Tampilkan postingan dengan label Mei. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mei. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

ANANTA (2018) REVIEW : Kisah Manis Yang Tak Biasa

ANANTA (2018) REVIEW : Kisah Manis Yang Tak Biasa

 
Setelah terus-terusan menjadi ratu drama dari Screenplay Films, Michelle Ziudith akhirnya memiliki kesempatan untuk mengeksplor dirinya di bawah naungan MD Pictures. Begitu pula dengan Risa Sarasvati yang juga berusaha mengeksplorasi genre adaptasi bukunya dari cerita horor ke cerita drama romantis. Kesuksesan Risa Sarasvati dengan MD Pictures lewat Danur, tentu dengan mudah MD Pictures percaya dengan karya-karya yang dihasilkan lewat bukunya.

Ananta, sebuah karya romantis milik Risa Sarasvati yang diadaptasi oleh MD Pictures yang dipercayakan proyeknya kepada Rizki Balki. Sebagai sutradara, Rizki Balki sudah pernah menangani film drama remaja milik MD Pictures juga berjudul Beauty And The Best. Ananta tentu sangat bertumpu dengan kehadiran wajah Michelle Ziudith yang sudah berpengalaman dengan film-film serupa dan didampingi dengan Fero Walandouw dan juga Nino Fernandez.

Alim Sudio berperan untuk mengadaptasi tulisan buku milik Risa Sarasvati ke dalam sebuah naskah. Dirinya juga sudah berpengalaman dalam mengadaptasi buku-buku remaja serupa lewat film A : Aku, Benci, Cinta. Lewat film Ananta, naskah adaptasi yang dilakukan oleh Alim Sudio berhasil menjadi poin utama di dalam filmnya yang berdurasi 90 menit. Dengan adanya hal tersebut, Ananta berhasil menjadi sebuah sajian film drama romantis Indonesia yang manis untuk disaksikan.


Menceritakan tentang Tania (Michelle Ziudith), seorang remaja perempuan yang sering dianggap aneh oleh teman-temannya karena dirinya yang sangat anti sosial. Meski begitu, Tania mempunyai bakat menggambar yang sangat luar biasa. Dengan menggambar itulah, Anantabisa bertahan karena dirinya terserap oleh dunia yang dibuatnya sendiri. Hingga suatu ketika, dia bertemu dengan sosok yang bisa membuatnya mau untuk mengenal dunia sekitarnya.

Sosok itu adalah seorang laki-laki bernama Ananta Prahadi (Fero Walandouw). Dia adalah anak baru di sekolah Tania dan tak sengaja bertemu di ruang guru kala itu. Ananta berusaha mendekati Tania yang sangat tak mau untuk berinteraksi dengan orang lain. Ananta menemukan kelemahan Tania yang tak tahan dengan menu nasi kerak dan obrolan tentang lukisannya. Semenjak itulah, Ananta dan Tania menjadi dekat satu sama lain.


Sebagai sebuah film drama romantis Indonesia, Ananta memang masih terjebak dengan segala tanda yang bisa dikategorikan sama dengan film-film serupa. Membahas tentang kehilangan yang dikemas dengan cara yang sama dan tak bisa menjadi sesuatu yang segar di dalam genrenya. Tetapi secara mengejutkan, dibalik caranya yang sama dalam mengemas dan menceritakan hal tersebut, Anantaberhasil menunjukkan performanya yang pas sehingga film ini masih sangat bisa dinikmati dibanding dengan film-film serupa.

Naskah adaptasinya adalah bintang utama dari film Ananta ini sendiri. Naskah milik Alim Sudio berhasil menangkap ceritanya yang awalnya mendayu-dayu tetapi berubah menjadi sesuatu yang menyenangkan. Tetapi, tak lupa untuk tetap tahu menempatkan momen-momen romantis yang bisa membawa perasaan penontonnya selama 90 menit. Sayangnya, Rizki Balki tak berusaha untuk memberikan sesuatu yang lebih agar Ananta bisa menggali perasaan penontonnya lebih dalam lagi.

