Tampilkan postingan dengan label 2014. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 2014. Tampilkan semua postingan

Minggu, 17 September 2017

REVIEW : THREAD OF LIES

REVIEW : THREAD OF LIES


“Dalam hidup, kamu akan mengalami saat dimana kamu lebih ingin mencurahkan isi hati kepada orang asing daripada keluarga. Karena orang asing tidak perlu menjaga rahasiamu.” 

Pada bulan Maret silam, Netflix melepas sebuah serial bertajuk 13 Reasons Why yang didasarkan pada novel remaja laris berjudul serupa. Serial berjumlah 13 episode tersebut menjadi suatu fenomena tersendiri di kuartal pertama tahun ini lantaran keberaniannya mengeksplorasi tema-tema sensitif dalam kehidupan remaja; bullying, depresi, dan bunuh diri. Elemen misteri yang dibubuhkan ke alunan penceritaannya memberi candu bagi penonton untuk terus mencari tahu “apa sih yang sesungguhnya terjadi disini?” sekalipun bahan obrolannya terbilang berat – saya sendiri menuntaskannya hanya dalam 3 hari. Selepas menontonnya, saya tidak saja menggali informasi terkait perisakan tetapi juga mencari film bertema sejenis. Nah, apabila kamu seperti saya dan berharap bisa menjumpai film yang senada seirama, rupa-rupanya perfilman Korea Selatan telah memiliki sebuah tontonan sangat apik yang memperbincangkan perihal perisakan dan bunuh diri di kalangan remaja usia belasan semenjak tahun 2014 berjudul Thread of Lies. Disadur pula dari sebuah novel, film arahan Lee Han (Punch) ini menghamparkan potret kelam dari Negeri Gingseng yang memang dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia berdasarkan data dari hasil penelitian World Health Organization. 

Karakter utama dalam Thread of Lies adalah seorang janda bernama Hyun-sook (Kim Hee-ae) dan kedua putrinya, Man-ji (Go Ah-sung) dan Cheon-ji (Kim Hyang-gi), yang masing-masing masih berstatus sebagai pelajar sekolah menengah. Dari tampak luar, mengesampingkan absennya figur seorang ayah, keluarga kecil ini tampak seperti keluarga normal lainnya. Menjalani hari demi hari dengan rutinitas yang begitu-begitu saja, kalaupun ada cekcok tentu wajar-wajar saja. Menganggap satu sama lain tidak mempunyai masalah, alangkah terkejutnya Hyun-sook dan Man-ji saat mendapati si bungsu Cheon-ji mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di kamar. Yang makin menyesakkan, Cheon-ji tak meninggalkan surat perpisahan sehingga kematiannya pun meninggalkan tanda tanya besar bagi keluarganya. Apa masalah yang dihadapi oleh Cheon-ji sampai-sampai dia nekat mengambil jalan pintas semacam ini? Pertanyaan ini terus berkecamuk dalam pikiran Man-ji yang kemudian memutuskan mencari kebenaran dibalik kematian sang adik selepas dia dan ibunya pindah apartemen. Langkah awal yang diambilnya yakni mendekati teman baik Cheon-ji, Hwa-yeon (Kim Yoo-jung), yang ternyata memiliki kontribusi cukup besar terhadap kematian Cheon-ji. Penyelidikan kecil-kecilan yang dilakukan Man-ji ini lantas mengungkap satu demi satu rahasia dan kebohongan yang selama ini disimpan rapat oleh Cheon-ji beserta orang-orang di sekitarnya. 

Selaiknya 13 Reasons Why, ketertarikan awal untuk mengikuti guliran pengisahan Thread of Lies bersumber dari misteri kematian si karakter sentral. Kita mempertanyakan motivasinya: kenapa dia akhirnya memutuskan untuk bunuh diri sementara tidak ada yang salah dari keluarga dan teman-temannya? Jika serial milik Netflix tersebut mengajak pemirsa mengikuti perjalanan sang sahabat dekat dalam membongkar misteri, maka film garapan Lee Han ini membawa penonton mengikuti Man-ji dalam mengurai benang-benang yang melilit kematian sang adik. Pemaparan kebenarannya mempergunakan teknik senada, kilas balik ke masa-masa si korban masih menghembuskan nafas. Usai berbincang-bincang sekejap bersama Hwa-yeon yang merupakan salah satu siswi tercantik dan terpopuler di sekolah Cheon-ji, baik Man-ji maupun penonton telah mencium bau anyir dibalik perangainya yang tampak lembut dan sopan. Benar saja, kala si pembuat film melempar latar waktu ke beberapa hari belakang, kita mendapati bahwa Hwa-yeon adalah perwujudan nyata dari perumpaan ‘serigala berbulu domba’. Dia tidak menerapkan kekerasan selama merisak Cheon-ji, melainkan mengajak kawan-kawan sekelas untuk mengesklusi secara sosial si gadis malang ini sehingga dia tidak memiliki teman untuk berbagi atau sekadar diajak bermain di sekolah. Salah satu adegan paling menyesakkan dada dalam Thread of Lies adalah ketika teman-teman sekelas Cheon-ji menggunjingkannya melalui aplikasi perpesanan di pesta ulang tahun Hwa-yeon.


