Tampilkan postingan dengan label Prilly Latuconsina. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Prilly Latuconsina. Tampilkan semua postingan

Kamis, 29 Maret 2018

REVIEW : DANUR 2: MADDAH

REVIEW : DANUR 2: MADDAH


“Apa yang tidak terlihat bukan berarti tidak ada.” 

Pada kuartal pertama tahun lalu, Danur yang diadaptasi dari buku bertajuk sama rekaan Risa Sarasvati dilepas ke jaringan-jaringan bioskop tanah air. Guliran kisah yang didasarkan pada pengalaman nyata Risa kala bersentuhan dengan dunia gaib tersebut, nyatanya berhasil mengumpulkan 2,7 juta penonton sekaligus membangkitkan kembali tren film horror di perfilman Indonesia. Tidak mengherankan sebetulnya mengingat materi sumbernya laris manis di pasaran, pelakon utamanya adalah Prilly Latuconsina yang telah membentuk basis penggemar cukup besar, dan film arahan Awi Suryadi ini sendiri tergolong memiliki teknis penggarapan cukup baik. Satu hal yang lantas membuat saya terganggu sehingga Danur tidak pernah benar-benar meninggalkan kesan mendalam adalah trik menakut-nakutinya yang kelewat receh. Penggunaan skoring musik dan kemunculan si hantu terasa serampangan yang justru bikin sebal alih-alih ketakutan. Pokoknya penonton kaget, maka sudah selesai perkara (duh!). Gagal memperoleh pengalaman menonton sesuai pengharapan inilah yang lantas membuat saya kurang bersemangat untuk menonton jilid keduanya yang bertajuk Danur 2: Maddah. Namun rasa penasaran yang telah meredup itu perlahan mulai bangkit usai menengok materi promosinya (baca: trailer) yang tampak menjanjikan sampai-sampai satu pertanyaan pun terbentuk: apa mungkin si pembuat film telah belajar dari kesalahan sehingga sekuelnya ini mampu tersaji lebih baik? 

Dalam Danur 2: Maddah, teror yang dialami oleh Risa (Prilly Latuconsina) tidak lagi berlangsung di rumah sang nenek yang kini dikisahkan telah berpulang ke Yang Maha Satu. Kali ini, Risa mencium bau danur tatkala bertandang ke rumah Tante Tina (Sophia Latjuba) dan Om Ahmad (Bucek) yang dikisahkan baru saja pindah ke Bandung. Semenjak kedua orang tuanya dinas ke luar negeri, Risa beserta adiknya, Riri (Sandrinna Michelle Skornicki), memang kerap mampir ke rumah kerabat mereka ini demi membunuh sepi. Yaaa, sekalian hitung-hitung menjaga tali silaturahmi. Namun ketenangan Risa mulai terusik tatkala sepupunya, Angki (Shawn Adrian), menaruh kecurigaan ada sesuatu yang tidak beres di rumah mereka apalagi ayahnya mulai bertingkah tidak wajar termasuk menanam bunga sedap malam di pekarangan rumah. Risa bisa merasakan itu, tapi anehnya, dia tidak bisa melihat apapun. Justru dia melihat Om Ahmad pergi berduaan bersama perempuan lain. Siapa dia? Apa dia ada keterkaitannya dengan semua keanehan yang terjadi di rumah? Benarkah Om Ahmad selingkuh? Demi mengetahui kebenaran di baliknya, Risa pun mulai mengorek informasi mengenai si perempuan misterius ini. Akan tetapi upayanya untuk mendapatkan informasi senantiasa mengalami hambatan karena sebuah kekuatan jahat yang entah darimana asalnya tiba-tiba memancar kuat di rumah kerabatnya ini dan tidak segan-segan melukai para penghuni rumah.


Menjawab pertanyaan yang tertinggal di penghujung paragraf pertama, saya bisa mengatakan bahwa Danur 2: Maddah adalah sebuah sekuel yang baik. Tidak ada tipu-tipu dalam materi promosinya. Dibandingkan dengan instalmen pertama yang terbilang berisik namun hampa, seri kedua ini mempunyai daya cekam yang lebih kuat. Kentara terlihat, si pembuat film telah mempelajari kesalahan-kesalahan apa saja yang telah mereka perbuat dari film terdahulu dan berusaha untuk memperbaikinya di sini. Ucapkan selamat tinggal kepada iringan musik yang memekakkan telinga serta hantu banci tampil yang tiap beberapa detik sekali memberi ‘cilukba’ kepada penonton. Sekali ini, Awi Suryadi menunjukkan sensitivitasnya dalam menangani film horor dengan lebih bersabar dalam membangun teror setapak demi setapak (bukan lagi asal ‘jrengggg!’ tanpa relevansi yang jelas) dan banyak mengandalkan atmosfer yang mengusik rasa nyaman. Pilihan ini mungkin akan terasa asing bagi penonton yang doyan dikageti dengan bejibun penampakan sekalipun tanpa makna, namun pilihan ini harus diakui tepat karena sejumlah jump scare di Danur 2: Maddah justru terasa cukup efektif. Memang sih tak sepenuhnya mulus – ada beberapa yang kemunculannya kurang diperlukan kecuali semata-mata demi membuat penonton terlonjak dari kursi bioskop – tapi paling tidak, terornya tak sampai kelewat repetitif dan berakhir menggelikan seperti film pertama yang seketika meruntuhkan rasa takut. 

