang jauh melampaui masanya.

Dilihat dari perspektif lain, Kevin Smith juga tampaknya tidak ingin terjebak pada dikotomi mayoritas (heteroseksual - cissgender) yang berkuasa dan sewenang-wenang dan minoritas (LGBTQ) yang kasihanatau politik seksual dengan propagandanya yang mencitrakan LGBT sekedar sebagai komunitas sosial korban diskriminasi yang patut dikasihani. Tengok scene ketika Alyssa mendapatkan tanggapan yang tidak mengenakkan dari teman-teman lesbiannya ketika dia mengatakan bahwa dia jatuh cinta dengan seorang pria. Bagi saya ini seperti sindiran bahwa kaum LGBT bisa juga bersikap sama seperti kaum heteroseksual yang mengucilkan temannya yang mengaku gay.

Oke, selanjutnya ulasan ini akan mengandung spoiler karena saya pengen ngebahas endingnya yang sepintas kayak ga masuk akal. Saya.... sebenarnya cukup shock dengan endingnya, atau dalam hal ini keputusan Holden (Ben Affleck) yang mengusulkan untuk melakukan threesome antara dirinya, Alyssa dan Banky untuk memperbaiki hubungan di antara mereka. Saya merasa usulan ini terdengar seperti lelucon. But is it? Saya tahu Kevin Smith pasti sudah memikirkan ending filmnya dengan cukup baik, sehingga ide threesome dari Holden ini pasti ada maksudnya.

Lalu inilah yang kemudian saya simpulkan...

Pertama, Kevin Smith kayaknya memang berusaha untuk tidak membuat Chasing Amy berakhir klise. Jikalau klise, maka endingnya kurang lebih akan seperti ini: Holden merasa ia telah melakukan kesalahan, ia akan meminta maaf pada Alyssa, berusaha menerima masa lalu Alyssa dan menyadari bahwa di luar petualangan seksual Alyssa yang sebelumnya liar, ia tahu bahwa Alyssa menemukan cinta pada dirinya. Yap. That's very cliche yang mungkin akan kamu temukan di banyak film romantis lainnya.

Kedua, usul threesome itu terdengar konyol... karena Holden memang konyol dan tidak dewasa. Sepanjang film kita akan merasa bahwa Holden dan Banky mempunya karakter dan pemikiran yang berbeda. Banky cenderung lebih homophobic dan pemarah - ia bertingkah sangat kekanak-kanakan. Sementara Holden tampak sebagai pria open minded dan lebih dewasa. Namun rupanya Holden kemudian terjebak pada pemikiran yang sama konyolnya: ia tidak terima ketika menyadari bahwa ia bukan satu-satunya pria dalam hidup Alyssa. Alyssa boleh meniduri banyak wanita di dunia, namun dengan egoisnya Holden ga terima ketika ternyata Alyssa pernah meniduri lelaki lain (atau lebih tepatnya: dua lelaki sekaligus). Ini seperti konsep serupa betapa banyak lelaki yang terlalu memuja keperawanan dan bernafsu memerawani perempuan.

Seperti yang sudah saya bahas pada kesimpulan pertama, sebuah ending yang klise akan membuat Holden bisa menerima masa lalu Alyssa. Ia akan merasa bangga jika dirinya bisa menyadari bahwa di antara banyak petualangan seks Alyssa, Alyssa justru menemukan cinta sejati pada dirinya: seorang pria membosankan. Dan ini seperti impian yang diidam-idamkan perempuan yang mencintai pria playboy. Mungkin perempuan naif itu akan berpikir seperi ini: Oh.... that bad boy was fooled around but then suddenly fell in love with me! Sang playboy tobat, dan sang perempuan bisa bangga ia bisa "menaklukkan" pemuda liar. But then again, perspektif pria dan wanita dipengaruhi standar ganda hasil budaya patriarki. Kita jauh lebih permisif terhadap pria yang main perempuan, namun sekalinya perempuan ada yang berani mengeksplorasi seksualitasnya, oh... she's a slut. Tak peduli ia sudah "tobat" atau tidak, citra yang melekat tetaplah murahan. Dan inilah yang tidak bisa dihilangkan dari benak Holden.

Karena itulah ia kemudian mengusulkan ide yang beneran konyol: threesome. Ia mendengar cerita Chasing Amy dari Silent Bob lalu menyadari bahwa dirinya yang kalah jumlah dan variasi petualangan seks dibandingkan pacarnya membuatnya merasa insecure. Namun alih-alih menerima kenyataan itu, ia justru berusaha mencari petualangan seks yang sama. Ia mengajukan usul threesome - dengan bodohnya - tanpa menyadari bahwa Alyssa sudah bukan lagi perempuan seperti dulu.
I love you, I always will. Know that. But I'm not your fucking whore.
Holden rupanya, masih seorang pria dengan pandangan sempit.


Overview :

Sebuah drama dengan kisah yang unik dari tahun 90-an yang pastinya wajib ditonton bagi penggemar film. Kevin Smith cukup berani untuk mengeksplorasi cinta, seksualitas, orientasi seks dan hubungan asmara lewat filmnya ini. Dialognya asyik, seru, nakal, namun juga dalam dan nonjok di saat yang diperlukan. Sentuhan humornya cerdas sekaligus konyol. Joey Lauren Adams memberikan performa menarik sebagai gadis yang manja-dan seksi dan Ben Affleck mengingatkan saya bahwa dia sebenarnya aktor yang cukup baik. Chasing Amy juga dipenuhi referensi pop-culture yang terasa sangat 90's hingga jika seseorang bertanya kepada saya film apa yang 90's banget? Saya mungkin akan merekomendasikan film ini.

Sabtu, 07 Oktober 2017

Penjelasan Film Blade Runner 2049

Penjelasan Film Blade Runner 2049


Dua puluh empat jam setelah nonton Blade Runner 2049, dan saya masih belum bisa move on. Blade Runner 2049 menawarkan kompleksitas cerita yang sayang banget kalau nggak dibikin artikel khusus sendiri. Walaupun hype Blade Runner 2049 emang lumayan tinggi, tapi saya juga ngrasa film ini ga se-"santai" yang diharapkan penonton awam, hingga mungkin ada beberapa di antara kalian yang kebingungan dan mengharapkan penjelasan lebih rinci. Saya menulis ini berdasarkan satu kali nonton aja, jadi mungkin ada banyak poin yang bisa jadi saya kelewatan dan ga match, jadi please kalau ada yang punya perspektif lain yang lebih benar bisa nulis di comment ya.

(SPOILER ALERTS! Buat yang belom nonton ada baiknya baca review Blade Runner 2049, lalu nonton, trus baru deh kembali ke sini lagi. Dan ngomong-ngomong, artikel ini bakal panjang.... So, be prepare...).

BLADE RUNNER (1982) : THE ORIGINAL



Saya nggak tahu apakah mereka yang belom nonton versi ori-nya bisa langsung paham dengan sekuelnya. Secara garis besar mungkin bisa, tapi saya rasa mereka yang sudah nonton film ori-nya bakal lebih terpuaskan dan nyambung karena Blade Runner 2049 menawarkan extended story and universe dari film ori-nya. 

Blade Runner (1982) bercerita tentang dunia distopia tahun 2019, dimana manusia bisa merancang "manusia buatan" hasil genetic-engineering yang disebut Replicant. Replicant digunakan sebagai budak untuk bekerja di koloni dunia luar (off-world colonies). Di film Blade Runner, para replicant ini dirancang dan diproduksi oleh Tyrell Company. Para replicant ini dilarang untuk kembali ke bumi, dan mereka yang kabur ke bumi akan diburu oleh polisi khusus yang disebut blade runner. Deckard (Harrison Ford), adalah seorang blade runner yang diminta memburu empat replicant berbahaya yang kabur ke bumi dengan pimpinannya Roy Batty (Rutger Hauer) - dan tampaknya hendak mencari Tyrell, yang menciptakan mereka. Dalam misi perburuannya, Deckard bertemu dengan Rachael (Sean Young), seorang replicant terbaru ciptaan Tyrell yang bertindak sebagai asisten Tyrell. Si Rachael ini sangat spesial karena ia ditanami "ingatan" khusus yang membuatnya jadi percaya bahwa dirinya adalah manusia beneran dan "ingatan khusus" ini membuatnya mempunyai sisi emosional yang lebih terkontrol dari versi replicant sebelumnya. Bisa ditebak, Deckard terus terlibat asmara deh dengan si Rachael ini.

