Tampilkan postingan dengan label mystery and suspense. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label mystery and suspense. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 Juni 2018

mother! (2017) (3,5/5)

mother! (2017) (3,5/5)


You never loved me. You just loved how much I loved you. 

RottenTomatoes: 68% | IMDb: 6,7/10 | Metascore: 75/100 | NikenBicaraFilm: 3,5/5

Rated: R | Genre: Drama, Horror, Mystery

Directed by Darren Aronofsky ; Produced by Scott Franklin, Ari Handel ; Written by Darren Aronofsky ; Starring Jennifer Lawrence, Javier Bardem, Ed Harris, Michelle Pfeiffer ; Cinematography Matthew Libatique ; Edited by Andrew Weisblum ; Production companyProtozoa Pictures ; Distributed by Paramount Pictures ; Release date September 15, 2017 (United States) ; Running time121 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $30 million ; Box office $44.5 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Sepasang suami istri (Jennifer Lawrence dan Javier Bardem) tinggal berdua di sebuah rumah terpencil. Suatu hari mereka kedatangan tamu misterius yang bertindak sesuka hati.

Review / Resensi :
Tidak dapat dipungkiri, mother! (mother! dengan huruf m kecil dan tanda seru di bagian belakangnya) adalah salah satu film paling kontroversial tahun 2017 sekaligus paling banyak dibicarakan. Sebagaimana The Tree of Life (Terrence Malick, 2011), publik tampaknya terbagi menjadi dua kubu: love it or hate it. Di Cinemascore, mother! dapat nilai F, dimana hal ini membuat mother! selevel dengan The Wicker Man-nya Nicholas Cage. Skor buruk ini tampaknya juga mempengaruhi penghasilan box office yang didapatkan, mother! cuma dapat 44,5 juta dollar dari budget yang 30 juta dollar. Saya rasa melepas film seperti ini ke publik umum juga bukan hal yang tepat, apalagi jika penonton tertipu karena menyangkanya sebagai film horror biasa belaka - belum lagi nama Jennifer Lawrence sebagai top billing cast bisa membuat publik mengira akan menonton film horror mainstream. Nggak cuma dapat mixed review dari audiens, para kritikus pun sebenarnya terbagi jadi dua. Hampir sebagian besar kritikus menyukainya, namun Rex Reed dari The New York Observer dengan jahatnya menyebut mother! sebagai film paling buruk abad ini, sementara Caryn James dari BBC menyebut film ini sebagai pretentious mess. Di situs Rotten Tomatoes skor yang didapatkan mother! juga cuma 68%.  Saya sendiri cenderung untuk tidak terlalu suka. Saya mengagumi keberanian yang dilakukan sutradara  Darren Aronofsky (dan Paramount Pictures yang bertindak sebagai distributor), namun saya tidak bisa mengatakan bahwa mother! adalah sebuah film yang cerdas. Mother! bahkan bukan film yang ingin saya tonton lagi suatu saat, dan itu bukan karena adegan kontroversi di bagian akhirnya....

Saya nggak cukup yakin apakah cara menonton mother! yang terbaik adalah dengan tidak membaca satu review-pun tentang film ini yang bisa jadi mengandung sedikit spoiler, supaya saat kamu nonton pertama kalinya kamu akan merasa otakmu benar-benar dikacaukan oleh Aronofsky. Tapi jika memang menurutmu ini cara yang baik, maka ada baiknya stop baca review ini sampai di sini, soalnya review saya akan mengandung spoiler. Saya pribadi sih ngerasa sebaiknya kamu tahu apa yang Aronofsky maksudkan sebelum nonton, supaya ada sedikit bekal biar paham inti filmnya. Hal ini yang saya lakukan pada saat nonton film ini. Arofonosky dan Jennifer Lawrence (yang by the way, keduanya pacaran pas produksi film ini) sendiri dalam inteview-nya untuk promosi juga sudah ngasih bocoran tentang inti mother!: sebuah alegori relijius tentang Tuhan, ibu bumi, dan manusia. Setelah menggarap film tentang bahtera nabi Nuh lewat Noah (2013), Darren Aronofsky - yang kabarnya seorang atheis, menjadikan mother! sebagai intrepretasinya sendiri akan kisah dalam Alkitab. 

Tampaknya alegori ini sudah cukup jelas dengan tidak diberikannya nama spesifik pada setiap karakter yang ada. Javier Bardem, adalah seorang penulis puisi yang mengalami writer's block (dan tulisannya nantinya tentu saja mengacu pada firman Tuhan, Alkitab). Karakter Bardem disebut Him, (Him dengan huruf kapital H), so it's pretty obvious that he's God. Istrinya, Jennifer Lawrence, adalah mother, mengacu pada mother earth - ibu bumi. Tugasnya tampaknya mendukung karir sang suami sambil merawat dan mempercantik rumah yang mereka tinggali. Hubungan keduanya tampaknya seperti hubungan pernikahan yang tidak sehat - suami yang egois dan istri yang nrimo-an. Mungkin di kepala Arofonosky demikianlah hubungan antara Tuhan dan bumi: sebuah pernikahan yang nggak sehat dan hubungan cinta yang berat sebelah. Suatu hari mereka kedatangan seorang pria misterius, man (Ed Harris) - yang merujuk pada Adam, dan istrinya woman (Michelle Pfeiffer) - yang merujuk pada Eve (Hawa). Keduanya bertindak seenaknya, merepotkan karakter Lawrence, sementara karakter Bardem tampaknya sangat menikmati kehadiran keduanya. Lalu karakter Lawrence makin kewalahan dan kebingungan ketika tamu-tamu aneh terus berdatangan ke rumah mereka dan bertindak sesuka hati...

Jika tidak tahu tentang alegori Tuhan, bumi, manusia dll, maka mungkin kita berpikir mother! sekedar sekedar film horror versi lain dari Rosemary's Baby (1968). Belum lagi mother! juga merilis poster yang merupakan homage akan film horror klasik itu. Banyak elemen yang mungkin juga akan mengingatkan kita akan film Rosemary's Baby. Jennifer Lawrence adalah Mia Farrow, dan Javier Bardem adalah John Cassavetes. Pasangan suami istri Ed Harris dan Michelle Pfeiffer adalah tetangga nyentrik Rosemary dan suami, yang diperankan Sidney Blackmer dan Ruth Gordon. Namun sampai di sini saja kesamaan keduanya, karena pada third act-nya Aronofsky menyuguhkan adegan long sequence full of chaos: kerusuhan, pembunuhan, penyiksaan, hingga puncaknya daging bayi yang dimakan ramai-ramai. Tiga puluh menit bagian akhirnya sangat twisted, kita seperti sedang bermimpi buruk. Penonton awam yang nggak paham film semacam ini mungkin akan merasa film ini membingungkan dan membuat mual. 

Aronofsky kabarnya mendapat inspirasi untuk membuat mother! setelah membaca berita-berita penuh kekacauan yang kini terjadi di dunia. Ditambah mengetahui fakta bahwa ia seorang environmentalist, maka pesan dalam mother! kayaknya sudah terbaca dengan jelas: betapa mother earth (Jennifer Lawrence) sudah memberikan segalanya untuk Tuhan (Javier Bardem) dan tamunya (manusia), tapi manusia tetap saja seenaknya sendiri dan nggak tahu terima kasih. I get this point, tapi apakah pesan ini bisa disampaikan dengan baik melalui filmnya? 

Sayangnya menurut saya enggak. This movie is intense and disturbing, but I can't feel and learn anything new. Kalau emang Aronofsky hendak kasih nasihat ke saya untuk menjaga bumi, saya lebih tersentuh dengan kampanye diet plastik National Geographic atau nontonin dokumenter beruang kutub di BBC yang sekarat karena efek global warming. Jika memang pesan yang ingin disampaikan Aronofsky adalah agar manusia tidak bertindak seenaknya sendiri di dunia dan mensyukuri apa yang sudah mother earth lakukan kepada kita, saya tidak mendapatkannya di sini (atau memang bukan itu yang sedang Aronofsky lakukan?). Kesan yang saya dapatkan di sini cuma bahwa Aronofsky mempersonifikasi Tuhan (Javier Bardem) sebagai sosok egois, narsistik dan haus pujian - tapi juga pengampun, walaupun hal ini hanya supaya ia tetap dipuji dan membiarkan mother earth yang menanggung bebannya. Sementara pesan yang nancap di benak saya cuma overpopulasi berbahaya buat bumi dan fanatisme buta pada agama membuatnya semakin kacau. 