Ananta memiliki beberapa karakter yang bisa memberikan rasa keterikatan yang bisa lebih kuat lagi kepada penontonnya. Sayangnya, Rizki Balki nampak masih malu untuk mengenalkan karakter-karakter lainnya dengan lebih baik. Sehingga, Ananta mungkin memiliki linimasa yang cukup melompat dari satu adegan ke adegan lainnya. Rizki Balki nampaknya tahu kapabilitasnya sehingga dengan menuturkan cerita utama dari film ini akan jauh lebih bijaksana dibanding berusaha keras untuk mengatasi hal lainnya.


Kesederhanaan tujuan dari Rizki Balki inilah yang ternyata membuat film Ananta punya porsinya yang sangat pas untuk bisa dinikmati oleh segmentasi penontonnya. Rizki Balki mampu menghadirkan suasana mendayu yang mendukung keromantisan yang ada di film Ananta. Tetapi, unsur komedi yang diselipkan di dalam naskahnya agar film Anantatetap bisa menghibur juga masih mampu ditranslasikan dengan baik olehnya.

Bintang lain yang perlu disoroti di dalam film ini adalah penampilan dari Michelle Ziudith yang meskipun masih berkutat di genre serupa tetapi bisa memaksimalkan potensinya. Michelle Ziudith berhasil memerankan sosok Tania yang memang anti sosial lewat gerakan tubuh dan matanya yang sesuai dengan karakterisasi Tania sesungguhnya. Pun, mampu dengan sangat kuat membangun ikatan hubungan dengan lawan mainnya, Fero Walandouw.

Film Ananta bukanlah film pertama dari Fero Walandouw. Tetapi, performanya di dalam film Ananta ini membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi wajah baru yang sangat potensial di perfilman Indonesia. Ikatan yang terjalin begitu kuat antara Fero Walandouw dan Michelle Ziudith ini akan berdampak kepada penontonnya. Dengan begitu, suasana romantis, gemas, sekaligus sedih bisa dengan mudah tergambar dan dengan mudah membawa penonton hanyut ke dalamnya.


Meskipun, paruh ketiga di dalam film Ananta ini masih memiliki konklusi yang bisa membuat geleng kepala. Tetapi, film Ananta ditutup dengan performa Michelle Ziudith yang sangat emosional serta epilog yang manis sehingga kekurangan tersebut mampu tertutupi dengan hal-hal terbaik di dalam filmnya. Pun, sepanjang film Anantaini penonton juga sudah disuguhi dengan warna sinematografi yang pas dengan penuturan kisah Tania dan Ananta yang manis namun tak biasa itu.

Sabtu, 13 Mei 2017

CRITICAL ELEVEN (2017) REVIEW : Mempercayai Sebuah Cinta Dengan Segala
Turbulensinya

CRITICAL ELEVEN (2017) REVIEW : Mempercayai Sebuah Cinta Dengan Segala Turbulensinya


Dari sekian banyak film-film dengan genre drama romantis di perfilman Indonesia, hanya ada beberapa film yang diproduksi dengan baik. Tak hanya dari segi teknis, tetapi juga dari sisi pengarahan film yang tak terlalu digarap serius. Menciptakan nuansa penuh akan cinta di sebuah film tak akan semudah yang dibayangkan orang. Apabila hal tersebut tak bisa diarahkan dengan baik, penonton tak akan bisa merasakan koneksi atas atmosfir penuh kasih sayang di dalam film drama bertemakan cinta.