Blade Runner sendiri punya banyak versi yang cukup berbeda. Kalau baca interview-nya, Blade Runner 2049 lebih didasarkan pada versi The Final Cut-nya Blade Runner yang dirilis tahun 2002. Salah satu pertanyaan ambigu terbesar bagi para penonton dari film Blade Runner adalah si Deckard ini manusia beneran atau replicant juga? Nah, versi The Final Cut-nya ini lebih menguatkan dugaan kalau Deckard adalah seorang replicant. Ridley Scott memasukkan scene Deckard bermimpi unicorn yang tidak ada di versi sebelumnya, dan di akhir diperlihatkan origami unicorn bikinan Gaff yang besar kemungkinan menunjukkan bahwa Gaff mengetahui jika Deckard adalah seorang replicant yang juga dipasang implant ingatan/mimpi. "Happy ending" di original cut-nya (katanya sih si Deckard dan Rachael berhasil kabur) juga dihapus, membuat ending versi The Final Cut jadi lebih ambigu. Versi The Final Cut berakhir dengan Deckard kabur bersama Rachel dari apartemen Deckard. 

BLADE RUNNER 2049 : THE PLOT 



Blade Runner 2049 berkisah tentang petualangan K (Ryan Gosling), 30 tahun sejak Deckard menghilang. Ada banyak hal yang terjadi selama 30 tahun itu. Salah satunya, perusahaan Tyrell bangkrut dan dibeli oleh Wallace (diperankan Jared Leto). Wallace merancang jenis replicant lain dalam versi yang tidak dimiliki jenis replicant pendahulunya: lebih patuh. Hal ini bisa terlihat dari karakter Luv (Sylvia Hoeks), yang jagoan dan sangat setia pada Wallace (and remember when she said, "I'm the best!" and when Wallace refer her as his best angel?). Selain itu, pada tahun 2020 ada semacam pemberontakan yang dilakukan replicant yang berujung pada peristiwa Black Out, dimana listrik di bumi padam total dan menghapus data-data tentang replicant. Nexus 8, adalah jenis replicant yang harus diburu dan "dipensiunkan" oleh blade runner, dan sisa-sisanya yang hidup berusaha membaur dan bersembunyi di masyarakat (salah satunya adalah tokoh Sapper Morton (Dave Bautista) dan prostitute Mariette (Mackenzie Davis)). Nexus 8 ini jelas lebih canggih dari Nexus 6 yang ada di Blade Runner, mereka tidak punya life-span 4 tahun sebagaimana karakter Roy Batty (Rutger Hauer).  

Di lahan pertanian milik Sapper Morton, K kemudian menemukan tengkorak seorang wanita. Sang wanita diduga meninggal saat melahirkan, dan dari tulangnya yang berkode, diketahui kalau wanita tersebut adalah seorang replicant. Hal ini sangat mustahil karena replicant yang ada selama ini "tidak didesain" untuk punya anak. Letnan Joshi (Robin Wright) menganggap fakta ini bisa mengganggu stabilitas dunia ("The World is built in a wall that separates kind. Tell either side there's no wall... You bought a war.") dan mengutus K untuk menyelidiki kasus ini dan membakar seluruh bukti adanya "prodigy child" replicant. Belakangan, diketahui bahwa sang wanita yang mampu mempunya anak itu adalah Rachael, replicant dari film Blade Runner sebelumnya. Di lain sisi, Wallace (Jared Leto) juga hendak mencari sang anak karena ia sendiri ingin bisa memproduksi replicant yang bisa bereproduksi (ingat adegan si Wallace dengan jahatnya menyayat perut replicant jenis baru yang baru aja diciptakan?). Ia pun menyuruh asistennya Luv untuk membuntuti penyelidikan K.

Penyelidikan yang dilakukan K kemudian mengantarkannya pada sebuah kenyataan yang sulit dipercaya: ia berpikir bahwa dirinya adalah sang anak hasil keajaiban. Hal ini didukung fakta ingatannya tentang boneka kayu berukir tanggal 6-10-21 yang disembunyikannya di sebuah panti asuhan, dan ternyata boneka kayu itu beneran ada. Ia pun berusaha mencari Deckard, yang dianggapnya adalah ayahnya. But uh-oh, di sinilah naskahnya bermain dengan baik: sooner kita mengetahui bahwa K bukanlah sang anak. Anak Rachel dan Deckard adalah seorang perempuan, dan rupanya sang anak adalah Dr. Ana Stelline (Carla Juri) yang selama ini bekerja sebagai subcontractor Wallace yang kerjanya menanamkan ingatan kepada para replicant. K kemudian bertemu Freysa (Hiam Abbas), perempuan bermata satu yang menjadi pemimpin pemberontakan para replicant. Ia diminta untuk mencari Deckard yang diculik Luv/Wallace, dan membunuhnya jika perlu, agar rahasia sang anak replicant tidak diketahui oleh Wallace. Di bagian akhirnya, K berhasil menyelamatkan Deckard dan mempertemukannya dengan Ana. K sendiri akhirnya meninggal akibat lukanya, dalam damai dan artistik di atas salju...

SO, K IS A REGULAR REPLICANT?

Yap. K adalah seorang replicant biasa. Ingatan tentang boneka kayu bertanggal 6-10-21 adalah ingatan yang (entah sengaja atau tidak) ditanamkan oleh Ana pada dirinya. Dan ingatan ini merupakan ingatan asli dari Ana. Anak kecil yang tampaknya seperti anak lelaki dari ingatan K, sebenarnya adalah seorang anak perempuan (that's clever!). 

Maka kisah hidup Ana kehidupan menjadi masuk akal. Ia tinggal sendirian - dimana menurut ceritanya ia terlalu sakit untuk pergi ke off-world colony - terlindungi di kantornya. Tampaknya para replicant lain berusaha melindunginya, dan Deckard membantu mengajari para replicant untuk mengacaukan data demi menyembunyikan identitas Ana. Adalah hal yang ironi, ketika Wallace tidak mengetahui bahwa "sang anak" selama ini justru bekerja untuknya. 

SO, IS DECKARD A REPLICANT TOO?

Ini pertanyaan paling sering ditanyakan yang menghantui benak fans film ori-nya. Sayangnya, jawaban itu tidak didapatkan secara gamblang di film ini. Saya pikir ini sesuai dengan tema filosofi film ini sendiri (tentang siapa itu manusia? dan apakah membedakan seseorang manusia atau bukan adalah perkara penting?). Tapi buat saya pribadi sih, Deckard adalah seorang replicant. Namun entah dia benar replicant atau tidak, hal ini sebenarnya sama sekali bukan sesuatu yang signifikan. Keajaiban itu ada pada diri Ana, bukan Deckard. Tidak penting Deckard replicant atau tidak, yang penting adalah tindakan yang dilakukannya. (Coba baca artikel ini). 

KOK RACHAEL BISA HAMIL?

