Tampilkan postingan dengan label 4.5 stars. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 4.5 stars. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

INCREDIBLES 2 (2018) REVIEW : Paket Liburan Keluarga Yang Seru

INCREDIBLES 2 (2018) REVIEW : Paket Liburan Keluarga Yang Seru

 
Bagi yang pernah menonton The Incredibles, terlebih bagi mereka yang saat itu menontonnya di tahun 2004, pasti akan sangat menantikan kelanjutan dari adegan dari terakhirnya. Setelah banyak pergantian tahun dan sekuel-sekuel dari film-film animasi Pixar lainnya, akhirnya Pixar sadar untuk memberikan jawaban atas adegan kota yang porak poranda di akhir The Incredibles. Berselang 14 tahun, bagi para penggemar The Incredibles tentu saja ini waktu cukup lama.

Sebuah pernyataan datang dari Brad Bird bahwa sekuel dari film ini tak ingin dibuat sembarangan. Oleh karena itu, Brad Bird membutuhkan waktu yang lama hingga akhirnya Incredibles 2hadir untuk menyapa penontonnya di tahun 2018 ini. Brad Bird mengumpulkan kembali nama-nama yang pernah mengisi suara keluarga Mr. Incredibles dan rekannya. Bahkan membuat sebuah karakter baru demi perkembangan cerita di Incredibles 2 yang lebih baik.

Meski memiliki jeda selama 14 tahun, Brad Bird memutuskan untuk tak melewati adegan terakhir di film The Incredibles. Di film Incredibles 2ini linimasa ceritanya akan langsung melanjutkan adegan terakhir di dalam film pertamanya. Brad Bird seakan mengetahui apa yang diinginkan oleh penontonnya untuk sekedar mendapatkan jawaban tentang akhir cerita tersebut. Usaha Brad Bird untuk menghadirkan sekuel yang pantas pun dijawab dengan mudah di Incredibles 2.


Brad Bird tak sembarangan dan tak aji mumpung untuk mengembangkan cerita sekuel dari The Incredibles. Dengan adanya permintaan sekuel, Brad Bird malah membuatnya dengan sangat hati-hati karena agar tak mengalami penurunan performa dibandingkan dengan film pertamanya. Di tengah gempuran film-film superheroyang sudah berdatangan, Incredibles 2mampu tampil sangat segar dan memberikan alternatif cerita superhero yang sangat bisa dinikmati oleh keluarga.

Incredibles 2 seperti memberikan pernyataan bahwa meski dalam format film animasi, film ini mampu untuk disandingkan dan masuk daftar film-film superhero terbaik yang pernah dibuat. Brad Bird sebagai penulis naskah bersama Pixarberusaha untuk memberikan kedewasaan bercerita yang khas. Incredibles 2 pun ikut menggunakan isu tentang perempuan agar memiliki relevansi dengan apa yang terjadi masa kini. Sehingga, Incredibles 2  kali ini akan berfokus kepada Helen Parr atau Elastigirl.

 

Incredibles 2 memperlihatkan problematika superhero perempuan yang diwakilkan oleh karakter Helen Parr atau Elastigirl (Holly Hunter) di dalam film ini. Superhero memang masih tak bisa beroperasi lagi, sehingga sebuah perusahaan bernama Devtech yang dipimpin oleh Winston Deavor (Bob Odenkirk) bersama saudara perempuannya, Evelyn Deavor (Catherine Keener) berusaha untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap superhero.

Mereka mengumpulkan Mr. Incredibles (Craig T. Nelson), Elastigirl, dan Frozone (Samuel L. Jackson) untuk bekerjasama. Winston dan Evelyn menunjuk Elastigirl untuk memimpin operasi ini sebagai uji coba agar kampanye yang dilakukan berhasil. Tentu saja hal ini mengubah kehidupan dari Mr. Incredibles atau Bob Parr. Dirinya pun harus melakukan pekerjaan rumah yang biasa dilakukan oleh istrinya. Mr. Incredibles pun harus berusaha dekat dengan anak-anaknya yaitu Violet (Sarah Powell), Dash (Huck Miller), dan si bungsu Jack-Jack (Eli Fucile).


Incredibles 2 sangat menyinggung isu tentang pekerjaan domestik yang biasa dilakukan oleh perempuan. Ini sangat relevan dengan kondisi masa sekarang di mana perempuan pun bisa memiliki pilihan untuk sejenak meninggalkan pekerjaan domestik demi melakukan hal yang mereka sukai. Pesan inilah yang diangkat dan disematkan kepada karakter Bob dan Helen Parr sebagai sepasang suami istri lewat Incredibles 2. Pun, pesan tentang perempuan ini disampaikan tanpa ada keberpihakan gender yang terlalu signifikan. Pintarnya pula, pesan berat ini bisa dikemas dan disampaikan dengan cara yang sangat ringan.

Pengarahan dari Brad Bird pun sebenarnya tak selamanya mulus. Paruh pertama, Brad Bird pun masih terasa ragu untuk menyampaikan ceritanya. Tetapi tak berlangsung lama, Brad Bird tahu bagaimana mengemas kisahnya yang berat dengan caranya yang pas. Incredibles 2masih mengetahui pangsa pasarnya adalah penonton anak-anak. Sehingga, pesan tersebut ditampilkan secara implisit dan tak terlalu membuatnya terlalu kelam.

Brad Bird tetap berusaha menjadikan Incredibles 2 sebagai sebuah film animasi yang bisa menyenangkan berbagai pihak mulai dari anak-anak hingga orang dewasa yang menemani mereka. Dengan tujuan tersebut, Incredibles 2pun memiliki comedic timing yang sangat pas dan sangat menghibur penontonnya.Jack-Jack lah pion yang digunakan untuk memberikan comedic timing di dalam film Incredibles 2.


Selain itu, pemberian porsi komedi ini juga dijadikan sebagai pengembangan karakter bagi sosok Jack-Jack yang di film pertamanya memiliki clue yang perlu dibahas di film keduanya. Begitu juga dengan karakter-karakter lainnya yang juga memiliki porsi yang juga sesuai. Fokus Incredibles 2yang membahas keluarga dengan cara lebih kental inilah yang membuat Incredibles 2 tampak begitu segar untuk dinikmati penontonnya.

Incredibles 2 juga memiliki villain dengan motif yang sangat kuat. Bagi yang sudah memiliki banyak referensi menonton, twist yang terjadi di Incredibles 2 mungkin tak akan semencengangkan itu. Tetapi, motif karakter penjahatnya yang kuat dan bagaimana Brad Bird mengarahkan karakter tersebut bisa membuat Incredibles 2 terlihat sangat matang.  Sebagai film animasi, jangan remehkan bagaimana Incredibles 2 mengemas adegan aksinya.

Ada detil warna dan pergerakan kamera yang benar-benar diperhatikan oleh Brad Bird sehingga Incredibles 2bisa tampil begitu kuat. Dengan durasinya yang mencapai 118 menit, Incredibles 2 tetap bisa menjaga tensinya dengan sangat baik. Penekanan Incredibles 2 telah masuk ke babak baru pun ditekankan lewat warna-warna yang lebih kelam tapi tetap eye-catching. Pun, komposisi musik latar yang luar biasa indah dari Michael Giacchino juga mampu memperkuat setiap menit dari film ini.