Saya mengagumi keberanian yang dilakukan Aronofsky dengan mempersonifikasi Tuhan dan Bumi, beberapa alegorinya juga sudah cukup jelas (you can read it here), namun banyak hal masih membuat kita bertanya-tanya. Saya ngerasa naskahnya tidak cukup solid, dan script-nya sendiri ga bagus-bagus banget. Ada banyak hal dari film ini yang terasa membingungkan, tapi sementara sebagian orang berusaha menebak isi kepala Aronofsky, saya merasa Aronofsky sendiri sebenarnya kebingungan untuk mengejawentahkan ide-ide di kepalanya. Saya ga cuma bicara cairan kuning aneh yang diminum mother - yang masih belum jelas maksudnya apa, tapi saya juga masih berusaha memahami hubungan Him dan mother dalam pernikahan mereka yang tidak imbang dan patriarkal, persetubuhan mendadak keduanya dan sejauh mana relevansinya dengan Alkitab, karakter man (Ed Harris) yang merokok seenaknya sendiri (dan berprofesi sebagai dokter ortopedi), interaksi antara woman (Michelle Pfeiffer) dan mother yang aneh, dan detail-detail lainnya yang sulit saya tuliskan di sini. Adakah detail-detail itu penting dan punya makna khusus? Ataukah detail-detail ini dipaksakan dan asal saja? 

Saya sebenarnya cukup menyukai langkah yang dilakukan Aronofsky lewat Matthew Libatique, sinematografer langganannya, yang memilih menggunakan hand-held camera dan mengikuti kemanapun karakter Lawrence melangkah. Sepanjang film kamera sangat dominan menyorot wajah Jennifer Lawrence secara close-up, dan sesekali menampilkan situasi yang ada lewat sudut pandang Lawrence. Konon katanya 66 menit dari 121 menit film ini menampilkan wajah Jennifer Lawrence. Ini adalah beban yang cukup berat yang harus diemban Jennifer Lawrence karena separuh film adalah tentang ekspresi wajahnya,  ditambah lagi karakternya adalah karakter yang rumit. Tapi sayangnya... saya tidak merasa performanya luar biasa. I know she's a good actress and I love her personality, namun kayaknya arahan Aronofsky membuatnya hampir selalu menampilkan ekspresi naif dan kebingungan yang lama-lama terasa menjemukan. Dan saya ga bisa menemukan koneksi antara akting dan peran Jennifer Lawrence itu dengan gagasan besar yang ingin disampaikan film ini sendiri. Am I supposed to feel bad and sorry about her? Saya hanya menemukan diri saya sama tersesat dan kebingungannya dengan karakter Lawrence. I'm not dragged into her character and its movie itself. 

Overview:
Mengutip dari apa yang ditulis Julia Alexander di polygon.com, mother! membagi penonton menjadi 3 kubu: penonton yang tidak tahu maksud film ini dan tidak menyukainya, penonton yang merasa tahu maksud film ini dan menyukainya, dan penonton yang merasa tahu apa yang Aronofsky lakukan dan tidak menyukainya. Saya, termasuk yang ketiga. Mother! adalah sebuah film alegori yang berani, kontroversial, intens, dan unsur misteriya juga membuat kita penasaran untuk menontonnya sampai akhir. Namun di balik alegori yang berani itu, saya tidak cukup bisa mendapatkan dan memahami gagasan besar yang ingin disampaikan oleh Darren Aronofsky. Ini adalah film yang berani, namun sebenarnya nggak terlalu cerdas dan tidak kompleks (atau saya aja yang kurang paham?). Saya nggak merasa terkoneksi dengan karakter utamanya, pun saya merasa Darren Aronofsky juga tidak cukup kuat dan solid dalam menyampaikan hal yang ingin ia sampaikan. Tapi seenggaknya Aronofsky berhasil menjadikan mother! sebagai bahan perbincangan setiap penonton yang sudah menonton film ini. Tapi semoga saja penonton tidak cuma sekedar membicarakan kontroversi bayi yang dimakan ramai-ramai atau dada Jennifer Lawrence yang kelihatan dari balik bajunya yang nerawang, namun juga pesan moral kuat yang ingin disampaikannya. 

Senin, 04 September 2017

It Comes At Night (2017) (4,5/5). Review & Penjelasan.

It Comes At Night (2017) (4,5/5). Review & Penjelasan.


You can't trust anyone but family. 
RottenTomatoes: 88% | IMDb: 6,6/10 | Metascore: 78/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5

Rated: R | Genre: Horror, Mystery


Directed by Trey Edward Shults ; Produced by David Kaplan, Andrea Roa ; Written by Trey Edward Shults ; Starring Joel Edgerton, Christopher Abbott, Carmen Ejogo, Kelvin Harrison Jr., Riley Keough ; Music by Brian McOmber ; Cinematography Drew Daniels ; Edited by Trey Edward Shults, Matthew Hannam ; Production company Animal Kingdom ; Distributed by A24 ; Release date April 29, 2017 (Timberline Lodge), June 9, 2017 (United States) ; Running time 91 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $2.4–$5 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Sebuah keluarga kecil yang terdiri dari sang ayah Paul (Joel Edgerton), ibu Sarah (Carmen Ejogo) dan sang anak remaja Travis (Kelvin Harrison Jr.) mengisolasi diri di sebuah kabin setelah sebuah bencana misterius terjadi.

Review / Resensi 
Nama Trey Edward Shults menjadi perbincangan setelah menggarap film Krisha, sebuah film psychodrama eksperimental tentang seorang wanita mantan pecandu yang berusaha untuk bisa diterima kembali oleh keluarga besarnya. Cerita di belakang layar Krisha juga begitu hebat: film itu dibuat dengan budget cuma 14 ribu dollar, digarap di rumah keluarga sang sutradara, dan hampir seluruh cast-nya, termasuk pemeran utamanya, bukan professional actor. Kesan yang saya dapatkan setelah nonton Krisha adalah film yang sejatinya film drama itu terasa seperti film horror. Maka, saya membayangkan jika sang sutradara membuat film horror beneran, pasti akan jadi film horror yang keren! It Comes at Night menjawab khayalan saya. Ini adalah salah satu film horror terbaik tahun ini!

It Comes at Night dibuka dengan seorang wajah pria tua yang tampaknya sedang sekarat akibat sebuah penyakit misterius. Sang anak, Sarah (Carmen Ejogo), mengenakan masker di wajahnya, mengucapkan salam perpisahan sambil berlinangan air mata sebelum sang suami, Paul (Joel Edgerton), membawa pria tua tersebut ke tengah hutan untuk.... ditembak mati. Setelahnya kita kemudian mengetahui bahwa tampaknya ada sebuah bencana kiamat misterius yang membuat manusia menderita penyakit aneh (luka borok pada tubuh dengan pupil mata menghitam dan membesar), dan keluarga kecil Paul mengisolasi diri mereka di sebuah pondok kayu di dalam hutan untuk bertahan hidup. 

It Comes at Night adalah sebuah post-apocalyptic movie yang punya pendekatan berbeda. Sebuah slow burning thriller movie yang lebih fokus pada dilematika moral dan situasi chaos yang bisa terjadi saat bencana kiamat menimpa manusia. Naluri bertahan hidup adalah salah naluri paling primitif dari manusia, dan Trey Edward Shults berusaha menggali seberapa nekad manusia akan melakukan apapun demi bertahan hidup. Seperti yang menjadi caption dalam trailernya, fears make men become monsters. Tanpa menunjukkan dengan jelas apa itu "it" dan bencana apa yang sebenarnya terjadi, It Comes at Night dengan mahir berusaha mempertontonkan bahwa terror yang paling mengerikan sesungguhnya adalah kecemasan di dalam otak kita sendiri.

Walaupun sayangnya tidak seeksperimental Krisha, It Comes at Night masih memberikan kesan yang sama. Ada kesan klaustrophobia, paranoid, dan situasi cemas nan menegangkan yang bikin stress. It Comes at Night tidak mengandalkan adegan jump scare, scene horror-nya juga biasa, namun tension building-nya itu yang bikin stress selama nonton. Shults memainkan itu semua lewat atmosfer yang kelam, lampu redup dan temaram di dalam pondok kayu yang tertutup rapat, koridor-koridor sepi yang gelap dan menakutkan, hutan misterius yang asing dan bikin merining, situasi krisis nan dramatis tentang siapa yang bisa dipercaya, hingga mimpi-mimpi sureal Travis yang tampaknya menjadi simbolisme dari kecemasan dan paranoid. 