Jawaban ini juga tidak disampaikan secara eksplisit. Saya kira ini adalah hasil kejeniusan Tyrell yang menciptakan Rachael sebelumnya. Wallace juga menduga-duga sendiri bahwa pertemuan antara Deckard dan Rachael di Blade Runner (1982) memang sengaja dilakukan oleh Tyrell itu sendiri - untuk melihat apa yang bisa terjadi di antara mereka. Sayangnya, Tyrell-nya udah keburu mati duluan dibunuh replicant Roy Batty di Blade Runner. Ana, yang merupakan replicant yang "dilahirkan" alih-alih diciptakan, menjadi sebuah simbol harapan bagi para replicant untuk bisa menyadari bahwa diri mereka itu nyata dan juga manusiawi. Apakah ini menunjukkan replicant lain bisa hamil? Entah. Yang jelas, ada kemungkinan bahwa si Ana mewarisi genetik ibunya untuk juga bisa hamil dan melahirkan. 

THE PHILOSOPHY



Blade Runner sama sekali bukanlah sebuah film sci-fi yang entertaining, tapi kalau kamu mencari film dengan gagasan filosofis yang dalem dan berat dalam sebuah film populer, maka Blade Runner adalah rujukan yang tepat. Konsep filosofis yang saya tangkep dari Blade Runner (1982) maupun Blade Runner 2049 (2017) berkisar pada pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: siapakah manusia? apakah yang membuat "sesuatu" dikatakan manusia? bagaimanakah menjadi manusia? Apakah jiwa itu?

Dalam film Blade Runner, mata merupakan simbolisme tentang apa itu manusia. Mata adalah jendela jiwa. Melalui mata kita bisa melihat dan membaca emosi, mengetahui apakah seseorang punya "jiwa" atau tidak. Film orinya Blade Runner (1982) dimulai dengan gambar close-up sebuah mata, demikian juga dengan Blade Runner 2049 yang dimulai dengan hal yang sama. Tes-tes yang dilakukan blade runner untuk mengecek apakah seseorang adalah replicant atau bukan juga dibaca melalui matanya. Freysa, sang pemimpin pemberontak replicant mencabut (atau dicabut) matanya. Ironisnya, Wallace - sang kreator para replicant, justru buta. Ini tampaknya menjadi sebuah metafora bahwa Wallace, seorang manusia, justru terlihat sangat tidak manusiawi.   

Dengan menciptakan dunia distopia yang asing dan dingin, Blade Runner secara tidak langsung ingin menunjukkan bahwa manusia asli justru lebih mirip robot yang tidak punya perasaan. Ketika Zhora terbunuh dalam adegan yang dramatis di film ori Blade Runner, orang-orang di sekitarnya sama sekali tidak peduli. And please, manusia-manusia itu memperbudak replicant untuk kepentingan mereka sendiri! Sebaliknya, para replicant di Blade Runner seperti Roy Batty, Pruiss, Rachael, justru mengembangkan emosinya sendiri. Mereka peduli dengan sesama replicant lainnya. Roy bahkan mampu berkontemplasi dan berpuisi ria dalam Tears in Rain monologue-nya yang sangat ikonik. Deckard juga membuat Rachael jatuh cinta, membuktikan bahwa emosi yang terjadi di antara mereka nyata.


Di Blade Runner 2049, ketidakmanusiawian dan kekosongan jiwa pada manusia itu utamanya digambarkan melalui karakter Wallace yang buta, dingin, dan obsesif, serta kantornya yang modern tapi sepi dan sangat "inhuman". Pertanyaan-pertanyaan soal batasan-batasan manusiawi juga dihadirkan melalui sosok Joi, sang makhluk virtual super loveable yang menjadi kekasih K. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah untuk menjadi manusia kita butuh "tubuh"? Salahkah jika kita mencintai makhluk virtual seperti hologram, tapi secara emosi dan penampakan sangat manusiawi dan terasa nyata? Apa sih "nyata" itu? Bagaimana sesuatu dikatakan punya "jiwa"? Tentu ini merupakan gagasan filosofis menarik mengingat bahwa sebagian manusia jaman sekarang terjebak pada relasi virtual.

Salah satu tema lain yang melingkupi Blade Runner adalah Bible-reference-nya. Sayangnya berhubung saya bukan penganut Kristiani, maka saya kurang paham dan tidak bisa bicara soal ini. Tapi saya ingin membahas nuansa relijiusitas dalam film ini: hubungan Creator (God) dan Creation (Human). Dalam film ini sang Creator adalah manusia, dan Creation-nya adalah para replicant. Orang kerap menyamakan Roy Batty di film Blade Runner sebagai Lucifer, the fallen angel yang melakukan pemberontakan terhadap Tuhan. Saat ia menemui Tyrell, ia sedang mempertanyakan keputusan Tuhan-nya - dan bahkan berujung dengan membunuh Penciptanya sendiri. Saya rasa tema besar ini juga yang ingin Ridley Scott sampaikan lewat karakter robot David (Michael Fassbender) di Prometheus dan Alien: Covenant (well, dimana robot yang diciptakan justru jauh lebih kuat, abadi, dan manipulatif dari penciptanya dengan kemampuan "free-will"-nya). Di Blade Runner 2049, saya merasa sosok Wallace mewakili Tuhan. Wallace mengungkapkan gagasan kontroversial: betapa peradaban selalu dibangun dengan mengorbankan manusia. Jika tidak ada manusia yang  mau melakukannya, kenapa kita tidak membuat "manusia buatan"? Ia dingin, jenius, dan terasa tidak manusiawi, hey.. he is God! Bukankah Tuhan seharusnya terlepas dari sifat-sifat manusiawi?

K'S JOURNEY


Sepenting apakah karakter K dalam Blade Runner 2049? Sangat penting! Tidak hanya ia merupakan polisi yang diminta menyelidiki misteri yang terjadi, namun perjalanannya juga mewakili perubahan replicant yang sebelumnya hanyalah "manusia buatan yang selalu patuh pada perintah manusia" menjadi seorang replicant dengan ciri-ciri manusiawi yang berkehendak (have free will)

Awalnya ia tidak ubahnya robot yang diprogram: ia bisa membunuh sesama kaumnya karena itu adalah tugas yang memang telah diciptakan untuknya. He is a blade runner, created to hunt and kill another replicant. Sebagai replicant, ia menjalin hubungan dengan makhluk virtual Joi, karena baginya itu adalah hubungan paling nyata yang bisa dan layak ia dapatkan. Namun semuanya berubah ketika ia mengira dirinya adalah "sang anak ajaib". Dengan percaya bahwa dirinya spesial dan berbeda, K merasa menemukan tujuan dan harapan lain dari hidupnya yang "terprogram". Ia tidak lolos "uji" replicant saat kembali ke kantor dan mampu berbohong kepada bos nya kalau ia sudah membunuh sang anak. Ia membuat pilihan di luar yang telah diperintahkan untuknya. Ia menyadari bahwa emosi yang dirasakannya kepada Joi nyata, that he truly loves her. Semakin lama ia merasa bahwa dirinya "real" - salah satu klimaksnya ada pada adegannya berteriak di kantor Ana sesaat setelah mengira bahwa ia adalah sang anak ajaib - hal yang tidak pernah dilakukan K sebelumnya yang sangat tidak emosional.

Blade Runner 2049 ingin menunjukkan apa yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Yang membuat manusia "hidup" dan sebenar-benarnya manusia adalah karena kita punya free-will, kepercayaan, cinta, harapan, dan tujuan hidup. K adalah bukti bahwa replicant semakin lama bisa "more human than human" setelah dirinya mempercayai bahwa ia spesial. Dalam misi terakhirnya, sebagaimana yang diminta Freysa, ia diminta untuk melakukan pengorbanan (dengan mencari Deckard yang diculik K) sebagai sesuatu paling manusiawi yang bisa ia lakukan

....
Yap. Jadi itulah semua yang bisa saya dapat dari nonton Blade Runner 2049. Saya kira tema-tema "berat" seperti ini tidak akan terlalu disukai oleh banyak orang (dan bukankah kita datang ke bioskop untuk terhibur bukannya pusing mikirin hidup dan berfilsafat ria?). 

