Tampilkan postingan dengan label Acceptable. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Acceptable. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

REVIEW : GONJIAM: HAUNTED ASYLUM

REVIEW : GONJIAM: HAUNTED ASYLUM


“The rumors were all true!” 

Keberadaan bekas Rumah Sakit Jiwa Gonjiam yang terletak di kota Gwangju, Korea Selatan, jelas merupakan sebuah aset berharga bagi perfilman Negeri Gingseng. Betapa tidak, popularitasnya sebagai salah satu lokasi terangker di dunia menurut versi CNN Travel dalam artikel berjudul “7 of the freakiest places on the planet”, ditambah latar belakangnya yang menyebutkan bahwa tempat ini menjadi saksi bisu atas terjadinya bunuh diri massal yang dilakukan oleh pasien RSJ bersangkutan, telah memberikan modal yang lebih dari cukup untuk diejawantahkan ke dalam bentuk film. Apabila kamu melakukan survey ke para penggila film horor atau generasi milenial yang gemar ditakut-takuti dan menyukai apapun yang sedang hits, rasa-rasanya mereka tidak akan keberatan untuk menyaksikan film seram mengenai RSJ angker ini. Lagipula, siapa sih yang bisa menolak pesona film horor tentang lokasi berhantu? Menyadari potensi besar yang dimiliki oleh RSJ Gonjiam, Jung Bum-shik yang sebelumnya menggarap Epitaph (2007) pun berinisiatif mengkreasi tontonan memedi bertajuk Gonjiam: Haunted Asylum. Teknik yang dipilih oleh si pembuat film dalam bercerita adalah found footage – seperti diterapkan oleh The Blair Witch Project (1999) dan Paranormal Activity (2007) – demi semakin menguarkan nuansa creepy dari tempat tersebut sekaligus memberi kesan riil pada penonton. 

Dibuka dengan adegan dua remaja nekat melakukan permainan uji nyali di bekas RSJ Gonjiam yang berakhir petaka, Gonjiam: Haunted Asylum lantas memperkenalkan kita pada seorang pemuda yang berniat untuk menerobos tempat yang sama. Si penggagas ide yang mempunyai kanal Youtube bernama Horror Times, Ha-joon (Wi Ha-joon), menganggap petaka yang menghinggapi dua remaja tersebut sebagai peluang emas baginya. Ha-joon membayangkan seberapa tinggi popularitas yang akan berhasil dicapai oleh kanal Youtube asuhannya apabila dia menyiarkan tayangan uji nyali secara langsung dari RSJ Gonjiam. Guna merealisasikan impiannya tersebut, Ha-joon pun merekrut enam anggota yang terdiri atas A-yeon (Oh A-yeon), Charlotte (Moon Ye-won), Sung-hoon (Park Sung-hoon), Seung-wook (Lee Seung-wook), Je-yoon (Yoo Je-yoon), dan Ji-hyun (Park Ji-hyun). Diiming-imingi imbalan uang yang didapat dari iklan, keenam anak muda ini mengiyakan tawaran dari Ha-joon untuk diterjunkan ke RSJ Gonjiam pada malam hari. Mereka akan berkeliaran di dalam gedung mencari aktivitas supranatural sementara Ha-joon berdiam di tenda untuk menyiarkan rekaman dari keenam relawan. Tentu saja seperti film horor pada umumnya, mulanya tidak ada kejanggalan yang dijumpai oleh sekelompok anak muda kurang kerjaan tersebut. Hingga kemudian mereka melakukan kesalahan klasik yang berujung pada teror demi teror mengerikan yang seketika mengancam keselamatan setiap personil. 


Dalam mencelotehkan pengalaman supranatural yang berlangsung dalam Gonjiam: Haunted Asylum, Jung Bum-shik sejatinya hanya memberikan tanda centang ke sederet keklisean yang mudah kalian jumpai di film sejenis. Segerombolan karakter stereotip yang sok berani menerima tantangan berhadapan dengan makhluk gaib karena mereka tidak pernah benar-benar memercayainya? Centang! Menerobos sebuah rumah (atau suatu tempat) yang disebut-sebut angker hanya untuk melakukan hal-hal tak berfaedah? Centang! Melakukan pemanggilan arwah di dalam tempat angker karena mereka menganggap itu sebagai sesuatu yang wajar, lucu dan tidak berbahaya? Centang! Berpisah jalan dengan rombongan sementara (kita semua tahu) berpisah di film horor sama saja dengan bunuh diri? Centang! Dan, baru menyadari bahwa nyawa mereka terancam saat aktivitas supranatural telah berada di level tinggi atau dengan kata lain, saat segalanya telah terlambat? Centang! Ya, bagi kalian yang sudah khatam tontonan horor secara umum, found footage secara spesifik, bisa jadi akan beberapa kali memutar bola mata tatkala mendapati keputusan-keputusan ngawur yang diambil oleh para karakter dalam Gonjiam: Haunted Asylum. Selama setidaknya satu jam pertama yang nyaris tidak terjadi apa-apa (mengikuti tradisi film bergaya found footage), kita diminta memafhumi tindakan tujuh muda-mudi yang tingkat kebodohan beserta menjengkelkannya berada di level dewa. Saya sama sekali tidak keberatan jika penghuni RSJ Gonjiam memutuskan untuk memangsa mereka semua. Silahkan, dengan senang hati. 

Yang kemudian menyelamatkan Gonjiam: Haunted Asylum dari ‘kutukan’ yang acapkali menimpa film horor dengan pendekatan found footage (terbukti dari sedikitnya film sejenis yang berkualitas diatas rata-rata) adalah kombinasi memuaskan antara desain produksi, pengambilan gambar, serta kejelian sang sutradara. Desain produksi film ini amat niat, menyulap sebuah gedung SMA di Busan sehingga menyerupai lokasi sesungguhnya yang sanggup membuat ciut nyali hanya dengan memandang dari luar. Ditunjang pengambilan gambar yang tangkas sekaligus memberi kesan meyakinkan kepada penonton bahwa kita sedang menyaksikan live streaming dari RSJ Gonjiam, dan kejelian sang sutradara dalam menempatkan trik menakut-nakuti (walau sejatinya sebagian besar diantaranya amat klasik!) di waktu yang tepat membuat Gonjiam: Haunted Asylum memiliki sejumlah momen yang dapat membuat penonton meringkuk, melonjak, maupun berteriak di dalam bioskop. Tidak ada skoring musik memekakkan telinga di sini demi menciptakan kesan otentik. Lagipula siapa butuh musik untuk menciptakan kekagetan atau rasa ngeri saat latar tempatnya telah sanggup menghembuskan nuansa creepy sehingga membuat bulu kuduk ini meremang? Sedari tujuh muda-mudi menjejakkan kaki di RSJ Gonjiam, saya telah dilingkupi rasa tidak nyaman yang menggelisahkan sampai mencapai puncaknya di 20 menit terakhir yang menyeramkan. Apa yang terjadi di babak pamungkas ini sedikit banyak membuat saya akhirnya dapat menolerir penceritaan dan bangunan karakter film ini yang generik.

Acceptable (3/5)


REVIEW : KUNTILANAK (2018)

REVIEW : KUNTILANAK (2018)


“Sing kuat, sing melihara.” 

(Entah dengan kalian, tapi sebagai seorang Jawa tulen, saya sebetulnya merasa janggal dan terganggu dengan mantra ini. Kenapa sih tidak sepenuhnya dalam Bahasa Jawa? Sing kuwat sing ngingoni? Malah lebih terasa nuansa mistisnya to?)

Sineas di perfilman Indonesia pasca mati suri memang tergolong rajin menelurkan film horor. Akan tetapi, diantara ratusan judul yang telah dipertontonkan secara resmi ke hadapan publik, hanya segelintir saja yang bisa dikategorikan ‘oke’ hingga ‘bagus’. Kuntilanak (2006) garapan Rizal Mantovani adalah satu dari segelintir judul tersebut. Meski bagi saya secara pribadi film ini lebih condong ke seru ketimbang seram, tidak bisa disangkal bahwa Kuntilanak mempunyai penggarapan yang niat dengan mitologi yang cukup menarik buat dikulik. Menilik pencapaian judul tersebut di masa lampau secara kualitas maupun kuantitas (dibuktikan oleh kehadiran dua film kelanjutan yang sayangnya tak seberapa oke namun tetap larisss), bukan sesuatu yang mengherankan tatkala MVP Pictures mencoba untuk membangkitkannya kembali pada satu dekade kemudian. Yaaa… hitung-hitung mengikuti tren ‘reborn’ yang kini tengah marak lah. Mengusung semangat baru, Kuntilanak versi 2018 yang juga digarap oleh Rizal Mantovani tak lagi mengandalkan kekuatan Mbak Samantha (Julie Estelle) untuk mengusir cantik Jeung Kunti dari dunia manusia melainkan bergantung pada kenekatan segerombolan bocah. Jalinan pengisahannya pun tidak sambung-menyambung menjadi satu dengan trilogi lawas sekalipun tembang Lingsir Wengi yang bikin bulu kuduk meremang itu masih diperdendangkan dan cermin antik pembawa petaka masih menampakkan diri. 

