Tampilkan postingan dengan label Fajar Nugros. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fajar Nugros. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

REVIEW : TERBANG MENEMBUS LANGIT

REVIEW : TERBANG MENEMBUS LANGIT


“Beranikan hati. Raihlah kebebasan kau. Terbang, terbang setinggi-tingginya.” 

Bagi sebagian masyarakat Indonesia, nama Onggy Hianata memang tidak terdengar familiar. Membutuhkan jasa teknologi canggih yang disebut Google untuk mengetahui latar belakang dan profesi dari pemilik nama tersebut. Dari hasil berselancar ke dunia maya – mengunjungi satu demi satu web dan blog yang membahas tentang Onggy – saya memperoleh satu kesimpulan bahwa Onggy merupakan seorang motivator keturunan Tionghoa asal Tarakan, Kalimantan Utara, yang menyebarkan pengalamannya selama merintis karir sebagai pebisnis melalui program bernama Value Your Life: A Life Changing Bootcamp. Beliau telah melanglang buana (ruang lingkupnya telah berada di taraf internasional) demi memotivasi para pebisnis pemula agar mereka mendapatkan kepercayaan diri dan keberanian dalam membangun kerajaan bisnis. Yaaaa kurang lebih seperti Merry Riana atau Mario Teguh lah. Kepenasaran saya untuk mengetahui sosoknya dilandasi oleh keputusan Demi Istri Production menitahkan Fajar Nugros (Moammar Emka’s Jakarta Undercover, 7/24) untuk menggarap film bertajuk Terbang: Menembus Langit yang guliran penceritaannya didasarkan pada kisah hidup Onggy Hianata. Saya dibuat bertanya-tanya, “apa sih yang begitu istimewa dari kehidupan sang motivator sampai-sampai dirasa perlu untuk diangkat ke dalam format film layar lebar?.” 

Well, jalan hidup Onggy Hianata (Dion Wiyoko) yang penuh lika-liku harus diakui merupakan sebuah materi yang seksi untuk difilmkan. Seorang pebisnis sukses yang memulai karirnya dari nol. Dia berasal dari sebuah keluarga keturunan Tionghoa yang miskin di Tarakan, memiliki delapan saudara, dan nyaris tidak dapat mengenyam bangku pendidikan karena kedua orang tuanya terhimpit secara finansial. Sang ayah (Chew Kin Wah) hanyalah pekerja di toko kelontong, sementara ibunya (Aline Adita) mengurus rumah tangga. Selepas meninggalnya sang ayah, kedua kakak Onggy (Baim Wong dan Delon Thamrin) yang bertugas dalam menafkahi keluarga. Onggy sendiri memilih untuk menyelamatkan dirinya dan keluarganya dari jurang kemiskinan dengan cara mencari peruntungan di perantauan. Bermodal nekat, Onggy pun meninggalkan kampung halamannya dan bertolak menuju Surabaya – suatu kota yang sering dijadikan sebagai destinasi andalan oleh para perantau di kotanya. Tanpa uang saku dari kedua kakaknya, Onggy membiayai kuliah sekaligus menyambung hidup dengan menjadi distributor apel ke toko buah, menjual jagung bakar, memproduksi kerupuk, sampai akhirnya bekerja sebagai pegawai di pabrik pembuatan benang. Penghasilan tetap yang diperolehnya di pabrik ini nyatanya tak lantas membuat Onggy bahagia karena dia menyadari bahwa menjadi budak korporat bukanlah mimpinya. Dia ingin memperoleh kebebasan penghasilan dari usaha yang dibangunnya sendiri, bukan bergantung dari usaha yang dibangun oleh orang lain.