Untuk kamu yang mikirnya sama ruwetnya dengan saya, please leave a comment here. Atau jika masih ada pertanyaan bisa tinggalkan comment ya!
Blade Runner 2049 (2017) (4,5/5)

Blade Runner 2049 (2017) (4,5/5)


The World is built in a wall that separates kind. Tell either side there's no wall... You bought a war.
RottenTomatoes: 90% | IMDb: 8.8/10 | Metascore: 82/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5

Rated: R | Genre: Action, Adventure, Science-Fiction, Drama

Directed by Denis Villeneuve ; Produced by Andrew A. Kosove, Broderick Johnson, Bud Yorkin, Cynthia Yorkin ; Screenplay by Hampton Fancher, Michael Green ; Story by Hampton Fancher ; Based on Characters from Do Androids Dream of Electric Sheep? by Philip K. Dick ; Starring Ryan Gosling, Harrison Ford, Ana de Armas, Sylvia Hoeks, Robin Wright, Mackenzie Davis, Carla Juri, Lennie James, Dave Bautista, Jared Leto ; Music by Hans Zimmer, Benjamin Wallfisch (Blade Runner themes composed by Vangelis) ; Cinematography Roger Deakins ; Edited by Joe Walker ; Production companyAlcon Entertainment, Columbia Pictures, Scott Free Productions, Torridon Films, 16:14 Entertainment, Thunderbird Entertainment ; Distributed by Warner Bros. Pictures ; Release date October 6, 2017 (United States) ; Running time163 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $150–185 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Bersetting 30 tahun dari film originalnya, Blade Runner 2049 bercerita tentang agen K (Ryan Gosling), seorang blade runner, yang harus menyelidiki sebuah rahasia yang dianggap membahayakan. Misteri ini kemudian mengantarkannya bertemu dengan agen Deckard (Harrison Ford) yang telah menghilang selama 30 tahun. 

Review / Resensi :
Kalau boleh ngaku, sejujurnya waktu pertama kali saya nonton Blade Runner saya ketiduran sampai 2 kali nonton. Akhirnya pas nonton ketiga baru bisa nonton sampai habis, dan itupun saya merasa filmnya sangaaaaaat membosankan. Mungkin karena awalnya saya pikir Blade Runner adalah sebuah film science-fiction yang full action atau minimal penuh petualangan yang seru, namun rupanya Blade Runner adalah dystopian neo-noir dengan pace yang terbilang sangat lambat (dan cukup banyak suasana hening yang bikin ngantuk). Tapi, saya cukup paham kenapa Blade Runner yang awalnya sama sekali nggak laku di pasaran lama-lama bisa memperoleh status cult. Film ini sangat visioner pada jamannya. Visualnya mengagumkan, scoring music-nya iconic, dan dengan cerita yang multilayered dan filosofis. Saya pun harus nonton lagi - dalam percobaan keempat kali sembari persiapan untuk nonton Blade Runner 2049 - sampai akhirnya saya baru benar-benar bisa memahami dan menyukai film ini. 

Saya mendaulat diri saya sebagai fans Dennis Villeneuve setelah Sicario (2015) dan apalagi Arrival (2016). Makanya saya langsung excited banget waktu tahu bahwa ia akan bertindak sebagai sutradara dalam sekuel Blade Runner, apalagi proyek ini masih di bawah "bimbingan" the sci-fi guru Ridley Scott yang menggarap film pertamanya. Belum lagi nama-nama yang melengkapinya: aktor Ryan Gosling, Harrison Ford, Robin Wright, Jared Leto, sinematografer Roger Deakins, dan sebelumnya: music composer Johann Johannson (sebelum akhirnya diganti Hans Zimmer). Hype Blade Runner 2049 ini sudah saya rasakan dari awal publikasinya, hingga dengan nawaitu niat pol saya berangkat ke bioskop di penayangan perdananya (jam pertama pula!). Dengan semangat menggebu-gebu pula saya pulang langsung bikin review-nya.

Ada beban berat bagi Villeneuve untuk menggarap sebuah sekuel film yang telah dianggap cult. Blade Runner 2049 harus bisa menawarkan sesuatu yang inovatif dari pendahulunya, namun tidak boleh kehilangan roh film originalnya. Untunglah, pada akhirnya visi Villeneuve bisa mengantarkan Blade Runner 2049 sebagai sebuah tribute atau penghormatan yang layak bagi film originalnya. Hampir semua elemennya mengingatkan saya pada versi aslinya yang digarap Ridley Scott, tentu dalam versi modern yang lebih megah. Visualnya, scoring music-nya, pace filmnya, storyline-nya (dan emang salah satu screenwriter-nya adalah Hampton Fancher yang dahulu juga menggarap Blade Runner), muatan filosofis-nya (dengan bible-reference-nya), dialognya, bahkan hingga fantasi teknologi-nya.... menonton 2049 terasa bagaikan sebuah nostalgia yang menyenangkan bagi para hard-core fans-nya.

Namun perlu saya beritahukan dahulu, bahwa terlepas dari nuansa futuristiknya yang tampak menjanjikan sebagai sebuah blockbuster movie, saya merasa 2049 tetaplah Blade Runner. Saya suudzon ABG-ABG fans berat Ryan Gosling yang menonton film ini kayaknya nggak bakal suka dengan filmnya. Termasuk kamu-kamu hei penggemar Roland Emerich dan Michael Bay! 2049 adalah sebuah film neo-noir bergenre science-fiction. Filmnya bergerak dengan lambat, durasinya bahkan 2 jam 45 menit, kisahnya suram nan depresif, dialognya berat... clearly Blade Runner 2049 is segmented. Orang yang datang ke gedung bioskop sambil berharap akan menonton dunia science-fiction ala Star Wars tampaknya harus menelan kekecewaan ketika Blade Runner 2049 lebih fokus pada adegan detektif-detektifan, suasana yang hening (please itu kantornya Wallace masa ga punya pegawai!), serta drama filosofis soal what-make-a-human-human? Apalagi kalau kamu belum nonton versi awalnya, saya sangsi apakah kamu bisa benar-benar mengerti maksud film ini. Syukurlah saya sudah belajar dari kesalaham, sehingga saya masuk ke gedung bioskop dengan persiapan mental ~ yang membuat saya jadi bisa menikmati filmnya dengan fokus tingkat tinggi.

Kekuatan utama Blade Runner 2049 jelas ada pada visual futuristiknya. Bersettingkan sebuah dystopian universe tahun 2049 (30 tahun setelah setting cerita dari film awalnya), bumi masa depan yang ada di film ini bukanlah dunia yang menyenangkan. Pada Blade Runner, desain set dan lokasinya tampaknya terinspirasi dari kota Tokyo dan New York yang ramai di malam hari, namun dalam versi imajinatif yang kelam, ramai, gemerlap dengan lampu neon-punk dan papan iklan komersial, bising, multikultur, sekaligus terasa asing dan tidak menawarkan kehangatan. 2049 mampu membawakan universe yang sama, mengubah Los Angeles menjadi dunia cyber-punk bersalju dalam gambar-gambar luar biasa indah yang membuat saya ngowoh sepanjang nonton. Selain itu 2049 mengantarkan kita ke luar kota yang tidak dijamah di film orinya, San Diego dan Las Vegas digambarkan menjadi sebuah kota yang hancur, berantakan dan ditinggalkan. Roger Deakins selaku sinematografer (please give that damn trophy for him next year!) - bersama jajaran pendukung special effect dan production design-nya, membawa lansekap dunia masa depan yang realis ke layar bioskop - saya tidak ada henti-hentinya mengagumi setiap detail pemandangan yang ditawarkan di depan. Perhatikan scene saat Joi dan K berciuman di atas gedung, atau saat K dan Deckard berantem di sebuah ruangan mini-concert, atau ketika scene ketika Joi berusaha "sync" dengan tubuh Mariette saat hendak bercinta dengan K, atau ruangan kantor Wallace yang tampil modern, sleek dan "inhuman", atau saat K menjelajah gurun gersang dengan patung-patung perempuan.... It's just breath-taking.  Dari aspek teknis, Blade Runner 2049 tampaknya akan menjadi the next Mad Max : Fury Road (2016) di Oscar tahun depan (dan mungkin akan bersaing ketat dengan Dunkirk (2016)). Jangan lupakan juga the master Hans Zimmer yang membungkus 2049 dengan scoring music-nya yang asyik, tanpa menanggalkan ciri khas yang sebelumnya pernah dilakukan Vangelis di tahun 1982. Walaupun, saya sendiri sih lebih suka komposer Johann Johannson, yang belakangan harus meninggalkan proyek ini karena menurut Villeneuve, Hans Zimmer lebih cocok.