Lantas, Incredibles 2 bisa dikategorikan sebagai sebuah sekuel yang berhasil. 14 tahun penantian para penggemarnya terbayar lunas berkat performa pengarahan yang gemilang dari Brad Bird di Incredibles 2 ini. Meski tak bisa dibilang lebih baik dari yang pertama, tetapi Incredibles 2 berhasil memiliki performa yang sama bagusnya dengan film pertamanya. Incredibles 2 tak hanya menggunakan kekuatan nostalgianya saja, tetapi juga mampu berkembang menjadi sebuah paket liburan seru bagi seluruh anggota keluarga. Bahkan, bisa jadi menumbuhkan penggemar baru di era ini. Bagus sekali!

Selasa, 20 Maret 2018

LADY BIRD (2018) REVIEW : Memorabilia Masa Remaja yang Bersemangat

LADY BIRD (2018) REVIEW : Memorabilia Masa Remaja yang Bersemangat



Menggambarkan sebuah pengalaman tentang transisi remaja mungkin sudah pernah ada di dalam banyak film. Tema-tema seperti ini tentu sudah bukan lagi sebuah hal yang baru bagi perfilman Hollywood. Dinamika remaja yang terus berubah-ubah setiap waktu ini tetap saja menjadi topik yang masih sering dibicarakan apalagi dalam ranah tontonan alternatif Hollywood. Hal ini pula yang sedang berusaha disampaikan lewat Greta Gerwig dalam debut penyutradaraannya.

Greta Gerwig berusaha untuk membuat sebuah catatan kecil dalam bentuk visual tentang dirinya dan kota kecilnya dalam film Lady Bird. Naskah dari film Lady Bird ini juga ditulis sendiri oleh Greta Gerwig sehingga tentu film ini akan terasa sangat personal baginya. Diperankan oleh aktris yang tak main-main yaitu Saoirse Ronan dengan ditemani oleh nama-nama terkenal seperti Laurie Metcalf, Timothee Chalamet, dan beberapa nama lain.

Remaja tentu punya banyak cerita, dinamika kehidupan mereka pun masih sangat bergairah. Bahkan sering kali semangat mereka terlalu meluap untuk selalu membenci kehidupan mereka. Greta Gerwig berusaha untuk menampilkan dinamika remaja seperti ini di dalam Lady Bird. Keinginan seorang remaja yang terkadang terlalu muluk ini terwakili dengan baik lewat karakter Christine yang diperankan oleh Saoirse Ronan.


Digarap dengan personal bukan berarti Lady Bird pada akhirnya tak bisa dinikmati dengan jangkauan yang lebih luas. Lady Bird tentu bisa mewakili bagi mereka yang pernah mengalami hal serupa. Ingin merasakan indahnya dunia tanpa memperhatikan kondisi yang ada di sekitar mereka. Menjadi remaja yang selalu merasa hidupnya serba kekurangan dan membencinya karena diri mereka terlalu egois untuk mengakui dan bersyukur atas apa yang mereka punya.

Greta Gerwig bisa menyajikan catatan kecil tentang hidupnya ini sebagai memorabilia bagi siapa saja yang pernah remaja saat menonton film ini. Rasa jujur dan sederhana inilah yang berusaha ingin ditunjukkan oleh Greta Gerwig di dalam debut penyutradaraannya. Emosi dalam Lady Bird ini sangat kuat tetapi tak berusaha terlihat meletup-letup inilah yang akan jarang ditemui di dalam film bertema serupa. Sehingga tak salah apabila Greta Gerwig patut untuk dinominasikan dengan sutradara lainnya dalam Oscars 2018 ini.


Menceritakan tentang seorang remaja perempuan bernama Christine McPherson (Saoirse Ronan) yang sedang mengalami transisi di dalam kehidupan remajanya. Di akhir tahun sekolahnya, Christine ingin melanjutkan sekolah ke universitasnya memiliki lingkungan dengan jangkauan yang lebih luas. Tetapi sayangnya, hal ini tidak disetujui oleh sang ibu, Marion McPherson (Laurie Metcalf). Tentu saja ini membuat Christine harus sering berdebat hebat dengan Ibunya setiap saat.

Meskipun problematika utamanya adalah kondisi keluarga mereka yang serba kekurangan, Christine tetap seorang remaja perempuan yang tak mau mengalah. Perempuan yang biasa menyebut dirinya Lady Bird ini tetap memaksakan kehendaknya untuk bisa bersekolah di daerah yang lebih memiliki budaya. Berbagai cara dilakukan oleh Christine agar dia mendapatkan rekomendasi untuk bersekolah di tempat yang dia inginkan.


Lady Bird bisa menjadi sebuah gambaran tentang kehidupan masyarakat menengah ke bawah dan cara-cara mereka berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya. Betapa mereka sangat memimpikan kemapanan yang ternyata harus bertabrakan dengan realita mereka sendiri. Sehingga, dalam film Lady Birdini bisa menjadi sebuah kontemplasi bagi mereka yang ada di dalam kelas tersebut untuk selalu bisa bersyukur dengan keadaan. Tetapi mereka pun tetap bisa berusaha untuk mewujudkan mimpi tentang kemapanan mereka menjadi nyata.

Pun, Lady Bird adalah sebuah surat cinta bagi mereka yang sedang berusaha bermigrasi ke tempat yang dirasa lebih baik. Pengarahan dari Greta Gerwig bisa menangkap maksudnya tanpa ada pretensi apapun ataupun memiliki pesan-pesan ambisius di dalam filmnya. Inilah yang membuat Lady Bird punya citarasa yang berbeda dibandingkan dengan film-film bertema serupa. Lady Bird berusaha menyajikan apa adanya dinamika kehidupan remaja yang terkadang emosinya pun masih tak stabil.

Hal ini tergambar jelas dengan bagaimana performa Saoirse Ronan sebagai Christine “Lady Bird” McPherson. Saoirse Ronan mengeluarkan pesona terbaiknya dengan menjadi sosok remaja labil dengan range emosi yang sangat luas. Perpindahan karakter Christine yang sangat cepat membuat penontonnya merasa bahwa mereka memang sedang benar-benar menyaksikan dinamika kehidupan remaja yang sebenarnya di sekitar mereka.


Hal ini pun didukung oleh performa yang sangat luar biasa dari Laurie Metcalf yang mampu menerjemahkan arti pemeran pendukung dengan baik. Laurie Metcalf berhasil meyakinkan penonton bahwa dirinya adalah Ibu asli dari Saoirse Ronan. Memerankan karakter yang dapat mengontrol pemeran utamanya tanpa perlu harus berusaha mendominasi. Kedua pemeran inilah yang juga menjadi kunci utama dari presentasi Lady Bird selama 94 menit.

Greta Gerwig punya sensitivitasnya sebagai seorang sutradara yang mampu membuat filmnya yang sederhana ini bisa menempel di benak penontonnya. Greta Gerwig menyalurkan emosi dalam hatinya tentang kerinduannya akan kota kelahirannya dengan sangat baik kepada penontonnya. Sehingga, di akhir film, penonton akan diberikan sebuah perjalanan montage kecil tentang kota kelahiran Christine yang sederhana namun berhasil memberikan dampak emosional yang sangat luar biasa besar.


Sehingga pada akhirnya Lady Birdtentu bisa jadi sebuah catatan kecil bagi mereka yang jauh dengan rumah asli mereka. Digambarkan dengan berbagai cara yang sangat menyentuh dan komedi-komedi sarkastik yang muncul di saat-saat yang tepat. Pun, Lady Bird juga bisa menjadi sebuah memorabilia masa remaja yang penuh akan rasa keegoisan yang meluap-luap dan semangat yang menggebu-gebu untuk meraih apa yang diinginkan. Juga, masa remaja yang penuh akan jatuh bangun dalam menjalani hari-hari.