Selain Joel Edgerton, It Comes at Night tidak memasang artis-artis populer, namun seluruh cast-nya bermain dengan cukup baik. Bonding antar karakter juga cukup baik dan realistis, dimana hal ini penting untuk meyakinkan penonton bahwa mereka adalah sebuah keluarga yang solid. Sayangnya durasi film ini cuma satu jam 30 menit, sehingga kita tidak diberikan eksplorasi yang lebih luas untuk mengenal masing-masing karakter. Yang juga menarik adalah bagaimana Shults kembali membawa Brian McOmber yang sebelumnya juga menggarap scoring music Krisha, dan ini menjadikan It Comes at Night sempurna dari segi music dan sound editingnya. Seram. Perfecto!

Overview:
One of my favorite horror movie this year! Trey Edward Shults mengajak kita mengikuti perjalanan mencekam nan menegangkan, dimana terror sesungguhnya dari sebuah bencana adalah prasangka buruk, dilematika moral, kecemasan, dan paranoia. Visualnya cantik, musik-nya keren, cast-nya bermain dengan cukup baik. Penikmat film horror mainstream mungkin akan sedikit kecewa karena narasinya yang terbilang lambat dan ceritanya yang kurang jelas, but it's not problem for me.. 

...
PENJELASAN IT COMES AT NIGHT
(SPOILER)

Sebenarnya ini bukan penjelasan sih, lebih ke arah pemikiran pribadi saya soal film ini. Malah, saya merasa sebenarnya film ini ga perlu penjelasan juga..

Saya merasa film ini menawarkan sesuatu yang saya sebut: the beauty of the unknown. Maksudnya, keindahan dari sesuatu yang tidak diketahui. Jadi, kesengajaan Shults untuk tidak menjelaskan dengan gamblang segala misteri tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam It Comes at Night justru membuat film ini elegan dan.... keren. Saya tahu hal ini terkadang bisa membuat penonton sebal, namun segala misteri "ketidaktahuan" ini memang menjadi dasar cerita dari It Comes at Night yang sejatinya adalah tentang anxiety dan paranoia. Bukankah bahaya akan sesuatu yang tidak kita ketahui justru terasa makin menakutkan? Dan bukankah, realita hidup kita sendiri menawarkan banyak misteri yang tidak bisa dijelaskan? Ada banyak hal dalam hidup ini yang menuntut penjelasan daripada sekedar "rahasia Illahi", namun pada akhirnya kita harus bisa menerima kenyataan bahwa banyak hal yang tampaknya memang tidak akan pernah kita ketahui. Tidak akan pernah.

Karena itulah, It Comes at Night memang tidak berusaha menawarkan penjelasan apapun soal apa itu "It", penyakit mematikan apakah itu, atau bagaimana wabah itu bermula... Shults memang sama sekali tidak berniat untuk menceritakan itu kepada penonton.

Ketika mencari penjelasan soal film ini di internet, saya membaca argumen yang bilang kalau mimpi-mimpi Travis adalah bukti bahwa ia sebenarnya telah tertular penyakit itu sebelumnya lalu menularkan kepada keluarganya dan keluarga Will. Hmmm.. saya rasa ini bukan argumen yang tepat, karena dalam salah satu percakapan disebutkan bahwa tanda-tanda penyakit itu akan muncul dalam 24 jam (itulah kenapa si Paul mengisolir Will saat Will mendobrak masuk rumah mereka). Jadi, argumen ini harus dibantah. Dan bagi saya, mimpi-mimpi seram Travis lebih ke arah simbolisme alam bawah sadar dirinya yang dihantui ketakutan.

Nah, lalu siapa yang membuka pintu merah itu? Apakah si kecil Andrew yang menularkan penyakit itu kepada keluarga mereka? Siapakah yang dikejar anjing Stanley masuk ke hutan? Apa yang sesungguhnya terjadi di bagian klimaks?

Lagi-lagi, inilah misteri yang memang sengaja tidak diungkap oleh Shults. Inilah "the beauty of the unknown". Apa yang sesungguhnya terjadi sebenarnya tidak lagi relevan: karena mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi tidak mengubah kenyataan bahwa mereka semua akhirnya akan mati. Hey, bukankah rahasia kematian adalah salah satu misteri terbesar bagi manusia? 

Minggu, 20 Agustus 2017

Top 6 : My Favorite Horror Movies 2016

Top 6 : My Favorite Horror Movies 2016


Maapkan saya karena akhir-akhir ini makin jarang nulis blog. Saya sampai heran kok bisa ada movie blogger lain yang bisa nulis dengan lancar jaya dan update setiap ada film baru, sementara saya setiap mau nulis blog harus ngumpulin mood dulu. Udah gitu frekuensi nonton film akhir-akhir ini juga makin berkurang. Kalau nganggur bawaannya pengen main game aja di handphone atau ngetroll di facebook haha :D

Waktu kemarin nulis artikel Top 10 : My Favorite Movies in 2016, saya janji untuk bikinkan artikel sendiri untuk kategori film horror. Satu bulan kemudian, akhirnya baru terwujud artikel ini... langsung aja mari dibaca film horror tahun 2016 apa saja yang menjadi favorit saya. I'm sorry, there is no The Conjuring 2 in this list... 

#6
OUIJA : ORIGIN OF EVIL
Directed by : Mike Flanagan


Walaupun mendapatkan hasil yang memuaskan di box office, di mata kritikus Ouija (2014) bukanlah film horror yang bagus. Dua tahun kemudian, film keduanya bertajuk Ouija: Origin of Evil dirilis. Mike Flanagan yang juga sukses lewat film horror Oculus dan Hush didaulat menjadi sutradaranya dengan budget 2 kali lipat dari film sebelumnya. Strategi itu berhasil, Ouija: Origin of Evil adalah salah satu film horror terbaik versi saya tahun lalu. Merupakan prekuel dari film pertamanya, Ouija: Origin of Evil bercerita tentang seorang single mother dan dua anak perempuannya yang hidup sebagai "cenayang palsu" untuk menyambung hidup. Sampai mereka kemudian "bermain-main" dengan papan Ouija beneran, dan saat itulah kengerian pun dimulai. Ouija: Origin of Evil tidak hanya bikin saya terloncat kaget dari tempat duduk selama nonton (adegan "kesurupannya" mengingatkan saya dengan kengerian ala The Exorcist. And God, itu gambar di atas serem abiz!), tapi juga indah dari segi estetika vintagenya yang memanjakan mata.

#5
DON'T BREATHE
Directed by: Fede Alvarez


Well, Don't Breathe adalah judul yang tepat mengingat sepanjang film ini kita emang beneran dibikin menahan napas saking tegangnya. Don't Breathe dimulai dengan sebuah misi pencurian yang kelihatannya sangat mudah: mencuri rumah seorang pria tua yang buta. Tapi pria tua buta yang kelihatannya ga berdaya ini justru jadi monster yang akhirnya membuat para pencuri yang masih muda ketakutan dan berusaha melarikan diri dari rumah. Ini adalah kebalikan film home invasion, dimana yang pencuri yang menyusup ke dalam rumah justru harus dikejar oleh sang pemilik rumah. Don't Breathe efektif di setiap menitnya, menghadirkan ketegangan tingkat tinggi yang bikin stress dan putus asa, dengan sebuah sick-twist di bagian menjelang akhirnya.

#4
10 CLOVERFIELD LANE
Directed by Dan Trachtenberg


Mengandung kata "Cloverfield" pada judulnya, menurut sang produser J.J. Abrams 10 Cloverfield Lane adalah saudara sedarah Cloverfield (2009), walau hadir dengan format dan cerita yang jauh berbeda. Seorang wanita, Michelle (Mary Elizabeth Winstead) terbangun dari sebuah kecelakaan dan menemukan dirinya berada di sebuah bunker milik seorang pria misterius, Howard (John Goodman) bersama pemuda lain bernama Emmet (John Gallagher Jr). Howard mengatakan bahwa di luar baru saja terjadi kiamat akibat serangan kimia berbahaya. Namun apakah yang dikatakannya benar? 10 Cloverfield Lane membangun level intensitas yang sangat mencekam melalui 3/4 filmnya, membuat kita sibuk menebak apa yang sesungguhnya terjadi dalam level frustasi yang sama seperti yang dirasakan Michelle. John Goodman bermain luar biasa sebagai karakter misterius yang sukses bikin kita takut sekaligus penasaran. Review lengkap bisa dilihat di sini. 

