Tampilkan postingan dengan label 1 stars. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 1 stars. Tampilkan semua postingan

Senin, 02 Juli 2018

JAILANGKUNG 2 (2018) REVIEW : Performa Sebuah Sekuel Yang Semakin
Menurun

JAILANGKUNG 2 (2018) REVIEW : Performa Sebuah Sekuel Yang Semakin Menurun


Memiliki raihan secara kuantitas hingga 2,5 juta penonton, tentu menjadi pertimbangan tersendiri bagi Screenplay Films untuk melanjutkan kisah tentang matianak. Meskipun, di akhir film Jailangkung pertama penonton sudah diberi petunjuk tentang adanya sekuel untuk film ini. Performa Jailangkung pertama yang belum matang tak menjadi alasan bagi proyek ini untuk berhenti. Mungkin, di film keduanya Jailangkung bisa membenarkan kesalahannya di film pertama.

Jailangkung 2 kembali ditangani oleh Rizal Mantovani bersamaan dengan Jose Purnomo untuk mengarahkan filmnya. Sama-sama memiliki jejak rekam menangani film horor dan bahkan berkecimpung di mitos yang sama, tentu menjadi alasan kenapa mereka berdua tetap menangani sekuel dari Jailangkung. Selain sutradara yang sama, tentu saja Jailangkung 2 kembali menggunakan dua pemain utamanya yaitu Jefri Nichol dan Amanda Rawles.

Bukan hanya itu, nama-nama besar seperti Hannah Al-Rashid, Lukman Sardi, bahkan almarhum Deddy Soetomo ikut menjadi bagian dari Jailangkung 2 ini. Untuk urusan naskah, kali ini Baskoro Adi Wuryanto dibantu oleh Ve Handojo untuk Jailangkung 2. Meskipun dengan banyak orang-orang yang terlibat di perfilman, Jailangkung 2 ternyata tak bisa memberikan performa yang baik. Bahkan, film ini pun mengalami penurunan performa dibandingkan film pertamanya.


Jailangkung 2 memang berusaha untuk menampilkan sesuatu yang berbeda dibandingkan dengan film pertamanya. Terlebih, konflik yang semakin rumit itu sudah tersebar di film pertamanya sehingga film keduanya sudah memiliki dasar untuk melanjutkan cerita. Sayangnya, apa yang dituturkan oleh Jailangkung 2 ini tak bisa sesuai dengan tujuannya. Konfliknya semakin kabur dengan banyaknya cabang cerita yang berusaha dimasukkan di dalam filmnya.

Begitu pula dengan durasinya yang mencapai 83 menit, Jailangkung 2 tak memiliki ruang untuk semakin berkembang. Cerita dengan karakter yang semakin banyak, membuat Jailangkung 2 serasa bingung untuk membawa filmnya ini ke arah mana. Karakternya berhenti di tempat yang sama, ceritanya pun melebar ke mana-mana. Sehingga, Jailangkung 2 benar-benar hanya menyisakan nama-nama besar sebagai produk utama untuk meraih jumlah penonton yang fantastis.


Kisahnya tentu saja berlanjut dan bermulai dari kisah akhir di film Jailangkung yang pertama. Di mana mati anak, seorang  bayi campuran iblis yang lahir dari rahim Angel (Hannah Al-Rashid) membawa petaka di keluarganya. Sang ayah, Ferdi (Lukman Sardi) yang baru saja kembali nyawanya setelah diambil oleh arwah jahat berusaha untuk membuat keluarganya kembali seperti semula. Tetapi, tentu saja hal itu tak bisa begitu saja terjadi.

Bella (Amanda Rawles), adik dari Angel berusaha untuk menyingkirkan mati anak dari keluarganya agar tidak terjadi hal-hal aneh di keluarga tersebut. Bella pun meminta bantuan dari Rama (Jefri Nichol) yang kala itu juga membantu dirinya menyelamatkan hidup sang ayah. Kali ini dia berusaha meminta bantuan Rama untuk menyingkirkan mati anak dengan cara mencari kalung mistis yang bisa menghentikan mati anak. Dan perjalanan mencari kalung kali ini mendapatkan rekan tambahan yaitu Bram (Naufal Samudra) yang mengetahui keberadaan kalung tersebut.