Selasa, 13 Maret 2018

BLACK PANTHER (2018) REVIEW : Genre Superhero dan Urgensinya Tentang
Representasi dalam Media

BLACK PANTHER (2018) REVIEW : Genre Superhero dan Urgensinya Tentang Representasi dalam Media


Menjajaki fasenya yang semakin dekat dengan akhir dari fase ketiganya, Marvel menawarkan sebuah representasi lain dari sosok manusia super. Berasal dari manusia super yang kedatangannya hanya muncul sebagai cameo di dalam Captain America : Civil War, Black Pantherpada akhirnya dikagumi oleh banyak orang. Tentu, tak sedikit orang yang menginginkan superhero yang masih dalam kategori baru ini memiliki filmnya sendiri.

Maka, untuk menyanggupi kemauan penonton, Black Panther hadir memiliki filmnya sendiri untuk disaksikan oleh banyak orang di dunia. Menggaet sutradara handal yang pernah mengarahkan film-film kecil seperti Fruitvale Station dan Creed, Ryan Coogler. Tentu, Black Panther tak hanya sekedar film yang hadir sebagai kemauan Marvel mengenalkan produk superhero baru dalam ranah sinematik. Tetapi juga sebagai jawaban atas representasi yang ada di dalam film-film serupa di Hollywood.

Minimnya representasi yang tepat atas kaum people of color, menjadikan Black Panther sebagai sebuah mega hit blockbuster yang rilis di bulan Februari dengan pencapaian yang sangat fantastis. Mendulang sukses dalam segi kuantitas ternyata juga berbanding lurus dengan kualitas yang dihasilkan oleh Ryan Coogler di dalam film Black Panther. Film ini mendapatkan pujian yang sangat luar biasa baik dari kritikus maupun dari pencinta film.


Black Panther main tak hanya dalam memuaskan ranah politik minoritas yang menjadi isu terkuat di luar sana. Sejatinya, sebagai sebuah film manusia super, Black Panther benar-benar memberikan sebuah hal yang baru di dalam filmnya. Tak sekedar menunjukkan Black Panther sebagai sosok superheroyang baru, tetapi juga memberikan pendekatan baru dalam kemasannya. Sehingga, Black Panther tentu adalah sebuah euforia bagi pecinta adaptasi komik manusia super sekaligus sebuah pesta representasi yang tepat.

Tak seperti Thor : Ragnarok, Spider-Man : Homecoming, maupun Guardians of the Galaxy yang hanya mengemas formula usangnya dengan cara mengutak-atik genre-nya, Black Panther bermain jauh daripada itu. Film superhero arahan Ryan Coogler ini memasukkan unsur budaya yang kental sehingga bisa memberikan nuansa yang sangat berbeda di film-film superheroyang ada, bahkan untuk jajaran film Marvel sendiri. Meskipun, sebenarnya Black Panther tetap bermain di ranah-ranah cerita yang sudah pernah dipakai dalam film-film bertema medieval.


Wakanda, sebuah negara yang didiami ini telah memiliki rajanya hingga suatu ketika sang raja meninggal. T’Challa (Chadwick Boseman) sebagai anak lelaki dari sang raja tentu secara tak langsung mewarisi tahta tertinggi di Wakanda. Tetapi, keberadaan T’Challa pada awalnya sangat diragukan untuk menjadi raja. Beberapa pihak masih belum terima bahwa T’Challa mampu untuk memimpin Wakanda yang terdiri dari berbagai suku dan budaya yang berbeda.

Kepantasannya sebagai seorang raja diuji dengan adanya Vibranium yang sedang diincar oleh banyak pihak yang ingin menyalahgunakan kegunaannya. T’Challa pun pergi memburu orang tersebut dibantu oleh Okoye (Danai Gurira) dan Nakia (Lupita Nyong’o). Tetapi, orang-orang yang sedang memburu Vibranium tersebut memiliki satu benang merah ke satu orang bernama Erik Killmonger (Michael B. Jordan) yang ternyata adalah seseorang dari masa lalu negara Wakanda ini.


Perebutan tahta dan kekuasaan yang terjadi kepada T’Challa mungkin sudah pernah dialami oleh beberapa karakter di dalam film-film dengan genre yang berbeda. Bahkan yang paling dekat adalah plot utama dari Thor yang membahas tentang mitos-mitos kerajaan yang mungkin sama. Perbedaannya adalah bagaimana Ryan Coogler memberikan identitas bagi filmnya sehingga memiliki sentuhan yang berbeda dengan film-film superhero yang ada.

Adanya nilai-nilai etnis yang sangat beragam dan begitu kental masuk ke dalam film Black Panther. Membaur menjadi satu dengan plot utamanya sehingga menghasilkan perpaduan menarik yang membuat Black Panther memiliki cita rasa yang lebih signifikan berbeda dengan yang lain. Representasi yang tepat akan kekuatan people of color yang juga bisa memiliki kehidupan yang layak dengan orang-orang yang ada di sekitarnya ini terangkum dengan kemasan yang sangat menyenangkan.

Tak ada pretensi dalam Black Panther untuk menjadi sebuah film yang penuh akan muatan pesan dan perwakilan yang berat. Ryan Coogler masih tahu porsinya dan ingat bahwa Black Panther bukanlah drama satir dengan muatan pesan yang kuat seperti film-film yang pernah dia tangani sebelumnya. Dengan berbagai kekentalan budaya dan representasi yang tepat tersebut, Black Panther masih menjalankan misinya sebagai film manusia super yang layak untuk dikonsumsi semua pihak. Tetapi, masih memiliki signature khas dari Ryan Coogler yang berusaha memberikan urgensi representasi dalam media tentang people of color


Mungkin perjalanan cerita di paruh awal tak semulus yang dibayangkan banyak orang. Begitu pula dengan sekuens aksinya yang mungkin masih patah sehingga ada beberapa yang tensinya tak terjaga. Ryan Coogler menempatkan tensinya ke dalam kekuatan emosional bercerita tentang rumitnya perebutan tahta yang ada di Wakanda. Ini mungkin secara tak sadar membuat konfliknya terulur tetapi sesuai dengan kerumitan yang memang ditawarkan ke dalam konfliknya.

134 menit di dalam film Black Panther pun secara efektif terjalin dengan baik mulai dari performa deretan pemainnya hingga permainan gambar serta musik yang sangat dikelola dengan baik. Injeksi komedinya memang tak sebanyak Thor : Ragnarok, tetapi memiliki keefektifan yang maksimal untuk menghibur penontonnya. Tak juga lupa nilai dan desain produksi di dalam Black Panther yang diperhatikan dengan sangat detil. Sehingga, setiap karakternya memang sejatinya memiliki identitasnya masing-masing. Penonton akan dengan mudah membedakan setiap karakternya.


Black Panther memang hadir untuk menjadi sebuah pesan bagi khalayak tentang pentingnya sebuah representasi dalam media terlebih terhadap kaum people of color. Lewat film Black Panther, pesan ini seharusnya bisa secara efektif menimbulkan perilaku signifikan dari penonton dengan realita yang ada. Misinya memang sangat berat tetapi nyatanya sebuah pesan tentang representasi ini bisa dikemas semenarik mungkin untuk bisa diterima dan bahkan menghibur penontonnya. Sebuah perpaduan yang menarik. 

Minggu, 17 Desember 2017

COCO (2017) REVIEW : Journey to Find Meaning of Hope and Family

COCO (2017) REVIEW : Journey to Find Meaning of Hope and Family


Film-film Pixar biasanya memiliki pendekatan yang lebih menarik dan unik dibandingkan dengan film-film animasi lainnya. Mulai dari tema dan desain animasi yang jauh memiliki karakter dan inovasi di setiap filmnya. Sehingga, tak salah apabila film-film milik Disney Pixar ini akan selalu dinantikan oleh penonton baik fans maupun penonton biasa. Juga, memiliki cara bercerita yang memiliki intensitas emosional yang luar biasa besar.