Guliran penceritaan dalam Kuntilanak versi termutakhir ini menempatkan fokusnya kepada lima bocah yatim piatu, yakni Dinda (Sandrinna Michelle Skornicki), Kresna (Andryan Bima), Ambar (Ciara Nadine Brosnan), Panji (Adlu Fahrezy), dan Miko (Ali Fikry), yang diadopsi oleh seorang kaya bernama Tante Donna (Nena Rosier). Mulanya sih, kelima bocah ini tinggal di rumah gedongan milik Tante Donna dengan aman sentosa sampai kemudian si pemilik rumah pamit sejenak untuk mengunjungi keluarganya di luar negeri. Dinda dan kawan-kawan dititipkan pada keponakan si tante, Lydia (Aurelie Moeremans), yang kebetulan sedang menjalin hubungan dengan presenter acara mistis, Glenn (Fero Walandouw). Bermaksud ingin memberi kejutan kepada Tante Donna, Glenn dan Lidya mengganti cermin di kamar si tante dengan sebuah cermin baru yang diangkut Glenn dari sebuah rumah angker yang disinggahinya. Tanpa diketahui oleh dua manusia ini, cermin tersebut merupakan portal menuju alam gaib yang didiami memedi bernama Kuntilanak. Tanpa diketahui oleh dua manusia ini pula, portal tersebut telah terbuka dan telah menelan korban. Alhasil, keanehan demi keanehan yang sulit dijabarkan dengan akal sehat pun mulai dirasakan oleh lima sekawan beserta Lydia di rumah Tante Donna. Saat Jeung Kunti meningkatkan ‘permainan’ menjadi petaka pengancam nyawa, maka tidak ada yang bisa menghentikannya kecuali si pemilik wangsit. Seseorang yang dianugerahi kelebihan untuk menyelesaikan perkara dengan makhluk-makhluk dari dimensi seberang.


Apabila kamu membawa ekspektasi “seram nih! Seru nih!” saat memutuskan untuk membeli tiket Kuntilanak di loket bioskop, maka redam segera. Level ‘seram’ maupun ‘seru’ yang dimiliki oleh Kuntilanak versi anyar ini bisa dikatakan tidak ada apa-apanya kala disandingkan dengan instalmen terdahulu. Sebetulnya, Rizal Mantovani membuka gelaran ini dengan menjanjikan ketika memberikan tinjauan dalam prolog mengenai kemampuan seperti apa yang dimiliki oleh cermin pembawa petaka. Atmosfer mencekamnya dapat terdeteksi, penceritaannya pun mempunyai dapat pikat mencukupi sehingga kita memiliki ketertarikan untuk mengetahui apa yang akan terjadi di menit-menit berikutnya. Langkah yang telah mantap ini, sayangnya tidak berlangsung lama. Sedikit demi sedikit, daya cekam beserta daya pikat film mulai menguap seiring berjalannya durasi. Hingga pada satu titik saya pun bertanya-tanya, “apakah saya sedang menyaksikan film horor dengan bintang anak-anak atau justru film petualangan anak-anak dengan bumbu horor?.” Yang saya rasakan, ini tak ubahnya film petualangan anak-anak semacam Petualangan Sherina (2000) atau Naura dan Genk Juara (2017) yang kebetulan mengambil pendekatan horor tanpa ada sekuens musikal. Elemen lawak yang dimaksudkan untuk mencairkan ketegangan tergolong melimpah ruah sampai-sampai mendistraksi elemen horornya. Bahkan, ada pula tambahan backsound yang terasa salah tempat (dan tentu saja tidak diperlukan) setiap kali salah satu karakter mencoba untuk melucu. Alih-alih terkekeh, saya justru ingin mengeluarkan penyumbat telinga saking mengganggunya. 

Bisa dipahami bahwa pihak pembuat film ingin menghadirkan tontonan seram yang ramah bagi penonton akil baligh. Hanya saja, keputusan untuk memilih bermain aman dengan tetap berada di area ‘remaja’ ketimbang mengikuti jejak sumber inspirasi Kuntilanak yakni It (2017) yang berani menjajaki teritori ‘dewasa’ ini nyatanya bukanlah keputusan yang bijak. Kuntilanak seringkali berada di posisi serba tanggung. Memedinya terlalu menyeramkan bagi penonton akil baligh dan usia di bawahnya, tetapi guliran penceritaan rekaan Alim Sudio (Chrisye, Ayat-Ayat Cinta 2) berikut teror si memedi terlalu menjemukan bagi penonton yang telah merasakan seramnya kehidupan yang sesungguhnya. Disamping itu, Kuntilanak pun terlalu ceria sebagai sebuah film yang memproklamirkan dirinya sebagai film horor. Satu-satunya teror yang menggoreskan sekelumit rasa takut yakni ketika Dinda melihat sesosok perempuan menembangkan Lingsir Wengi di depan televisi pada tengah malam. Selebihnya? Sebatas parade trik menakut-nakuti klasik yang dimunculkan secara sesuka hati tanpa set up memadai dan repetitif. Aturan main jump scare terbaca dengan jelas; setiap karakter mendapatkan setidaknya satu kali momen berhadapan langsung dengan Jeung Kunti, sementara aturan main bersama Jeung Kunti (dalam artian, mitologinya) hanya dibahas di permukaan saja tanpa pernah dieksplorasi lebih mendalam. Itulah mengapa begitu film mencapai setengah jalan, saya sudah terkantuk-kantuk tidak karuan. Salah satu alasan yang lantas membuat saya bisa bertahan menyaksikan Kuntilanak dengan penceritaan berlarut-larut ini adalah performa para pemain cilik yang asyik. Setidaknya, mereka tampak menikmati bermain di film ini.

Acceptable (2,5/5)


Rabu, 13 Juni 2018

REVIEW : OCEAN'S 8

REVIEW : OCEAN'S 8


“In three and a half weeks the Met will be hosting its annual ball and we are going to rob it. Sixteen point five million dollars in each of your bank accounts, five weeks from now.” 

Apabila ditanya mengenai film perampokan terbaik yang pernah dibuat, rasanya kurang afdol kalau tak menyebut judul Ocean’s Eleven (2001) yang didasarkan pada film berjudul sama rilisan tahun 1960. Kisah perampokan beserta pembalasan dendam yang memercikkan ketegangan, kejutan, serta humor dipadupadankan dengan begitu elegan sehingga sulit untuk menyangkal pesonanya. Terlebih lagi, film ini dianugerahi pemain ansambel menggiurkan seperti George Clooney, Brad Pitt, Matt Damon, Andy Garcia, Don Cheadle sampai Julia Roberts. Menilik kombinasi mautnya tersebut, tak mengherankan jika resepsi hangat berhasil diperolehnya dari kritikus maupun penonton sehingga melahirkan dua buah sekuel yang juga renyah buat dikudap, Ocean’s Twelve (2004) dan Ocean’s Thirteen (2007). Satu dekade berselang sejak jilid ketiga dilepas, seri lain bertajuk Ocean’s 8 dikreasi yang masih menerapkan konsep serupa; perekrutan tim dengan jumlah beserta keahlian tertentu, perampokan besar yang penuh gaya, dan didukung barisan pemain ansambel. Yang kemudian membedakan Ocean’s 8 dengan trilogi utama adalah ini sebentuk spin-off alih-alih sekuel langsung dan seluruh pemain utamanya adalah perempuan alih-alih laki-laki. Jadi mari kita ucapkan selamat tinggal kepada Danny Ocean (George Clooney), lalu ucapkan selamat datang kepada sang adik, Debbie Ocean (Sandra Bullock). Era baru dari kisah perampokan yang dinahkodai klan Ocean yang lain telah dimulai! 

Seperti halnya Ocean’s Eleven, guliran penceritaan di Ocean’s 8 dimulai dengan adegan yang memperlihatkan karakter utama, Debbie, baru saja menghirup udara kebebasan usai meringkuk di tahanan selama lima tahun lamanya. Kakak tercintanya, Danny, diceritakan telah meninggal dan Debbie yang mewarisi bakat kriminal sang kakak sudah merencanakan perampokan akbar di helatan prestisius tahunan, Met Gala. Bukan uang yang menjadi incaran utamanya, melainkan kalung Toussaint senilai $150 juta yang akan dikenakan oleh seorang aktris yang tengah naik daun, Daphne Kluger (Anne Hathaway). Demi memuluskan rencananya, Debbie pun merekrut enam anggota yang konfigurasinya terdiri dari Lou (Cate Blanchett) yang merupakan sahabat baik Debbie, Amita (Mindy Kaling) si pengrajin perhiasan, Nine Ball (Rihanna) si peretas, Constance (Awkwafina) si pencopet jalanan, Tammy (Sarah Paulson) si penadah barang curian, serta Rose Weil (Helena Bonham Carter) si perancang busana. Lagi-lagi seperti halnya Ocean’s Eleven, motif utama Debbie dalam merancang perampokan ini bukanlah semata-mata untuk memperoleh penghasilan dari barang jarahannya melainkan demi membalas dendam kepada seseorang yang telah mengkhianatinya dan menghancurkan hidupnya. Seseorang tersebut adalah mantan kekasihnya, Claude Becker (Richard Armitage), yang telah menjadikan Debbie sebagai kambing hitam dalam suatu kasus penipuan sehingga dia berakhir di penjara selama lima tahun.


Sebagai sebuah tontonan yang mengatasnamakan hiburan, Ocean’s 8 sejatinya bisa dibilang cukup berhasil. Menyaksikan segambreng aktris-aktris kenamaan pemenang penghargaan dalam satu frame di Ocean’s 8 jelas merupakan keistimewaan dan kesenangan tersendiri bagi para penikmat film. Kapan lagi coba kita bisa melihat Sandra Bullock beradu akting dengan Cate Blanchett, Anne Hathaway, Helena Bonham Carter, dan Sarah Paulson? Ocean’s 8 menyediakan kesempatan langka tersebut dan aktris-aktris ini menyanggupinya dengan mempersembahkan performa yang tidak mengecewakan. Bullock memperlihatkan karisma sebagai pemimpin grup lalu menjalin chemistry rekat bersama Blanchett, sementara Hathaway yang memiliki sensitivitas kuat dalam ngelaba membentuk ‘duo gesrek’ bersama Carter yang memungkinkan keduanya untuk senantiasa mencuri perhatian sekaligus mengundang gelak tawa di setiap kemunculan. Harus diakui, performa dari jajaran pemain (khususnya Hathaway sebagai seorang aktris yang ego besarnya tidak sejalan dengan kapasitas otaknya) plus ditambah Awkwafina dan James Corden yang baru nongol di babak ketiga adalah sumber energi utama yang dimiliki oleh film. Penampilan mereka yang cenderung nyantai kayak di pantai terasa menyenangkan untuk disimak sekaligus membantu menyelamatkan film dari keterpurukan akibat penggarapan kurang bertenaga dari Gary Ross (Pleasantville, The Hunger Games) serta skrip lemah yang diracik Ross bersama dengan Olivia Milch. 