#3
THE WAILING
Directed by: Na Hong-Jin


The Wailing mungkin menjadi salah satu film Korea Selatan (selain The Handmaiden dan Train To Busan) yang paling banyak diperbincangkan tahun lalu. The Wailing akan mengajakmu mengikuti kehidupan khas pedesaan Korea Selatan, ketika seorang polisi lokal setempat Jong Goo (Kwak Do-Won) harus menyelidiki kejadian-kejadian mistik nan misterius yang terjadi di desanya. Hal buruk semakin parah ketika anak perempuan Jong Goo menjadi salah satu korban dan membuat Jong Goo berupaya sangat keras untuk menyelamatkan nyawa anak perempuannya. Yang paling menarik dari The Wailing adalah film ini memberikan kesan orisinil dan otentik, seperti menonton dunia perdukunan dan kesurupan versi Korea Selatan. And yes it is creepy af. Durasinya memang terlampau panjang untuk ukuran film horror, namun menontonnya sama sekali tidak membosankan karena Na Hong-Jin tidak memberikan adegan horror yang itu-itu aja.

#2
UNDER THE SHADOW
Directed by Babak Anvari


Dari kemaren menunda-nunda bikin artikel ini karena nungguin donwload-an film ini yang lumayan susah carinya haha. Jika The Wailing mengajakmu dalam petualangan mistik ala Korea Selatan, maka Under The Shadow membawamu ke dunia mistik Arab: makhluk ghaib Jin. Bersettingkan paska Revolusi Iran di tahun 80-an, Under The Shadow bercerita tentang seorang ibu dan anak perempuannya yang harus tinggal berdua di apartemen setelah sang suami terpaksa bertugas ke luar kota. Kejadian aneh yang menakutkan pun mulai terjadi. Under The Shadow adalah karya debut yang menarik dari sutradara kelahiran Iran, Babak Anvari. There is no disturbing scene in here, tapi adegan creepynya yang sedikit bernuansa surealis hadir bagaikan mimpi buruk yang sukses bikin saya jejeritan kaget sendirian selama nonton. 

#1
THE EYES OF MY MOTHER
Directed by Nicolas Pesce


Jeng-jeng! Tanpa ragu saya akan menyebut The Eyes of My Mother sebagai film horror favorit saya tahun 2016. Jika ada film horror yang bisa tampil mengerikan sekaligus artistik, maka The Eyes of My Mother adalah salah satunya. Film karya debutan dari Nicolas Pesce ini tampil dalam balutan visual hitam putih. Bercerita tentang seorang gadis bernama Fransica (Kika Magalhaes) yang tinggal bersama kedua orangtuanya di sebuah pertanian. Sang ibu, dahulunya adalah seorang dokter bedah di Portugal. Kehidupan yang damai seketika buyar saat seorang pria misterius tiba. The Eyes of My Mother menawarkan atmosfer khas film gore yang sukses bikin penonton merasa mulas dan tidak nyaman diam di tempat selama menonton. Uniknya, disturbing scene-nya ditampilkan dengan cara yang sangat elegan. Kika Magalhaes sukses menghadirkan sosok Fransisca sebagai perempuan polos dan kesepian yang sebenarnya adalah... monster. 

Kamis, 06 Juli 2017

Personal Shopper (2016) (4/5) : Review & Penjelasan

Personal Shopper (2016) (4/5) : Review & Penjelasan

So we made this oath... Whoever died first would send the other a sign.
RottenTomatoes: 81% | IMDb: 6,2/10 | Metacritic: 77/100 | NikenBicaraFilm: 4/5

Rated:
Genre: Mystery & Suspense, Drama, Thriller

Directed by Olivier Assayas ; Produced by Charles Gillibert ; Written by Olivier Assayas ; Starring Kristen Stewart, Lars Eidinger, Sigrid Bouaziz, Anders Danielsen Lie, Ty Olwin, Hammou Graia, Nora von Waldstatten, Benjamin Biolay, Audrey Bonnet, Pascal Rambert ; Cinematography Yorick Le Saux ; Edited by Marion Monnier ; Production company CG Cinéma, Vortex Sutra, Detailfilm, Sirena Film, Arte France, Cinéma Arte, Deutschland/WDR ; Distributed by Les Films du Losange ; Release date 17 May 2016 (Cannes), 14 December 2016 (France) ; Running time 110 minutes ; Country France ; Language English ; Budget $1 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Ketika saudara kembarnya meninggal, Maureen Cartwright (Kristen Stewart) menolak untuk meninggalkan Paris sebelum ia mendapat kontak dari saudara kembarnya yang sudah meninggal tersebut. Masalah bertambah ketika Maureen yang bekerja sebagai seorang personal shopper mulai mendapatkan pesan teks misterius. 

Review / Resensi :
Sebelum dimulai, perlu saya jelaskan reaksi awal saya ketika film Personal Shopper ini berakhir: bengong. Ini adalah tipikal film yang buat saya bingung dan nggak paham. Nggak paham karena nggak jelas. Absurd dan serba ambigu. Begitu film selesai, saya langsung hunting explanation tentang kenapa film ini dianggap bagus oleh sebagian besar kritikus. Untungnya kemudian saya menemukan penjelasan itu di situs Vulture dan blog lokal My Dirt Sheet yang seketika memberikan pencerahan bagi kapasitas otak saya yang terbatas ini. Oh, so this is a good movie!

Walaupun sempat di-boo-in pas screening di Cannes tahun 2016, setelahnya Personal Shopper memperoleh tanggapan positif dari para kritikus. Sang sutradara, Olivier Assayas bahkan akhirnya meraih Best Director di Cannes tahun lalu. Personal Shopper juga dielu-elukan oleh Indiewire berulang kali hingga bikin saya makin penasaran. Ketertarikan saya makin bertambah saat membaca premisnya (yang agak mirip film Indonesia Titik Hitam yang dibintangi Winky Wiryawan), tentang seorang perempuan yang berusaha mencari pertanda kemunculan roh saudara kembarnya yang sudah meninggal. Oh, wow... ini tentu film horror yang sangat menarik.

Tapi saya pun bingung ketika alur film Personal Shopper perlahan menjauhi premis sekilas yang tampaknya seperti film horror itu. Awalnya memang dimulai dengan sentuhan horror khas rumah kosong yang bikin merinding, namun Personal Shopper kemudian mulai bergerak ke ranah psychological thriller ala Hitchcock dengan sentuhan sensual (Kristen Stewart topless 2 kali di film ini). Nuansa thriller ini dimulai dari sebuah pesan teks misterius yang seolah-olah membuntuti sang tokoh utama Maureen kemana-mana yang kemudian berujung klimaks pada terbunuhnya seseorang. Personal Shopper lalu juga bermain ke arah drama ketika kita diajak mengenali sisi psikologis Maureen lebih dalam: krisis identitas, loneliness, dan bagaimana ia mengatasi rasa dukanya kehilangan saudaranya. 

Lho, jadi ini film horror, thriller atau drama?

Film ini adalah ketiganya! Saya jadi teringat film Spring, yang menggabungkan genre body-horror dengan romantis - sebuah perpaduan genre yang aneh dan rawan nggak nyambung. Demikian juga dengan Personal Shopper yang tampaknya menjadikan batas genre tersebut itu abu-abu dan ambigu. Seiring dengan alur cerita filmnya, Oliver Assayas dengan cerdas mampu "mengaburkan" batas dan membaurkan nuansa tone pada tiap masing-masing genre. Ia bagaikan memadukan yang realis dengan yang mistis. 