Pixar kembali hadir di tahun 2017 ini setelah di bulan Agustus lalu, Cars 3 sudah menyapa penontonnya. Kali ini Pixarkembali dengan sebuah cerita baru yang diangkat dari sebuah kebudayaan meksiko, Dia de Muertos. Cerita dengan mengungkit budaya meksiko ini sudah pernah dihadirkan oleh Dreamworks Animation lewat film animasi underrated-nya berjudul The Book of Life. Sehingga, tak salah bagi orang awam yang tak tahu tentang budaya ini menganggap bahwa proyek teranyar dari Pixar ini menyomot dari The Book of Life.

Proyek terbaru dari Pixarini diberi judul Coco. Dengan latar budaya yang sama, dari trailer pun sebenarnya Coco dan The Book of Lifememiliki dasar cerita yang sangat berbeda. Cocoini diarahkan oleh sutradara dari Toy Story 3, Lee Unkrich. Di jajaran pengisi suara, lagi-lagi Pixar tak memiliki deretan yang sangat luar biasa tetapi tentu pengisi suaranya akan bisa menghidupi setiap karakter animasinya dengan baik. 

 

Di tangan Lee Unkrich, Cocotak hanya hidup sebagai sebuah film animasi yang menyenangkan untuk ditonton untuk segala usia. Lee Unkrich kembali menghadirkan rasa magisnya yang pernah dia salurkan lewat film Toy Story 3yang sangat luar biasa itu. Cocodengan segala kompleksitas ceritanya dan penggunaan setting budaya yang sesuai bisa memberikan penontonnya sebuah pengalaman sinematis yang sangat emosional di akhir film.

Lee Unkrich mengarahkan kisah Miguel dengan segala cara dan upayanya meraih mimpi dengan akumulasi emosi yang sangat kuat di sepanjang durasi. Sehingga, ketika adegan kunci di dalam film ini muncul, penonton dengan sukarela menitihkan air matanya dengan titik emosional sudah sampai puncak. Tetapi, Lee Unkrich juga tetap tak bisa melupakan bahwa Coco sebagai film animasi punya misi untuk menyenangkan penonton anak-anak. 


Coco menceritakan tentang seorang anak kecil bernama Miguel (Anthony Gonzalez) yang hidup di sebuah keluarga yang melarangnya untuk bermain musik karena ada trauma di masa lalu. Tetapi, Miguel punya ketertarikan untuk bermain musik di dalam dirinya dan sangat mengidolakan Ernesto de la Cruz (Benjamin Bratt). Hingga suatu saat, dia ingin mengikuti kompetisi bermusik yang diadakan di sebuah alun-alun kota.

Keinginan Miguel ini sangat besar hingga suatu ketika dia harus melawan seluruh anggota keluarganya agar tetap bisa bermain musik. Sadar dirinya tak memiliki gitar untuk dimainkan, Miguel mencuri gitar pusaka miliki Ernesto de la Cruz yang diletakkan di dalam makamnya. Di saat Miguel mencuri gitar tersebut, dia ternyata terjebak di sebuah dunia orang mati. Miguel pun harus mencari cara agar dirinya bisa kembali lagi ke dunianya. 


Pengarahan yang cukup kuat oleh Lee Unkrich adalah kunci bagaimana Coco bisa berhasil membawakan tema tentang mimpi dan keluarga dengan sangat baik. Coco tampil dengan 104 menit penuh akan petualangan seru mencari arti tentang kedua tema tersebut dengan menjadikan musik sebagai penghubung ceritanya. Tak hanya sekedar sebagai pemanis filmnya, tetapi musik juga menjadi sebuah arc story sendiri yang berkesinambungan dan sekaligus menjadi nyawa dari Coco secara keseluruhan.

Tetapi, beginilah Pixaradanya, plot cerita tentang mimpi, musik, dan keluarganya tak berjalan lurus-lurus saja. Menyuguhkan sebuah kisah sampingan yang akan membuat penontonnya tercengang karena ada sedikit pendekatan cerita yang membuat film ini sedikit terasa kelam. Hal itu mungkin tak akan terasa begitu signifikan untuk penonton yang sudah dewasa. Tetapi, subplot satu ini akan butuh waktu sendiri bagi penonton kecil yang sedang menikmatinya. Sehingga, perlu bagi orang dewasa untuk siap-siap menjawab pertanyaan si kecil dengan sangat bijaksana.

Hal itu tak menjadi sebuah masalah berarti, karena Coco masih punya banyak adegan-adegan seru yang menyertai perjalanan Miguel di dunia orang mati. Meskipun setting tempatnya yang berada di dunia orang mati, tetapi visualisasi Coco adalah sebuah visual yang sangat imajinatif, indah, dan memiliki warna yang membuat mata tercengang. Sehingga, segala kesan menyeramkan tentang dunia orang mati bisa lebih bersahabat bagi segala rentang usia penontonnya. Pun, ada beberapa comic relief yang berhasil muncul lewat karakter animasinya bernama Dante. 


Sehingga, kisahnya yang kelam di beberapa bagian ini berhasil diimbangi dengan segala gelak tawa dan petualangan-petualangan seru beserta musik-musik yang indah. Coco berhasil menjadi sebuah film Pixar penuh keseruan tetapi tak melupakan jati dirinya sebagai produk hasil Pixar yang punya sesuatu yang berbeda dibanding dengan film-film animasi lainnya. Dan arahan Lee Unkrich yang sangat emosional, persembahan sebuah lagu berjudul “Remember Me” di dalam film ini akan selalu dikenang dengan perasaan haru dan hangat.

Kamis, 09 November 2017

THOR : RAGNAROK (2017) REVIEW : The Edgy Look of Marvel's Superheroes
Film

THOR : RAGNAROK (2017) REVIEW : The Edgy Look of Marvel's Superheroes Film


Fase ketiga dari Marvel Cinematic Universe akan segera berakhir. Maka, superhero selanjutnya yang perlu untuk dapatkan perhatian lebih adalah Thor. Setelah terakhir kali memiliki filmnya sendiri di tahun 2014, Thor : The Dark World menjadi elemen Marvel Cinematic Universe paling lemah di fase kedua setelah Iron Man 3. Lalu, Thor absen memiliki filmnya sendiri meski dia adalah salah satu manusia super penting dalam deretan Avengers.

Hingga tiba di tahun 2017, di mana semua orang telah menantikan film dari dewa petir satu ini. Taika Watiti memiliki wewenang untuk mengarahkan film ketiga dari Thor ini. Dengan memasuki fase ketiga dari Marvel Cinematic Universe, tentu saja Thor akan memiliki kompleksitas yang jauh lebih banyak ketimbang kedua film sebelumnya. Hingga masuklah sebuah terminologi nordik tentang kehancuran di dalam sub judul filmnya.

Thor : Ragnarok menjadi judul resmi dari film ketiga dari Thor. Dari beberapa trailer yang sudah dirilis, Thor : Ragnarok memberikan sebuah film superhero yang jauh lebih nyentrik dibandingkan dengan beberapa film superhero Marvel yang ada. Sehingga, Thor : Ragnarok telah memiliki ekspektasi sendiri dari penonton yang menjadi tugas bagi sang sutradara untuk dipenuhi. Maka, bersiaplah Taika Watiti akan memberikan sebuah pengalaman film superhero Marvel yang lebih eksentrik.


