Tampilkan postingan dengan label Dimas Anggara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dimas Anggara. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Februari 2018

REVIEW : LONDON LOVE STORY 3

REVIEW : LONDON LOVE STORY 3


“Cinta sejati tidak punya sebuah akhir. Aku mohon sama kamu, jangan menyerah.” 

Mungkin tidak sedikit dari kalian yang bertanya-tanya, kok bisa sih intrik dalam kisah cinta Caramel (Michelle Ziudith) dengan Dave (Dimas Anggara) yang tidak rumit-rumit amat ini membutuhkan sampai tiga jilid London Love Story untuk diselesaikan? Jawabannya sebetulnya sederhana saja – dan saya cukup yakin, kalian pasti telah mengetahuinya – yakni produk diterima dengan baik oleh publik. Instalmen pertama London Love Story menandai untuk pertama kalinya film produksi Screenplay Films mampu mencapai 1 juta penonton, sementara seri keduanya sekalipun mengalami penurunan tetap dapat dikategorikan laris manis. Menilik pencapaian ini, tentu tidak mengherankan jika kemudian drama percintaan yang mendayu-dayu ini diekspansi ke dalam tiga seri sampai-sampai judulnya tidak lagi relevan dengan latar penceritaan. Ya, London hanya muncul sekitar 15 menit di seri kedua yang sebagian besar memanfaatkan panorama Swiss sebagai jualan utama dan hanya sekejap saja di seri ketiga yang memboyong latar kisah ke Bali sehingga lebih tepat rasanya jika London Love Story 3 beralih judul menjadi Bali Love Story

London Love Story 3 membuka kisahnya dengan adegan wisuda Caramel (saya baru nyadar ternyata selama ini dia kuliah lho, Guys!) yang dilanjut acara lamaran. Jangan bayangin lamaran yang dihadiri sanak saudara ya karena di sini lamarannya berlangsung di atas kapal pesiar yang mengarungi Sungai Thames. Usai dilamar oleh Dave, Cara pun memutuskan untuk pulang kampung ke Indonesia – bersama dengan calon suaminya yang tajir melintir itu, tentu saja. Mereka berencana untuk melangsungkan pernikahan di Pulau Dewata, tempat dimana mereka bertemu untuk pertama kalinya. Tidak lama setelah mengutarakan niat ini kepada orang tua Cara, dua sejoli ini pun bertolak ke Bali dengan maksud mengenang momen-momen perjumpaan mereka seraya (mungkin) mencari lokasi pernikahan yang cocok di hati. Berselancar, jalan-jalan di pantai, dan berkeliling dengan mobil mevvah adalah hal pertama yang keduanya lakukan sesampainya di Bali. Sayangnya belum juga puas bernostalgia, mereka diusik oleh kehadiran Rio (Derby Romero) yang membawa pesan dari masa lalu. Tidak hanya sosok Rio yang membuat liburan Cara dan Dave kurang khidmat, tetapi juga sebuah kecelakaan mobil yang menyebabkan kaki Cara terancam lumpuh untuk selamanya.


Sejujurnya, saya cukup menikmati London Love Story 2. Dibandingkan film pembukanya yang cenderung “suka-suka gue” dalam bertutur, jilid ini lebih bisa ditolerir dengan konflik dan barisan karakter yang (sedikit) lebih bisa diterima oleh nalar. Bahkan, muncul rasa pedih tatkala sosok Gilang (Rizky Nazar) – yang sejatinya lebih menarik disimak ketimbang Dave dan Cara – ‘dibunuh’ oleh si pembuat film demi memberi keleluasaan bagi dua sejoli utama untuk melanjutkan hubungan mereka. Mengetahui ada perbaikan pada seri kedua, maka jelas bohong jika saya mengatakan tidak optimis terhadap babak pamungkas London Love Story. Saya optimis sekali. Siapa tahu kisah percintaan Cara-Dave bisa berakhir segreget Cinta-Rangga, yekannnn? Ya siapa tahu. Untungnya saya tidak pernah mengutarakan angan-angan (berlebihan) ini kepada siapapun karena jika melihat hasil akhir London Love Story 3, saya yakin beberapa kawan akan mengatakan, “loe halu banget, sumpah!.” Berharap lebih terhadap film percintaan remaja buatan Screenplay Films jelas bukanlah pilihan. Malah diri ini juga sangat menyesal telah berbaik sangka kepada London Love Story 3 karena alih-alih menghadirkan penutup layak yang membuat kita terkenang pada kisah asmara Cara-Dave, seri ini justru lebih menyerupai dagelan yang bertujuan untuk menertawakan kisah cinta mereka berdua. 

