Jumat, 31 Maret 2017

REVIEW : DANUR


“Namaku Risa. Dan aku bisa melihat apa yang kalian sebut... hantu.” 

Setidaknya ada tiga alasan utama disodorkan oleh Danur produksi Pichouse Films (anak dari MD Pictures) yang cukup ampuh untuk menggelitik kepenasaran khalayak ramai agar menyimaknya di layar lebar. Pertama, topik obrolannya didasarkan pada buku populer bertajuk Gerbang Dialog Danur yang konon kabarnya berbasis pengalaman nyata dari seorang musisi indigo bernama Risa Saraswati. Kedua, pelakon utamanya adalah aktris muda dengan basis penggemar terhitung masif, Prilly Latuconsina, yang secara kualitas akting pun terhitung mumpuni seperti ditunjukkannya melalui Surat Untukmu dan Hangout, beserta Shareefa Daanish yang disinyalir bakal menjadi Ratu Horror semenjak Rumah Dara. Dan ketiga, promosi yang dikreasi MD Pictures terbilang gencar sekaligus jitu lantaran memanfaatkan unsur mistis yang amat dipercayai oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Dengan ketiga alasan tersebut – ditambah adanya keterlibatan Awi Suryadi (Badoet, Street Society) di kursi penyutradaraan – Danur jelas menguarkan aura menjanjikan di permukaan sehingga tidak mengherankan apabila ekspektasi membumbung. Pertanyaannya, apakah Danur sanggup memenuhi segala potensi yang dipunyainya? 

Danur memperkenalkan penonton kepada gadis cilik berusia 8 tahun bernama Risa (Asha Kenyeri Bermudez). Mengingat kedua orang tuanya sibuk bekerja, Risa kerap dititipkan di rumah sang nenek utamanya kala libur sekolah. Risa yang kesepian karena tidak mempunyai teman sebaya untuk diajak bermain, melontarkan pengharapan di hari ulang tahunnya. Hanya membutuhkan waktu sekejap saja bagi Risa untuk menantikan pengharapannya terwujud. Tiga bocah berdarah Belanda; Peter (Gamaharitz), William (Wesley Andrew), dan Jansen (Kevin Bzezovski Taroreh), seketika datang menemani Risa bermain hari demi hari. Sang ibu, Elly (Kinaryosih), melihat adanya kejanggalan dalam diri putrinya terlebih dia tidak pernah bisa melihat secara langsung wujud teman-teman baru Risa. Meminta pertolongan kepada orang pintar, terungkap fakta bahwa Peter dan kedua saudaranya merupakan makhluk halus. Tidak ingin putrinya celaka, Elly pun membawa Risa pergi sampai kemudian Risa (Prilly Latuconsina) kembali menjejakkan kaki di rumah sang nenek usai beberapa tahun berselang bersama adiknya, Riri (Sandrinna Michelle Skornicki), demi merawat sang nenek. Serentetan peristiwa janggal pun sekali lagi menyambut Risa terutama setelah mereka kedatangan perawat misterius, Asih (Shareefa Daanish), yang kentara menyimpan agenda terselubung dibalik kedatangannya.


Harus diakui, langkah Danur dimulai secara meyakinkan. Daya sentaknya di menit-menit awal acapkali bersumber pada bangunan atmosfirnya yang cukup efektif dalam menimbulkan kegelisahan di kursi penonton. Beberapa momen yang sempat membuat jantung ini berdebar-debar antara lain ketika Risa bermain piano untuk memanggil kawan-kawan hantunya, kamera mencermati sudut-sudut rumah gedongan sunyi senyapnya sang nenek yang dilengkapi dengan pernak pernik dari zaman Belanda, serta kemunculan pertama Asih yang gemar sekali memberikan tatapan mengerikan kepada Risa. Memperoleh sambutan yang cukup menggelisahkan semacam ini, hati jelas berbahagia karena sedikit banyak menunjukkan bahwa film telah berada di jalur yang semestinya. Melayangkan ingatan pada film horor terdahulu Awi, Badoet, yang juga banyak memanfaatkan atmosfir untuk membangkitkan bulu roma. Begitu keyakinan telah terkumpul – dan Danur sudah memperoleh kepercayaan dari penonton – film justru perlahan tapi pasti terus mengendur intensitasnya seiring berjalannya durasi. Rasa takut yang tadinya telah mendekat, malah mendadak berbalik arah dan kian menjauh sampai akhirnya tidak lagi tampak di paruh akhir. Dalam catatan saya, kesalahan terbesar dari Danur adalah keputusannya untuk mengeksploitasi penampakan habis-habisan yang seketika menyulap Danur tak ubahnya film horor generik. 

Alih-alih menaruh perhatian pada perkembangan karakter demi terbentuknya ikatan antara penonton dengan Risa maupun penonton dengan Peter, film lebih banyak menghabiskan waktunya untuk sekadar memikirkan trik menakut-nakuti penonton. Akibatnya, greget dalam alunan kisah pun tiada bisa dideteksi karena kita tidak pernah sekalipun terhubung lalu menaruh kepedulian kepada barisan karakternya. Sementara teror yang digeber nyaris saban menit, mula-mula sih berhasil saja karena Danur juga memiliki Shareefa Daanish yang bisa dikata jagoan dalam urusan menciptakan ekspresi yang bikin bergidik ngeri. Namun seperti halnya menyantap makanan dalam porsi berlebih, lama-lama kejenuhan tidak lagi terhindarkan sekalipun cita rasanya amat lezat. Terhitung sedari makin gemarnya Asih mejeng dengan berbagai pose di berbagai lokasi, film telah kehabisan tenaganya dan membuatnya cukup sulit untuk benar-benar bisa dinikmati. Kalaupun bisa dinikmati, itu disebabkan adanya serentetan unintentional comedy. Terornya berujung menggelikan yang mengundang derai tawa ketimbang menakutkan yang mengundang pekik ngeri. Dengan naskah dan pengarahan yang begitu lemah, jajaran pemain yang sejatinya telah bermain baik seperti Prilly Latuconsina maupun Shareefa Daanish urung menghadirkan atraksi akting yang maksimal. Tanpa adanya satupun sokongan kuat, potensi besar yang dipunyai Danur pun berakhir sia-sia belaka. Sungguh sangat disayangkan.

Note : Danur mempunyai adegan tambahan di sela-sela bergulirnya credit title. Jangan keburu-buru beranjak!

Acceptable (2.5/5)


REVIEW : DANUR
4/ 5
By
Add your comment