Marvel Cinematic Universe berusaha untuk menyajikan sesuatu yang berbeda dari satu film ke film lainnya. Terlebih, MCU sudah memasuki fase ketiga di mana orang-orang butuh merasakan perubahan. Thor : Ragnarok pun berubah dalam presentasi akhir filmnya dengan kadar comedic timing yang jauh lebih banyak. Hal ini tentu berpengaruh dari bagaimana rekam jejak dari sutradaranya yaitu Taika Watiti.

Jika pernah menyaksikan film-film Taika Watiti sebelumnya, mulai dari What We Do In The Shadows dan Hunt For The Wilderpeople, tentu tak akan kaget dengan perubahan yang terjadi di Thor : Ragnarok. Sosok Thor telah menjadi ikon komedi sejak kemunculan di Avengers dan jika memperhatikan short movie Team Thor Part 1 dan 2 tentu akan bisa mengantisipasi hal ini akan terjadi. Thor : Ragnarok pun sebenarnya punya dasar cerita yang sangat kelam tetapi Taika Watiti bisa mengolahnya menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan untuk ditonton.


Inilah Thor : Ragnarok yang menceritakan tentang Thor (Chris Hemsworth) yang kembali ke Asgard dan harus menemui takdirnya yang tak lagi mujur. Ramalan buruk tentang kehancuran Asgard harus dia hadapi, terlebih ketika Hela (Cate Blanchett) mulai melancarkan serangan. Thor harus jatuh dan kalah dalam pertarungannya dengan Hela sehingga membuatnya terjatuh di planet lain.

Di planet tersebut, Thor disandera oleh Grandmaster (Jeff Goldblum) dan membuatnya harus bertarung dengan Hulk (Mark Rufallo). Mengetahui Thor harus bertarung dengan Hulk, dirinya harus mencari cara agar bisa keluar dari planet tersebut dan menyelamatkan Asgard dari serangan Hela yang semakin menjadi-jadi. Lantas, dia meminta bantuan Valkyrie (Tessa Thompson) bahkan Loki (Tom Hiddleston) untuk bisa melawan Hela kembali.


Menceritakan tentang kehancuran dengan porsi yang lebih masif, Thor : Ragnarok sebenarnya bukan sebuah film superhero dengan penuh senang-senang. Thor : Ragnarok adalah sebuah film dengan story device yang sangat kelam. Tetapi pintarnya, Taika Watiti berusaha keras agar Thor tak menjadi sebuah sajian yang terlalu serius sehingga lupa untuk bersenang-senang. Sehingga, banyak sekali dosis komedi yang disuntikkan oleh Taika Watiti di dalam Thor : Ragnarok.

Hanya saja, komedi yang disajikan dalam Thor : Ragnarok ini memiliki kadar kesegaran yang jauh lebih besar. Mereka tak hanya asyik sendiri, tetapi penonton juga bisa merasakan kesenangannya sehingga dengan durasi yang mencapai 130 menit penonton tak merasa keberatan. Taika Watiti menampilkan kekhasannya dalam mengarahkan sebuah film. Sehingga, Thor : Ragnarok menampilkan sebuah film manusia super dengan gaya nyentrik dan sangat berbeda dengan film-film Marvel Cinematic Universe sebelumnya.

Meski begitu, Taika Watiti tak lupa dengan plot-plot seriusnya yang perlu untuk diperhatikan lebih. Sehingga, penonton tak perlu takut untuk terdistraksi antara plot film dengan sajian komedi yang tampil dengan porsi yang jauh lebih besar. Perkembangan setiap karakter di dalam film ini juga diolah dengan baik. Meski memiliki karakter-karakter baru, tetapi Taika Watiti dengan pintar menceritakan karakter memiliki alasan-alasan yang kuat untuk tampil.


Tentu, tak perlu khawatirkan tentang visual efek yang ada di dalam Thor : Ragnarok. Semua tampil dengan warna-warna yang lebih edgy dan terlihat sangat kontras tetapi tak terlihat norak. Sehingga, apa yang tampil dalam Thor : Ragnarok adalah pengalaman sinematik milik Marvel yang tak pernah penonton lihat sebelumnya. Diwarnai dengan musik-musik eksentrik yang menjadi jawaban bagi fans Marvel yang menginginkan sebuah musik yang ikonik di dalam filmnya.

Perpaduan tembang film Led Zeppelin berjudul ‘Immigrant Song’ hadir dengan harmonisasi adegan yang pas. Sebuah adegan pertarungan di dalam Thor : Ragnarok hadir dengan jauh lebih berkesan dengan tembang dalam lagu tersebut. Pun, dihiasi dengan visual efek yang jauh lebih bombastis yang semakin memperkuat pengalaman sinematik penontonnya dalam menyaksikan Marvel Cinematic Universe yang telah memasuki fase ketiganya.

 
Sehingga, bagi Anda yang menghawatirkan dengan bagaimana Thor : Ragnarok yang penuh akan komedi, buang kekhawatiran itu. Meski memang Thor : Ragnarok memiliki suntikan komedi yang jauh lebih besar, tetapi Taika Watiti mengemas komedi tersebut dengan gayanya yang sangat quirky tetapi tetap bisa dinikmati oleh siapapun. Sehingga, Thor : Ragnarok menjadi sebuah film yang tak hanya berbeda dari film Thor sebelumnya, tetapi juga berbeda di dalam deretan Marvel Cinematic Universe yang telah memasuki fase ketiganya. 

Minggu, 08 Oktober 2017

PENGABDI SETAN (2017) REVIEW : Gubahan Baru Legenda Film Horor Indonesia

PENGABDI SETAN (2017) REVIEW : Gubahan Baru Legenda Film Horor Indonesia



Inilah film horor terseram sepanjang masa yang diakui oleh beberapa pihak, Pengabdi Setan. Film ini dirilis pada tahun 1981 dan menjadi sebuah budaya pop Indonesia yang melekat. Banyak sekali orang yang membicarakan film ini yang sangat berhasil membuat setiap orang pada zamannya mendapatkan mimpi buruk paska menonton film ini. 37 tahun berselang, Pengabdi Setan mendapatkan kesempatan untuk dibuat ulang dan siap menghantui penonton di era milenial.

Joko Anwar yang telah bernegosiasi selama bertahun-tahun, akhirnya di tahun 2017 ini berhasil mendapatkan kesempatan untuk mengarahkan Pengabdi Setan yang baru ini. Sehingga, film ini jelas mendapatkan banyak sekali sorotan, terlebih bagi mereka yang telah menggantungkan keberhasilan film ini karena nama Joko Anwar yang terlibat di dalamnya. Tara Basro, Endy Arfian, Bront Palare, Dimas Aditya, dan nama-nama lainnya berhasil digaet oleh Joko Anwar di dalam proyek film ini.

Akan berat memang tanggung jawab dari Joko Anwar untuk menceritakan ulang Pengabdi Setan yang sesuai dengan versinya. Selain kredibilitasnya sebagai seorang sutradara, pamor dari film lamanya sendiri akan mempengaruhi penilaian penonton untuk membuktikan uji kelayakannya. Mengingat Joko Anwar pun pernah mengarahkan sebuah film horor pendek berjudul Grave Torture  dan rekam jejak film lainnya yang dekat genrenya, maka kepercayaan penonton terhadap presentasi Pengabdi Setan akan semakin tinggi.


Tak ada salahnya memang untuk percaya kepada Joko Anwar terhadap interpretasinya dalam menceritakan ulang Pengabdi Setan. Joko Anwar sebagai sutradara berhasil menyuguhkan sebuah film horor Indonesia yang sangat segar dan berhasil menumbuhkan mimpi buruk lama yang menyarang di otak penontonnya berhari-hari. Pengabdi Setan terbaru milik Joko Anwar ini berhasil memberikan sebuah standar baru yang sangat tinggi di film horor Indonesia.