Danur 2: Maddah juga memiliki satu dua adegan yang menggoreskan kesan baik seusai menontonnya di layar lebar. Salah satu paling membekas adalah sesosok hantu perempuan yang bersuka cita mengikuti lantunan dzikir Tante Tina. Ngeri nggak sih bayangin kita lagi berdzikir lalu di depan kita ternyata ada makhluk halus yang bergoyang-goyang mendengar dzikir kita? Kalau bagi saya sih, creepy as hell! Kemampuan Awi dalam menciptakan rasa ngeri ini mendapat sokongan bagus dari sinematografi yang menguarkan nuansa “ada sesuatu tak beres di sekitarmu”, rias wajah yang membuat kita enggan berlama-lama menatap wajah si hantu, dan performa ciamik dari Prilly Latuconsina yang kian menegaskan bahwa dia adalah salah satu aktris muda berbakat saat ini. Di tangannya, kita mampu merasakan kegundahan hati Risa lalu menyematkan setitik simpati kepada karakternya. Yang kemudian menghalangi Prilly untuk berkembang lebih jauh dan menghalangi pula kengerian untuk mencapai level maksimal adalah naskah yang sungguh tipis. Karakterisasi untuk Risa, Riri, Tante Tina, Om Ahmad, Angki, apalagi hantu-hantu sahabat Risa (masih dibuat bertanya-tanya dengan kontribusi mereka pada penceritaan), berjalan di tempat dan cenderung ‘satu nada’. Kita tidak pernah benar-benar mengenal mereka maupun membentuk ikatan emosi dengan mereka. Maka ketika satu dua karakter tertimpa bencana, rasa was-was urung hadir yang sedikit banyak menurunkan intensitas. Andai saja Danur 2: Maddah ini berkenan memperhatikan sisi naskah lebih mendalam lagi – tak sebatas trik menakut-nakuti sekalipun ini perlu juga – bukan tidak mungkin film akan tersaji lebih mencengkram dan mencekam karena potensinya sendiri terpampang nyata.



Acceptable (3/5)

Jumat, 31 Maret 2017

REVIEW : DANUR

REVIEW : DANUR


“Namaku Risa. Dan aku bisa melihat apa yang kalian sebut... hantu.” 

Setidaknya ada tiga alasan utama disodorkan oleh Danur produksi Pichouse Films (anak dari MD Pictures) yang cukup ampuh untuk menggelitik kepenasaran khalayak ramai agar menyimaknya di layar lebar. Pertama, topik obrolannya didasarkan pada buku populer bertajuk Gerbang Dialog Danur yang konon kabarnya berbasis pengalaman nyata dari seorang musisi indigo bernama Risa Saraswati. Kedua, pelakon utamanya adalah aktris muda dengan basis penggemar terhitung masif, Prilly Latuconsina, yang secara kualitas akting pun terhitung mumpuni seperti ditunjukkannya melalui Surat Untukmu dan Hangout, beserta Shareefa Daanish yang disinyalir bakal menjadi Ratu Horror semenjak Rumah Dara. Dan ketiga, promosi yang dikreasi MD Pictures terbilang gencar sekaligus jitu lantaran memanfaatkan unsur mistis yang amat dipercayai oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Dengan ketiga alasan tersebut – ditambah adanya keterlibatan Awi Suryadi (Badoet, Street Society) di kursi penyutradaraan – Danur jelas menguarkan aura menjanjikan di permukaan sehingga tidak mengherankan apabila ekspektasi membumbung. Pertanyaannya, apakah Danur sanggup memenuhi segala potensi yang dipunyainya? 