Di tangan Ross, Ocean’s 8 tak ubahnya versi inferior dari Ocean’s Eleven. Jalinan kisahnya bisa dikata serupa tapi tak sama (termasuk pembentukan karakter yang sebagian besar sekadar copy paste) dengan elemen komedi lebih ditekankan dan ketegangan yang anehnya malah direduksi. Jika Ocean’s 8 semata-mata menyebut dirinya sebagai komedi, tentu tidak ada keluhan berarti. Akan tetapi sebagai anggota keluarga Ocean dan heist film, Ocean’s 8 terasa kurang bernyali. Kemana perginya fase berdebar-debar serta harap-harap cemas kala para personil mengeksekusi rencana mereka? Terlihat mewah sih, menghibur juga sih, cuma saya tidak mendapatkan gregetnya. Tidak ada momen yang membuat saya bercucuran keringat seraya meremas-remas gemas kursi bioskop seperti saat menyaksikan Ocean’s Eleven. Ross terlalu banyak menghabiskan waktu pada perencanaan yang seringkali berlangsung monoton dan pertaruhan yang dihadapi oleh Debbie and the gang pun tidak ada apa-apanya dibandingkan Danny and the gang. Jika Danny mesti mengakali Terry (Andy Garcia) yang bengis, maka lawan terberat Debbie sebatas sistem keamanan yang ketat di lokasi perampokan. Itupun bisa diakali dengan satu jentikkan jari. Minimnya ketegangan yang mencekat ditambah guliran kisah yang kekurangan daya kejut membuat Ocean’s 8 kesulitan untuk memenuhi potensi besar yang dimilikinya dan gagal mengulangi pesona jilid-jilid terdahulu. Beruntung jajaran pemainnya bermain apik (kecuali Rihanna yang aposeeee) sehingga setidaknya film masih bisa dinikmati di kala senggang sekalipun akan sangat mudah untuk dilupakan dalam hitungan hari.

Acceptable (3/5)


Minggu, 15 April 2018

REVIEW : REUNI Z

REVIEW : REUNI Z


“Halo, ini kita lagi di reuni. Tiba-tiba temen-temen kita pada mati semuanya. Minta tolong kirimkan pasukan kemari, Pak.” 

“Ndak mau diselesaikan secara kekeluargaan? Kita orang Indonesia, menjunjung tinggi musyawarah untuk mufakat.” 

“Nggak bakal sampai mufakat, Pak. Yang ada, musyawarah sampai akhirat.” 

(Ulasan ini mungkin mengandung spoiler) 

Sosok peneror dalam film seram berwujud mayat hidup yang berjalan gontai dan gemar memangsa manusia yang dikenal sebagai zombie, dapat dikatakan kalah pamor (sangat jauh) dibandingkan pocong, sundel bolong, atau kuntilanak di perfilman Indonesia. Bisa jadi, ini disebabkan oleh statusnya sebagai memedi impor sehingga masyarakat kurang memiliki ikatan kuat dengan mereka sehingga menjadikannya kurang menyeramkan. Alhasil tidak banyak film buatan dalam negeri yang mempergunakan jasa zombie untuk menakut-nakuti khalayak ramai. Beberapa yang terlintas di kepala hanyalah Pengabdi Setan (1980, 2017), segmen ‘The Rescue’ dalam Takut: Faces of Fear (2008), Kampung Zombie (2015), serta 5 Cowok Jagoan (2017), yang sebagian besar diantaranya memperoleh resepsi tak menggembirakan dari penonton film Indonesia. Meski pasar kurang memberi sambutan positif, duo Soleh Solihun dan Monty Tiwa (Mau Jadi Apa?), nekat menempatkan zombie di posisi peneror utama dalam film terbaru mereka yang mengambil jalur komedi horor, Reuni Z. Di sini, para zombie mendadak berkeliaran di satu gedung sekolah saat sebuah reuni tengah berlangsung. Pemicunya, beberapa pengisi acara yang tanpa sengaja terkontaminasi virus misterius selepas mereka makan bakso di pinggir sekolah. 

Sebelum film menenggelamkan diri sepenuhnya pada teror mayat hidup, film mengajak penonton untuk melongok sejenak ke masa lalu beberapa karakter sentral lalu menengok bagaimana kehidupan mereka saat ini. Dalam kilas balik, kita mengetahui bahwa persahabatan Juhana (Soleh Solihun) dan Jeffri (Tora Sudiro) merenggang usai performa band mereka di pensi sekolah berakhir buruk. Juhana lantas berkarir di dunia hiburan sebagai bintang iklan dan pemain film kelas ecek-ecek, sementara Jeffri yang kini menikahi rekan bandnya, Lulu (Ayushita Nugraha), menjalani rutinitas sebagai pria kantoran seraya sesekali mengunggah permainan gitarnya di Youtube. Dua sahabat yang tak lagi saling bicara ini lantas dipertemukan kembali dua puluh tahun kemudian dalam reuni SMA Zenith angkatan 1997. Mereka, termasuk Lulu, bertemu pula dengan Marina (Dinda Kanyadewi) yang tak dikenali oleh siapapun, Raina (Fanny Fabriana) yang kini menjadi EO kondang, serta Jody (Surya Saputra) yang tak pernah berhenti merundung kawan-kawannya yang lemah. Reuni yang diwarnai segala kecanggungan ini perlahan tapi pasti berubah menyeramkan setelah sejumlah cheerleader yang mengisi acara menjelma sebagai zombie dan memangsa peserta reuni satu demi satu.


Materi cerita yang diusung oleh Reuni Z harus diakui tergolong menggelitik rasa penasaran. Memanfaatkan acara reunian yang acapkali dipenuhi basa-basi belaka (dan kepalsuan) sebagai latar utama untuk melepas serangan zombie. Dari sini lantas muncul satu pertanyaan, “akankah manusia-manusia yang sudah tidak lagi berinteraksi secara intensif selama sekian tahun akan saling bahu membahu untuk menyelamatkan diri atau justru mementingkan keselamatan masing-masing?.” Menarik sekali, bukan? Disamping melontarkan materi yang jarang dikupas dalam film produksi Indonesia, Reuni Z turut menghadirkan pemain ansambel menjanjikan seperti Tora Sudiro, Soleh Solihun, Ayushita Nugraha, Dinda Kanyadewi, Surya Saputra, Fanny Fabriana, Cassandra Lee, Kenny Austin serta pasangan bapak-anak Henky Solaiman dan Verdi Solaiman, yang kian meningkatkan daya jualnya. Membuat Reuni Z terlihat seperti film yang patut dimasukkan ke daftar tontonan wajib. Menetapkan ekspektasi bagus kala melangkahkan kaki ke bioskop, nyatanya lagi-lagi membawa saya pada kekecewaan besar begitu keluar dari gedung bioskop. Reuni Z berakhir sebagai sajian yang serba tanggung. Sebagai film komedi, dia kurang mampu menghadirkan gelak tawa. Sebagai film horor, dia kurang berhasil memberikan daya cekam yang sanggup membuat penonton meringkuk di kursi bioskop. 

Tidak terhitung berapa banyaknya lontaran humor yang meleset dalam Reuni Z. Ketimbang tergelak-gelak, saya justru berulang kali dibuat mencari-cari letak kelucuannya. Garing euy! Dari seabrek pelakon yang dikerahkan, satu-satunya yang cukup berhasil membawa keriuhan di gedung bioskop secara konsisten hanyalah Dinda Kanyadewi sebagai si perempuan misterius. Memiliki comic timing yang bagus (seperti ditunjukkannya dalam Hangout dimana dia juga menyelamatkan film), celetukan dan tingkah lakunya yang ajaib mampu mengundang tawa renyah – bahkan cara dia mengucapkan “Marinaaa…” masih terngiang sampai sekarang. Tanpa kehadirannya, bisa jadi tawa akan semakin jarang terdengar dalam Reuni Z. Elemen horor yang dijadikan tumpuan selepas elemen komedi yang anyep pun tidak berjalan secara semestinya. Ada satu dua momen yang membuat diri ini berdebar-debar, seperti saat serangan pertama kali terjadi, tapi secara keseluruhan film terasa melelahkan buat disimak. Pemicunya, aturan main dalam menjadi atau membunuh zombie yang sama sekali tak jelas sehingga meminimalisir pertaruhan. Meminimalisir ketegangan.  Ada yang tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi seseorang untuk menjelma menjadi zombie? Karena Reuni Z tidak pernah memaparkannya secara konsisten (terkadang sekejap, terkadang butuh waktu beberapa menit). Lalu bagaimana bisa merasakan ketegangan saat zombie bisa dibunuh atau dikelabui dengan cara apapun? Bayangkan, kamu tak perlu repot-repot mencari benda tajam atau meminta bala bantuan dari polisi karena sebetulnya kentut sudah lebih dari cukup untuk membuat para zombie menjauh.


Jika demikian, kenapa berita membahagiakan ini tidak segera disebarkan kepada para penyintas? Memangnya bau kentut memiliki tingkatan yang berbeda-beda ya sehingga hanya orang tertentu yang bisa mengeluarkan bau tak tertahankan? Jika tidak, seharusnya para penyintas ini tidak perlu repot-repot menjangkau aula demi memainkan musik rock untuk membunuh para zombie yang pada akhirnya mengorbankan beberapa karakter inti, dong? Tinggal kentut bareng lalu sisanya memberi perlawanan menggunakan pecahan gelas, kelar perkara. Lagipula misi utama mereka hanya untuk meninggalkan sekolah bukan memusnahkan zombie, to? Disinilah saya merasa pusing. Andai sedari awal Reuni Z telah menetapkan satu solusi untuk membasmi zombie, daya cekam itu mungkin masih ada (sekalipun keputusan untuk mengubah beberapa karakter inti menjadi zombie lalu menghempaskan mereka begitu saja juga membuat garuk-garuk kepala). Sayangnya, naskah yang juga kekurangan materi humor lucu ini terlampau sering mengambil jalan pintas demi mengurai masalah yang berdampak pula pada terurainya ketertarikan untuk mengikuti film. Padahal, Reuni Z telah mengajukan materi menarik dan bersedia memberi backstory mencukupi yang membuat satu dua karakter layak diberi dukungan. Sungguh disayangkan.