Jika plot cerita Jailangkung 2hanya berfokus kepada satu linimasa yang dituliskan di sinopsis di atas, setidaknya Jailangkung 2 masih bisa memiliki performa dengan film sebelumnya. Meskipun, tak bisa membaik, tetapi ceritanya masih tak berputar sendiri yang menyebabkan penonton merasa kebingungan. Ada plot cerita lain yang bertambah di film Jailangkung 2 ini tetapi tak memiliki pengenalan dan penjelasan dengan porsi yang pas.

Hasilnya, plot cerita Jailangkung 2 serasa muncul tiba-tiba dari antah berantah tanpa adanya pemberitahuan. Tentu saja ini karena pengarahan yang belum teliti dari kedua sutradaranya. Jailangkung 2 seperti 2 film yang diringkas menjadi satu dengan pengarahan yang sesuai dengan egonya masing-masing. Jailangkung 2 sudah berjalan terlalu jauh meninggalkan mitos legendarisnya. Tak ingin mensia-siakan kesempatan itu, Jailangkung 2berusaha hadir secara formalitas untuk meramalkan mantra “datang gendong, pulang bopong” sebagai plot cerita lain.  

Plot ini tetap beriringan dengan plot menghilangkan matianak yang bahkan tak memiliki koneksi apapun satu sama lain.  Tentu saja ini akan membuat munculnya kerutan di dahi dari penonton untuk mengikuti plot cerita mana yang ingin disampaikan. Dampaknya, penonton akan lelah dengan apa yang berusaha disampaikan dengan Jailangkung 2. Sudah tak memiliki simpati dengan setiap karakternya, plot ceritanya pun tak bisa diikuti dengan baik.


Tak ada tensi horor yang berhasil dibuat di dalam Jailangkung 2. Segala usahanya untuk menakut-nakuti penontonnya terasa sangat hambar hanya dibantu dengan ilusi tata rias karakter hantunya dan penyuntingan suara. Bahkan, kedua aspek itu tak bisa sepenuhnya membantu agar adegan tersebut bisa tersampaikan dengan baik di filmnya. Dan tak bisa dihindari pula, beberapa penyuntingan film yang terasa sangat berloncat dengan setting yang berbeda padahal masih berada di satu setting waktu yang sama sering terlihat di dalam film ini.

Yang tersisa dari Jailangkung 2tentu saja hanyalah beberapa adegan yang tak sengaja membuat penontonnya tertawa. Hal ini muncul karena kurangnya ketelitian dalam pengarahan dari Rizal Mantovani dan Jose Purnomo. Meski terlihat sekali bagaimana Jailangkung 2 sebenarnya memiliki intensi untuk membuat sekuelnya memiliki dunia yang lebih besar dan rumit. Tetapi, apa yang hadir di dalam presentasinya malah membuat Jailangkung 2 hanyalah sebuah sekuel yang performanya malah menurun dari film pertamanya yang juga jauh dari kata sempurna. Sayang sekali!

Senin, 15 Januari 2018

INSIDIOUS : THE LAST KEY (2018) REVIEW : Trivia Kisah Elise dan Masa
Lalunya

INSIDIOUS : THE LAST KEY (2018) REVIEW : Trivia Kisah Elise dan Masa Lalunya


Franchise film horor satu ini memang sudah banyak mendapatkan antisipasi dari penontonnya. Sejak filmnya yang pertama, Insidious mendapatkan word of mouth yang sangat kuat. Tentu saja hal ini berpengaruh dengan bagaimana sang rumah produksi berperilaku untuk memberikan lampu hijau kepada film ini. Sukses secara finansial pun menjadi satu-satunya alasan kenapa Insidiousmasih bertahan meneruskan sisa-sisa warisan cerita yang bisa digunakan.