Pengabdi Setan milik Joko Anwar ini memang bukan sekedar sebuah adaptasi film horor lama dengan cara yang malas. Joko Anwar tak serta merta menyadur dan memindahkan adegan demi adegan di film lama ke dalam proyek film terbarunya. Film ini berhasil memberikan kekayaan dalam menuturkan cerita, karakter, dan alasan-alasan dalam konfliknya yang membuat penontonnya berhasil menemukan jawaban di dalam konfliknya, bukan sekedar menakut-nakuti seperti film horor Indonesia pada umumnya. 


Dasar cerita Pengabdi Setan milik Joko Anwar ini masih memiliki kesamaan dengan film lamanya. Sebuah keluarga yang terkena teror setelah Ibu (Ayu Laksmi) mereka meninggal karena sudah sakit berkepanjangan. Rini (Tara Basro), Toni (Endy Arfian), Bondi (Nasar Annuz), dan Ian (Muhammad Adhiyat) hanya tinggal bersama Bapak (Bront Palare). Ketika sang bapak berusaha untuk mencari cara agar bisa membiayai keluarganya, teror datang menghampiri mereka.

Satu persatu anggota keluarga yang ada di dalam rumah tersebut mendapatkan teror yang semakin menjadi-jadi setiap harinya. Pada awalnya mereka tak menggubris teror-teror yang berdatangan tersebut. Mereka tetap tak menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan mereka agar bisa merasa tenang selama hidupnya. Hingga pada suatu hari mereka menemukan sebuah fakta bahwa arwah-arwah tak tenang ini adalah sosok Ibu mereka yang telah meninggal. 


Pengabdi Setan milik Joko Anwar ini bukan sekedar menyalin secara menyeluruh dan tak diolah lagi dari film terdahulunya. Apa yang dilakukan oleh Joko Anwar ini sebenarnya adalah berusaha untuk menginterpretasikan apa yang ada di dalam plot film terdahulunya. Meski dengan dasar cerita yang sama, tetapi Joko Anwar berhasil memperkaya apa yang tak ada di dalam film sebelumnya. Mengekspansi dunia yang ada di Pengabdi Setan terdahulu agar bisa memperkuat setiap alasan konflik dan pengembangan setiap karaktenya.

Inilah yang membuat Pengabdi Setan menjadi sebuah film horor yang begitu kuat, bahkan bisa dibilang melampaui film pendahulunya. Pengabdi Setan terbaru ini tak hanya menonjolkan bagaimana filmnya bisa menakut-nakuti penontonnya, tetapi juga mempertimbangkan bagaimana setiap plotnya bisa bergerak. Membangun dasar cerita yang kuat sehingga menimbulkan alasan-alasan yang logis, memberikan elemen keluarga yang berhasil memberikan simpati penonton kepada setiap karakternya dan hal ini berpadu sempurna agar bisa memberikan horor atmosferik yang sangat kuat.

Misteri demi misteri akan tersebar di setiap menit film ini. Penonton tak sekedar menunggu untuk ditakut-takuti, melainkan penonton pun mulai ikut berinterpretasi tentang apa yang akan terjadi selanjutnya di dalam film ini. Hal ini efektif untuk membuat penonton ikut aktif mencari apa yang akan terjadi selanjutnya sekaligus memberi atmosfir yang mencekam sepanjang film. Dengan begitu, penonton akan siap-siap mendapatkan sebuah mimpi buruk setelah menonton film ini. 


Atmosfir mencekam sepanjang film yang dibangun begitu kuat akan memaksimalkan jump scares yang disiapkan begitu rapat oleh Joko Anwar. Sehingga, efeknya akan membuat penonton film ini berhasil teriak kencang ataupun terlonjak dari kursi bioskopnya. Ini juga dimaksimalkan lewat berbagai dukungan teknis yang tak digarap sembarangan. Mulai dari tata artistik, tata suara, hingga tata sinematografi benar-benar diperhatikan sehingga menimbulkan sebuah pengalaman menonton film horor Indonesia yang akan berbeda dengan film horor kebanyakan.

Ini yang akan jarang ditemui oleh penikmat film horor Indonesia. Di kala kebanyakan film horor Indonesia begitu sibuk menakut-nakuti penonton tanpa memperhatikan plot cerita yang generik, Pengabdi Setan memberikan fokus yang berbeda. Joko Anwar membuktikan bahwa horor sebagai salah satu genre di dalam film berhak mendapatkan cerita yang kuat dan tak generik. Juga, Joko Anwar dapat memperjuangkan hak penonton film horor yang butuh asupan segar dan berkualitas saat menonton. 


Dengan berbagai macam paradigma tentang film horor Indonesia mulai dari penuh adegan sensual hingga penuh cara menakut-nakuti yang murahan, Pengabdi Setan berhasil mengembalikan citra film horor Indonesia dan bahkan menetapkan standar yang sangat tinggi untuk film horor lainnya. Sebuah interpretasi yang begitu visioner dan kuat dari Joko Anwar yang membuat 104 menit Pengabdi Setan memiliki teror horor yang sangat maksimal. Bahkan, apa yang dilakukannya berhasil melampaui apa yang ditawarkan film orisinilnya. Salah satu film horor terseram di Indonesia, Predikat ini pantas mereka pegang!

Sabtu, 15 Juli 2017

FILOSOFI KOPI 2 : BEN & JODY (2017) REVIEW : Revisi Nilai Hidup Untuk
Sebuah Kedai Kopi

FILOSOFI KOPI 2 : BEN & JODY (2017) REVIEW : Revisi Nilai Hidup Untuk Sebuah Kedai Kopi

 
Kisah pendek yang diambil dari Dewi Lestari ini telah dibudidayakan menjadi sebuah produk yang namanya sudah mahsyur. Selain film, produk dari Filosofi Kopi ini diabadikan menjadi sebuah kedai kopi yang nyata. Dengan adanya konsistensi itu, tak akan kaget apabila film yang diarahkan oleh Angga Dwimas Sasongko ini akan mendapatkan sekuel sebagai perlakuan selanjutnya. Tentu, kekhawatiran akan muncul karena cerita pendek dari Filosofi Kopi pun hanya berhenti di satu sub bab yang telah dibahas di film pertamanya.

Sayembara muncul ditujukan kepada semua orang untuk membuat kisah lanjutan dari Ben dan Jody ini. Sayembara ini sekaligus memberikan bukti kepada semua orang bahwa Filosofi Kopi tetap menjadi film yang terkonsentrasi dari penonton seperti film pertamanya. Yang jelas, Angga Dwimas Sasongko tetap mengarahkan Chicco Jericho dan juga Rio Dewanto sebagai Ben dan Jody. Angga Dwimas Sasongko pun berkontribusi dalam pembuatan naskah dari cerita terpilih yang ditulis oleh Jenny Jusuf serta M. Irfan Ramli.

Meski tetap dipegang oleh sutradara dan orang-orang yang sama, sekuel dari Filosofi Kopi ini pun cukup membuat penonton khawatir. Ketakutan Filosofi Kopi 2 dengan subjudul Ben & Jody ini memunculkan penyakit dari film-film sekuel yang bisa saja jatuh dan tak sebagus film terdahulunya. Juga, kurang adanya urgensi di dalam latar belakang ceritanya yang dapat mendukung apa yang ditampilkan di layar. Tetapi percayalah dengan Angga Dwimas Sasongko, karena Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody tetap akan memikatmu dengan manis dan pahit kisahnya seperti kopi di pagi hari.