Acceptable (2,5/5)

Senin, 09 April 2018

REVIEW : PARTIKELIR

REVIEW : PARTIKELIR


“Kita kan detektif partikelir sejak SMA. Kasus ini yang akan membuat kita menjadi detektif partikelir beneran.” 

Komika ngocol di atas panggung yang disiarkan oleh stasiun televisi nasional jelas sudah biasa. Berakting di film layar lebar pun sudah biasa. Tapi mengarahkan sebuah film layar lebar? Ini baru sesuatu yang tidak biasa (meski sebentar lagi akan menjadi sesuatu yang umum). Tren menjajal karir di bidang penyutradaraan dari kalangan komika pertama kali dimulai dari Raditya Dika yang mencoba peruntungannya di Marmut Merah Jambu (2014). Setelahnya, berturut-turut menyusul Kemal Palevi melalui Youtubers (2015), Ernest Prakasa dalam Ngenest (2015), sampai paling segar di ingatan yakni Soleh Solihun lewat Mau Jadi Apa? (2017). Rata-rata memperoleh resepsi memuaskan dari khalayak ramai sehingga tidak mengherankan jika kemudian produser memberi kepercayaan kepada para komika ini untuk mengkreasi sendiri film-film mereka. Salah satu komika yang juga mendapat kepercayaan untuk mencicipi kursi penyutradaraan adalah Pandji Pragiwaksono yang menjajal genre komedi laga dengan elemen ‘buddy cop film’ dalam debut pengarahannya yang bertajuk Partikelir. Sebuah pilihan yang harus diakui (terlalu) berani mengingat rekan-rekannya sesama komika lebih memilih jalur aman di film perdana garapan mereka; menyoal perjalanan hidup atau ranah yang mereka pahami betul. Tidak ada yang salah dengan pilihan ini. Hanya saja, sebagai sebuah karya perkenalan, Partikelir terasa kelewat ambisius. Idenya menarik, potensinya ada, akan tetapi sayang beribu sayang kurang berhasil dihantarkan dengan baik. 

Melalui Partikelir, penonton diperkenalkan kepada seorang detektif swasta bernama Adri (Pandji Pragiwaksono) yang kerap menangani kasus tidak jauh-jauh dari urusan perselingkuhan. Karirnya bisa dibilang jalan di tempat sampai kemudian dia mendapat kesempatan emas dari klien barunya, Tiara (Aurelie Moeremans), yang meminta Adri untuk menyelidiki gerak gerik ayahnya yang mencurigakan. Kasus ini memang tampak sepele saja di permukaan. Namun setelah Adri mendengar adanya suara tembakan dan kata ‘rantau’ kala tengah mencuri dengar perdebatan ayah Tiara dengan seorang misterius, Adri menyadari bahwa ayah Tiara terlibat dalam suatu persoalan besar yang berbahaya. Suatu persoalan yang bisa diselesaikan lebih mudah jika menggunakan lebih dari satu otak. Maka dari itu, Adri pun mengajak serta Jaka (Deva Mahenra), sahabat baiknya semasa SMA, yang dulunya bermimpi menjadi detektif tapi belakangan memilih berprofesi sebagai pengacara. Mulanya sih Jaka menampik ajakan Adri, tapi hati kecilnya berkata lain sehingga dia memutuskan untuk bergabung dengan Adri. Hasil kerja keras mereka berdua dalam mengorek informasi dari beberapa sumber menghadapkan mereka pada fakta bahwa rantau adalah narkoba jenis baru yang sedang naik daun di kalangan pesohor tanah air. Dibantu oleh detektif gadungan, Geri (Ardit Erwandha), beserta kawan-kawan lama Adri-Jaka, penyelidikan lebih jauh mengenai rantau dan keberadaan ayah Tiara pun dilakukan yang tanpa disadari ternyata turut mengancam keselamatan mereka.


Partikelir mesti diakui mempunyai gagasan menarik yang berpotensi besar untuk diterjemahkan menjadi tontonan mengasyikkan apabila memperoleh penanganan yang tepat. Film ini bisa menjadi Bad Boys (1995), Hot Fuzz (2007), atau 21 Jump Street (2011) dengan kearifan lokal – meski saya sudah puas jika film ini berada di kelas yang sama dengan buddy cop film asal Malaysia, Polis Evo (2015). Akan tetapi, Pandji Pragiwaksono nyatanya justru kelimpungan dalam menyatukan tiga komponen krusial yang wajib dimiliki film jenis ini, yakni komedi, laga, dan chemistry kuat duo pelakon utama. Dari ketiga komponen tersebut, satu-satunya yang masih bisa dikatakan berjalan dengan baik adalah komedi. Menilik latar belakang Pandji yang berkecimpung di dunia stand up comedy, ini tentu bukan sesuatu yang mengherankan. Partikelir memang wajib hukumnya mampu membuat penonton tergelak-gelak di dalam bioskop selama durasi mengalun. Bagaimanapun juga, film ini pada dasarnya berada di teritori komedi, to? Jika tidak ada tawa menggema sama sekali, maka jelas Partikelir tergolong gagal total. Jika ada sedikit tawa, maka yaaaa, bolehlah agak dimaafkan. Partikelir, untungnya, berada di kategori kedua. Mengandalkan materi lawakan receh (seperti lulur tai, puting menyala, sampai perdebatan soal makanan), Pandji masih bisa melontarkan beberapa guyonan dengan cukup baik sehingga mampu mengundang derai tawa sekalipun hanya sesekali saja terdengarnya dan sisanya acapkali meleset dari sasaran lalu menyisakan kegaringan yang nyata nan manja. 

Sementara itu, komponen krusial lainnya, laga dan chemistry dua pelakon utama, nyaris tak terdeteksi detaknya dalam Partikelir. Total jendral, Partikelir hanya memiliki adegan laga sepanjang tidak lebih dari 20 menit atau memenuhi seperlima durasi saja. Itupun baru disodorkan di menit-menit terakhir dan dikemas dengan level ketegangan yang cukup minim. Tak memunculkan perasaan harap-harap cemas maupun menggelorakan semangat. Seolah-olah keberadaannya hanya untuk memenuhi persyaratan sebagai buddy cop film. Nasib yang tidak lebih baik dialami oleh jajaran pemainnya yang dipenuhi dengan nama-nama menjanjikan seperti Deva Mahenra, Lala Karmela, Ardit Erwandha, Cornelio Sunny, Dodit Mulyanto, Cok Simbara, Gading Marten, Tio Pakusadewo, Bisma Karisma, Epy Kusnandar, sampai Luna Maya, yang sebagian besar diantaranya tersia-siakan. Gading sih masih mujur, mencuri perhatian di satu adegan paling kocak dalam film. Namun pemain lainnya, seandainya mereka diganti oleh pemain lain pun tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pergerakan kisah. Yang juga sangat disayangkan, Deva yang beberapa kali mengundang tawa melalui celetukan polosnya kala bermain solo malah terasa anyep begitu disandingkan dengan Pandji. Naskah kurang memberi kesempatan bagi Adri-Jaka untuk bekerja sama, kurang dibumbui gesekan-gesekan yang mempertegas karakter, atau sebatas interaksi seru. Alhasil, tidak muncul percikan-percikan persahabatan diantara keduanya yang bisa membuat penonton bersorak-sorai kepada mereka ketika bersatu padu. Jaka malah lebih sering terlihat seperti asisten Adri ketimbang rekanannya.

Acceptable (2,5/5)


Kamis, 29 Maret 2018

REVIEW : DANUR 2: MADDAH

REVIEW : DANUR 2: MADDAH


“Apa yang tidak terlihat bukan berarti tidak ada.” 

Pada kuartal pertama tahun lalu, Danur yang diadaptasi dari buku bertajuk sama rekaan Risa Sarasvati dilepas ke jaringan-jaringan bioskop tanah air. Guliran kisah yang didasarkan pada pengalaman nyata Risa kala bersentuhan dengan dunia gaib tersebut, nyatanya berhasil mengumpulkan 2,7 juta penonton sekaligus membangkitkan kembali tren film horror di perfilman Indonesia. Tidak mengherankan sebetulnya mengingat materi sumbernya laris manis di pasaran, pelakon utamanya adalah Prilly Latuconsina yang telah membentuk basis penggemar cukup besar, dan film arahan Awi Suryadi ini sendiri tergolong memiliki teknis penggarapan cukup baik. Satu hal yang lantas membuat saya terganggu sehingga Danur tidak pernah benar-benar meninggalkan kesan mendalam adalah trik menakut-nakutinya yang kelewat receh. Penggunaan skoring musik dan kemunculan si hantu terasa serampangan yang justru bikin sebal alih-alih ketakutan. Pokoknya penonton kaget, maka sudah selesai perkara (duh!). Gagal memperoleh pengalaman menonton sesuai pengharapan inilah yang lantas membuat saya kurang bersemangat untuk menonton jilid keduanya yang bertajuk Danur 2: Maddah. Namun rasa penasaran yang telah meredup itu perlahan mulai bangkit usai menengok materi promosinya (baca: trailer) yang tampak menjanjikan sampai-sampai satu pertanyaan pun terbentuk: apa mungkin si pembuat film telah belajar dari kesalahan sehingga sekuelnya ini mampu tersaji lebih baik? 