*spoiler* Ada tiga scene yang menunjukkan bagaimana Assayas berusaha mencampurkan kesan realis dan mistis. Satu, pada adegan klimaksnya: ketika Maureen menemukan bossnya Kyra terbunuh. Ini adalah sebuah thriller, namun kemudian lampu apartemen tempat Kyra terbunuh padam-padam sendiri seperti menampakkan tanda-tanda hantu. Kedua, pada bagian ketika Maureen menemui pengirim pesan misteriusnya di sebuah hotel yang kemudian oleh Assayas di-cut tanpa sebuah penjelasan, namun menampilkan lift dan pintu hotel yang membuka sendiri dan mengesankan ada hantu di dalamnya. Ketiga, ketika kamu berpikir bahwa segala keanehan yang terjadi di hidup Maureen sebenarnya cuma campur tangan orang biasa, kamu akan teringat adegan ala Ghostbuster di bagian awal film dan juga gelas melayang pada bagian akhir film. Jadi film ini beneran film yang ada hantunya. *spoiler ends*

Personal Shopper bukanlah sebuah film dengan kepingan puzzle yang harus disusun lantas sebuah twist pada akhirnya akan membuat susunan puzzle tersebut jadi utuh dan masuk akal Endingnya malah justru puncak ambiguitas itu. Maureen adalah perantara antara dunia material dan non-material, dan ini membuat kita sebagai penonton ikutan rancu dengan segala hal yang terjadi pada kehidupan Maureen. Apakah ini semua hanya khayalan Maureen? Apakah benar sang "hantu" adalah saudara kembar Maureen? Semuanya tidak jelas. Setidak jelas dunia metafisik itu sendiri. Dan semua ini merupakan bagian dari proses duka Maureen karena kehilangan saudara kembarnya. 

Kristen Stewart mendapat pujian dari para kritikus berkat aktingnya di sini. Aktingnya memang oke sih, tapi berhubung saya sudah ilfil sama doi karena perannya sebagai Bella di Twilight, jadi saya ga bisa menilai doi secara subyektif. Haha. (Anyway pilihan karir Kristen Stewart untuk lebih milih peran di film-film indie adalah langkah yang baik). Sejujurnya, perannya juga nggak jauh dari peran-perannya sebelumnya: sebagai gadis grunge yang masam. Saya mungkin akan menilai ia lebih baik lagi jika ia mengambil peran yang jauh lebih optimis dan berbeda dari karakter-karakternya sebelumnya. But, style dia oke banget di sini...


Overview :
Kritikus mungkin akan memuji Personal Shopper karena sisi orisinilnya, namun penonton awam akan melihat Personal Shopper sebagai sebuah film absurd yang membosankan dan membingungkan. Olivier Assayas berhasil menjadikan Personal Shopper sebagai perpaduan antara genre thriller, horror, dan drama yang dicampurkan dalam batas-batas yang ambigu. Kristen Stewart bermain aman dengan peran-peran depresi yang tampaknya memang sesuai dengan karakternya, namun ia mampu memaksimalkannya dan menjadikan Maureen sebagai salah satu akting terbaik dalam perjalanan karirnya. 


Jumat, 21 April 2017

Predestination (2014) (3,5/5)

Predestination (2014) (3,5/5)


The snake that eats its own tail, forever and ever?
RottenTomatoes: 84% | IMDb: 7,5/10 | Metascore: 69/100 | NikenBicaraFilm: 3/5

Rated: R
Genre: Drama, Mystery, Sci-fi

Directed by The Spierig Brothers ; Produced by Paddy McDonald, Tim McGrahan, The Spierig Brothers ; Screenplay by The Spierig Brothers ; Based on "'—All You Zombies—'" by Robert A. Heinlein ; Starring Ethan Hawke, Sarah Snook, Noah Taylor ; Music by Peter Spierig ; ; Cinematography Ben Nott ; Edited by Matt Villa ; Production companyScreen Australia, Screen Queensland, Blacklab Entertainment, Wolfhound Pictures ; Distributed by Pinnacle Films, Stage 6 Films ; Release date8 March 2014 (SXSW Film Festival), 28 August 2014 (Australia) ; Running time97 minutes ; Country Australia ; Language English

Story / Cerita / Sinopsis :
Seorang agen terbaik (Ethan Hawke) yang bekerja pada sebuah biro yang bertugas mencegah kejahatan dengan sebuah mesin waktu diminta untuk melaksanakan misi terakhirnya sebelum pensiun.

Review / Resensi :
Tema time-travel selalu menarik untuk diikuti. Saya sering mikir kenapa enggak lahir di masa depan dimana siapa tahu ada orang yang sudah bisa menciptakan mesin waktu layaknya doraemon, lalu saya kembali ke masa lalu dan membenarkan takdir hidup saya yang.... begini. Lol. Perjalanan waktu ke masa lalu selalu memunculkan paradoks-paradoks yang penuh pertanyaan, yang kemudian juga membuat kita mempertanyakan konsep takdir itu sendiri. Bisakah kita kembali ke masa lalu dan mengubah takdir kita? Konsekuensi apa yang akan muncul jika kita mengubah masa lalu? Sesuai judulnya, Predestination kurang lebih berusaha mengeksplorasi hal yang berkaitan dengan itu.... dengan ceritanya yang mind-fucking banget!

Sudah banyak film-film bertema time travel lainnya, seperti Looper (2012). Primer (2004), hingga 12 Monkeys (1995). Predestination mencoba mengambil tema serupa, dengan menggabungkannya dengan konsep polisi takdir pada Minority Report (2002). Kalau ngomongin film time travel dengan ending yang twisted, banyak orang akan merekomendasikan Predestination, sehingga film ini udah sering banget saya denger di forum-forum pecinta film. Sempat lama penasaran, akhirnya baru kesampaian ga sengaja nonton kemarin sore. 

Mungkin banyak yang kecele menyangka bahwa Predestination adalah film action yang seru (perhatiin donk posternya menampilkan Ethan Hawke memegang pistol dengan desain poster yang menyiratkan kesan "action" dan futuristik). Tapi kenyataannya filmnya sendiri lebih cenderung ke drama. Namun santai, unsur dramanya sendiri biarpun mendominasi namun tidak akan membuatmu bosan. Alur bolak balik ke masa depan dan masa lalu mungkin juga akan membuatmu bingung, namun dengan diagram penjelasan sederhana yang mudah kamu temukan di internet, sesungguhnya Predestination nggak terlalu bikin pusing. Jauh memusingkan Primer, kalau menurut saya. 

Harus diakui Predestination ini masih banyak kekurangan dari segi eksekusi dan pengolahan cerita. Banyak scene dan subplot cerita yang bagi saya lebay, kurang stylish dan agak norak. Dan ceritanya sendiri kalau kamu pikir-pikir akan terasa tidak masuk akal dan "ngarang" banget. But then again, film ini membuat saya nggak peduli dengan semua itu. Yang menarik dari Predestination adalah bagaimana film ini bisa menyajikan konsep paradoks dari perjalanan waktu yang tabu dan super aneh itu! *spoiler* come on! itu banyak karakter ternyata orang-orang yang sama semua... jadi dia "mengawini" dirinya sendiri, jadi anak, tapi trus anaknya jadi dirinya lagi..... ini jelas mbulet, ngarang abiz (operasi ganti kelamin itu sama sekali nggak masuk akal), dan super weird... (errr.. make love dengan diri sendiri? bukankah itu narsis banget ya? Dan itu please deh ewwww banget!), tapi di lain sisi ketidakmasukakalannya itu juga jadi masuk akal... Pusing ya? Tapi seru... *spoiler ends*

Banyak orang sesumbar bahwa di tengah-tengah filmnya jadi predictable, namun saya sendiri sih enggak cukup mahir menebaknya. Saya biasanya berusaha mengalihkan pikiran dari nebak cerita, supaya endingnya bisa bikin shock dan kesan filmnya jadi berasa (so I blame my Mom who talked too much when we watched The Usual Suspects), jadi saya enjoy saja selama nonton film ini. Dan twist demi twist-nya biarpung ngarang bebas dan agak "maksa" tapi emang jatuhnya tetap seru dan menghibur. 

Anyway, Sarah Snook playing so good as Jane... 

Overview :
Predestination mungkin bukanlah film science-fiction terbaik di subgenre time travel, namun plot ceritanya yang diangkat dari cerita pendek All You Zombie oleh Robert A. Heinlein ini emang mind-fucking banget. Banyak plot hole dan cerita yang terasa terlalu dibuat-buat, tapi saya tidak terlalu peduli. Predestination dengan berani berusaha mengeskplorasi konsep paradoks takdir dan perjalanan waktu dengan cara yang super aneh... tapi berhasil! 