Menyoroti sepak terjang Onggy dalam mengentaskan dirinya, keluarganya di Tarakan, dan keluarga kecil yang baru dibinanya bersama sang istri, Candra (Laura Basuki), dari penderitaan hidup yang disebabkan kemiskinan, bahan obrolan yang disodorkan Terbang: Menembus Langit berkisar pada keberanian dalam menggapai mimpi, kekuatan tekad, serta kerja keras. Ini adalah modal utama yang dibutuhkan untuk mengkreasi sebuah film biopik yang inspiratif. Entah kalian suka atau tidak dengan pilihan kata ‘inspiratif’ yang kerap digunakan secara sembrono oleh sineas-sineas Indonesia demi jualan film asal bikin, kata ini nyatanya terasa tepat untuk mendeskripsikan seperti apa Terbang: Menembus Langit. Sebuah film yang akan menggugah semangatmu saat melangkahkan kaki ke luar bioskop untuk memperbaiki kualitas diri sekaligus mengoreksi etos kerja demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Penceritaannya memang tidak selalu mulus, seperti kehidupan subjeknya. Problematika paling mencolok kentara terasa kala menjelang klimaks yang cenderung tergesa seolah-olah ingin cepat tuntas sampai lupa menjabarkan satu pekerjaan baru yang dikejar-kejar oleh Onggy termasuk bagaimana sistem penggajiannya (karena ada kalanya dia tampak tak menerima hasil apapun) dan meminggirkan subplot terkait kerusuhan Mei 1998 yang sejatinya memiliki potensi dramatik menarik saat dikulik (semacam, apa impak peristiwa ini pada Onggy dan keluarganya?) terlebih film pun sejatinya ingin berceloteh soal kebhinekaan Indonesia. 

Andai Terbang: Menembus Langit berkenan memperpanjang durasinya, lalu mengupas ini lebih tuntas, memperlihatkan bagaimana Onggy sebagai keturunan Tionghoa dapat bertahan di masa orde baru yang sarat diskriminasi, dan memberi kita gambaran lebih utuh mengenai pekerjaan yang membawa Onggy pada masa kejayaannya, film bisa jadi akan tersaji lebih menggigit. Bahkan dengan adanya ganjalan di penghujung pun, Terbang: Menembus Langit masih mampu terhidang sebagai film biopik yang cukup memuaskan berkat kombinasi serba apik dari pengarahan Fajar Nugros, elemen teknis yang menyokongnya, serta performa jajaran pelakonnya. Di sini, kamu akan mendapati nuansa pekat dari era 80-90’an yang dipancarkan melalui pilihan busana, tata rias, sampai artistik, dan atraksi akting mengagumkan yang menggerakkan film. Dion Wiyoko sebagai Onggy yang dikenal gigih dalam memperjuangkan keinginannya adalah pilihan yang tepat karena dia sanggup membawa kita melewati berbagai fase emosi; kita kecewa dan terpuruk bersamanya, kemudian kita yakin dan bersorak kepadanya. Keinginan kita pun sejalan dengannya, yakni melihat Onggy mencicipi manisnya buah kerja keras. Beruntung bagi Dion, dia mempunyai lawan main yang mumpuni seperti Chew Kin Wah bersama Aline Adita sebagai orang tuanya yang menyuplai sisi haru berikut rasa hangat, lalu kuartet penghuni kos-kosan (Dayu Wijanto, Indra Jegel, Mamat Alkatiri, Fajar Nugra) yang memberi sejumput gelak tawa mengasyikkan pada film, dan Laura Basuki yang merupakan bintang sesungguhnya dari film ini.