Paham sekali alasan dibalik keputusan produser untuk merentangkan London Love Story hingga ke seri ketiga. Hanya saja, sulit disangkal bahwa kisah kasih Cara-Dave yang secethek sungai di musim kemarau ini jelas tidak memungkinkan untuk dikembangkan lebih jauh lagi. Alhasil, konfliknya pun berputar-putar disitu-situ saja dengan berbagai kekonyolan yang mengikutinya. Selama tiga seri, karakter-karakter inti yang terlibat dalam cinta segitiga Cara-Dave-Gilang mengalami kecelakaan. Ada yang koma, ada yang lumpuh, ada pula yang meninggal. Apakah mereka terkena kutukan? Bisa jadi. Yang jelas, si pembuat film menganggap satu-satunya cara membuat penonton termehek-mehek adalah memberi musibah kepada karakter kesayangan mereka ini. London Love Story 3 terasa semakin menjadi-jadi kekonyolannya berkat rengekan Cara mengenai kaki lumpuhnya yang tak berkesudahan (sampai-sampai muncul keinginan buat berteriak, "Mbak, Istighfar, Mbak!" lalu melakban mulutnya) dan penyelesaian yang membuat saya menyadari bahwa ‘keajaiban’ beserta ‘kebetulan’ adalah kata kunci yang dijunjung tinggi oleh franchise ini. Andai saja konklusi pada Ayat-Ayat Cinta 2 tempo hari tidak memelintir logika sedemikian rupa, mungkin saya sudah memberikan standing ovation heboh untuk penyelesaian masalah yang ditawarkan oleh London Love Story 3. Film ini membuktikan bahwa keajaiban cinta sejati itu memang nyata adanya.

Poor (2/5)



Rabu, 08 Maret 2017

REVIEW : LONDON LOVE STORY 2

REVIEW : LONDON LOVE STORY 2


"Siapapun itu, bagaimanapun juga, setiap orang pasti punya masa lalu. Dan aku memilih kamu sebagai masa depanku.” 

Pada dasarnya, London Love Story hanyalah versi sedikit lebih sophisticated-nya Magic Hour (bahkan kru dan pemain pun sama!) yang untuk mencapai level sophisticated, latar diboyong jauh ke London menggantikan Jakarta. Sebetulnya tidak ada keistimewaan dari caranya bercerita, malah bisa dikata plotnya sudah lecek, karena kisahnya masih saja berkisar soal balada asmara beberapa anak kuliahan yang sengaja dirumit-rumitkan simpulnya padahal mudah sekali buat diurai. Yang membuatnya istimewa, London Love Story menandai pertama kalinya bagi rumah produksi Screenplay Films mengirimkan perwakilan ke klub film satu juta penonton usai percobaan pertama lewat Magic Hour gagal merengkuhnya dalam margin amat tipis. Kunci keberhasilannya jelas tidak terletak pada kualitas, melainkan kemahiran berpromosi. Film ini sukses menciptakan tren “baper bareng-bareng di bioskop” di kalangan segmen penontonnya yang menyasar remaja usia belasan. Rasa penasaran digelitik (“hmmm... seromantis dan sesedih apa sih filmnya kok sampai dibilang bisa bikin baper?), begitu pula rasa gengsi (“hari gini masih belum nonton London Love Story? Helloooo!"). Alhasil, bukan perkara sulit bagi film mengumpulkan satu juta pasang mata ke bioskop. 