Dalam Danur 2: Maddah, teror yang dialami oleh Risa (Prilly Latuconsina) tidak lagi berlangsung di rumah sang nenek yang kini dikisahkan telah berpulang ke Yang Maha Satu. Kali ini, Risa mencium bau danur tatkala bertandang ke rumah Tante Tina (Sophia Latjuba) dan Om Ahmad (Bucek) yang dikisahkan baru saja pindah ke Bandung. Semenjak kedua orang tuanya dinas ke luar negeri, Risa beserta adiknya, Riri (Sandrinna Michelle Skornicki), memang kerap mampir ke rumah kerabat mereka ini demi membunuh sepi. Yaaa, sekalian hitung-hitung menjaga tali silaturahmi. Namun ketenangan Risa mulai terusik tatkala sepupunya, Angki (Shawn Adrian), menaruh kecurigaan ada sesuatu yang tidak beres di rumah mereka apalagi ayahnya mulai bertingkah tidak wajar termasuk menanam bunga sedap malam di pekarangan rumah. Risa bisa merasakan itu, tapi anehnya, dia tidak bisa melihat apapun. Justru dia melihat Om Ahmad pergi berduaan bersama perempuan lain. Siapa dia? Apa dia ada keterkaitannya dengan semua keanehan yang terjadi di rumah? Benarkah Om Ahmad selingkuh? Demi mengetahui kebenaran di baliknya, Risa pun mulai mengorek informasi mengenai si perempuan misterius ini. Akan tetapi upayanya untuk mendapatkan informasi senantiasa mengalami hambatan karena sebuah kekuatan jahat yang entah darimana asalnya tiba-tiba memancar kuat di rumah kerabatnya ini dan tidak segan-segan melukai para penghuni rumah.


Menjawab pertanyaan yang tertinggal di penghujung paragraf pertama, saya bisa mengatakan bahwa Danur 2: Maddah adalah sebuah sekuel yang baik. Tidak ada tipu-tipu dalam materi promosinya. Dibandingkan dengan instalmen pertama yang terbilang berisik namun hampa, seri kedua ini mempunyai daya cekam yang lebih kuat. Kentara terlihat, si pembuat film telah mempelajari kesalahan-kesalahan apa saja yang telah mereka perbuat dari film terdahulu dan berusaha untuk memperbaikinya di sini. Ucapkan selamat tinggal kepada iringan musik yang memekakkan telinga serta hantu banci tampil yang tiap beberapa detik sekali memberi ‘cilukba’ kepada penonton. Sekali ini, Awi Suryadi menunjukkan sensitivitasnya dalam menangani film horor dengan lebih bersabar dalam membangun teror setapak demi setapak (bukan lagi asal ‘jrengggg!’ tanpa relevansi yang jelas) dan banyak mengandalkan atmosfer yang mengusik rasa nyaman. Pilihan ini mungkin akan terasa asing bagi penonton yang doyan dikageti dengan bejibun penampakan sekalipun tanpa makna, namun pilihan ini harus diakui tepat karena sejumlah jump scare di Danur 2: Maddah justru terasa cukup efektif. Memang sih tak sepenuhnya mulus – ada beberapa yang kemunculannya kurang diperlukan kecuali semata-mata demi membuat penonton terlonjak dari kursi bioskop – tapi paling tidak, terornya tak sampai kelewat repetitif dan berakhir menggelikan seperti film pertama yang seketika meruntuhkan rasa takut. 

Danur 2: Maddah juga memiliki satu dua adegan yang menggoreskan kesan baik seusai menontonnya di layar lebar. Salah satu paling membekas adalah sesosok hantu perempuan yang bersuka cita mengikuti lantunan dzikir Tante Tina. Ngeri nggak sih bayangin kita lagi berdzikir lalu di depan kita ternyata ada makhluk halus yang bergoyang-goyang mendengar dzikir kita? Kalau bagi saya sih, creepy as hell! Kemampuan Awi dalam menciptakan rasa ngeri ini mendapat sokongan bagus dari sinematografi yang menguarkan nuansa “ada sesuatu tak beres di sekitarmu”, rias wajah yang membuat kita enggan berlama-lama menatap wajah si hantu, dan performa ciamik dari Prilly Latuconsina yang kian menegaskan bahwa dia adalah salah satu aktris muda berbakat saat ini. Di tangannya, kita mampu merasakan kegundahan hati Risa lalu menyematkan setitik simpati kepada karakternya. Yang kemudian menghalangi Prilly untuk berkembang lebih jauh dan menghalangi pula kengerian untuk mencapai level maksimal adalah naskah yang sungguh tipis. Karakterisasi untuk Risa, Riri, Tante Tina, Om Ahmad, Angki, apalagi hantu-hantu sahabat Risa (masih dibuat bertanya-tanya dengan kontribusi mereka pada penceritaan), berjalan di tempat dan cenderung ‘satu nada’. Kita tidak pernah benar-benar mengenal mereka maupun membentuk ikatan emosi dengan mereka. Maka ketika satu dua karakter tertimpa bencana, rasa was-was urung hadir yang sedikit banyak menurunkan intensitas. Andai saja Danur 2: Maddah ini berkenan memperhatikan sisi naskah lebih mendalam lagi – tak sebatas trik menakut-nakuti sekalipun ini perlu juga – bukan tidak mungkin film akan tersaji lebih mencengkram dan mencekam karena potensinya sendiri terpampang nyata.



Acceptable (3/5)

Rabu, 28 Februari 2018

REVIEW : YOWIS BEN

REVIEW : YOWIS BEN


“Wong-wong kudu paham, suatu saat kene iso dadi keren.” 

Beberapa waktu lalu, Yowis Ben yang menandai untuk pertama kalinya Bayu Skak menempati posisi pemeran utama sekaligus sutradara – mendampingi Fajar Nugros, menciptakan kontroversi tak perlu di kalangan netizen-maha-benar lantaran dialog dalam film sebanyak 80% menggunakan Bahasa Jawa. Bermacam-macam bentuk kecaman dilayangkan dari menuduh berniat memecahbelah bangsa sampai bernada mengejek yang menyerang ke stereotip masyarakat Jawa. Memiliki segudang bahasa daerah yang tersebar di seantero Indonesia, tentu bukan sesuatu yang mengherankan jika kemudian ada film buatan sineas tanah air yang mempergunakan bahasa daerah tertentu untuk keperluan menghantarkan cerita. Dalam beberapa tahun terakhir saja, geliatnya mulai terasa yang diprakarsai oleh film-film asal Makassar yang mendapat sorotan di tahun 2016 silam berkat laris manisnya Uang Panai (menembus 500 ribu penonton!) dan film-film dari Yogyakarta seperti Siti (2015) atau Turah (2017) yang langganan wara-wiri ke ajang penghargaan. Yowis Ben tak ubahnya judul-judul tersebut yang bercerita menggunakan bahasa daerah demi mempertahankan autentisitas (mengingat latar utamanya di Malang, Jawa Timur, yang masyarakatnya memang berbahasa Jawa) dan penebalan pada rasa. Yang kemudian membedakan Yowis Ben dengan judul-judul tersebut hanyalah pada skalanya karena film ini diproduksi oleh Starvision yang terhitung sebagai pemain besar di perfilman Indonesia. 

Karakter sentral yang menjadi motor penggerak Yowis Ben adalah siswa SMA bertampang pas-pasan dengan kondisi finansial pas-pasan pula bernama Bayu (Bayu Skak). Tentu saja Bayu bukanlah siswa tenar karena bakat atau pencapaian akademiknya di sekolah. Bayu cukup dikenal oleh rekan-rekannya karena dia membantu menjajakan pecel buatan ibunya sehingga memiliki panggilan “Pecel Boy”. Statusnya sebagai siswa jelata ini jelas membuatnya kesusahan untuk menambat hati para perempuan, terlebih lagi Bayu secara spesifik mengincar siswi-siswi populer. Saat Bayu jatuh hati kepada Susan (Cut Meyriska) yang tak ubahnya primadona sekolah, dia memutuskan untuk melakukan perubahan dalam dirinya demi meningkatkan ‘strata sosial’. Bersama dengan sahabatnya, Doni (Joshua Suherman), yang tengah berusaha mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya, Bayu berinisiatif membentuk band. Dari hasil menyebar pamflet seadanya, dua sahabat ini berhasil merekrut pemukul bedug masjid yang diam-diam memiliki bakat terselubung sebagai drummer, Yayan (Tutus Thomson). Turut bergabung bersama mereka yakni murid pindahan yang digilai karena tampangnya, Nando (Brandon Salim). Mengusung nama Yowis Ben yang tercetus dari musyawarah berujung pertikaian, band ini mengusung satu misi: pembuktian diri. Suatu misi yang ternyata mudah saja untuk dicapai sampai kemudian cobaan menghadang dalam wujud seorang perempuan yang seketika mengancam keutuhan band. 


Ditilik dari sisi gagasan cerita, Yowis Ben sejatinya tidak menghadirkan sesuatu yang baru. Plot formulaiknya mengenai seorang pemuda yang membentuk band demi menaklukkan hati seorang pemudi telah beberapa kali kita jumpai dalam film sejenis, termasuk Suckseed (2011) dan Sing Street (2016). Yang lantas memberi keasyikkan tersendiri dalam menyaksikan Yowis Ben adalah asupan humor yang kental, tembang-tembang renyah di telinga dan penuturannya yang enerjik. Sedari menit pembuka, film yang mengejawantahkan skrip rekaan Bagus Bramanti dan Gea Rexy ini memang telah tancap gas. Perkenalan kepada sosok Bayu ditempuh dengan cara ngelaba yang sekaligus bertujuan untuk membiasakan penonton kepada tone yang diterapkan oleh film. Bisa dibilang, sepanjang Yowis Ben mengalun di separuh awal durasi, canda tawa adalah menu utamanya. Canda tawanya bersumber dari humor-humor receh nirfaedah yang (saya meyakini) merupakan santapan sehari-hari kera-kera ngalam dan sebagian penonton. Adanya faktor kedekatan ini memiliki peranan penting terhadap bagaimana humor-humor yang dilontarkan bisa terdengar sangat lucu. Keputusan si pembuat film untuk tetap mempertahankan dialog dalam Bahasa Jawa dengan dialek Malangan harus diakui bukan saja berani tetapi juga tepat guna. Andai dialognya ditranslasi ke Bahasa Indonesia, kelucuan yang ditimbulkan mungkin tidak ‘ger-geran’ seperti ini dan malah bisa jadi berakhir jayus karena memang tidak semua guyonannya cocok diucapkan dalam Bahasa Indonesia. 