Maka, inilah yang berusaha dilakukan oleh Starvision dan Legacy Pictures untuk membuat sebuah drama romantis dengan ideal. Mereka memutuskan untuk bersama-sama mengadaptasi sebuah buku dari penulis ternama Ika Natassa. Critical Eleven, salah satu buku laris miliknya akhirnya mendapatkan kesempatan untuk ‘lahir’ pertama kali sebagai sebuah film layar lebar. Critical Elevenmemiliki kru dan jajaran aktris yang tak sembarangan. Mulai dari Reza Rahadian dan Adinia Wirasti sebagai pemeran utama, Jenny Jusuf sebagai penulis skenario, serta Monty Tiwa yang kali ini berkolaborasi untuk mengarahkan sebuah film dengan Robert Ronny.

Misi mulia dari Ika Natassa dan segala orang yang terlibat di dalam film Critical Eleven adalah tentang memberikan harapan dalam cinta. Nyatanya, dengan performa milik Reza Rahadian dan Adinia Wirasti yang menghidupkan setiap karakter fiksinya ini berhasil meyakinkan penonton atas misi mulia milik Ika Natassa. Inilah kisah cinta milik Ale dan Anya yang penuh akan asam manis di setiap perjalanannya, tetapi bisa membuat setiap orang akan percaya dengan kekuatan cinta. 


Membicarakan tentang cinta akan terdengar sangat melankolis dan picisan. Tetapi, memiliki kehidupan tanpa cinta di sekitar kita tak serta merta membuat hidup kita lebih bahagia. Hal itu lah yang berusaha disampaikan di dalam film Critical Eleven ini. Tema Cinta yang dibahas di dalam Critical Eleven ini memang tak sekedar antar pasangan, tetapi juga lebih di setiap aspek. Mulai dari keluarga, sahabat, dan juga setiap menit kehidupan yang tuhan berikan kepada kita.

Semua misi tentang cinta ini disajikan ke dalam sebuah film dengan durasi yang mencapai 135 menit. Critical Eleven adalah analogi tentang keadaan dalam pesawat yang paling kritis yaitu 3 menit sesaat setelah terbang dan 8 menit sesaat sebelum mendarat yang mewakili kehidupan setiap orang. Ini pula yang dirasakan sesaat ketika film berjalan di durasinya yang panjang. Film Critical Eleven sebagai sebuah pesawat mengalami masa kritis itu tak selamanya dengan mulus. Sesekali ada Turbulensi yang terjadi saat film baru saja menerbangkan sayapnya dan sesaat sebelum film akhirnya tiba di tujuan.  


Misi tentang memberikan harapan kepada cinta kali ini ditugaskan kepada Anya (Adinia Wirasti), seorang perempuan mandiri yang bekerja dengan giat. Anya begitu mencintai bandara hingga suatu ketika dia juga bertemu dengan seorang pria bernama Ale (Reza Rahadian). Pertemuan yang tak disengaja itu ternyata mendekatkan mereka. Hingga pada akhirnya, Ale dan Anya memutuskan untuk menikah dan Ale yang bekerja di Oil Rig di daerah meksiko memutuskan agar mereka tinggal di New York.

Kehidupan di New Yorkmemberikan mereka kebahagiaan, apalagi Anya telah mengandung Ale Junior yang telah diidam-idamkan. Kehidupan Anya paska hamil memang tak semudah yang dibayangkan. Ale menjadi sangat overprotektif kepada Anya karena takut kehilangan buah hatinya. Dengan adanya perubahan sifat ini, muncullah keegoisan masing-masing yang sesekali menimbulkan perdebatan di tengah keharmonisan hubungan mereka. Juga, beberapa peristiwa dalam keluarga kecil mereka yang semakin memunculkan sisi egois masing-masing pihak.