Kala target laris manis telah dicapai, misi berikutnya adalah mempertahankannya atau kalau perlu, melampauinya. Maka seperti halnya film laris lainnya, London Love Story pun mendapatkan sekuelnya dengan judul sederhana saja: London Love Story 2. Agar sesuai kaidah sekuel yang secara cakupan lebih masif, maka jajaran pemain utama ditambah (tak masalah meski cuma satu!), latar tempat juga diperluas sampai ke negara tetangga sehingga para karakter tidak hanya lalu-lalang di sekitaran London saja, dan konfliknya ditingkatkan level dramatisasinya demi mengundang bulir-bulir air mata. Mengadopsi formula seperti demikian, tentu saja jangan berharap Caramel (Michelle Ziudith) dan Dave (Dimas Anggara) akan bersatu dengan mudahnya di jilid ini. Oh tidak, saudara-saudara, apalagi ada kehadiran orang ketiga. Hanya menengok desain posternya saja penonton sudah bisa menerka bahwa Rizky Nazar akan menjadi penghalang bersatunya cinta Cara dengan Dave. Kamu tentu tidak terlalu naif sampai berfikir dia akan melakoni peran sebagai, let’s say, kakak kandung Cara yang telah lama menghilang, bukan? Rizky adalah Gilang, seorang koki restoran ternama di Zurich, Swiss, yang kebetulan mempunyai masa lalu bersama Cara. Mereka berjumpa lagi usai Cara yang diboyong ke Swiss oleh Dave untuk berlibur, memutuskan makan malam di restoran Gilang.


Percik-percik asmara di masa lampau nyatanya belum meredup. Gilang masih menginginkan Cara, sementara jauh di dalam lubuk hatinya, Cara pun masih menyimpan rasa kepada Gilang meski menyadari betul posisinya saat ini. Saat Dave mengetahui kebenarannya, persoalan pun merunyam. Berabe. Dan penonton remaja pun bersiap-siap mengeluarkan tissue untuk menyeka satu dua air mata yang mungkin jatuh kala pertikaian antara tiga insan manusia ini kian memanas. Berharap-harap cemas menantikan kemana hati Cara akhirnya akan berlabuh, Dave atau Gilang. Penonton uzur (...atau bahasa halusnya, bukan pangsa pasar utama London Love Story 2) pun berharap-harap cemas, bakal diruwetkan seperti apalagi kisah cinta yang dialami remaja-remaja berduit lebih ini. Tapi penonton uzur boleh sedikit bernafas lega kali ini karena London Love Story 2 tidak menyebabkan migrain berkepanjangan. Masih cukup enak lah buat disantap. Tiada lagi karakter se-annoying Adelle yang setiap kemunculannya membuat saya berharap Lembaga Sensor Film mulai mempertimbangkan untuk menyensor karakter menyebalkan dalam film, lagu tema tidak lagi dimunculkan sesuka hati si pembuat film tanpa memperhatikan konteks (seorang teman sampai berujar, “saya sampai khatam cengkok Raisa di Percayalah!”), dan dialog puitisnya dipergunakan seperlunya saja sehingga keinginan menabok Cara seperti di film pertama pun urung dilakukan. 

Ya, secara mengejutkan, London Love Story 2 menunjukkan sebuah peningkatan dibanding film-film produksi Screenplay Films terdahulu. Memang tidak sampai taraf signifikan yang membuat kita melongo saking sulitnya untuk mempercayai, tapi setidaknya menunjukkan kemauan dari pihak penghasil film untuk berbenah diri. Tangkapan gambarnya tertata cukup cantik alih-alih mengesankan colong-colong kesempatan (tapi tetap ada yang pecah!), penceritaannya mengalir lebih runtut, dan barisan pemain menyumbang performa terhitung baik untuk kelasnya. Maka ketika mendengar penonton remaja tergelak-gelak akibat humor-humornya yang kebanyakan dilontarkan oleh Ramzi (memerankan Sam, sahabat Dave), penonton uzur tidak dibuat keheranan karena beberapa diantaranya bekerja dengan baik sekalipun guyonan toiletnya terlalu menjijikan untuk dibilang lucu. Begitu pula ketika mendengar penonton remaja berteriak-teriak gemas “ohhh... ohhhh...” akibat kemesraan Dave dengan Cara atau Gilang dengan Cara, penonton uzur masih bisa maklum karena harus diakui ada segelintir momen cukup manis tercipta. Dan ketika mendengar penonton remaja tersedu-sedu akibat mencuatnya momen dramatik di klimaks, penonton uzur pun dapat sedikit mengerti sekalipun ini tak ubahnya pengulangan dari film pertama sampai-sampai gatal rasanya untuk menyematkan label “gadis pembawa petaka” kepada Caramel. 