Faktor lain yang turut menentukan tersalurkannya banyolan dalam Yowis Ben dengan baik adalah performa jajaran pelakonnya. Baik Bayu Skak, Joshua Suherman, Brandon Salim, serta Tutus Thomson (yang kemunculannya senantiasa mencuri perhatian!) bermain secara santai dan effortless. Mereka menghadirkan chemistry lekat sehingga kita dapat memercayai bahwa keempatnya memang memiliki ikatan persahabatan. Tek-tokan diantara sesama mereka yang dipenuhi jancuk-jancukan terasa amat seru, begitu pula penampilan dari Arief Didu sebagai ‘penasehat spiritual’ Bayu, Erick Estrada sebagai penggemar nomor satu Yowis Ben, dan duo pelawak legendaris Jawa Timur, Cak Kartolo-Cak Sapari, sebagai pelanggan warung pecel yang kian meningkatkan level kelucuan film ini. Jika ada titik lemah, maka itu terletak pada Cut Meyriska yang memegang peranan krusial di separuh akhir. Aktingnya yang cenderung sinetron-ish memang bukan kesalahan tunggal karena terhitung sedari mencuatnya elemen dramatik, Yowis Ben mulai goyah. 

Kisah percintaan Bayu-Susan yang tereksekusi canggung cenderung tak meyakinkan dan sosok Susan yang tidak pernah tertambat di hati penonton karena pengenalan karakternya hanya sepintas lalu serta karakterisasinya yang tidak konsisten (serius, saya bingung. Apakah Susan ini benar-benar mencintai Bayu?) membuat saya mempertanyakan keputusan si pembuat film untuk memindahkan fokus penceritaan ke dua sejoli ini dan makin dipertanyakan setelah karakterisasi Susan bertransformasi secara drastis. Andai jalinan pengisahan tetap setia pada teritori persahabatan dan band tanpa harus dipaksa berbelok ke ranah romansa dan drama yang tidak juga tergarap matang, fun factor beserta greget Yowis Ben bisa jadi akan lebih tinggi. Cukup disayangkan mengingat Yowis Ben sejatinya sudah sangat menyenangkan untuk ditonton sebelum jatah tampil Susan tiba-tiba diperbanyak.


Note : Yowis Ben dilengkapi dengan subtitle Bahasa Indonesia yang komunikatif. Jadi kalian yang tak paham Bahasa Jawa, tak perlu risau bakal dibuat kebingungan.

Acceptable (3/5)

Kamis, 08 Februari 2018

REVIEW : DOWNSIZING

REVIEW : DOWNSIZING


“Sometimes you think we’re in the normal world and then something happens and you realize we’re not.” 

Menengok materi promosi yang beredar luas dan premis yang disodorkan, Downsizing memang tampak seperti tontonan fiksi ilmiah yang menjanjikan. Sulit untuk tidak tergoda begitu mengetahui bahwa film arahan Alexander Payne (The Descendants, Sideways) ini bakal berceloteh mengenai program penyusutan manusia hingga ke ukuran 5 inci saja yang bertujuan untuk menyelamatkan manusia dari kepunahan akibat kelebihan populasi di bumi – kurang lebih semacam versi upgrade dari Honey, I Shrunk the Kids! (1989). Terlebih lagi, Payne yang kembali berkolaborasi dengan Jim Taylor dalam penulisan naskah di Downsizing turut memboyong bintang-bintang besar untuk mengisi jajaran departemen akting seperti Matt Damon, Christoph Waltz, Kristen Wiig, Jason Sudeikis, sampai Udo Kier. Mudahnya, ini terlihat sangat bagus di atas kertas jadi apa sih yang mungkin salah? Usai menyaksikan gelaran yang merentang sepanjang 140 menit ini, saya bisa mengatakan bahwa setidaknya ada dua alasan yang lantas membuat Downsizing ternyata berjalan tidak sesuai harapan atau dengan kata lain, salah. Pertama, menanamkan ekspektasi yang keliru pada penonton, dan kedua, menyia-nyiakan premis bombastisnya demi mengejar pesan sederhana yang tidak juga mengena ke penonton. 

Karakter utama dari Downsizing adalah seorang terapis okupasi bernama Paul Safranek (Matt Damon) yang memiliki kehidupan, well, biasa-biasa saja kalau tidak mau dibilang monoton. Satu-satunya hal yang bisa dikatakan menarik untuk diceritakan dari kehidupannya adalah dia dan istrinya, Audrey (Kristen Wiig), tengah mengalami kesulitan secara finansial. Demi memperbaiki kondisi keuangannya yang memburuk, Paul pun berinisiatif mengajak serta Audrey untuk mengikuti program penyusutan terlebih selepas mendengar pengalaman membahagiakan dari seorang kawan yang mengikuti program sejenis. Konon, ‘dunia liliput’ ini menjanjikan kehidupan yang serba berkecukupan lantaran segala hal bisa diperoleh dengan harga jauh lebih rendah. Mereka yang berani menyusutkan tubuhnya pun disebut sebagai pahlawan karena dianggap telah berpartisipasi dalam menyelamatkan lingkungan. Memperoleh iming-iming surga seperti ini, Paul jelas kepincut sehingga tidak membutuhkan waktu lama baginya untuk mempertimbangkan. Persoalan yang tadinya diharapkan pupus dengan mengikuti program ini, nyatanya justru semakin berlipat ganda tatkala Paul menyadari bahwa dunia liliput tidaklah seindah bayangannya. Sialnya, dia baru menyadari kekeliruannya dalam mengambil keputusan setelah tinggi tubuhnya menciut menjadi 5 inci saja. 


Satu hal yang perlu diingat sebelum kamu melangkahkan kaki ke bioskop untuk menyaksikan Downsizing adalah film ini bukanlah tipe tontonan eskapisme yang memadukan fiksi ilmiah dengan elemen petualangan. Bukan. Divisualisasikan oleh Alexander Payne yang terbiasa berjibaku dengan tema seputar mempertanyakan eksistensi diri dalam balutan komedi gelap yang dilengkapi sentilan sentilun ke masyarakat modern, sudah bisa diduga sebetulnya bahwa Downsizing memang tidak ditujukan sebagai sajian hiburan pelepas penat. Apabila kamu berekspektasi demikian – yang sebetulnya tidak salah juga jika (lagi-lagi) berpatokan pada materi promo beserta premis – maka segera hempaskan jauh-jauh. Downsizing lebih tertarik untuk mengajak penonton membicarakan isu-isu serius nan menggelitik pemikiran terkait lingkungan, perubahan iklim, konsumerisme, imigran gelap sampai ketimpangan sosial. Ini menarik, malah sejujurnya sangat menarik bagi saya, akan tetapi entah mengapa begitu film mencapai separuh perjalanan, Payne enggan menguliknya lebih jauh lagi dan mendadak membicarakan tentang tema kegemarannya: eksistensialisme di usia paruh baya. Tidak hanya berhenti mengobrol perihal topik yang lebih menggugah, si pembuat film pun berhenti mengeksplor dunia liliput dan mengembangkan premis brilian yang diajukannya sehingga terasa tidak ada bedanya apabila latar film diubah menjadi, katakanlah, suatu koloni di sekitar kita yang menawarkan fasilitas menggiurkan. 

Perubahan nada penceritaan ini terasa sangat disayangkan karena sejatinya separuh awal durasi Downsizing yang mengajak penonton untuk memahami prosedur penyusutan lalu berlanjut menyusuri dunia liliput (world building-nya juara banget!) sudah begitu mengasyikkan sementara separuh akhir durasi yang memilih untuk membicarakan tentang pencarian makna hidup sang karakter utama berlangsung bertele-tele dan tidak jarang menjemukan. Salah satu penyebabnya adalah sosok Paul yang kelewat lempeng serta tidak memiliki dinamika sampai-sampai menimbulkan resistensi pada diri ini untuk mengenalnya lebih dalam. Yang kemudian membuat saya tetap bertahan sampai menit penutup – walau mata berulang kali terasa begitu berat saking lelahnya – adalah jajaran pemain pendukung yang berlakon di level memesona seperti Hong Chau sebagai imigran asal Vietnam yang penyusutan tubuhnya merupakan hukuman dari pemerintah negaranya, Christoph Waltz sebagai tetangga Paul yang gemar berpesta, serta Udo Kier sebagai rekan Waltz yang juga gila pesta. Matt Damon sebetulnya juga menampilkan performa apik sebagai Paul, namun kehadiran Hong Chau yang begitu hidup nan kocak di sampingnya seketika mencuri lampu sorot darinya. Tanpa celetukan serta tingkah polah semau-mau gue Hong Chau yang menghibur, mungkin paruh akhir Downsizing yang terasa seperti film berbeda ini hanya akan membuat para penontonnya terlelap.

Acceptable (3/5)


Senin, 05 Februari 2018

REVIEW : DILAN 1990

REVIEW : DILAN 1990


“Milea, kamu cantik. Tapi aku belum mencintaimu. Nggak tahu kalau sore. Tunggu aja.” 