Critical Eleven memang bukan sekedar kisah tentang cinta yang dibuat hanya untuk merasakan indahnya jatuh cinta. Critical Eleven adalah kisah tentang cinta yang menunjukkan penontonnya tentang jatuhnya hidup bergantung kepada cinta. Translasi yang sangat baik dilakukan oleh Jenny Jusuf sebagai penulis skenario yang berhasil mengadaptasi sumber aslinya dengan berbagai cara hingga setiap karakter memiliki kontinuitas yang menarik. Ada detil-detil kecil sebagai sebuah tanda yang dihasilkan oleh Jenny Jusuf di dalam filmnya yang memperkuat karakternya. Tanda itu seperti mainan-mainan yang dimiliki oleh karakter Ale dan Anya.

Bukan hanya sekedar detil kecilnya, tetapi juga memindahkan emosi ke dalam penulisan naskahnya. Selain itu pula, ada kolaborasi baik antara naskah dengan pengarahan yang dilakukan oleh Monty Tiwa dan Robert Ronny dalam Critical Eleven. Penonton bisa merasakan setiap konfliknya yang terjadi di dalam Critical Eleven. Secara tak langsung, penonton menemukan referensi lain yang melekat di karakter dan konfliknya sehingga timbul simpati dan merasakan adanya kedekatan.

Hanya saja, Critical Elevenmemiliki sedikit isu dalam pengarahan yang membuat 135 menit yang ada di dalam filmnya tak memiliki performa yang stabil. Paruh pertama film ini memiliki sedikit turbulensi terhadap penyampaian konflik dan karakternya. Ada penyampaian emosi yang menggebu-gebu sehingga beberapa pesan yang tak tersampaikan dengan sepenuhnya baik. Pemilihan dialog yang sering kali menggunakan bahasa asing membuat adanya jarak antara pesan yang ingin disampaikan kepada penontonnya. Rasa manis di awal film pun beberapa kali terkadang terasa redup. 


Begitu pula dengan turbulensi yang datang lagi di ‘pesawat’ milik Critical Eleven saat ingin mendarat. Critical Eleven memang sudah memiliki landasan mendarat yang mumpuni, tetapi kemulusan terhadap cara memberikan konklusi di film ini tak bisa memberikan rasa manis yang kuat setelah menonton. Di tengah karakter Ale dan Anya yang sudah dikembangkan dengan sangat baik di setiap menitnya, ada cara mendarat yang memberikan sedikit membuat penontonnya tak nyaman. Bagaimana paruh ketiga film ini intensitas cerita sudah tak terjaga dan membuat simpati penontonnya sedikit berkurang.

Kemagisan asam manis cinta yang semakin bertambah durasi semakin terasa ini hampir saja hilang dengan pengarahan yang kurang mulus. Sehingga, ada sambungan adegan yang sedikit saja dihilangkan di dalam naskah yang mungkin dapat menimbulkan keefektifan cerita yang lebih memberikan efek yang kuat kepada penontonnya. Tetapi, beruntung sekali Critical Eleven memiliki Adinia Wirasti dan Reza Rahadian. Mereka memberikan performa terbaiknya di dalam film ini sehingga penonton bisa merasakan setiap manis dan getir hubungan mereka. Mereka bisa menerjemahkan karakter Ale dan Anya yang tak hanya hidup, tetapi juga berkembang dan berubah. 


Sebagai sebuah film drama dengan tema cinta, Critical Eleven memang masih bisa menaikkan standar yang ada. Ini jelas sebuah film Indonesia yang dibuat dengan sepenuh hati dan teliti, apalagi dalam segi teknis film. Gambar, musik, dan nilai-nilai produksi di dalam film Critical Eleven memperkuat alasan bahwa film ini memang tak main-main. Meski memiliki sedikit turbulensi dalam penceritaannya, tetapi Critical Elevenmasih bisa menimbulkan rasa asam dan manis cinta lewat performa luar biasa dari Adinia Wirasti dan Reza Rahadian. Pun, didukung dengan kedetilan dalam bertutur lewat naskah milik Jenny Jusuf. Critical Eleven cukup berhasil mencapai tujuannya untuk membuat penonton percaya dengan cinta dan menggantungkan harapan kepadanya.