Dari segi cerita, Blade Runner 2049 juga masih menawarkan kedalaman cerita serupa seperti yang pernah dilakukan film originalnya (saya akan membahas ini lebih jauh pada artikel khusus mengenai penjelasan film ini). Pace-nya terbilang lambat dengan jalinan cerita yang kurang "action", dialognya juga sedikit berat dan tidak eksplisit, saya tidak menyalahkan kalau ada orang yang ketiduran pas nonton ini. Namun untungnya 2049 masih bisa menggiring saya mengikuti misterinya dengan baik, walau saya lumayan butuh fokus tingkat tinggi untuk menangkap detailnya. 2049 jelas lebih baik dalam mengungkap misterinya dibandingkan Blade Runner, karena saya selalu agak kesulitan "memahami" tempo dan alur cerita film-film klasik. Dan jangan lupa, Villeneuve selalu punya sebuah twist di film-film garapannya, tak terkecuali 2049 yang menawarkan sedikit kejutan menarik di bagian akhirnya (yang by the way, saya telat banget nyadarnya).

Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, Blade Runner 2049 sangat segmented. Saya tidak menjamin penonton awam yang masuk ke bioskop akan keluar bioskop dengan senyuman lebar di mukanya. Namun ya setidaknya para perempuan bisa fangirling melihat Ryan Gosling tampak ganteng dalam mantel musim dinginnya, dengan muka minim ekspresi yang dingin (tapi menggairahkan!). Ryan Gosling playin' so good as K in here, aktingnya sama cool-nya dengan perannya di Drive (2009). Sedangkan para lelaki setidaknya juga bisa terhibur dengan kehadiran cewek-cewek cakep. Kamu bisa memilih si virtual Joi (Ana de Armas) yang sedikit-banyak gabungan antara loveable character ala Samantha di film Her (2013) dengan kepolosan Ava di Ex-Machina (2015), atau si dingin jahat Luv (Sylvia Hoeks), atau si pixie-girl prostitute (Mackenzie Davis) yang juga mencuri perhatian. And the rest of supporting casts are also amazing: Dave Bautista, Tomas Lemarquis, Robin Wright, Jared Leto, hingga Barkhad Abdi.

*Anyway, jika film ini begitu sempurna.. kenapa saya tidak kasih skor 5/5? Tbh, saya selalu kasih skor 5 untuk film-film yang personally related atau punya emotional effect buat saya. Sayangnya, Blade Runner agak miss dari segi itu..

Overview:
One of the best movie in 2017. Sebuah sekuel yang tidak hanya masih setia dan respek dengan versi originalnya, namun membawanya satu level lebih tinggi. Blade Runner is a cult, dan saya yakin sekuelnya ini Blade Runner 2049 juga akan jadi cult-classic movie di masa depan. Kekuatan utama Blade Runner 2049 jelas hadir melalui visualnya yang sangat menawan (moviegasm for sure), scoring music-nya yang cantik, production design, set, dan special effect-nya yang menakjubkan, serta kompleksitas ceritanya yang berat, filosofis dan layak dibahas selepas nonton filmnya. Alur yang lambat dan cerita yang agak "berat" mungkin membuatnya sangat segmented, but once you understand what make this movie is great... it feels really worth it.

*Updated:
Akhirnya berhasil nulis panjang lebar soal Penjelasan Film Blade Runner 2049. Go check here. 

Minggu, 09 Juli 2017

Inception (2010) (4,5/5) Review & Penjelasan

Inception (2010) (4,5/5) Review & Penjelasan


You mustn't be afraid to dream a little bigger, darling.
RottenTomatoes: 86% | IMDb: 8,8/10 | Metascore: 74/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5

Rated : PG-13 | Genre : Action, Adventure, Sci-fi

Directed by Christopher Nolan ; Produced by Emma Thomas, Christopher Nolan ; Written by Christopher Nolan ; Starring Leonardo DiCaprio, Ken Watanabe, Joseph Gordon-Levitt, Marion Cotillard, Ellen Page, Tom Hardy, Cillian Murphy, Tom Berenger, Michael Caine ; Music by Hans Zimmer ; Cinematography Wally Pfister ; Edited by Lee Smith ; Production companiesLegendary Pictures, Syncopy ; Distributed by Warner Bros. Pictures ; Release date July 16, 2010 ; Running time 148 minutes ; Country United Kingdom, United States ; Language English ; Budget $160 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Dom Cobb (Leonardo DiCaprio) adalah seorang pencuri yang biasa mencuri rahasia melalui dream-sharing technology. Suatu kali ia diminta untuk memasukkan insepsi ide ke seorang CEO pewaris perusahaan. 

Review / Resensi :
Selain The Shawshank Redemption, Inception adalah salah satu film yang paling sering direquest di kolom comment supaya saya ngereview film ini. Saya agak heran karena ini kan film uda lama banget dan siapa sih yang belum nonton Inception? Tapi berhubung saya baik hati dan kurang kerjaan, maka saya pun menuliskan review Inception sambil kasih sedikit penjelasan (versi saya) tentang ending Inception yang bikin banyak orang penasaran. Demi nulis review ini saya sampe nonton ulang Inception. At it's still good to rewatch. Lagipula sambil nungguin Dunkirk yang bakal main akhir bulan Juli ini cukup menyenangkan untuk nonton ulang film Christoper Nolan. 

Boleh dibilang Christoper Nolan adalah nama dari sedikit sutradara yang bisa bikin film yang berkualitas, orisinil, namun juga gampang disukai baik oleh penonton awam maupun pecinta film level lanjut. Range tema film dia juga beragam, dan semua filmnya ga ada yang jelek! Dari yang masih low-budget macam Memento hingga The Dark Knight series, dan tentu saja Interstellar. Err.. tapi saking populernya, mungkin nama Christoper Nolan jadi berasa mainstream dan imej Nolan juga jadi overrated buat sebagian orang. Saya rasa sutradara yang mirip doi adalah Steven Spielberg... bisa bikin film berkualitas sekaligus blockbuster, tapi jarang penonton film level lanjut bakal bilang mereka ngefans Spielberg. Because he is too mainstream!

The best part about Inception is its originality. Mind-blowing. Nggak ada film yang pernah "menjelajahi" mimpi sebagaimana Inception, dan ide "gila" ini adalah hasil pemikiran Christoper Nolan sendiri yang konon menulis naskahnya butuh waktu 10 tahun. Dengan konsep dunia dalam dunia, alias berpetualang di alam mimpi, Inception meringkas segala sesuatu yang perlu kita tahu tentang konsep Inception miliknya hanya dalam durasi 2 jam 28 menit. Sedikit membingungkan bagi sebagian orang (karena ada mimpi di dalam mimpi, lalu mimpi lagi di dalam mimpi, dst..) namun sebenarnya kalau kamu nggak mikir telalu dalem (dan nggak ribet mikir tentang konsep mimpi mereka), Inception adalah film action science-fiction yang mudah untuk dinikmati. Lagipula tho ini bukan film sureal! Tapi tampaknya akan menyenangkan jika ada Inception versi TV series-nya. Worth to shot. 