Pada kuartal awal tahun 2018 ini, khalayak ramai menjadi saksi atas lahirnya pasangan fiktif baru yang fenomenal dalam perfilman Indonesia selepas Cinta-Rangga (Ada Apa Dengan Cinta?, 2001), Tita-Adit (Eiffel… I’m in Love, 2003), dan Aisha-Fahri (Ayat-Ayat Cinta, 2008). Mereka adalah Milea-Dilan, karakter utama dalam film Dilan 1990 yang diekranisasi dari novel laris manis bertajuk Dilan: Dia adalah Dilanku Tahun 1990 rekaan Pidi Baiq. Seperti halnya ketiga film yang telah terlebih dahulu mencuri hati masyarakat Indonesia tersebut, Dilan 1990 pun sanggup menciptakan gelombang hype luar biasa besar yang kemudian mendorong publik yang didominasi oleh remaja usia belasan untuk rela mengantri panjang demi menyaksikan jalinan kisah asmara Milea dengan Dilan. Alhasil, rekor demi rekor terus diciptakan oleh Dilan 1990 yang berpotensi membawanya meraih predikat “film romantis terlaris sepanjang masa di Indonesia” (dengan catatan, sanggup melewati Habibie & Ainun yang merengkuh 4,5 juta penonton). Kesuksesan besar ini tentu pada akhirnya mendatangkan tanya: apa sih istimewanya Dilan 1990 sampai-sampai begitu diburu? Dari sisi bisnis, jawabannya mudah saja yakni ketepatan strategi promosi. Sedangkan dinilai dari filmnya itu sendiri, Dilan 1990 terhitung berhasil menjelma sebagai film percintaan yang manis sekalipun bagi saya pribadi tidak betul-betul mengesankan.  

Dalam Dilan 1990, kita mengikuti narasi Milea (Vanesha Prescilla) mengenai seseorang yang telah merebut hatinya semasa mengenakan seragam putih abu-abu di Bandung pada tahun 1990. Orang tersebut adalah Dilan (Iqbaal Ramadhan), ‘panglima tempur’ di sebuah geng motor dan murid berandalan di sekolahnya. Mereka berdua, tentu saja, tidak lantas saling jatuh cinta saat pertama kali berjumpa. Milea telah memiliki seorang kekasih di Jakarta bernama Beni (Brandon Salim) dan rekam jejak Dilan sebagai tukang bikin onar membuat Milea agak ragu-ragu kala didekati Dilan. Terlebih, Dilan juga bukan satu-satunya laki-laki yang menaruh rasa padanya karena ada pula Nandan (Debo Andrios), sang ketua kelas, dan Kang Adi (Refal Hady), sang guru les privat. Yang kemudian perlahan tapi pasti membuat hati Milea luluh terhadap Dilan adalah tekad kuat yang ditunjukkan oleh Dilan untuk mendapatkan Milea. Tidak ada hadiah-hadiah mahal yang diberikan kepada sang pujaan hati melainkan sebatas lontaran kata-kata puitis dengan penyampaian yang bisa dibilang unik, seperti disisipkan pada buku teka-teki silang atau ‘dipaketkan’ bersama tukang pijat. Berbagai upaya Dilan untuk menggaet Milea ini akhirnya menunjukkan titik terang pasca Milea mendapat perlakuan menyakitkan dari Beni sehingga membuat Milea memiliki ketegasan untuk lebih memilih Dilan dan meninggalkan Beni.


Diejawantahkan oleh Fajar Bustomi dan Pidi Baiq ke dalam bahasa gambar, Dilan 1990 mampu tersaji sebagai tontonan percintaan yang sejatinya cukup manis. Generasi sosial media yang menjadi pangsa pasar utamanya, terutama penonton perempuan, bakal meleleh tiap kali sosok Dilan meluncurkan rayuan-rayuan mautnya kepada Milea, sementara mereka yang telah berusia lanjut (eh, maksud saya, di atas 25 tahun) akan tersenyum-senyum gemas karena apa yang dialami oleh Dilan dan Milea sedikit banyak mengingatkan pada masa remaja dimana berpacaran tampak seperti hal terindah yang bisa dilakukan. Pada dasarnya, sepanjang durasi mengalun, penonton sebatas menyaksikan upaya si panglima tempur dalam merebut hati perempuan yang ditaksirnya melalui untaian kata-kata puitis namun receh dan gaya pendekatan yang agak-agak nyeleneh. Tidak lebih dari itu. Kalaupun ada konflik seperti Beni yang geram mendapati kekasihnya mendua, kehadiran Kang Adi, pertikaian antara Dilan dengan gurunya, sampai Anhar (Giulio Parengkuan) yang melecehkan Milea, hanya dipergunakan sebagai selingan semata tanpa pernah benar-benar memperoleh kesempatan untuk dikembangkan lebih lanjut. Itulah mengapa bagi saya Dilan 1990 terasa kurang menggigit sekalipun sulit disangkal bahwa film ini memang manis. Ketiadaan fluktuasi dalam jalinan pengisahan menyebabkan film sempat berada dalam tahapan melelahkan utamanya begitu menginjak pertengahan durasi. 

Yang lantas menghindarkan film ini dari terperosok ke dalam jurang lebih dalam dan tetap terasa enak untuk dinikmati disamping pengarahan dari duo sutradara yang mampu menjaga ritme penceritaan adalah performa jajaran pemainnya. Kredit terbesar tentu sudah sepatutnya disematkan kepada Iqbaal Ramadhan beserta Vanesha Prescilla yang mampu tampil meyakinkan sebagai pasangan menggemaskan bernama Dilan dan Milea. Iqbaal berhasil membuktikan bahwa dia bukanlah pilihan yang keliru dalam melakonkan sang panglima tempur. Tengok saja gayanya yang tengil sedikit urakan, gombalan-gombalan yang kerap meluncur begitu saja dari mulutnya, sorot mata tajamnya, dan interaksinya bersama Vanesha yang kadang kikuk. Penonton laki-laki remaja akan terinspirasi, sedangkan penonton perempuan akan dibuatnya berulang kali salah tingkah. Ya, salah tingkah seperti Vanesha Prescilla tiap kali berada di sisi Iqbaal. Di tangan aktris pendatang baru ini, sosok Milea terasa sangat hidup. Sikapnya yang malu-malu kucing, kepolosannya, serta auranya yang menenangkan. Dia menunjukkan alasan mengapa Milea bisa diperebutkan oleh banyak laki-laki. Chemistry yang dirangkainya bersama Iqbaal berada dalam level sangat baik sehingga penonton pun dapat meyakini bahwa mereka berdua adalah muda-mudi yang tengah dimabuk cinta.

Acceptable (3/5)


Sabtu, 14 Oktober 2017

REVIEW : ONE FINE DAY

REVIEW : ONE FINE DAY


“Hidup itu seperti kamera. Kamu harus fokus pada satu target.” 

Andaikata kamu telah menelurkan beberapa karya dengan pokok penceritaan seragam namun terbukti diterima sangat baik oleh publik, apa yang akan kamu lakukan untuk karya berikutnya? Mengaplikasikan formula senada sampai pangsa pasarmu menanggapi dingin atau perlahan tapi pasti mencoba berinovasi demi menggaet pasar lebih luas yang berarti ada resiko besar mesti diambil? Bagi rumah produksi Screenplay Films yang telah memberi kita tontonan percintaan mendayu-dayu seperti Magic Hour, I Love You from 38.000 Feet, Promise, serta dwilogi London Love Story, jawabannya telah teramat jelas yakni pilihan pertama. Mereka seolah-olah berujar, “formula kita telah teruji berhasil untuk penonton usia belasan yang menjadi konsumen utama kita, jadi mengapa harus mengambil resiko dengan mengubahnya hanya untuk menyenangkan hati penonton-penonton sinis yang bisa jadi tidak akan menonton film kita?.” Tidak mengherankan jika rilisan terbaru mereka, One Fine Day, yang masih ditangani oleh tim inti serupa dengan rilisan terdahulu (setidaknya untuk kursi penyutradaraan dan penulisan naskah) tanpa ragu-ragu mengusung guliran penceritaan yang senada seirama. Kita kembali diterbangkan jauh-jauh ke negeri orang untuk menyaksikan kusutnya kisah percintaan muda-mudi berkantong tebal asal Indonesia. 

Dalam One Fine Day, muda-mudi yang terlibat dalam problematika asmara yakni Mahesa (Jefri Nichol) dan Alana (Michelle Ziudith). Mahesa adalah pemuda dari Indonesia yang mencoba mengadu nasib sebagai musisi di Barcelona, Spanyol, bersama dua sahabat baiknya, Revan (Dimas Andrean) dan Dastan (Ibnu Jamil). Akan tetapi, nasib baik tak kunjung berpihak kepadanya seiring dengan teramat seringnya demo musik milik mereka mengalami penolakan. Demi menyambung hidup, Mahesa dan kawan-kawan pun terpaksa menipu perempuan-perempuan kaya. Salah satu target terbaru tiga serangkai ini adalah Alana yang dilihat pertama kali oleh Mahesa di sebuah restoran mewah. Mulanya mengira Alana tidak bakal berbeda jauh dengan para korban sebelumnya yang mudah untuk dibujuk rayu lalu ditinggal pergi, masalah lantas muncul tatkala Mahesa mendapati tiga fakta mengenai Alana. Pertama, Alana adalah perempuan Indonesia. Kedua, Alana telah memiliki kekasih bernama Danu (Maxime Bouttier) yang luar biasa posesif sampai-sampai menitahkan seorang bodyguard, Pak Abdi (Surya Saputra), untuk selalu mengawalnya kemanapun dia pergi. Dan ketiga, Alana telah membuatnya jatuh cinta, begitu pula sebaliknya. Rencana penipuan yang telah disusun dengan baik pun seketika berantakan terlebih Danu tentu tidak akan begitu saja membiarkan sang kekasih digaet oleh laki-laki lain.