Laura bertransformasi dengan amat meyakinkan sebagai Candra – lengkap dengan aksen Cina Suroboyoannya – yang menyediakan harapan hidup bagi Onggy. Sesosok perempuan kuat yang senantiasa memberi dorongan untuk suaminya sekalipun keputusan Onggy yang berani (kalau tak mau disebut nekat) seringkali menempatkan mereka pada posisi sulit. Adegan yang berlangsung di kontrakan, seperti saat Candra meluapkan kekecewaannya yang begitu mendalam atas pilihan suaminya atau ketika kandungannya bermasalah atau kala Rich (putra mereka yang masih bayi) merengek kepanasan, menunjukkan range emosi seorang Laura yang luas. Apakah ini akting terbaik sepanjang karirnya? Dapat dikatakan demikian. Chemistry yang dirajutnya bersama Dion pun tak kalah apiknya. Membuat kita cukup bisa memaafkan pergerakan kisah yang tergesa di paruh akhir (sungguh ini sayang sekali), membuat kita bersedia mendengarkan kisah hidup Pak Onggy beserta Bu Candra, membuat kita rela dihanyutkan ke dalam kisah mereka yang terkadang hangat terkadang lucu terkadang pilu, membuat kita berharap mereka berhasil menggapai mimpi mereka, dan pada akhirnya membuat kita terinspirasi untuk mencetak kisah sukses yang serupa. Performa Dion-Laura yang mempunyai emosi sedemikian kuat jelas berkontribusi banyak terhadap Terbang: Menembus Langit sehingga film dapat terbang cukup tinggi meninggalkan film-film sejenis seperti Menebus Impian (2010) atau Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar (2014) misalnya.

Exceeds Expectations (3,5/5)

Senin, 19 Maret 2018

YOWIS BEN (2018) REVIEW : Bahasa Jawa Timuran, Bahasan Tetap Universal.

YOWIS BEN (2018) REVIEW : Bahasa Jawa Timuran, Bahasan Tetap Universal.


Budaya jawa timuran dalam sebuah film memang bukan lagi hal baru. Ada beberapa film yang setting jawa timurnya pun kental. Yowis Ben, film arahan dari Fajar Nugros yang berkolaborasi dengan Bayu Skak ini terlihat mengasyikkan. Bukan sekedar karena filmnya yang menggunakan bahasa jowoan, tetapi lebih karena trailernya yang terlihat menarik. Pun, lebih menarik lagi ketika ada nama Bayu Skak yang ikut membantu Fajar Nugros sebagai sutradara.

Selain itu, naskah dari Yowis Ben pun ditulis sendiri oleh Bayu Skak. Trailernya menarik tetapi tak disangka bahwa Yowis Ben bisa menjadi sebuah film yang mendatangkan jumlah penonton yang cukup banyak. Dengan kedekatan budaya, tentu saja Yowis Bensangat menarik penonton di daerah jawa timur mulai dari Surabaya, apalagi Malang yang setting filmnya pun berada di sana. Tentu ini adalah sebuah fenomena menarik dalam perfilman Indonesia.

Tetapi, akan masih banyak penonton yang meragukan bagaimana performa Yowis Ben secara utuh. Nama Bayu Skak tentu menjadi taruhan serta alasan lain bagi mereka yang tak dekat dengan budayanya untuk hadir menonton film Yowis Ben ini. Ketenaran Bayu Skak di media sosial tentu menjadi keunggulan sendiri bagi Yowis Ben untuk melakukan promosi dan mendatangkan jumlah penonton. Tetapi, kedekatan secara budaya ini adalah kata kunci bagaimana Yowis Ben bisa sangat sukses.


Kesuksesan yang didapatkan oleh Yowis Ben ini untungnya masih selaras dengan bagaimana 100 menit dari film ini dikemas oleh Fajar Nugros dan Bayu Skak. Yowis Ben memiliki kekuatan utama dalam bahasa jawa timurannya sebagai gong utama semua celotehan komedinya. Tak bisa dipungkiri bahwa bahasa lokal inilah yang menjadi keistimewaan dari Yowis Ben. Terlebih, sebenarnya Yowis Ben tak memiliki sesuatu yang baru di dalam genre-nya untuk ditawarkan kepada penontonnya.

Yowis Ben sangat menggantungkan dirinya dengan kedekatan budaya lokal yang sangat kental. Hal ini mungkin tak bisa sepenuhnya bisa membuat penonton yang tak kenal budaya tersebut akan mendapatkan efek yang sama dengan yang sudah kenal dengan budaya tersebut. Tetapi, Fajar Nugros dan Bayu Skak setidaknya sudah memberikan caranya sendiri untuk mengemas film Yowis Ben agar tetap bisa dinikmati setiap orang.