Lalu apa lagi bagian terbaik lainnya dari InceptionThe cast! Semuanya A-list actor, mulai dari Leonardo DiCaprio, Tom Hardy, Joseph Gordon Levitt, Marion Cotillard, Ken Watanabe, Ellen Page, hingga Michael Caine yang nongol cuma 3 menit dan nggak penting-penting banget. Leonardo DiCaprio kebagian peran utama, yang diberikan layer emosi lebih dalam mengingat kisah personalnya menjadi bagian penting dari inti cerita. Setelah Shutter Island yang dirilis di tahun yang berdekatan, lagi-lagi ia berperan sebagai suami yang nasibnya apes ditinggal istri.

Bagian terbaik lainnya dari Inception adalah the visual effect. Dengan sinematografi cantik yang memiliki atmosfer yang serupa dengan The Dark Knight series (dan emang sinematografernya sama), menyenangkan melihat Inception bisa "melengkungkan dunia" sedemikian rupa. Tambah menyenangkan ketika tahu bahwa hampir sebagian besar efek yang ada dalam Inception mengandalkan practical effect, salah satunya adegan saat Arthur (Joseph Gordon-Levitt) berlaga di "lorong muter-muter" yang sangat ikonik itu. And I like the overall design concept of Inception yang berkesan sleek dan modern. Oh dan jangan lupakan juga sound effect dan scoring music dari Hans Zimmer yang membuat Inception makin menawan untuk dinikmati.

Lalu, mari kita bicarakan tentang ending Inception yang lumayan hangat diperbincangkan oleh banyak orang....

Waktu awal nonton tahun 2010, saya tidak merasa bahwa ending Inception yang ambigu itu menjadi sesuatu yang penting. For me that's not the main point of the movie. Sebagaimana kalimat bahasa Cina yang diucapkan Louise (Amy Adams) atau minta bantuan apa para alien itu ke umat manusia di film Arrival - saya tidak merasa itu poin utama film Arrival. Makanya saya heran kok banyak banget yang nanya soal itu di kolom comment review dan penjelasan saya tentang film Arrival, sebagaimana saya heran kenapa banyak orang bertanya apakah Cobb sebenarnya masih mimpi atau tidak di akhir film Inception. Saya nggak mikir itu penting. Haha. 

Lalu saya nonton lagi untuk kedua kalinya, dan saya juga masih merasa itu bukan poin utama film Inception. Malah, menurut saya it's pretty obvious kalo Cobb udah ga mimpi lagi (bangun di pesawat, anak-anaknya noleh dan nyamperin Cobb). Kalaupun gasing yang masih berputar lalu mendadak dicut dengan black screen dilanjutkan dengan credit title, saya mikirnya gasingnya emang belom jatuh aja! Lol. Bagi saya itu cuma cara Christoper Nolan mengakhiri filmnya dengan sedikit elegan.

Jadi, saya ga bakal membicarakan teori-teori dugaan mbuletisasi yang dibuat oleh fans Inception. Haha.

Dan akhirnya, berdasarkan wawancara tahun 2015 Christoper Nolan pun buka suara soal ending Inception yang ambigu itu, sebagaimana saya kutip berikut ini:
“The way the end of that film worked, Leonardo DiCaprio’s character, Cobb – he was off with his kids, he was in his own subjective reality,” said Nolan. “He didn’t really care any more, and that makes a statement: perhaps, all levels of reality are valid.”  The Guardian.  
Jadi Cobb yang memilih untuk langsung nyamperin anak-anaknya instead of melihat si gasing berhenti berputar atau tidak adalah Cobb yang memilih "reality" yang ia mau. Ia tidak lagi terobsesi dengan mana mimpi mana bukan, yang penting finally he can hug his own kids. Sudah ga penting mana yang nyata mana yang tidak, yang penting kita happy. 

Yang menarik juga dari segi filosofis adalah Inception membuatmu berpikir ulang mengenai konsep soal mana yang nyata mana yang tidak. Inception adalah another version of Wachowsi's The Matrix. Siapa yang bisa membuktikan bahwa sebenarnya kita tidak sedang bermimpi atau kita tidak sedang berada dalam dunia program ala the Matrix? Like Nolan said, mungkin setiap level realita adalah valid. Bum! Lumayan kan dapet pelajaran filsafat ala Descartes dari film science-fiction?

Overview:
Obviously salah satu film terbaik tahun 2010, dan film sci-fi terbaik dekade ini. Dua puluh tahun lagi saya jamin Inception akan menjadi salah satu film klasik dari tahun 2010-an yang wajib ditonton oleh semua orang. Ceritanya sendiri sudah mind-blowing dan berhasil membuatmu mempertanyakan realita, didukung oleh A-list actor dan dukungan visual effect, visual design, sinematografi, dan sound effect yang pretty impressive. Setelah The Dark Knight, menurut saya Inception adalah film terbaik Christoper Nolan.

Jumat, 21 April 2017

Predestination (2014) (3,5/5)

Predestination (2014) (3,5/5)


The snake that eats its own tail, forever and ever?
RottenTomatoes: 84% | IMDb: 7,5/10 | Metascore: 69/100 | NikenBicaraFilm: 3/5

Rated: R
Genre: Drama, Mystery, Sci-fi

Directed by The Spierig Brothers ; Produced by Paddy McDonald, Tim McGrahan, The Spierig Brothers ; Screenplay by The Spierig Brothers ; Based on "'—All You Zombies—'" by Robert A. Heinlein ; Starring Ethan Hawke, Sarah Snook, Noah Taylor ; Music by Peter Spierig ; ; Cinematography Ben Nott ; Edited by Matt Villa ; Production companyScreen Australia, Screen Queensland, Blacklab Entertainment, Wolfhound Pictures ; Distributed by Pinnacle Films, Stage 6 Films ; Release date8 March 2014 (SXSW Film Festival), 28 August 2014 (Australia) ; Running time97 minutes ; Country Australia ; Language English

Story / Cerita / Sinopsis :
Seorang agen terbaik (Ethan Hawke) yang bekerja pada sebuah biro yang bertugas mencegah kejahatan dengan sebuah mesin waktu diminta untuk melaksanakan misi terakhirnya sebelum pensiun.

Review / Resensi :
Tema time-travel selalu menarik untuk diikuti. Saya sering mikir kenapa enggak lahir di masa depan dimana siapa tahu ada orang yang sudah bisa menciptakan mesin waktu layaknya doraemon, lalu saya kembali ke masa lalu dan membenarkan takdir hidup saya yang.... begini. Lol. Perjalanan waktu ke masa lalu selalu memunculkan paradoks-paradoks yang penuh pertanyaan, yang kemudian juga membuat kita mempertanyakan konsep takdir itu sendiri. Bisakah kita kembali ke masa lalu dan mengubah takdir kita? Konsekuensi apa yang akan muncul jika kita mengubah masa lalu? Sesuai judulnya, Predestination kurang lebih berusaha mengeksplorasi hal yang berkaitan dengan itu.... dengan ceritanya yang mind-fucking banget!

Sudah banyak film-film bertema time travel lainnya, seperti Looper (2012). Primer (2004), hingga 12 Monkeys (1995). Predestination mencoba mengambil tema serupa, dengan menggabungkannya dengan konsep polisi takdir pada Minority Report (2002). Kalau ngomongin film time travel dengan ending yang twisted, banyak orang akan merekomendasikan Predestination, sehingga film ini udah sering banget saya denger di forum-forum pecinta film. Sempat lama penasaran, akhirnya baru kesampaian ga sengaja nonton kemarin sore. 