Pertanyaan lain kemudian muncul, apakah Hwa-yeon adalah satu-satunya alasan bagi Cheon-ji untuk mengakhiri hidupnya? Seiring berjalannya durasi, kebenaran-kebenaran lain turut tersingkap yang memberikan kejutan kepada Man-ji (juga penonton). Menariknya, ketimbang menghakimi korban atau si pelaku bullying, Lee Han memberi kita pehamahaman bahwa ada sebab akibat dibalik setiap tindakan yang dilakukan oleh setiap karakter. Kita memang dikondisikan untuk bersimpati kepada Cheon-ji berikut keluarganya, tetapi kita tidak serta merta antipati kepada Hwa-yeon karena dia memiliki alasannya sendiri mengapa memilih Cheon-ji sebagai target bulan-bulanannya. Bahkan sejatinya, Cheon-ji, Man-ji, serta Hyun-sook bukan sepenuhnya karakter putih bersih yang tiada memiliki cela barang sedikitpun. Inilah salah satu faktor yang membuat Thread of Lies terasa mengikat pula dekat lantaran barisan tokohnya dapat kita jumpai dengan mudah dalam sosok di sekitar kita. Terasa begitu nyata. Ada seseorang yang memilih menghempaskan dukanya dengan melampiaskannya kepada orang lain seperti Hwa-yeon, ada pula yang memilih untuk meredamnya dengan sangat keras sehingga berujung pada depresi tak tampak seperti Cheon-ji. Bukan sebatas film melodrama yang mengajak penontonnya untuk bertangis-tangisan, Thread of Lies turut meminta kepada penonton untuk lebih peka terhadap kondisi sekitar, utamanya keluarga dan sahabat, demi menghindari lahirnya Cheon-ji maupun Hwa-yeon lain. 

Menilik bahan obrolannya yang tergolong serius, mudah untuk mengira Thread of Lies bakal melantunkan pengisahannya dengan nada penceritaan yang bermuram durja. Menginjak paruh akhir – well, sebetulnya pola ini bisa pula kamu jumpai di sebagian besar film drama asal Korea Selatan – film memang akan membuat matamu bengkak tatkala mengupas semakin dalam kisah hidup tragis si protagonis. Tapi yang tak terbayang sebelumnya, canda tawa turut menghiasi beberapa titik. Ini diawali dari upaya Hyun-sook untuk membina kehidupan normal kembali bersama Man-ji di tempat tinggal baru mereka selepas diguncang tragedi. Interaksi keduanya, ditambah kehadiran tetangga baru yang nyentrik, Choo Sang-bak (Yoo Ah-in), kerap mengundang derai tawa yang mencairkan suasana. Kemampuan film untuk mempermainkan emosi penontonnya – entah itu tertawa, prihatin, marah sampai sesenggukkan – sedemikian rupa merupakan hasil dari kombinasi antara pengarahan baik sekali, naskah bernas, musik menyayat hati, serta performa jempolan barisan pelakonnya. Ya, setiap pelakon dalam Thread of Lies mempersembahkan akting di level meyakinkan sampai-sampai kita tidak keberatan sama sekali untuk menyematkan simpati kepada mereka. Yang paling mencuri perhatian yakni Kim Hee-ae sebagai seorang ibu yang menyimpan banyak duka lara dibalik tebaran senyumannya dan Kim Hyang-gi yang air mukanya sudah cukup untuk membuat kita berlinang air mata tanpa perlu baginya mengucap sepatah katapun.

Outstanding (4/5)


Jumat, 21 April 2017

Predestination (2014) (3,5/5)

Predestination (2014) (3,5/5)


The snake that eats its own tail, forever and ever?
RottenTomatoes: 84% | IMDb: 7,5/10 | Metascore: 69/100 | NikenBicaraFilm: 3/5

Rated: R
Genre: Drama, Mystery, Sci-fi

Directed by The Spierig Brothers ; Produced by Paddy McDonald, Tim McGrahan, The Spierig Brothers ; Screenplay by The Spierig Brothers ; Based on "'—All You Zombies—'" by Robert A. Heinlein ; Starring Ethan Hawke, Sarah Snook, Noah Taylor ; Music by Peter Spierig ; ; Cinematography Ben Nott ; Edited by Matt Villa ; Production companyScreen Australia, Screen Queensland, Blacklab Entertainment, Wolfhound Pictures ; Distributed by Pinnacle Films, Stage 6 Films ; Release date8 March 2014 (SXSW Film Festival), 28 August 2014 (Australia) ; Running time97 minutes ; Country Australia ; Language English

Story / Cerita / Sinopsis :
Seorang agen terbaik (Ethan Hawke) yang bekerja pada sebuah biro yang bertugas mencegah kejahatan dengan sebuah mesin waktu diminta untuk melaksanakan misi terakhirnya sebelum pensiun.