Danur memperkenalkan penonton kepada gadis cilik berusia 8 tahun bernama Risa (Asha Kenyeri Bermudez). Mengingat kedua orang tuanya sibuk bekerja, Risa kerap dititipkan di rumah sang nenek utamanya kala libur sekolah. Risa yang kesepian karena tidak mempunyai teman sebaya untuk diajak bermain, melontarkan pengharapan di hari ulang tahunnya. Hanya membutuhkan waktu sekejap saja bagi Risa untuk menantikan pengharapannya terwujud. Tiga bocah berdarah Belanda; Peter (Gamaharitz), William (Wesley Andrew), dan Jansen (Kevin Bzezovski Taroreh), seketika datang menemani Risa bermain hari demi hari. Sang ibu, Elly (Kinaryosih), melihat adanya kejanggalan dalam diri putrinya terlebih dia tidak pernah bisa melihat secara langsung wujud teman-teman baru Risa. Meminta pertolongan kepada orang pintar, terungkap fakta bahwa Peter dan kedua saudaranya merupakan makhluk halus. Tidak ingin putrinya celaka, Elly pun membawa Risa pergi sampai kemudian Risa (Prilly Latuconsina) kembali menjejakkan kaki di rumah sang nenek usai beberapa tahun berselang bersama adiknya, Riri (Sandrinna Michelle Skornicki), demi merawat sang nenek. Serentetan peristiwa janggal pun sekali lagi menyambut Risa terutama setelah mereka kedatangan perawat misterius, Asih (Shareefa Daanish), yang kentara menyimpan agenda terselubung dibalik kedatangannya.


Harus diakui, langkah Danur dimulai secara meyakinkan. Daya sentaknya di menit-menit awal acapkali bersumber pada bangunan atmosfirnya yang cukup efektif dalam menimbulkan kegelisahan di kursi penonton. Beberapa momen yang sempat membuat jantung ini berdebar-debar antara lain ketika Risa bermain piano untuk memanggil kawan-kawan hantunya, kamera mencermati sudut-sudut rumah gedongan sunyi senyapnya sang nenek yang dilengkapi dengan pernak pernik dari zaman Belanda, serta kemunculan pertama Asih yang gemar sekali memberikan tatapan mengerikan kepada Risa. Memperoleh sambutan yang cukup menggelisahkan semacam ini, hati jelas berbahagia karena sedikit banyak menunjukkan bahwa film telah berada di jalur yang semestinya. Melayangkan ingatan pada film horor terdahulu Awi, Badoet, yang juga banyak memanfaatkan atmosfir untuk membangkitkan bulu roma. Begitu keyakinan telah terkumpul – dan Danur sudah memperoleh kepercayaan dari penonton – film justru perlahan tapi pasti terus mengendur intensitasnya seiring berjalannya durasi. Rasa takut yang tadinya telah mendekat, malah mendadak berbalik arah dan kian menjauh sampai akhirnya tidak lagi tampak di paruh akhir. Dalam catatan saya, kesalahan terbesar dari Danur adalah keputusannya untuk mengeksploitasi penampakan habis-habisan yang seketika menyulap Danur tak ubahnya film horor generik. 

Alih-alih menaruh perhatian pada perkembangan karakter demi terbentuknya ikatan antara penonton dengan Risa maupun penonton dengan Peter, film lebih banyak menghabiskan waktunya untuk sekadar memikirkan trik menakut-nakuti penonton. Akibatnya, greget dalam alunan kisah pun tiada bisa dideteksi karena kita tidak pernah sekalipun terhubung lalu menaruh kepedulian kepada barisan karakternya. Sementara teror yang digeber nyaris saban menit, mula-mula sih berhasil saja karena Danur juga memiliki Shareefa Daanish yang bisa dikata jagoan dalam urusan menciptakan ekspresi yang bikin bergidik ngeri. Namun seperti halnya menyantap makanan dalam porsi berlebih, lama-lama kejenuhan tidak lagi terhindarkan sekalipun cita rasanya amat lezat. Terhitung sedari makin gemarnya Asih mejeng dengan berbagai pose di berbagai lokasi, film telah kehabisan tenaganya dan membuatnya cukup sulit untuk benar-benar bisa dinikmati. Kalaupun bisa dinikmati, itu disebabkan adanya serentetan unintentional comedy. Terornya berujung menggelikan yang mengundang derai tawa ketimbang menakutkan yang mengundang pekik ngeri. Dengan naskah dan pengarahan yang begitu lemah, jajaran pemain yang sejatinya telah bermain baik seperti Prilly Latuconsina maupun Shareefa Daanish urung menghadirkan atraksi akting yang maksimal. Tanpa adanya satupun sokongan kuat, potensi besar yang dipunyai Danur pun berakhir sia-sia belaka. Sungguh sangat disayangkan.

Note : Danur mempunyai adegan tambahan di sela-sela bergulirnya credit title. Jangan keburu-buru beranjak!

Acceptable (2.5/5)