Ada formula yang diulang di dalam Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody ini di dalam ceritanya. Tetapi, fokus cerita yang ada di Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody ini tak lagi mengenai bagaimana Filosofi Kopi sebagai kedai kopi ternama, melainkan tentang ranah domestik dalangnya. Menggali lagi personifikasi yang muncul dalam Filosofi Kopi yang dikonsumsi oleh penikmatnya. Sehingga, muncul problematika yang di film keduanya ini jauh memiliki nilai yang lebih personal dibanding film pertamanya. 

Rasanya tidak relevan membandingkan film keduanya ini dengan film pertamanya. Dengan konflik cerita yang lebih personal, tentu tujuan yang berusaha dicapai oleh Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody ini juga pasti akan berbeda. Dengan adanya nilai yang lebih personal di dalam konflik ceritanya, mungkin inilah yang membuat Filosofi Kopi 2 memberikan tambahan nama karakternya –Ben dan Jody –sebagai sub judulnya. Apabila dalam film pertamanya menggunakan kopi sebagai medium refleksi, di film keduanya ini menggunakan Kedai Kopi sebagai medium berkontemplasi atas filosofi hidup mereka sendiri.  


Melanjutkan kisah Filosofi Kopi pertama di mana Ben (Chicco Jericho) dan Jody (Rio Dewanto) yang sudah menjual kedainya dan memilih berjualan keliling Indonesia menggunakan Kombi. Setelah lama berkeliling menggunakan kombi berjualan dan membagikan Kopi, Ben merasa perjalanannya tak memiliki akhir dan tujuan dalam hidupnya. Ben pun membujuk Jody untuk kembali ke Jakarta dan menghidupkan lagi kedai Filosofi Kopi yang pernah dibangunnya itu.

Tetapi, membangun kembali kedai tak semudah yang dibayangkan. Jody harus memutar lagi otaknya untuk membeli lagi kedai yang telah dijualnya karena harga yang ditawarkan kepadanya sangat tinggi. Lalu, datanglah Tarra (Luna Maya), seorang perempuan yang menawarkan diri menjadi investor untuk Filosofi Kopi agar kembali bangkit seperti dulu. Dengan adanya Filosofi Kopi kembali, problematika tak hanya berhenti di situ saja. Ada konflik pribadi yang memacu mereka untuk kembali merenungi tentang apa yang mereka cari selama ini. 


Kesulitan untuk membuka kedai lagi tak hanya dialami oleh Rio Dewanto sebagai Jody, tetapi juga Angga Dwimas Sasongko untuk kembali membuat penonton percaya dengan sekuel Filosofi Kopi. Beruntung Angga Dwimas Sasongko selalu memiliki energi dalam setiap film yang diarahkan. Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody memasuki sebuah babak baru di dalam konfliknya yang tetap memiliki cita rasanya yang begitu kuat dan emosional untuk dinikmati penontonnya.

Konflik yang lebih personal ini adalah sebuah kunci tentang bagaimana karakter Ben dan Jody ini pada akhirnya bertransisi. Angga Dwimas Sasongko berusaha untuk memberikan pertanyaan kembali kepada karakternya tentang filosofi hidup seperti apa yang mereka ambil. Ada di setiap adegan dan dialog dalam Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody memberikan banyak sekali rujukan yang juga membuat penontonnya ikut mempertanyakan tujuan dan nilai apa yang digunakan dalam hidup setiap orang.

Nyawa dari Kedai Filosofi Kopi ini adalah Ben dan Jody dengan sifat-sifatnya sendiri yang meskipun bertolak belakang tetapi bisa saling mengimbangi. Dengan keputusan mereka untuk kedai kembali,  ada ideologi yang mengalami revisi dan dipertanyakan lagi agar kedai Filosofi Kopi bisa berjalan lancar lagi. Hal itu dikarenakan bagaimana Ben dan Jody mengalami banyak sekali kejadian dan referensi dalam hidup yang membuat mereka mengalami kontemplasi. 


Poin-poin itu muncul di dalam naskah yang ditulis oleh Jenny Jusuf, M. Irfan Ramli, dan Angga Dwimas Sasongko sendiri. Dituliskan secara implisit di dalam adegannya dan Angga Dwimas Sasongko berhasil menyampaikannya dengan baik dan dapat dirasakan oleh penontonnya. Sensitivitas dalam mengarahkan inilah yang menjadi poin penting dalam Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody. Bagi penonton yang mengikuti film pertamanya, akan terasa kontinuitas dari karakter Ben dan Jody yang mengalami transisi. Penonton seakan-akan tahu bahwa ada nilai-nilai yang direvisi dalam diri Ben dan Jody seperti kedai kopi mereka yang berusaha lahir kembali.

Kedai Filosofi Kopi kembali hadir tak hanya sekedar mengalami transisi dalam memberikan esensi, tetapi juga estetika yang memperkuat visualisasi. Gambar dan musik menjadi medium bernarasi lain dari Angga Dwimas Sasongko yang semakin memperkuat dialog-dialog antar karakter di dalam film Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody. Ada rasa khusyuk dan syahdu yang muncul yang bisa mempengaruhi penonton untuk dapat dinikmati setiap seduhannya. Sehingga penonton bisa ikut larut dan ikut merenungi bagaimana Ben dan Jody menemukan solusi yang tak saling menyakiti satu sama lain. 


Sesuai dengan sub judulnya, Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody memiliki penekanan khusus terhadap karakter utamanya. Sehingga, konflik yang muncul di dalam Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody ini memiliki problematika dengan lingkup domestik yang akan terasa berbeda dengan film sebelumnya. Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody ini tak hanya sekedar memberikan konflik yang jauh lebih personal tetapi juga menjadi ruang bagi Ben dan Jody untuk berusaha berkontemplasi atas filosofi hidup yang mereka pegang selama ini. Dengan pengarahan Angga Dwimas Sasongko yang penuh atas kesensitivitasan ini, pesan yang secara implisit muncul itu dan berhasil disampaikan. Sehingga, di dalam Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody ini terasa sekali berusaha memunculkan transisi Ben dan Jody seperti kedai mereka yang berusaha lahir kembali. 

Kamis, 13 Juli 2017

SPIDER-MAN : HOMECOMING (2017) REVIEW : Lika Liku Hidup Remaja Super

SPIDER-MAN : HOMECOMING (2017) REVIEW : Lika Liku Hidup Remaja Super


Setelah memiliki berbagai macam transisi dan pengulangan, pada akhirnya Marvel dan Disney memutuskan untuk mengakuisisi Spider-Man dari Sony untuk bisa masuk jajaran Marvel Cinematic Universe-nya. Dengan begitu, Marvel Cinematic Universe memiliki ekspansi dunia yang semakin rumit dan punya deretan manusia super yang semakin penuh sesak. Tetapi, hal itu bukan menjadi sesuatu yang perlu ditakutkan oleh Marvel Cinematic Universe karena dunianya sudah memasuki fase ketiga yang memang butuh komplikasi lebih.

Dengan bergabungnya Spider-Man menjadi salah satu anggota dari Marvel Cinematic Universe, akhirnya manusia laba-laba ini masuk menjadi pemeran pendukung di Captain America : Civil War. Kemunculannya di seri ketiga dari Captain America ini menjadi usaha mencari perhatian dari Marvel kepada fansnya. Sehingga, Spider-Man seolah-olah dilahirkan kembali dengan citra diri yang berbeda dengan film-film sebelumnya.