Note : Loly’s, ada adegan tambahan di penghujung film. Jadi sebaiknya jangan terburu-buru beranjak dari kursi ya.

Acceptable (3/5)


Rabu, 22 Februari 2017

LONDON LOVE STORY 2 (2017) REVIEW : Realisasi Mimpi Tentang Cinta Yang
Hiperbolis

LONDON LOVE STORY 2 (2017) REVIEW : Realisasi Mimpi Tentang Cinta Yang Hiperbolis


Kedatangan Screenplay Filmsdi perfilman Indonesia memang memiliki warna baru. Film-filmnya sejak Magic Hour selalu mendatangkan penonton dan itu cukup mengagetkan banyak pihak. Sehingga, dengan kedigdayaannya di perfilman Indonesia membuat rumah produksi satu ini selalu hadir dengan karya terbaru setiap tahunnya karena tahu potensinya menggaet penonton. Screenplay Films pun semakin lama semakin melebarkan sayapnsya dengan berasosiasi bersama Legacy Pictures.

Setelah Magic Hour, film kedua Screenplay Films pun laris manis. London Love Story, yang dirilis pada tahun 2016 ini memasang nama-nama familiar di mata penonton yaitu Michelle Ziudith dan Dimas Anggara dan berhasil menggaet 1 juta penonton. Dengan prestasi raihan penonton yang di luar ekspektasi itu, Screenplay Films kembali menghadirkan kisah cinta Caramel dan Dave di seri berikutnya. Asep Kusdinar tetap -bahkan selalu -kembali menyutradari film-film Screenplay Films lewat London Love Story 2.

Film-film Screenplay Filmsmemang memiliki segmentasi penontonnya sendiri dan film-film mereka akan selalu dinantikan. Kesuksesan London Love Storyseri pertama secara kuantitas ini akan menjadi senjata utama dari Screenplay Films untuk merilis filmnya yang kedua. Formula cerita yang digunakan di London Love Story pertama ini penuh akan poin-poin klise dan kata-kata buaian tentang cinta. Tak perlu kaget, apabila London Love Story 2 ini juga akan kembali menggunakan formula yang sama. 


Kesalahan London Love Storysebelumnya adalah kemasannya yang belum sinematik. Screenplay Films yang berangkat dari rumah produksi untuk televisi memiliki problematika dalam membungkus kemasannya. Penonton tak diberi satu diferensiasi antara film televisi yang biasa mereka saksikan secara gratis dengan film yang mereka khususkan sebagai film bioskop. Begitu pula dengan dialog-dialognya yang tak memiliki kedewasaan serta penuh akan kiasan hiperbola tentang cinta.

Perubahan memang berubah secara bertahap, London Love Story 2 memang tak sepenuhnya berubah menjadi sebuah film dengan konten yang berbeda dan dewasa. Setidaknya, London Love Story 2 memperbaiki tata teknis filmnya yang jauh lebih sinematik. Meski begitu, London Love Story 2 tetap dipenuhi dengan dialog-dialog ajaib dan penuturan yang beda tipis dengan London Love Storysebelumnya. Meski dasar cerita dalam London Love Story 2 adalah tentang tahapan yang lebih matang dalam sebuah hubungan, tetapi kemasannya tetap kekanak-kanakan. 


Kisahnya tetap tentang Dave (Dimas Anggara) dan Caramel (Michelle Ziudith) yang sudah kembali bersama dan menjalani hubungan yang bahagia. Mereka pun berusaha untuk serius satu sama lain dan ingin lanjut ke hubungan yang lebih dewasa. Tetapi, perjalanan hubungan tak semulus yang mereka bayangkan. Dave mengajak Caramel pergi ke Swiss dengan tujuan liburan, tetapi perjalanan liburan mereka malah menjadi sebuah bencana bagi hubungan mereka.

Di tengah liburannya, Caramel yang sedang menikmati makanan di suatu restoran atas rekomendasi Sam (Ramzi), dikejutkan dengan hadirnya masa lalu Caramel saat SMA. Gilang (Rizky Nasar), Chef restoran itu adalah masa lalu dari Caramel yang pernah mengisi ruang hatinya. Sam yang sudah akrab dengan Gilang, mengenalkannya pada Dave. Dan mereka berempat pun liburan bersama-sama dan membuat Caramel was-was akan kehadiran Gilang di tengah hubungannya dengan Dave yang sudah bahagia. 