Meskipun kekuatan seri ini sudah melemah di seri ketiganya, nyatanya Insidious masih harus bangun dari tidur untuk membuat sebuah kisah baru. Maka, muncullah Insidious : The Last Key yang kali ini dibawahi oleh Sony Pictures dalam proses distribusinya. Pemegang kunci Insidious : The Last Key  ini diserahkan kepada Adam Robitel yang sudah pernah menangani sebuah film horor sebelumnya berjudul The Taking of Deborah Logan. Dibantu oleh Leigh Whannell yang sudah terbiasa menuliskan cerita-cerita dari Insidiouspertama.

Bisa jadi orang sudah lelah mengikuti seri dari franchise ini, tapi nyatanya Insidioussudah memiliki pamornya. Insidious : The Last Key akan dengan udah meraih banyak penonton di saat rilis tetapi bukan berarti hal tersebut akan dengan mudah merebut hati penontonnya. Insidious : The Last Key ini menunjukkan bahwa film ini sudah mulai tak menunjukkan taringnya sebagai film horor. Adam Robitel sebagai sutradara tak mampu membangkitkan amarah roh-roh jahat untuk sekali lagi menakut-nakuti penontonnya.


Problematika Insidious : The Last Key ini tak hanya sekedar tentang bagaimana caranya untuk menakut-nakuti penontonnya. Tetapi juga caranya untuk berusaha membuat penontonnya terjaga sepanjang durasi untuk ikut bersimpati dengan setiap karakter yang ada di dalamnya. Kali ini, fokus utama dari film ini adalah kisah tentang Elise, satu-satunya karakter yang masih bisa dikembangkan lagi untuk menjadi sebuah franchise yang baru.

Adam Robitel sangat berusaha menerjemahkan naskah yang ditulis oleh Leigh Whannell ke dalam layar. Hanya saja, usaha tersebut tak maksimal dan membuat Insidious : The Last Keysangat melelahkan untuk diikuti. Selama 104 menit, Insidious : The Last Key seperti menyaksikan kompilasi dua film pendek yang dipersatukan oleh satu karakter yang sama. Ada potensi menarik dalam kisahnya, tetapi sayangnya hal itu tak bisa berjalan dengan baik.


Menceritakan tentang Elise (Lin Shaye) yang harus menghadapi masa lalunya yang kelam. Dia mendapatkan sebuah telepon dari seseorang bernama Ted Garza (Kirk Acevedo) untuk membasmi hantu di rumahnya. Ternyata, rumah yang ditinggali oleh Ted Garza adalah rumah yang ditinggali oleh Elise dan keluarga saat masih kecil. Elise sudah tahu bahwa sejak kecil rumah yang ditinggali ini sudah berhantu yang membuat keluarganya dalam bahaya.

Elise berusaha untuk membasmi hantu yang ada di dalam rumah Ted Garza, tetapi apa yang dihadapi oleh Elise lebih dari itu. Ada hal lain yang harus berusaha diselesaikan oleh Elise selama sedang bertugas di rumah masa kecilnya. Oleh karena itu, Elise harus berkompromi dengan masa lalunya, menekan mimpi buruknya jauh-jauh agar bisa menghadapi makhluk astral yang sudah menganggunya dan keluarganya sejak kecil.



Insidious : The Last Keymungkin sedang berusaha untuk menggali lebih dalam siapa itu Elise, sosok yang selalu menjadi juru kunci di setiap seri Insidious. Tujuan inilah yang sedang berusaha dilakukan oleh Leigh Whannell saat menuliskan ceritanya di dalam naskah. Tetapi sayang, Adam Robitel tak bisa membuat penonton cukup bersimpati dengan cerita yang ada di Insidious : The Last Key. Jatuhnya, seri keempatnya ini terlihat hanya mementingkan untuk mengekspansi dunia franchise ini untuk demi kelangsungan seri-seri berikutnya.

Tak ada kekuatan sama sekali dalam pengarahannya, baik dalam porsi dramanya maupun dalam membangun teror. Insidious : The Last Key hanya berusaha memanipulasi penontonnya dengan berbagai scoring atau musik latar untuk memunculkan nuansanya. Ketika masuk ke bagian human drama, musik latarlah yang berusaha mengelabui penonton untuk ikut andil dalam kisah Elise. Begitu pula dalam bangunan tensi horornya.