Spider-Man milik Marvel Cinematic Universe ini digambarkan memiliki usia yang jauh lebih muda dibandingkan dengan film-film sebelumnya. Dan kali ini, Jon Watts menjadi orang yang memiliki kontrol atas apa yang ditampilkan di film Spider-Man terbaru dengan judul Spider-Man : Homecoming. Kali ini, kisah tentang Peter Parker memiliki atmosfir dunia sekolah menengah atas yang jauh lebih kental dari film-film sebelumnya. Serta, Spider-Man : Homecoming berusaha keluar dari kisah-kisah generik yang dipakai oleh film-film sebelumnya. 


Seiring dengan diakuisisinya Spider-Man, Disney dan Marvel tak ingin lagi terjebak dengan cerita-cerita yang serupa. Maka dari itu, Spider-Man : Homecoming berusaha memberikan perspektid yang berbeda. Begitu pula dengan pemeran Peter Parker yang juga ikut diganti. Dari Tobey McGuire menjadi Andrew Garfield, kali ini Peter Parker diperankan oleh Tom Holland yang masih remaja. Hal ini sesuai dengan bagaimana Marvel dan Disney berusaha keras memberikan diferensiasi dari film-film Spider-Man sebelumnya.

Dengan keluar dari babak cerita yang berbeda, Spider-Man : Homecoming berusaha untuk menjadi lebih dari sekedar film manusia super yang menyenangkan. Film yang diarahkan oleh Jon Watts ini membuat Spider-Man : Homecoming yang sedang menceritakan transisi dari kehidupan Peter Parker yang sedang dalam fase remaja. Menciptakan atmosfir coming of age dengan nuansa yang lebih kental untuk mengetahui bagaimana kehidupan Peter Parker secara lebih intim. 


Keintiman itu bermula di sebuah sekolah menengah atas di daerah Queens, kota kecil tempat Peter Parker (Tom Holland) tinggal. Paska pertemuannya dengan Tony Stark (Robert Downey Jr.) yang sedang bertarung sengit dengan Steve Rogers (Chris Evans), Peter merasa bahwa dirinya adalah orang yang sangat penting bagi dunia ini. Dengan keterlibatannya itu, Peter merasa bahwa di kota kecil ini penuh akan kejahatan dan ketidaknyamanan yang perlu dilibas olehnya. Tetapi sikap Peter Parker yang ingin terlibat itu, membuat dirinya malah terjebak dalam masalah.

Peter menemukan transaksi senjata ilegal dengan teknologi mutakhir yang diambil dari bekas-bekas pertarungan anggota Avengers dengan musuh-musuhnya. Peter berusaha memgingatkan Tony Stark tentang keadaan ini, tetapi tidak ada yang menggubrisnya. Dengan adanya kejahatan itu, Peter Parker tak tinggal diam. Dia berusaha sendiri untuk menangkap dan mencari tahu siapa dalang di balik penjualan senjata ilegal ini. Tetapi, Peter Parker juga mendapatkan resiko yang sangat besar dari apa yang dia lakukan.


Kentalnya atmosfir remaja di dalam film Spider-Man : Homecoming ini seakan-akan memberikan nafas baru di deretan film-film manusia super milik Marvel. Bagaimana Jon Watts memvisualisasikan bagaimana Peter Parker sebagai sosok karakter yang tetap tak bisa lepas dengan kehidupannya sebagai orang biasa. Memiliki alter ego menjadi sosok manusia super tetapi juga tetap menjadi remaja dengan perputaran problematika yang tak jauh-jauh dari percintaan, persahabatan, dan popularitas saat SMA.

Inilah yang membuat Spider-Man : Homecoming memiliki diferensiasi dengan film-film manusia laba-laba yang lain. Atribut remaja seperti malam prom, pesta, dan persahabatan yang sekaligus menjadi karakter pendukung ini selalu ada dalam film-film yang menggambarkan transisi kehidupan remaja. Tetapi, Jon Watts berusaha untuk berkiblat pada film-film remaja khas dari John Hughes seperti The Breakfast Club dan Sixteen Candles. Referensi itu pun semakin terlihat kentara dengan bagaimana Jon Watts menyelipkan sedikit cuplikan adegan dari Ferris Bueller’s Day Off di dalam filmnya.

Penonton diajak kembali ke masa-masa remaja sekolah menengah atas di dalam sebuah film manusia super dan Spider-Man : Homecoming berhasil memunculkan hal tersebut. Meskipun plot ceritanya masih terlihat generik sebagai sebuah film kisah asli dari seorang manusia super, tetapi ada usaha dari Jon Watts untuk berusaha memberikan diferensiasi tersebut. Tahu akan kelemahannya untuk membuat spektakel aksi, Jon Watts berusaha dengan memberikan kedekatan karakter Peter Parker dengan karakter lainnya. 


Secara aksi, Jon Watts masih belum bisa memberikan detil-detilnya. Pertarungan akhir yang diarahkan di dalam Spider-Man : Homecoming belum bisa memberikan sesuatu yang mencengkram dan kalah dengan adegan pertarungan sebelumnya. Tetapi, Jon Watts bisa mengemas dan menyatukan drama coming of age dengan tetap memiliki cita rasa film manusia super inilah yang perlu diapresiasi. Ketelitian Jon Watts ini adalah kekuatan dari Spider-Man : Homecoming yang bisa setara memberikan porsi di antara dua atmosfir yang berbeda ini dan tampil begitu menyenangkan di dalam film ini.

Spider-Man : Homecoming itu pun tak serta merta menjadi sebuah superhero spin-off film yang memang harusnya ada untuk menceritakan siapa itu manusia laba-laba ini. Tetapi, konflik yang ada di dalam film Spider-Man : Homecoming memberikan relevansi dan ekspansi dengan segala hal yang ada di Marvel Cinematic Universe. Dengan adanya film ini menandakan bahwa fase ketiga di dalam Marvel Cinematic Universe bukan sekedar tentang penambahan karakter, tetapi memang dunianya yang semakin besar. Tentang bagaimana apa yang dilakukan oleh manusia super ini benar-benar dapat berdampak kepada siapapun. 


Oleh karena itu, Spider-Man : Homecoming bisa dibilang menjadi salah satu film penting yang dapat memberikan ekspansi lebih terhadap Marvel Cinematic Universe. Sebuah kisah asli yang memang memiliki plot yang lurus-lurus saja, tetapi dikemas dengan atmosfir yang berbeda. Sehingga, Spider-Man : Homecoming menjadi sesuatu yang segar untuk disantap. Memiliki atmosfir coming of age dengan berbagai macam tribut kepada film-film John Hughes yang kental. Dengan begitu, penonton bisa merasa dekat dengan Peter Parker yang sedang berusaha keras dengan kehidupan remajanya. Jon Watts bisa memberikan pergantian dua atmosfir tanpa merusak esensi dari keduanya. Sehingga, Spider-Man : Homecoming adalah sebuah drama transisi remaja dengan kekuatan super yang sangat menyenangkan.  

Spider-Man : Homecoming juga tampil dalam berbagai format, salah satunya yaitu IMAX 3D Format. Berikut adalah rekapan dari format IMAX 3D film Spider-Man : Homecoming.

DEPTH 

Punya kedalaman yang menarik, sehingga menonton Spider-Man : Homecoming terasa seperti mengintip dari jendela kamar kita

POP-OUT 

Mungkin tidak ada apapun yang bisa keluar dari layar di film Spider-Man : Homecoming. Film ini hanya menekankan tentang kedalaman gambar saat ditonton di format IMAX 3D.

Tonton saja film ini dalam format IMAX 3D. Sangat direkomendasikan, apalagi format IMAX 3D hanya selisih sedikit saja dengan layar reguler.