Tak salah apabila di sebuah film remaja masih menggunakan formula yang itu-itu saja, begitu pula yang terjadi di London Love Story 2. Film ini hanya mengulang, sulam dan tambal cerita-cerita usang agar menjadi sesuatu yang  baru. Pengarahan Asep Kusdinar pun masih berusaha untuk berkembang, meskipun tak terasa begitu signifikan. Penuturan kisah cinta klise di dalam London Love Story 2 sudah lebih berkembang ketimbang film pertamanya.

Setiap konflik yang ada di film ini setidaknya menemukan ritme yang lebih baik untuk diarahkan lebih runtut dibanding karya-karya Asep Kusdinar di Screenplay Films sebelumnya. London Love Story 2 pun berkembang menjadi sesuatu yang setidaknya masih bisa dinikmati dan tak membuat penonton bingung karena lantaran susunan plotnya minim kekacauan. Tetapi, bukan berarti London Love Story 2 akhirnya menjadi karya sempurna dan menjadi lonjakan dari film-film Screenplay Films sebelumnya.

London Love Story 2 dipenuhi dengan plot cerita yang membuat dahi berkerut karena banyak sekali keajaiban yang terjadi di dalam ceritanya. Kisah cinta segitiga yang penuh akan pengorbanan dihiasi dengan elemen-elemen kematian dan ditinggalkan dengan atas nama romantisasi. Belum lagi naskah yang diramu berdua oleh Sukhdev Singh dan Tisa TS masih memiliki rangkaian kata penuh majas hiperbola yang terasa dibuat-buat. 


Inilah yang selalu menjadi poin minus dari Screenplay Films di segala karyanya yang sebenarnya sudah memiliki perkembangan secara teknis. Naskah di London Love Story 2 inilah yang menjadi masalah karena tak diatur dengan baik. Terasa bagaimana London Love Story 2tak memiliki struktur cerita yang kuat, sehingga berdampak pula pada pengarahan Asep Kusdinar yang belum terlalu kuat. Dasar struktur dalam London Love Story 2 yang tak kuat ini akan membuat penontonnya bingung dan meraba apa yang terjadi oleh karakter-karakternya.

London Love Story 2 sibuk memberikan sorotan lebih kepada karakter sampingannya, sehingga Asep Kusdinar lupa untuk memberikan pengarahan lebih kepada plot utamanya. Sehingga, ketika masuk ke dalam konfliknya penonton akan berusaha sendiri mencari jawaban atas lubang cerita yang ada di dalam London Love Story 2. Belum lagi dialog-dialog hiperbola yang selalu mewarnai film-film Screenplay Films yang seakan-akan sudah menjadi signature.

Dialognya penuh akan romantisasi hiperbola yang tak begitu sanggup untuk didengar. London Love Story 2penuh akan dialog yang berusaha keras untuk diromantisasi dan hasilnya malah terdengar begitu hiperbolis. Terlalu manis untuk diucapkan setiap karakternya yang membuat film ini hanyalah sebuah hasil realisasi mimpi yang tak kunjung ditemukan oleh penulisnya. London Love Story 2 bukan malah menimbulkan efek romantis, yang ada malah menekankan bahwa film ini terasa dongeng yang fiktif. 


Dengan begitu, London Love Story 2 tak serta merta menjadi karya terbaik dari film-film Screenplay Films. Persepsi yang keluar adalah London Love Story 2 setidaknya memiliki babak yang lebih runtut dan lebih mending dibanding film-film sebelumnya. Sisi teknis sinematik di London Love Story 2 setidaknya sudah berkembang dan pengarahan yang sedikit berkembang. Tetapi, London Love Story 2 masih memiliki kelemahan-kelemahan film Screenplay Films sebelumnya. Struktur cerita yang tak terlalu kuat diiringi dengan dialog-dialog ajaib yang membuat penonton tak bisa menahan tawa. Meski digadang sebagai sebuah film romantis, London Love Story 2 hanya sebuah realisasi mimpi yang tak terwujud dengan kemasan yang hiperbolis.