Apabila kamu berpikir One Fine Day bakal memiliki jalinan pengisahan berbeda usai membaca sinopsis di atas, well… sayang sekali kamu keliru. Seperti yang sudah-sudah, struktur cerita One Fine Day hanyalah sebentuk daur ulang dari film-film rilisan Screenplay Films sebelumnya macam Magic Hour, London Love Story, serta Promise yang diberikan sedikit bubuhan disana sini agar membuatnya tampak segar. Dalam catatan saya, setidaknya ada tiga hal yang membuat film arahan Asep Kusdinar ini tampak berbeda: pemanfaatan kota Barcelona sebagai latar tempat dengan baik, lagu-lagu pengiring beraliran tropical seperti Vamos De Fiesta dan Te Amo Mi Amor yang cukup ampuh dalam mengajak penonton untuk menghentak-hentakan kaki mengikuti irama, serta Michelle Ziudith yang sekali ini terlihat sangat cantik sekali. Selain ketiga catatan tersebut, tidak ada pembaharuan signifikan yang bisa kamu jumpai dalam One Fine Day. Guliran konfliknya masih berkisar pada muda-mudi dari Indonesia yang hidup bergelimangan harta di negeri orang, lalu jatuh cinta dengan lawan jenis yang (kok bisa-bisanya) ternyata saudara sebangsa, kemudian datang orang ketiga (baik tunggal maupun jamak) yang merecoki hubungan mereka, dan akhirnya diselesaikan melalui klimaks yang mewajibkan Michelle Ziudith menangis sejadi-jadinya karena sang lelaki idaman berada di ambang garis kematian. 

Agar membuat film terasa semakin romantis dan dramatis, maka rentetan dialog-dialog puitis yang biasanya berwujud analogi mesti disisipkan di berbagai titik sekalipun waktunya kurang tepat. Salah satu yang paling membekas dalam One Fine Day adalah “hidup itu seperti kamera. Kamu harus fokus pada satu target” yang cukup menerjemahkan guliran pengisahan film. Ini adalah salah satu kabar baik yang dibawa One Fine Day, si pembuat film tidak ngoyo untuk membuat filmnya terlihat cerdas dengan memberi banyak subplot tanpa esensi atau menghadirkan alur non-konvensional (mari kita ucapkan halo pada Promise, saudara-saudara!) yang malah berujung pada terpelintirnya otak penonton. One Fine Day dituturkan secara lugas dan jelas dengan pesan mengenai kejujuran dan memperjuangkan mimpi yang tersampaikan cukup baik. Kabar baik lainnya, barisan pemain menunjukkan lakon tidak mengecewakan khususnya Maxime Bouttier yang sanggup membuat sosok Danu si bocah kaya manja yang berbahaya tampak menjengkelkan, Surya Saputra sebagai bodyguard yang terombang ambing antara mengikuti perintah atasan atau hati nurani, serta Michelle Ziudith yang kentara makin terlatih dalam adegan tangis-tangisan (tolong, beri dia peran menantang. Dia aktris menjanjikan!). 

Dengan formula cerita yang masih jalan di tempat, One Fine Day memang bakal kesulitan dalam menggaet penggemar baru yang sebelumnya tidak pernah bisa menerima film-film keluaran Screenplay Films yang cheesy-nya kebangetan itu. Akan tetapi, film ini akan sangat mudah untuk membuat pangsa pasarnya tersenyam-senyum bahagia menyaksikan duo Jefri Nichol-Michelle Ziudith bermesra-mesraan di sepanjang durasi diiringi alunan lagu tropical yang asyik buat goyang.

Acceptable (2,5/5)


Selasa, 10 Oktober 2017

REVIEW : JOMBLO (2017)

REVIEW : JOMBLO (2017)


“Waktu dapat menghapus luka di hati, tapi kenangan manis akan selalu membekas di hati.” 

Jomblo garapan Hanung Bramantyo yang didasarkan pada novel laris berjudul sama rekaan Adhitya Mulya dan dirilis pada tahun 2006 silam merupakan salah satu film Indonesia terbaik yang pernah dibuat. Tiga elemen utama penyusun film yang terdiri atas komedi, romansa, dan persahabatan bisa berpadu dengan sangat baik pula mulus. Siapapun yang pernah mengalami fase dibuat kesengsem oleh lawan jenis, lalu jatuh bangun dalam memperjuangkan cinta, ditolak seseorang yang telah lama didambakan, serta menjalin hubungan akrab bersama kawan-kawan yang setia mendampingi di kala susah dan senang, akan mudah untuk terhubung ke jalinan pengisahan yang digulirkan oleh Jomblo. Ditambah lagi, Jomblo versi 2006 mempunyai empat pelakon inti dengan chemistry ciamik; Ringgo Agus Rahman (dalam film perdananya), Christian Sugiono, Dennis Adhiswara, dan Rizky Hanggono, yang sanggup meyakinkan penonton bahwa mereka memang bersahabat dekat satu sama lain. Bisa dibilang nyaris sempurna di berbagai lini – film pun mampu mempermainkan emosi penonton sedemikian rupa – maka agak mengherankan tatkala Falcon Pictures memutuskan untuk menginterpretasi kembali tulisan Adhitya Mulya ke format film layar lebar hanya dalam rentang waktu satu dekade saja. Maksud saya, bukankah seorang bijak pernah berujar, “if it ain’t broke, don’t fix it”

Dalam Jomblo versi 2017, tidak ada perubahan berarti pada konfigurasi karakter utama. Keempat sahabat yang menggulirkan roda penceritaan masihlah Agus (Ge Pamungkas), Bimo (Arie Kriting), Olip (Deva Mahenra), dan Doni (Richard Kyle). Persahabatan empat mahasiswa di Universitas B ini dipertautkan oleh kesamaan nasib yaitu sama-sama menyandang status sebagai jomblo meski dengan alasan berbeda-beda. Agus cenderung pemilih karena mencari perempuan yang dapat diajaknya membina rumah tangga ideal, kemudian Bimo kerap mengalami penolakan dari perempuan yang ditaksirnya, lalu Olip tidak memiliki keberanian dalam menyatakan perasaannya kepada Asri (Aurellie Moeremans) yang telah membuatnya jatuh cinta sedari tahun pertama, sementara Doni yang memiliki ketampanan paripurna justru enggan untuk berkomitmen dan hanya memanfaatkan para perempuan demi memenuhi hasratnya semata. Persahabatan diantara empat jomblo-jomblo bahagia ini (jojoba) mulanya baik-baik saja sampai kemudian kehadiran sosok Rita (Natasha Rizky), Lani (Indah Permatasari), serta Asri di tengah-tengah kehidupan mereka mulai mengacaukan segalanya. Hubungan pertemanan yang telah dipupuk dengan baik selama bertahun-tahun terancam bubar jalan begitu saja akibat persoalan asmara.


Sulit untuk tidak membanding-bandingkan Jomblo versi anyar yang tetap ditangani oleh Hanung Bramantyo ini dengan versi terdahulu mengingat rilisan 2006 memiliki kualitas penggarapan diatas rata-rata dan setiap adegannya pun masih melekat erat di ingatan sampai sekarang. Satu pertanyaan lalu terlontar, “mungkinkah si pembuat film mampu melampaui pencapaian dari rilisan sebelumnya?.” Pertanyaan tersebut coba dijawab oleh Hanung dengan menghadirkan warna berbeda ke versi 2017. Jika versi 2006 cenderung lebih kalem dalam bertutur dan banyak memberi ruang pada kisah persahabatannya, maka sekali ini aspek komedi lebih ditekankan dengan ritme penceritaan yang cenderung upbeat mengikuti barisan lagu beraliran EDM yang mengiringinya. Disamping itu, Agus yang masih bertindak selaku narator turut kebagian jatah tampil lebih banyak dari sebelumnya dengan pertimbangan kisah percintaan njelimetnya bersama Rita dan Lani memiliki potensi terbesar dalam memicu tawa sekaligus mudah bagi generasi muda sekarang untuk terhubung kepadanya. Imbas dari keputusan ini, konflik asmara yang dihadapi Bimo-Olip-Doni tidak pernah tergali secara mendalam dan plot mengenai persahabatan empat sekawan jojoba yang sejatinya merupakan kekuatan utama dari Jomblo terpaksa dikesampingkan. Dari sini saja sudah terjawab bahwa Jomblo versi 2017 tidak lebih baik ketimbang versi terdahulu.

Kalau ditanya menghibur atau tidak, Jomblo masihlah cukup menghibur. Beberapa kali diri ini dibuat tertawa melihat hubungan Agus dengan Rita yang tidak sesuai ekspektasi, walau saya sendiri merasa cukup terganggu lantaran peralihan nada hubungan dua sejoli ini terlampau cepat serta ujug-ujug. Adegan Rita marah-marah kepada Agus di kafe karena sang kekasih tidak berhasil memberi jawaban memuaskan perihal proporsi tubuhnya itu terasa sangat dipaksakan. Setidaknya dalam versi terdahulu, saya bisa mengetahui darimana munculnya pertanyaan jebakan tersebut dan sikap Rita yang sangat menyebalkan. Bertahap, tidak sekonyong-konyong terlontar. Jomblo versi anyar ini terasa kurang halus dalam melantunkan penceritaannya, terkadang terburu-buru terkadang berlarut-larut, yang menjadikan sejumlah konflik tidak memiliki impak benar-benar kuat dan barisan leluconnya pun menyerupai kumpulan sketsa. Alhasil, sekalipun Jomblo masih sanggup memancing tawa di beberapa bagiannya, film cukup mengalami kesulitan dalam menggoreskan kesan di hati lantaran minimnya emosi yang berhasil diinjeksikan ke dalam penceritaan. Disamping pengarahan dan naskah, faktor lain yang menyebabkan Jomblo terasa hambar adalah jajaran pemainnya. 

Ge, Arie, serta Deva bermain baik saat berlakon secara terpisah, tetapi saat disatukan, chemistry-nya mengawang-awang di udara. Saya bisa meyakini bahwa mereka adalah teman sekampus yang memiliki hubungan baik, tetapi saya tidak bisa meyakini bahwa mereka adalah teman sekampus yang memiliki ikatan persahabatan sangat erat. Itulah mengapa saat muncul pertengkaran besar yang berpotensi memecah belah keempatnya, saya tidak bisa merasakan apapun. Berlalu begitu saja.

Acceptable (2,5/5)