Review / Resensi :
Tema time-travel selalu menarik untuk diikuti. Saya sering mikir kenapa enggak lahir di masa depan dimana siapa tahu ada orang yang sudah bisa menciptakan mesin waktu layaknya doraemon, lalu saya kembali ke masa lalu dan membenarkan takdir hidup saya yang.... begini. Lol. Perjalanan waktu ke masa lalu selalu memunculkan paradoks-paradoks yang penuh pertanyaan, yang kemudian juga membuat kita mempertanyakan konsep takdir itu sendiri. Bisakah kita kembali ke masa lalu dan mengubah takdir kita? Konsekuensi apa yang akan muncul jika kita mengubah masa lalu? Sesuai judulnya, Predestination kurang lebih berusaha mengeksplorasi hal yang berkaitan dengan itu.... dengan ceritanya yang mind-fucking banget!

Sudah banyak film-film bertema time travel lainnya, seperti Looper (2012). Primer (2004), hingga 12 Monkeys (1995). Predestination mencoba mengambil tema serupa, dengan menggabungkannya dengan konsep polisi takdir pada Minority Report (2002). Kalau ngomongin film time travel dengan ending yang twisted, banyak orang akan merekomendasikan Predestination, sehingga film ini udah sering banget saya denger di forum-forum pecinta film. Sempat lama penasaran, akhirnya baru kesampaian ga sengaja nonton kemarin sore. 

Mungkin banyak yang kecele menyangka bahwa Predestination adalah film action yang seru (perhatiin donk posternya menampilkan Ethan Hawke memegang pistol dengan desain poster yang menyiratkan kesan "action" dan futuristik). Tapi kenyataannya filmnya sendiri lebih cenderung ke drama. Namun santai, unsur dramanya sendiri biarpun mendominasi namun tidak akan membuatmu bosan. Alur bolak balik ke masa depan dan masa lalu mungkin juga akan membuatmu bingung, namun dengan diagram penjelasan sederhana yang mudah kamu temukan di internet, sesungguhnya Predestination nggak terlalu bikin pusing. Jauh memusingkan Primer, kalau menurut saya. 

Harus diakui Predestination ini masih banyak kekurangan dari segi eksekusi dan pengolahan cerita. Banyak scene dan subplot cerita yang bagi saya lebay, kurang stylish dan agak norak. Dan ceritanya sendiri kalau kamu pikir-pikir akan terasa tidak masuk akal dan "ngarang" banget. But then again, film ini membuat saya nggak peduli dengan semua itu. Yang menarik dari Predestination adalah bagaimana film ini bisa menyajikan konsep paradoks dari perjalanan waktu yang tabu dan super aneh itu! *spoiler* come on! itu banyak karakter ternyata orang-orang yang sama semua... jadi dia "mengawini" dirinya sendiri, jadi anak, tapi trus anaknya jadi dirinya lagi..... ini jelas mbulet, ngarang abiz (operasi ganti kelamin itu sama sekali nggak masuk akal), dan super weird... (errr.. make love dengan diri sendiri? bukankah itu narsis banget ya? Dan itu please deh ewwww banget!), tapi di lain sisi ketidakmasukakalannya itu juga jadi masuk akal... Pusing ya? Tapi seru... *spoiler ends*

Banyak orang sesumbar bahwa di tengah-tengah filmnya jadi predictable, namun saya sendiri sih enggak cukup mahir menebaknya. Saya biasanya berusaha mengalihkan pikiran dari nebak cerita, supaya endingnya bisa bikin shock dan kesan filmnya jadi berasa (so I blame my Mom who talked too much when we watched The Usual Suspects), jadi saya enjoy saja selama nonton film ini. Dan twist demi twist-nya biarpung ngarang bebas dan agak "maksa" tapi emang jatuhnya tetap seru dan menghibur. 

Anyway, Sarah Snook playing so good as Jane... 

Overview :
Predestination mungkin bukanlah film science-fiction terbaik di subgenre time travel, namun plot ceritanya yang diangkat dari cerita pendek All You Zombie oleh Robert A. Heinlein ini emang mind-fucking banget. Banyak plot hole dan cerita yang terasa terlalu dibuat-buat, tapi saya tidak terlalu peduli. Predestination dengan berani berusaha mengeskplorasi konsep paradoks takdir dan perjalanan waktu dengan cara yang super aneh... tapi berhasil! 


Senin, 20 Maret 2017

Ia Wujud (2014)

Ia Wujud (2014)

sekumpulan remaja yang memasuki sebuah taman tema terbiar yang dikenali sebagai Mimaland. Kisah ini berlaku sebelum fenomena kisah seram di Highland Tower. Mereka menyangkakan hantu itu tidak wujud dan cuba bermain permainan 'spirit of the coin' di taman tema terbiar itu. Akhirnya apa yang mereka cari itu sebenarnya adalah wujud.
LK21 Unduh
Artis : Your, Annam, Tommy, Amad, Arif AdamNegara : MalaysiaRilis : 15 Mei 2014Kategori : HororDurasi : 1 jam 12 menit ( 162 mb )IMDb : LK21

Sedang Proses...