Senin, 03 April 2017

The Stanford Prison Experiment (2015) (4,5/5)

The Stanford Prison Experiment (2015) (4,5/5)

It's easy for you to say, 'Oh, I wouldn't have acted that way, but you don't know. That's - that's the truth. You don't know. And now, I know what I'm capable of, and it hurts. 
RottenTomatoes: 85 % | IMDb: 6,9/10 | Metascore: 67/100 | NikenBicaraFilm : 4,5/5

Rated: R
Genre: Thriller, Suspense, Drama

Directed by Kyle Patrick Alvarez ; Produced by Brent Emery, Lizzie Friedmann, Karen Lauder, Greg Little, Christopher McQuarrie ; Written by Tim Talbott ; Starring Billy Crudup, Michael Angarano, Ezra Miller, Tye Sheridan, Keir Gilchrist, Olivia Thirlby, Nelsan Ellis ; Music by Andrew Hewitt ; Cinematography Jas Shelton ; Edited by Fernando Collins ; Production companiesAbandon Pictures, Coup d'Etat Films, Sandbar Pictures ; Distributed by IFC Films ; Release date January 26, 2015 (Sundance), July 17, 2015 (United States) ; Running time122 minutes ; Country United States ; Language English

Story / Cerita / Sinopsis :
Dua puluh empat mahasiswa menjadi sukarelawan dalam sebuah eksperimen simulasi penjara. Dua belas menjadi tahanan, dan dua belas lainnya ditugaskan menjadi penjaga. Eksperimen ini kemudian berjalan di luar kendali. 

Review / Resensi :
Selain eksperimen Milgram, salah satu eksperimen di bidang psikologi yang populer dan kontroversial adalah The Stanford Prison Experiment. Sebanyak 24 mahasiswa menjadi volunteer dalam eksperimen tersebut dengan 9 (dan 3 cadangan) menjadi tahanan dan 9 (dan 3 cadangan) lainnya menjadi penjaga penjara. Mahasiswa yang dipilih adalah mahasiswa dengan kehidupan relatif normal: nggak ada background kriminal dan relatif sehat secara fisik dan mental. Simulasi yang kelihatannya tidak berbahaya itu kemudian menunjukkan hasil yang mengejutkan: beberapa orang yang bertugas menjadi penjaga penjara menunjukkan tendensi tanda-tanda sadisme, dan beberapa orang yang menjadi tahanan menunjukkan tanda-tanda pasif menerima segala tindakan abusif dari para "petugas penjara". So.. eksperimen ini seolah-olah mampu menunjukkan bahwa beberapa orang yang diberi otoritas bisa menunjukkan sifat yang berbeda dari sifat aslinya. Some people could turn into an evil and seems enjoying it....

Nama indie director Kylie Patrick Alvarez sudah menarik perhatian saya sejak filmnya Easier With Practice, dan The Stanford Prison Experiment ini membuktikan bahwa dia sutradara yang baik. Oh my god, this movie is very intense from beginning till the 'end. Alvarez dengan baik mampu membangun tensi ketegangan yang terasa real melalui setiap adegannya. Ia mampu membangunnya melalui detail keheningan yang berlanjut dengan adegan yang menguras emosi, menciptakan efek ketegangan dan ketakutan yang sama dengan "tahanan-tahanan"-an itu. Naskah dari Tim Talbott juga dipenuhi dialog-dialog yang membuat kita mempertanyakan batas kemanusiaan kita. Saya tipe yang ketawa nonton film-film berdarah-darah ala Tarantino, tapi kalo film yang menegangkan secara psikologis gini saya suka stress-stress sendiri. Sebagai contoh: saya stress berat nonton series Breaking Bad (dan sampai sekarang belum berani lanjut ke season 4), dan The Stanford Prison Experiment ini mampu memberikan pengalaman serupa. Bikin saya ngepause-pause beberapa kali, nylimur bentar mainan handphone atau cari makanan di kulkas. Dan tau kalo film ini berdasarkan eksperimen asli dengan fakta-fakta yang beneran terjadi di lapangan, bikin film ini jadi makin menakutkan. 

Salah satu foto adegan dari eksperimen sesungguhnya tahun 1971 yang menunjukkan penjaga melakukan tindakan abusif terhadap tahanan. FYI, tim peneliti yang melakukan eksperimen ini tidak pernah memberitahu penjaga tahanan bagaimana "menertibkan" tahanan. So, they did this by their own initiative. 
Setelah menonton filmnya saya coba sekilas baca-baca eksperimen aslinya yang dilakukan 1971 dan membandingkan keduanya. Memang ada beberapa perbedaan dari eksperimen aslinya, namun secara garis besar hampir semua kejadian di film ini sesuai dengan kejadian aslinya. Setting tempatnya, pakaian yang dikenakan, kejadian-kejadian yang terjadi, dan karakter-karakter yang ada. Para petugas penjara mengenakan seragam, dilengkapi dengan pentungan, dengan kacamata hitam untuk menghindari kontak mata. Sedangkan para tahanan mengenakan "dress" dengan nomor tahanan - bertujuan untuk mengaburkan identitas asli para tahanan. Dress tanpa baju dalam dan ditelanjangi di bagian awal masuk "penjara-penjaraan" digunakan dengan tujuan untuk mendegradasi, mempermalukan, dan emasculated psikologis personal para tahanan. Ya.... selama ini kita mengira bahwa kita adalah raja dari pikiran kita sendiri. Namun eksperimen ini seperti menunjukkan kebalikannya. Para tahanan "dilucuti" harga diri, kebebasan dan otoritas dirinya, sedangkan petugas penjara merasa memiliki "otoritas penuh".... dan mahasiswa-mahasiswa yang normal itu pun kemudian berubah menjadi budak dan monster. Fyi, eksperimen yang rencananya 2 minggu ini cuma bisa bertahan 6 hari, dan "pemberontakan" dari para tahanan bahkan sudah terjadi sejak hari pertama. Eksperimen aslinya bisa dicek di www.prisonexp.org.

Nonton film ini membuat saya teringat fasisme, bullying, hingga pengkaderan jaman ospek di kampus. Well, power and controlling other people is..... fun. Ya, film dan eksperimen ini memang tidak menunjukkan bahwa semua orang berperilaku serupa jika diberi otoritas atau situasi yang sama (ga semua orang bisa jadi jahat, ga semua orang jadi pemberontak atau submisif), tapi mungkin kita punya sifat bawah-sadar yang bisa bangkit jika mengalami situasi tertentu. Ada kasus yang menarik dalam film ini sendiri: seorang tahanan nomor 8612 (Ezra Miller) dan petugas penjara yang berlagak "John Wayne" (Michael Angarano). Tahanan #8612 menunjukkan sifat pemberontak sekaligus manipulatif, sedangkan "John Wayne" menunjukkan tanda-tanda sadistik. Keduanya sebenarnya..... punya bawaan sifat yang sama. Yang membedakan mereka adalah: one flipped coin. Satu diundi jadi tahanan, satu kena undian jadi petugas penjara. 

Cukup menegangkan dan menakutkan pula ketika eksperimen kontroversial ini rupanya tidak hanya mengubah perilaku para mahasiswa yang menjadi sukarelawan, namun juga para peneliti itu sendiri. Termasuk dalam hal ini adalah sang pimpinan penelitian, Dr. Zimbardo (Billy Crudup). Bagi saya, Dr. Zimbardo ini serupa monster yang sesungguhnya. Monster yang "bertangan bersih" namun penyebab semua hal-hal buruk itu terjadi, dan bahkan kalau nggak "dimarahin" tunangannya dia akan tetap melanjutkan eksperimen tidak etis ini. Zimbardo seolah-olah melupakan bahwa sukarelawan dalam eksperimen tersebut adalah manusia sungguhan, bukan sekedar obyek penelitian. Kalo ditarik garis panjang... kita bisa melihat sebuah negara dimana rakyat kecil yang memberontak dengan tentara atau polisi yang melakukan hal-hal opresif. Namun tangan kotor sesungguhnya dimiliki pejabat-pejabat berkuasa yang duduk manis di ruangannya dan membiarkan hal itu terjadi. They are the real fascist. And you know what, this movie shows you that we need a woman to create a peace! Hail woman with their sensitive and empathy side! 