Musik menjadi cara untuk mengelabui penonton dalam mendapatkan sensasi menonton film horor di dalam Insidious : The Last Key. Tak ada atmosfir horor yang bisa dibangun dengan baik oleh sang sutradara. Begitu pula dengan teknik jump scaresnya yang sudah tak lagi inovatif dan hanya mengulangi formula-formula yang usang. Teknik jump scares yang biasanya efektif ini pun tak digunakan terlalu banyak di dalam filmnya. Sehingga, penonton tak lagi bisa mendapatkan sensasi apapun saat menonton film ini.


Di dalam 104 menit filmnya, Insidious : The Last Key serasa terbagi menjadi dua babak yang berbeda. Konflik awal di dalam film ini mungkin ditujukan sebagai pengantar cerita yang memunculkan sebuah koneksi di akhir film. Nyatanya, ketika konflik awal tentang Ted Garza ini diselesaikan, fokus cerita tiba-tiba berpindah dan tak sesekali memiliki koneksi dengan cerita di awal film. Hal ini malah menjadi bumerang bagi filmnya, karena tanpa cerita di 1 jam pertama sebenarnya cerita di paruh kedua bisa berjalan sendirian.

Hal ini memunculkan sebuah isu di dalam Insidious : The Last Key bahwa film ini hanyalah sebagai sebuah fitur film tambahan untuk memperluas dunia milik Insidious. Sehingga, nantinya Insidiousbisa menggunakan celah-celah yang ada untuk melanjutkan serinya meskipun penonton sudah mulai lelah. Terbukti dengan adanya adegan di akhir film Insidious : The Last Key yang memberikan sebuah koneksi ke seri-seri sebelumnya. Insidious : The Last Key hanyalah sebuah film trivia yang sebenarnya tidak ada pun juga tidak apa-apa.


Senin, 11 Desember 2017

JUSTICE LEAGUE (2017) REVIEW : Kesalahan DC yang Sama Lagi

JUSTICE LEAGUE (2017) REVIEW : Kesalahan DC yang Sama Lagi


DC Films lagi-lagi mengeluarkan sebuah film tentang manusia supernya di tahun ini. Setelah bulan Juni lalu, akhirnya Wonder Woman dirilis dan mendapatkan hati di banyak penontonnya. Dengan begitu, DC dan Warner Bros semakin percaya diri dengan line up film-film manusia super milik DC lainnya. Meskipun, masih belum ada lini waktu yang benar-benar tertata seperti yang dilakukan oleh film manusia super milik brand sebelah.

Dengan lini waktunya yang tak terarah, Warner Bros dan DC sepertinya masih juga tak takut untuk mengeluarkan film Justice League di tahun ini. Justice League ini adalah tempat para manusia super milik DC berkumpul. Film ini disutradarai oleh Zack Snyder pada awalnya hingga sebuah musibah datang menghampirinya. Di tengah filmnya yang sudah selesai dan dalam proses penyuntingan, Joss Whedon ini ditunjuk untuk melakukan supervisi terhadap film Justice League.

Hal ini yang membuat Justice League harus melakukan syuting ulang yang membuat film ini memiliki budget yang membengkak. Dengan budget dua kali lipat, Joss Whedon pun harus memotong durasi film yang awalnya dari 170 menit menjadi 120 menit. Upaya mempersingkat durasi ini cukup menyita banyak perhatian calon penontonnya karena mungkin ada harapan bahwa Justice League akan kembali memukau dan harapan baru bagi DC films selanjutnya.


Memiliki 6 manusia super di dalam satu film tentu punya story device yang perlu dijelaskan lebih agar penonton tak kebingungan dengan setiap karakternya. Dengan linimasa cerita yang kacau balau dalam menentukan origin story, durasi 120 menit ini tentu adalah sebuah bencana besar bagi Justice League. Alih-alih akan punya sebuah pace cerita yang lebih dinamis, durasinya yang pendek ini membuat performa Justice League tak lagi mengikat dan jatuh menjadi sebuah sajian yang mengecewakan.