Mungkin banyak yang kecele menyangka bahwa Predestination adalah film action yang seru (perhatiin donk posternya menampilkan Ethan Hawke memegang pistol dengan desain poster yang menyiratkan kesan "action" dan futuristik). Tapi kenyataannya filmnya sendiri lebih cenderung ke drama. Namun santai, unsur dramanya sendiri biarpun mendominasi namun tidak akan membuatmu bosan. Alur bolak balik ke masa depan dan masa lalu mungkin juga akan membuatmu bingung, namun dengan diagram penjelasan sederhana yang mudah kamu temukan di internet, sesungguhnya Predestination nggak terlalu bikin pusing. Jauh memusingkan Primer, kalau menurut saya. 

Harus diakui Predestination ini masih banyak kekurangan dari segi eksekusi dan pengolahan cerita. Banyak scene dan subplot cerita yang bagi saya lebay, kurang stylish dan agak norak. Dan ceritanya sendiri kalau kamu pikir-pikir akan terasa tidak masuk akal dan "ngarang" banget. But then again, film ini membuat saya nggak peduli dengan semua itu. Yang menarik dari Predestination adalah bagaimana film ini bisa menyajikan konsep paradoks dari perjalanan waktu yang tabu dan super aneh itu! *spoiler* come on! itu banyak karakter ternyata orang-orang yang sama semua... jadi dia "mengawini" dirinya sendiri, jadi anak, tapi trus anaknya jadi dirinya lagi..... ini jelas mbulet, ngarang abiz (operasi ganti kelamin itu sama sekali nggak masuk akal), dan super weird... (errr.. make love dengan diri sendiri? bukankah itu narsis banget ya? Dan itu please deh ewwww banget!), tapi di lain sisi ketidakmasukakalannya itu juga jadi masuk akal... Pusing ya? Tapi seru... *spoiler ends*

Banyak orang sesumbar bahwa di tengah-tengah filmnya jadi predictable, namun saya sendiri sih enggak cukup mahir menebaknya. Saya biasanya berusaha mengalihkan pikiran dari nebak cerita, supaya endingnya bisa bikin shock dan kesan filmnya jadi berasa (so I blame my Mom who talked too much when we watched The Usual Suspects), jadi saya enjoy saja selama nonton film ini. Dan twist demi twist-nya biarpung ngarang bebas dan agak "maksa" tapi emang jatuhnya tetap seru dan menghibur. 

Anyway, Sarah Snook playing so good as Jane... 

Overview :
Predestination mungkin bukanlah film science-fiction terbaik di subgenre time travel, namun plot ceritanya yang diangkat dari cerita pendek All You Zombie oleh Robert A. Heinlein ini emang mind-fucking banget. Banyak plot hole dan cerita yang terasa terlalu dibuat-buat, tapi saya tidak terlalu peduli. Predestination dengan berani berusaha mengeskplorasi konsep paradoks takdir dan perjalanan waktu dengan cara yang super aneh... tapi berhasil! 


Sabtu, 25 Maret 2017

Reservoir Dogs (1992) (4,5/5)

Reservoir Dogs (1992) (4,5/5)


"Are you gonna bark all day little doggie? Or are you gonna bite?"
RottenTomatoes: 91% | IMDb: 8,4/10 | Metascore: 74/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5

Rated: R
Genre: Drama, Thriller

Directed by Quentin Tarantino ; Produced by Lawrence Bender ; Written by Quentin Tarantino ; Starring Harvey Keitel, Tim Roth, Chris Penn, Steve Buscemi, Lawrence Tierney, Michael Madsen ; Cinematography Andrzej Sekuła ; Edited by Sally Menke ; Production companyLive America Inc., Dog Eat Dog Productions ; Distributed by Miramax Films ; Release date January 21, 1992 (Sundance), October 23, 1992 (United States) ; Running time 99 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $1.2 million ; Box office $2.8 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Usaha perampokan permata oleh sekelompok penjahat tidak berjalan baik ketika para polisi muncul diluar rencana dan mengacaukan usaha mereka. Mereka kemudian saling menduga siapa di antara mereka yang merupakan polisi yang menyamar dan menggagalkan rencana perampokan tersebut. 

Review / Resensi:
Quentin Tarantino, boleh dibilang adalah salah satu sutradara terbaik yang pernah ada, dengan fans loyal yang cukup memujanya habis-habisan. Bicara film Quentin Tarantino maka kita akan ngomongin adegan kekerasan yang kasar (tapi keren), karakter unik yang memorable, soundtrack musik lawas yang asyik, dan dialog yang sangat khas Tarantino: kasar, witty dan penuh sumpah serapah. Reservoir Dogs, adalah debut pembuka yang "manis" dari seorang Tarantino, dan pada dasarnya telah menunjukkan kualitas dirinya sebagai seorang sutradara dan penulis naskah. Sebagian orang menyebut bahwa Reservoir Dogs merupakan film debut terbaik kedua setelah Citizen Kane (1946). Kini Reservoir Dogs juga telah memperoleh status "cult", bersama dengan karya Tarantino yang lain seperti Pulp Fiction (1994) dan Inglorious Basterds (2009).

Basically, this movie is about a criminal members with a nice suit, who talk, swear, and yell to each other. Kalau disimpulkan: Reservoir Dogs adalah film american gangster yang lebih banyak ngobrolnya daripada adegan action-nya. Reservoir Dogs juga merupakan heist movie (film tentang pencurian/perampokan) yang adegan pencuriannya malah ga diperlihatkan sama sekali. Kabarnya sih adegan pencuriannya ga ditampilkan karena terkendala budget yang sangat pas-pasan, namun yang jelas justru karena sengaja ga ditunjukkan malah bikin penonton merasa ambigu dan menebak-nebak apa yang sesungguhnya terjadi. Ini malah bikin ceritanya makin seru dan membuat penonton penasaran. 

Mungkin buat sebagian orang Reservoir Dogs ini membosankan. Tapi, dalam debut perdananya ini, kita langsung bisa tahu betapa Quentin Tarantino adalah seorang scriptwriter jenius. Dia bisa bikin setiap dialognya - yang memuat referensi banyak pop culture, seperti adegan pertamanya yang ngomongin kalau Like a Virgin-nya Madonna: "...it's all about a girl who digs a guy with a big dick," -  terasa menggigit, menghibur, komedi, dan menarik. Entah bagaimana, kita bisa dibikin tertarik dengan pembicaraan super random (dan nggak ada hubungannya dengan cerita filmnya sendiri) para anggota komplotan kriminal ini. Reservoir Dogs juga memuat beberapa scene-scene yang berbau kekerasan yang sangat intens, menegangkan dan memorable, salah satunya tentu  saja, adegan ketika Mr.Blonde (Michael Madsen) menyiksa sang polisi sambil dengerin lagu Stuck in The Middle-nya Stealers Wheel atau adegan climatic mexican stand-off-nya.

Salah satu kekhas-an Quentin Tarantino lainnya adalah pembagian filmnya dalam beberapa chapter dan plotnya yang berjalan non-linear (bisa dilihat di hampir semua filmnya). Ini rupanya sudah dimulai dari Reservoir Dogs. Reservoir Dogs terdiri dari 3 chapter yang menjelaskan latar belakang ketiga tokoh utamanya: Mr. White (Harvey Keitel), Mr. Blonde (Michael Madsen) dan Mr. Orange (Tim Roth). Plotnya yang berjalan non-linier juga justru menjadi daya tarik yang membuat penonton makin terbawa dengan ceritanya, seiring dengan beberapa clue tentang apa yang sesungguhnya terjadi kemudian diungkapkan satu per satu.