Selain naskah dan directing yang baik, saya juga menyukai bagaimana The Stanford Prison Experiment bisa menghadirkan suasana tahun 70-an dengan baik dan juga stylish. Saya suka tone kecoklatan yang digunakan, sesuai dengan mood kusam muram yang depresif. And the other great thing about this movie is their cast! Ini kayak semacam nonton sekumpulan the next young breakthrough actor yang biasa main film indie jadi satu: mulai dari Ezra Miller, Tye Sheridan, Thomas Mann, Michael Angarano, Olivia Thirlby, hingga Johnny Simons. Oh ya, saya juga menyukai scoring music yang menarik dari Andrew Hewitt.  

Overview:
The Stanford Prison Experiment boleh dibilang seperti A Clockwork Orange versi.... beneran. Kylie Patrick Alvares mampu menghadirkan sebuah film yang begitu intens dan menegangkan secara psikologis dari awal hingga akhir. This movie makes you wonder about our morality and humanity boundaries, membuatmu mempertanyakan apakah kita punya sisi jahat tersembunyi yang bisa dibangkitkan pada situasi tertentu? Are we a monster? The cast is amazing, visualnya stylish, scoring music-nya juga menarik. Quite underrated, but this one is my fav! 

Minggu, 26 Maret 2017

Nocturnal Animals (2016) (4,5/5)

Nocturnal Animals (2016) (4,5/5)

"Susan, enjoy the absurdity of our world. It's a lot less painful. Believe me, our world is a lot less painful than the real world."
RottenTomatoes: 73% | IMDb: 7,5/10 | Metascore: 67/100 | NikenBicaraFilm : 4,5/5

Rated: R
Genre: Drama, Mystery & Suspense 

Directed by Tom Ford ; Produced by Tom Ford, Robert Salerno ; Screenplay by Tom Ford ; Based on Tony and Susan by Austin Wright ; Starring Amy Adams, Jake Gyllenhaal, Michael Shannon, Aaron Taylor-Johnson, Isla Fisher, Armie Hammer, Laura Linney, Andrea Riseborough, Michael Sheen ; Music by Abel Korzeniowski ; Cinematography Seamus McGarvey ; Edited by Joan Sobel ; Production company Fade to Black ; Distributed by Focus Features ; Release dateSeptember 2, 2016 (Venice), November 18, 2016 (United States) ; Running time116 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $22.5 million

Story / Cerita / Sinopsis:
Susan (Amy Adams), menerima draft novel dari mantan suaminya yang merupakan simbolisme pembalasan dendam sang mantan suami. 

Review / Resensi :
Nocturnal Animals adalah film yang.... saya banget. Film yang diambil dari novel tahun 1991 berjudul Tony & Susan karangan Austin Wright ini merupakan gabungan dari genre suspense/thriller dan drama percintaan. Dua genre kesukaan saya banget! Dan yes, film ini punya Jake Gyllenhaal (uwuwwuuw :D) dan Amy Adams (saya jadi ngefans sejak film Arrival), serta cast lain yang luar biasa hebat: Michael Shannon, Aaron Taylor-Johnson, Laura Linney dan Isla Fisher. Tom Ford, fashion designer yang populer sejak menjadi creative director di Gucci dan YSL ini rupanya juga berhasil membuktikan bahwa karya debutnya A Single Man (2009) bukanlah suatu kebetulan : he is a good director. So here I said it, I love this movie so much!

Nocturnal Animals bercerita tentang seorang sosialita pemilik art gallery Susan (Amy Adams) yang tidak bahagia dengan kehidupannya : karirnya menurun dan pernikahannya tidak bahagia. Suatu hari ia mendapat sebuah bingkisan yang berisi draft novel dari mantan suaminya Edward (Jake Gyllenhaal). Novel tersebut merupakan karangan Edward dan didedikasikan untuk Susan sang mantan istri. Susan pun membacanya dan terseret pada alur ceritanya yang berkisah tentang kekerasan dan pembalasan dendam. Membaca novel ini juga membuatnya kembali mengingat hubungan yang pernah ia lalui bersama sang mantan suami. 

Ada 3 plot cerita yang mendasari Nocturnal Animals: Susan di kehidupan nyata, cerita yang ada di novel Edward, dan flashback hubungan Susan dan Edward. Tom Ford saya rasa berhasil membawakan ketiganya untuk mudah diikuti dan memotong antar adegannya dengan sangat mulus dan "artsy". Yang juga menarik adalah Tom Ford, yang seorang fashion designer, bisa membawakan Nocturnal Animals seperti yang biasa dilakukan Coen Brothers. This movie is so intense. Apalagi adegan dalam plot novel - ketika Ray (Aaron Taylor-Johnson) melakukan intimidasi ke keluarga Toni (Jake Gyllenhaal). Adegan ini sukses bikin saya ikutan cemas dan panik (kebayang ga sih, di jalanan antah berantah tiba-tiba digangguin 3 cowok jahat? Ya biarpun si Aaron Taylor-Johnsonnya ganteng tapi tetep aja serem abiz!). And this movie could dragged me down emotionally, apalagi kalo lihat mukanya Ray bawaannya pengen mukul kepalanya pakai palu. 

Nocturnal Animals ini seperti Mulholland Drive: sarat simbolisme. Jadi memahami filmnya harus bisa menghubungkan relevansi antara novel crime yang ditulis oleh Edward dengan kisah percintaan Susan dan Edward di masa lalu. Saya akan membahas penjelasan lebih detailnya nanti - jika nggak males - di postingan berikutnya. Tidak hanya dari alur cerita saja yang berhubungan, namun Tom Ford sebagai sutradara dan penulis naskahnya juga mampu menghadirkan simbol-simbol subtil tentang apa yang ingin ia sampaikan. Mungkin nggak semua orang bisa menyadari, saya sendiri juga nggak sadar sampai akhirnya nonton movie ending explanation-nya di youtube. And then after I watched it i felt like, "Wow! Yes that's make sense!". Jadi buat yang belom nonton filmnya, coba perhatikan detail-detail kecilnya seperti sofa merah, mobil yang digunakan atau bahkan pemilihan Isla Fisher (yang sering dimirip-miripkan dengan Amy Adams) sebagai pemeran istri Tony pada novel karangan Edward.  

Saya merasa naskah Nocturnal Animals juga tersusun dengan baik. Ada beberapa issue seputar permasalahan hidup Susan yang disampaikan hanya melalui 1 adegan namun setiap adegannya bisa begitu efektif. Sebagai contoh, dimulai dari opening scene ketika Susan tampak tidak bahagia di opening galerinya, sebuah adegan percakapan dengan suaminya yang menunjukkan bagaimana Susan merasa "jauh" dari suaminya, hingga dialog singkat dengan sang ibu (Laura Linney). Relationship-nya dengan Edward juga hanya ditunjukkan dalam 3 adegan : bagaimana mereka bertemu, bertengkar dan akhirnya berpisah. Berdasarkan dialognya yang tersusun dengan baik dari hanya 3 adegan tersebut kita juga bisa langsung bisa memahami masalah dan sifat di antara mereka berdua. Mungkin karena saya sendiri punya topik favorit soal psikologi manusia dan hubungan percintaan, jadi sebagian dialognya terasa related. 
"When you love someone you have to be careful with it, you might never get it again."
Lalu kita bicara tentang seorang designer yang menyutradarai sebuah film, dan bagi yang sudah nonton A Single Man pasti tahu betapa artistiknya film itu. Nocturnal Animals juga sama indahnya. Ditambah lagi sinematografi menawan yang ditangani oleh Seamus McGarvey (Atonement, Anna Karenina). Memang filmnya nggak sampai seindah A Single Man yang kerasa lebih "fashionable" (karena toh Nocturnal Animals memang dominan ke arah suspense), tapi bukan berarti saya tidak mengagumi setiap adegan yang di-shoot dengan indah. Saya juga menyukai sentuhan warna-warna bold dan neon yang mewarnai film ini. Scoring music dari Abel Korzenioswski juga begitu indah.