Justice League mengisahkan tentang kota yang sedang mengalami kehancuran karena musuh besar datang dan berusaha menguasai bumi. Paska kematian Superman, orang-orang di kota tak lagi punya manusia super yang melindungi mereka. Untuk itu, Bruce Wayne (Ben Affleck) sebagai seorang Batman berusaha untuk mengumpulkan para manusia super seperti Wonder Woman (Gal Gadot), Aquaman (Jason Momoa), The Flash (Ezra Miller), dan Cyborg (Ray Fisher).

Mereka harus berhadapan dengan Steppenwolf (Ciaran Hinds) yang datang dari legenda Amazon yang berusaha mengumpulkan kekuatan dari 3 artefak yang bisa membuatnya lebih kuat. Para manusia super ini bergabung dan berusaha untuk mengalahkan Steppenwolf. Para manusia super yang sedang kewalahan mengalahkan Steppenwolf ini mencari strategi lain. Bruce Wayne berambisi untuk membangunkan lagi Superman agar tim manusia supernya ini menjadi sebuah tim yang kuat.


Ketika secara garis besar sebuah plot dari Justice League bisa sesederhana itu, hanya saja dalam presentasinya hal tersebut berkata lain. Justice League ini tampil bagaikan sebuah kompilasi 5 film pendek yang terasa seperti omnibus di 1 jam pertama. Setiap manusia super di dalam Justice League ini seperti punya kisahnya sendiri yang perlu untuk dijelaskan agar penonton bisa memihak karakter mana yang akan jadi idolanya. Sayangnya, hal ini berpengaruh dengan performa Justice League secara keseluruhan.

Meski diberi ruang untuk bergerak bagi karakter-karakternya, itu pun tak membuat setiap karakternya punya porsi yang kuat sebagai sebuah karakter utuh. Selama 120 menit, Justice League bingung harus fokus dengan kisah yang mana. Plot utamanya pun beberapa kali harus tersingkirkan demi cabang cerita lain yang sama tak kuatnya. Tak ada koneksi yang bisa saling berkesinambungan antar setiap kerangka ceritanya sehingga Justice League punya kesan sangat berantakan.

Motif-motif setiap karakternya dan alasan-alasan untuk setiap plotnya ini terasa hilang dari dalam filmnya. Ketika penonton sedang berusaha menerima informasi tentang setiap karakternya, dalam waktu itu juga penonton merasa adanya informasi yang terputus karena cerita sudah beralih dengan cara yang tak halus. Sehingga, muncul kesan bahwa Justice League seperti sebuah gabungan kisah-kisah pendek superhero dengan benang merah kecil dan bahkan benang merah tersebut dilupakan.


Dengan begitu, Justice League tak punya daya dan upaya untuk mengembalikan konsentrasi penontonnya yang sangat terdistraksi dengan plot yang saling tumpang tindih di 1 jam awal. Kisah ceritanya yang sebenarnya sederhana ini malah menjadi blunder karena film ini terasa menyibukkan dirinya tanpa memperhatikan plot utama sebagai penggeraknya. Alhasil, Justice League hanya sebagai sekedar sebuah parade manusia super idola dari komik DC yang tak ada kekuatannya sama sekali.

Entah siapa yang perlu disalahkan dari presentasi Justice League ini. Yang jelas pengarahan dari Zack Snyder dan kolaborasi supervisinya dari Joss Whedon tak bisa memberikan rasa dan tensi yang kuat. Sehingga, dalam 120 menitnya, Justice League memiliki performa yang begitu hambar hingga mungkin paruh akhir filmnya yang menampilkan adegan pertarungan para manusia super ini. Itupun, Justice League tak lagi menawarkan hal baru di dalam genre-nya.