Yowis Ben menceritakan tentang seorang remaja sekolah menengah atas bernama Bayu (Bayu Skak) yang masih saja terjebak problematika zaman now yaitu popularitas. Bayu yang hidup bersama Ibunya yang berprofesi sebagai penjual nasi pecel membuat Bayu dikenal sebagai Pecel Boy. Ini karena Bayu sering membantu ibunya berjualan nasi pecel kepada teman-temannya di sekolah. Hal inilah yang membuat Bayu berpikir untuk memperbaiki reputasinya di sekolah.

Bersama dengan teman dekatnya,  Doni (Joshua Suherman), Bayu memutuskan untuk membuat band yang bisa mengangkat popularitasnya di sekolah. Ini juga menjadi alasan agar Bayu bisa mendekati cewek yang dia taksir di sekolah bernama Susan (Cut Meyriska). Akhirnya bertemulah Bayu dan Doni dengan Yayan (Tutus Thomson) dan Nando (Brandon Salim). Mereka menamai band mereka menjadi Yowis Bendan beberapa videonya berhasil menjadi viral.


Plot ceritanya tak ada yang spesial, Yowis Ben menggunakan pakem dan tema yang sama dengan beberapa film remaja yang ada. Sehingga, memang bagi yang sudah pernah menonton film dengan genre serupa, Yowis Ben tak akan menawarkan sesuatu yang baru. Tetapi, hal tersebut tak semata-mata membuat Yowis Ben tak bisa menjadi sajian yang menarik. Pintarnya Fajar Nugros dan Bayu Skak mengemas sesuatu yang usang itu sehingga memiliki daya tariknya yang baru.

Memasukkan bahasa lokal sebagai injeksi daya tarik sekaligus sorotan utama dalam film ini tentu bukanlah perkara mudah. Celotehan-celotehan bahasa jawa timuran ini adalah kekuatan utama dalam porsi komedinya dan ini harus punya ketelitian agar tak timbul adegan yang jatuhnya menganggu. Bayu Skak dalam naskahnya memiliki ketelitian itu di dalam Yowis Ben. Pun, bahasa lokal ini tak hanya sebagai dialognya saja, tetapi juga bahasa dalam lagu yang dimainkan oleh para karakternya ini berhasil menjadi cocok di kuping penontonnya.

Yowis Ben berhasil memberikan gambaran tentang dinamika remaja zaman sekarang yang sangat mempedulikan popularitas apalagi di dunia maya. Konflik inilah yang perlu digarisbawahi bahwa semua remaja di belahan provinsi manapun ternyata memiliki konflik yang sama. Pengikut di akun media sosial menjadi momok yang penting bagi perjalanan hidup remaja zaman sekarang. Tetapi, mereka tak benar-benar tahu apa yang didapatkan setelah sangat mempedulikan persona yang mereka tampilkan di dunia maya. Inilah yang membuat Yowis Ben bisa dinikmati oleh semua budaya.


Tetapi, tak bisa dipungkiri pula bahwa pentingnya penggambaran dinamika remaja zaman sekarang ini tak bisa tersampaikan dengan sempurna. Yowis Ben mengorbankan konflik ini kepada subplot lain tentang kekeluargaan dan cinta-cintaan yang pada akhirnya membuat Yowis Ben tak memiliki penceritaan yang baik. Beberapa adegan memiliki tempo yang melambat dan plot mereka menjadi saling tumpang tindih dan diselesaikan dengan secepat mungkin.

Performa Yowis Ben pada akhirnya memang tak bisa sempurna karena beberapa minor yang ada di dalam filmnya. Tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa Yowis Ben masih memiliki beberapa hal yang bisa dinikmati oleh penontonnya. Film ini memang sangat bertumpu kepada bahasa lokalnya sebagai kekuatan utama untuk meluncurkan punchline komedi yang mengundang tawa. Meski akan ada beberapa yang meleset bagi mereka yang tak dekat dengan budayanya, setidaknya Yowis Ben sudah berusaha menjadi sajian yang universal lewat konfliknya.