Lalu, apalagi yang bikin film ini makin keren? The cast! Dengan budget cuma 1,2 juta dollar, praktis cuma Harvey Keitel yang sudah punya nama besar pada kala itu. Film ini boleh dibilang juga mengangkat nama-nama seperti Michael MadsenSteve Buscemi dan Tim Roth yang kala itu belum sepopuler saat ini. Quentin Tarantino telah membuat masing-masing karakternya intriguing, dan para aktor tersebut berhasil menghidupkan karakter-karakter tersebut dengan baik. Menarik untuk disimak melihat karakter Mr. White (Harvey Keitel) dan Mr. Blonde (Michael Madsen) yang masing-masing mewakili kepribadian sosiopat dan psikopat. Mr.White melakukan kekerasan jika diperlukan (sosiopat) sedangkan Mr. Blonde menikmati kekerasan (psikopat). But my favorite character? Mr. Pink!

Overview :
Sebuah debut istimewa dari Quentin Tarantino yang bertindak sebagai sutradara dan juga menulis naskahnya sendiri. Sebagai karya perdana, Reservoir Dogs adalah kesimpulan dari semua ciri khas yang dimilikinya: black comedy, adegan kekerasan yang sadis, dialog yang witty dan kasar, non linear plot, karakter yang sinting, dan good soundtrack. Sedikit membosankan bagi yang berharap bahwa film ini akan full action dan kekerasan, namun Quentin Tarantino - entah bagaimana - berhasil menghipnotis kita terus untuk mengikuti kisahnya (dan bahkan dialog super random-nya). Cast-nya juga brilian. Not everyone's cup of tea, but definitely Reservoir Dogs deserves a cult status. 

Jumat, 16 Desember 2016

Top 5 : Movies Which Will Confuse The Hell Out Of You

Top 5 : Movies Which Will Confuse The Hell Out Of You

Kebanyakan film memang bertujuan untuk menghibur penonton, tapi beberapa film bisa bikin senam otak dan meninggalkan kesan "what-the" atau "huh?" saat kredit akhir bergulir. Bagi orang awam, mereka datang ke bioskop atau sekedar menonton di laptop dengan tujuan untuk mencari kesenangan (baca: nonton film nggak pake mikir), tapi jangan ngaku maniak film kalau nggak tertarik nonton film-film yang bisa bikin kepala pening. Yes, hidup udah berat yes, kenapa sih harus nonton film berat dan bikin pusing? Film yang bikin bingung itu sebenarnya asyik karena kayak main puzzle dan menimbulkan rasa penasaran. Ada banyak film yang bikin bingung, tapi untuk kali ini saya cuma mau ngebahas 5 dulu (anw 4 dari 5 film di sini udah dibahas di blog ini).

Anw, Inception masuk nggak? No ~ Kadar kebingungan film-film di sini bikin Inception kayak film amatir!

#1
2001: A SPACE ODYSSEY 
(Stanley Kubric, 1968)


Kalau ingin disebut sebagai movie freak sejati, setidaknya kamu harus sudah pernah menonton film klasik 2001: A Space Odyssey yang disebut-sebut sebagai masterpiece Stanley Kubrick dan pionir di genre sci-fi ini. Ceritanya terbagi menjadi 4 babak, antar satu bagian dengan bagian lainnya seperti tidak berhubungan, dimulai dari kera purba nenek moyang manusia dan diakhiri dengan petualangan mimpi aneh psychedelic di luar angkasa. The third part is my favorite - because it's really scary (yang akhirnya menginspirasi saya untuk mencomot HAL 2000 jadi lambang blog ini). 2001: A Space Odyssey seperti sebuah karya seni yang penuh enigma (teka-teki), dengan kesan yang sangat art-movie, absurd, dan surealis. Ada penampakan batu ajaib yang tidak jelas maksudnya apa, dan bahkan Stanley Kubrick pun enggan menjelaskan dengan eksplisit apa yang ingin ia ceritakan di film ini. Getting frustrated there, dear? Well, same here. (Read full review)  

#2
ENEMY
(Dennis Villeneuve, 2013)


Film yang disutradarai oleh Dennis Villeneuve (Prisoners, Sicario) ini dibintangi oleh Jake Gyllenhaal yang berperan sebagai Adam, seorang dosen sejarah di sebuah universitas. Suatu hari Adam sedang menonton film dan terkejut ketika mengetahui bahwa ada seseorang yang begitu mirip dengannya dalam film tersebut (bernama Anthony, diperankan oleh Jake Gyllenhaal juga. Jake Gyllenhaal ada dua? Double yeay!). Ia pun berusaha menyelidiki siapa sesungguhnya “kembaran misteriusnya” itu. Menonton Enemy ini seperti menonton kepingan puzzle yang berserakan, dan tugas penonton adalah menyusunnya dengan baik. Perhatikan quote di bagian awalnya, "Chaos is order yet undeciphered," - it might be a hint. Yang bikin penonton semakin bertambah bingung juga karena Enemy juga kental dengan nuansa surealis dan simbolismenya (laba-laba di tengah kota? what the hell is that supposed to mean?). (Read full review) 

#3
PRIMER
(Shane Carruth, 2004)


Film tentang time-travel memang sudah banyak, namun nggak banyak film tentang perjalanan waktu yang dijabarkan dengan logika. Primer,  yang dibintangi, disutradarai, dan naskahnya dikerjakan oleh Shane Carruth (Upstream Color) dan merupakan sebuah film independen dengan budget sangat pas-pasan ini adalah salah satunya. Bergenrekan sci-fi, kayaknya Primer lebih fokus ke unsur science-nya dibandingkan fiction-nya. Primer mengajak kita untuk berpikir bahwa time-travel menghasilkan konsekuensi yang bisa berakibat fatal, sehingga harus dilakukan dengan penuh hati-hati agar tidak merusak realita masa depan (atau masa kini? atau masa lalu? Oh I have no idea!). Siap-siap pusing nontonnya. I watched it twice and it's still confusing! (Read full review) 

#4
MULLHOLLAND DRIVE
(David Lynch, 2001)



David Lynch (Blue Velvet, Twin Peaks) memang terkenal sebagai sutradara yang kerap membuat film-film membingungkan, dan Mullholland Drive ini adalah salah satunya. Film yang baru-baru ini menyandang sebagai Film Terbaik Abad ke-21 versi BBC ini bercerita tentang Betty (Naomi Watts), seorang aktris pendatang baru yang tengah membantu Rita (Laura Harring) - perempuan misterius yang mengalami amnesia - untuk mengetahui siapa Rita sesungguhnya. Sampai tiga perempat film, Mulholland Driveterlihat seperti film yang normal dan biasa-biasa saja, namun pada bagian akhirnya semua persepsimu tentang film tanpa disangka-sangka akan dijungkirbalikkan. Jika pada awalnya kamu menganggap film ini normal, maka kamu sedang ditipu oleh David Lynch. (Read full review)  

#5
DONNIE DARKO
(Richard Kelly, 2001)



Lagi-lagi dibintangi oleh Jake Gyllenhaal, Donnie Darkobercerita tentang seorang anak SMA Donnie Darko yang mendapat penglihatan seorang manusia dengan kostum kelinci mengerikan yang menuntunnya untuk menyelamatkan dunia dari kiamat. Donnie Darko adalah film yang sangat aneh sekaligus orisinil, dengan nuansa psychedelic kelam yang cool, membuat penonton dijamin bingung karena begitu anehnya. Namun di lain sisi Richard Kelly sebagai sutradaranya mampu menarik atensi penonton untuk masuk ke perangkap universe miliknya. Selepas menonton ini, pasti kamu ingin sekali mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Dan percayalah, penjelasan itu tidak semudah yang kamu bayangkan.

So... Bagi yang belum menonton film-film di atas, segera menonton - supaya kita bisa bingung sama-sama..

*Artikel ini awalnya saya tulis (dengan beberapa perbaikan tulisan karena segmen pembaca yang berbeda) dalam rangka diupload di app BaCa (app baca berita lewat mobilephone) melalui platform www.nulis.co.id. Buat yang iseng ingin nulis-nulis dan dibaca banyak orang, bisa langsung join aja.