Justice League memiliki visual efek yang begitu kasar dengan warna yang tak terlalu indah. Penonton yang akan menantikan parade visual efek pun akan sangat kecewa. Maka, amunisi senjata Justice League untuk mendistraksi segala kelemahan filmnya pun sama sekali tak tersisa. Hanya sosok Superman yang muncul di 1 jam terakhir inilah yang menjadi poin menarik dan satu-satunya dalam Justice League. Meskipun, penonton harus lagi-lagi terdistraksi dengan CGI yang membuat wajah Henry Cavill nampak berbeda dan berpotensi menjadi sesuatu yang menggelikan untuk dilihat. DC Films nampak jatuh ke lubang yang sama lagi.

Jumat, 30 Juni 2017

TRANSFORMERS : THE LAST KNIGHT (2017) REVIEW : ‘Bumbu’ Lain
dalam 'Makanan Cepat Saji'

TRANSFORMERS : THE LAST KNIGHT (2017) REVIEW : ‘Bumbu’ Lain dalam 'Makanan Cepat Saji'

Michael Bay datang lagi menawarkan “makanan junk food” kepada penontonnya. Transformers adalah sebuah franchisepenuh visual efek spektakuler yang terlihat enak disantap di luar, tetapi sebenarnya tidak sehat. Tetapi, meski terlihat tak sehat, film-film seperti ini adalah film yang akan dinantikan dan selalu menjadi favorit bagi semua orang yang ingin hiburan secara instan. Maka, tahun ini muncul sebuah seri kelima dari seri ini.

Seri kelima ini pada awalnya digadang menjadi seri terakhir dari Transformers. Tetapi, Paramount Pictures telah memberikan lampu hijau untuk seri ini agar berlanjut menjadi 12 seri selanjutnya. Sehingga bagi penonton yang tak suka dengan seri dari film ini,  taruh impian anda untuk menyaksikan seri terakhir dari Transformers. Karena Transformers : The Last Knights adalah awal mula dari babak baru yang akan dibuat oleh Michael Bay beserta Paramount untuk lagi-lagi mengeruk finansial penontonnya agar selalu menikmati “makanan cepat saji” ala mereka.

Transformers : The Last Knightmelanjutkan linimasa cerita yang telah dibangun ulang lewat Age of Extinction. Dengan begitu, tokoh utama di dalam film Transformers kali ini masih dipegang oleh Mark Wahlberg dan juga dipenuhi dengan berbagai macam aktor-aktris baru. Tetapi, meskipun cerita telah diulang menjadi sesuatu yang baru, seri ini tak menunjukkan perubahan lain selain visual efeknya yang semakin mengagumkan. Tetapi, beruntungnya Transformers : The Last Knight kali ini hanya berdurasi 150 menit –hal itu berarti 15 menit lebih pendek daripada film sebelumnya. 


Tetapi, dengan durasi yang lebih pendek 15 menit, tak membuat Transformers : The Last Knight memiliki bangunan cerita yang lebih baik. Cerita di Transformers : The Last Knight ini berusaha memiliki kerumitan daripada film sebelumnya. Bagaimana Optimus Prime yang kembali ke planetnya, Cybertron, dikuasai oleh Quintessa. Optimus Prime pun diberi pengaruh oleh Quintessa untuk mengembalikan Cybertron seperti semula tetapi dengan cara menghancurkan planet bumi.

Sementara itu, Cade Yaeger (Mark Wahlberg) berusaha menenangkan konflik yang terjadi di bumi. Di mana Decepticon berusaha untuk mencari pedang legenda milik King Arthur yang sebelumnya telah diberi kekuatan oleh Autobot di masa itu dan menjadi pedang terkuat di bumi. Sehingga, Cade Yaeger bersama dengan teman-teman Autobot-nya berusaha untuk menghalang Decepticon menemukan pedang tersebut agar tak disalahgunakan. 


Akan ada banyak orang yang memberikan saran kepada penonton seri Transformers untuk tak begitu mempedulikan bagaimana plotnya bergerak. Nikmati saja setiap visual efek dan sekuens aksi menggelegar yang akan diberikan oleh Michael Bay di sepanjang film. Menetapkan ekspektasi seperti itu memang sedikit perlu, agar bisa menikmati film Transformers milik Michael Bay. Tetapi, ketika mengatur ekspektasi sedemikian rupa, Transformers : The Last Knight melenceng jauh dari bagaimana seri Transformers seperti biasanya.

Dengan cerita dan berbagai subplot seperti itu, Transformers : The Last Knight berusaha untuk memberikan pondasi cerita yang kuat. Hanya saja, dengan berbagai macam karakter, plot, dan cabang plotnya, Transformers : The Last Knightgagal dalam mengikat penontonnya dengan durasi 150 menit. Semuanya bercampur aduk menjadi satu, hingga menimbulkan kebingungan penonton untuk berusaha mengikuti apa yang dimau oleh Michael Bay di dalam Transformers : The Last Knight ini.  Cerita yang berbeda dan lebih rumit tak membuat Transformers : The Last Knightmemiliki performa yang kuat. 


Karakter dan plot hanyalah sebagai formalitas yang ada agar film ini memiliki atributnya sebagai sebuah film. Tetapi, di sepanjang 1 jam awal, Transformers : The Last Knight memiliki atmosfir layaknya video perkenalan sebuah wahana yang berusaha dipanjang-panjangkan. Lantas di satu jam selanjutnya, Transformers : The Last Knight tak lantas menjadi membaik. 1 jam selanjutnya, muncul konflik lain yang semakin membuat suasana film semakin riuh tetapi tak terkendali.

Setiap menit akan dikenalkan karakter baru, dengan begitu cabang plot cerita juga semakin bertambah. Hanya saja, Michael Bay tak bisa mengendalikan hal tersebut dengan baik. Dampaknya ada di dalam performa Transformers : The Last Knight yang terasa begitu acak untuk diterima oleh penontonnya. Kekacauan itu juga semakin diperkuat dengan penyuntingan yang tak bisa menemukan garis lurus untuk menyajikan cerita di dalam filmnya. Sehingga, penonton tak bisa menikmati apa yang berusaha disampaikan oleh Michael Bay di dalam seri terbarunya.

Meski sebenarnya film-film Transformers hanya mempedulikan efek visual, secara keselurahan Transformers : The Last Knight tak memberikan sesuatu yang akan menancap di ingatan penontonnya. Semuanya sudah pernah ada di film-film sebelumnya, bahkan bisa dibilang Transformers : The Last Knightmemiliki sedikit sekuens aksi, apalagi yang menancap di ingatan penonton. Tidak ada alternatif lain yang muncul dari segi efek visual yang menjadi kekuatan utama seri ini. 


Menentukan ekspektasi agar tak memikirkan plot cerita di seri-seri Transformers, nyatanya tak berlaku di seri terbarunya ini. Transformers : The Last Knight seperti sebuah makanan junk food yang sudah disukai oleh penontonnya dan berusaha memberikan ‘bumbu’ lain di dalamnya. Sehingga, konsumennya akan berusaha mengidentifikasi rasa lama yang terganggu dengan ‘bumbu’ barunya. Michael Bay berusaha memberikan konsentrasi plot cerita di dalam filmnya, tetapi juga tak bisa melepaskan pentingnya efek visual yang biasanya jadi kekuatan seri ini. Sehingga dengan durasi sepanjang 150 menit, Transformers : The Last Knighttak bisa memiliki performa yang baik –dengan standar seperti biasanya. Belum lagi, penuturan ceritanya juga belum bisa efektif. Sayang sekali. 


Film ini dirilis dengan format yang khusus untuk IMAX 3D. Berikut adalah review dari format tiga dimensi dari film ini :

DEPTH 
 
Transformers : The Last Knight memiliki kualitas kedalaman yang bisa membuat penontonnya melihat mereka di balik kaca.

POP OUT 

Efek keluar dari layar di film Transformers : The Last Knight cukup memberikan sensasi menarik saat menonton.

Direkam menggunakan kamera IMAX 3D, maka tak ada alasan tak menyaksikan Transformers : The Last Knight di dalam format tiga dimensi.