Apa lagi yang paling menarik dari Nocturnal Animals? The cast! Salah satu snub terbesar di Oscar tahun ini adalah tidak masuknya nama Amy Adams ke bursa Best Actress. She had Arrival and also Nocturnal Animals in 2016, and the jury forget about her? And choose Meryl Streep (again) instead of her?! Jake Gyllenhaal bermain sama baiknya, chemistry keduanya waktu di restoran ketika lama tidak berjumpa, adalah sebuat adegan kecil yang meyakinkan bahwa memang (pernah) ada spark di antara keduanya (dan uuuh ~ karakter Edward yang so sweet ini langsung bisa bikin saya ikutan klepek-klepek!). Tapi memang harus diakui bahwa Michael Shannon dan Aaron Taylor-Johnson memiliki akting paling menonjol. I love Michael Shannon, walaupun dia spesialis cowok jahat sih (semacam Kevin Bacon), tapi aktingnya di sini memperlihatkan akting yang berbeda dari peran-peran sebelumnya yang pernah saya tonton. Aaron Taylor-Johnson juga berhak meraih Best Supporting Actor di ajang Golden Globe berkat perannya sebagai Ray yang asli bikin kita pengen nendang mukanya! The rest of cast juga amazing. Laura Linney adalah salah satu favorit saya, dia cuma muncul beberapa menit tapi kehadirannya begitu mudah diingat. Saya rasa selain Moonlight, Nocturnal Animals has a best ensemble cast last year.   


Overview:
Nocturnal Animals is a perfect blend between drama and suspense. Tom Ford menunjukkan bahwa ia tidak hanya seseorang yang artistik berkat visual Nocturnal Animals yang classy dan indah, namun juga ia seorang sutradara dan penulis naskah yang baik. Nonton Nocturnal Animals ga cuma bikin tegang tapi juga bisa bikin kita terseret secara emosional. The screenplay is good, and the cast is amazing. Akting Amy Adams, Jake Gyllenhaal, Michael Shannon dan Aaron Taylor-Johnson flawless! Saya nggak tahu kenapa beberapa orang menganggap Nocturnal Animals nggak "sebagus" itu, but for me I think this in of my favorite movie last year!   

Sabtu, 10 Desember 2016

The Wailing (Gokseong) (South Korea, 2016) (4,5/5)

The Wailing (Gokseong) (South Korea, 2016) (4,5/5)


"Not everything that moves, breathes, and talks is alive," 

RottenTomatoes: 98% | Metascore: 81/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5


Rated: R
Genre: Mystery & Suspense, Thriller, Horror

Directed by Na Hong-jin ; Produced by Suh Dong-hyun, Kim Ho-sung ; Written by Na Hong-jin ; Starring Kwak Do-Won, Hwang Jung-Min, Chun Woo-Hee ; Music by Jang Young-gyu ; Cinematography Hong Kyung-pyo ; Edited by Kim Sun-min ; Production companySide Mirror, Fox International Production Korea ; Distributed by 20th Century Fox Korea ; Release dates May 12, 2016 ; Running time156 minutes ; Country South Korea

Story / Cerita / Sinopsis:
Jong-gu (Kwak Do-won) adalah seorang polisi lokal di sebuah desa di pegunungan di Korea Selatan. Sejak kedatangan seorang pria Jepang misterius, kejadian-kejadian aneh terjadi di desanya dan Jong-gu harus menyelidikinya.

Review / Resensi :
Waktu kecil saya suka banget baca komik serial misteri. Salah satu pengarang komik serial misteri favorit saya adalah Chie Watari (yang suka baca komik punya Elex Media dan besar di tahun 90-an pasti pernah baca komiknya). Komik Chie Watari begitu melekat di ingatan karena cerita dan gambarnya aslik horror, serem, terasa realistis, dan bikin mimpi buruk. Menonton The Wailing ini mengingatkan saya kepada komik-komiknya, sebuah nostalgia manis (dan ngeri) dalam bentuk film. Disutradarai oleh Na Hong-jin (The Chaser, The Yellow Sea), The Wailing tak ragu lagi bisa disebut sebagai salah satu film Korea Selatan terbaik tahun ini, dan bisa jadi film horror terbaik tahun ini. Ceritanya mengikuti seorang polisi Jong-gu (Kwak Do-won) yang harus menyelidiki kejadian-kejadian aneh di desanya - pembunuhan sadis, penyakit aneh, dan "zombie"? - sejak kedatangan seorang pria Jepang misterius. 

Satu hal yang saya sukai dari perfilman Korea Selatan adalah nilai otentiknya, setidaknya dari beberapa film Korsel yang pernah saya tonton, seperti Memories of Murder (2003) atau Mother (2009). Daripada bikin film yang muluk-muluk (contohnya film Indonesia yang ceritanya sampah yang penting syuting di luar negeri), film Korea Selatan suka memasukkan unsur otentik dan kekhasan dalam film-film mereka (err anyway I'm not talking about their Korean drama. I used to loved K-Pop and Running Man but I never really love their K-drama). Hal inilah yang saya rasakan juga ketika menonton The Wailing, kala kita mengikuti kisahnya yang digulirkan di sebuah pedesaan "sederhana" bernama Goksung. Tidak ada film horror yang lebih seram dari film yang memberikan pengalaman kemiripan dengan hidup penonton, dan itulah yang Na Hong-jin coba berikan. Sebuah cerita folklore religion yang lekat dengan nilai-nilai tradisional Korea Selatan, dengan sedikit menggabungkan unsur Christianity (ada karakter pendeta di sini dan film ini dimulai dengan sebuah quote dari Bible) dan nilai filosofis yang agak mendalam. Melalui The Wailing kita diajak mengenal dunia perdukunan dan kesurupan versi Korea Selatan. And yes it is creepy as fuck.

Sebagai sebuah film horror sesungguhnya The Wailing bukanlah film horror khas hantu yang suka melibatkan jump scare moment, dengan cuma mengandalkan beberapa adegan yang seperti itu (tapi sekalinya ada efektif banget!). Lebih tepatnya bisa dikatakan The Wailing lebih suka bermain secara psikologis, more thriller show than horror. Tapi bukan berarti The Wailing pelit dalam kasih disturbing scene, biarpun level sadisnya masih toleran. Hal menarik dari The Wailing adalah bagaimana Na Hong-jin berhasil membangun terornya - membangun atmosfer yang membuat penonton merasa tidak nyaman dan merasa paranoid, sekaligus bikin penasaran tentang misteri apa yang sesungguhnya terjadi. Trik teror yang ada juga tidak pernah dilakukan dua kali, dan mungkin inilah yang membuat biarpun durasinya terbilang lama tapi saya nggak dibikin bosan sedikitpun (beda halnya dengan yang saya rasakan waktu nonton The Conjuring 2, it felt like never ending horror hingga akhirnya saya jadi kebal rasa). Ending film adalah bagian kritis dari sebuah film horror, dan Na Hong-jin berhasil melakukannya dengan sangat.... luar biasa. Kesan di akhirnya sungguh nggak mudah dilupakan. Bikin kita ketakutan sambil menebak-nebak siapa yang bisa dipercaya. Nonton ini malem-malem jam 12 malem jelas sebuah kesalahan yang bikin saya nggak bisa tidur (apalagi setelah ingat malam itu malam Jumat. Big mistake!).

Buat yang cukup familiar dengan film Korea Selatan pasti sudah tahu bahwa kebanyakan film mereka memiliki selipan unsur komedi, bahkan untuk film thriller-mystery-horror seperti ini. Unsur komedi ini utamanya datang dari karakter sang tokoh utama - yang diperankan dengan baik oleh Kwak Do-won. Banyak film Korsel memproyeksikan polisi Korea Selatan bodoh, pemalas, dan naif, dan hal ini ada pada karakter Jong-gu, Namun perlahan, Jong-gu menunjukkan karakter yang berbeda - liar dan kasar, dan sekali lagi Kwak Do-won juga berhasil menunjukkan perubahan karakter itu. Saya juga harus mengakui keberhasilan akting Kim Hwan-hee yang berperan sebagai putri kecil Jong-gu. Yang jelas aktingnya jauh lebih oke dari anak kecil di film Train To Busan (2016) yang bagi saya akting nangisnya sangat mengganggu dan kagak bikin saya simpatik. Jun Kunimura sebagai pria Jepang yang misterius dan Hwang Jung-min sebagai sang dukun juga bermain dengan sangat baik.

Satu-satunya kekurangan The Wailing mungkin ada pada beberapa bagian cerita yang terasa ambigu atau tidak jelas. Ditambah lagi fakta bahwa Na Hong-jin menahan diri untuk tidak secara gamblang menjelaskan apa maksud cerita ini. Hal ini bikin saya agak frustasi saking penasarannya (baca bagian spoiler di bawah). Saya juga agak terganggu dengan beberapa karakter, termasuk Jong-gu, yang kerap melakukan hal-hal bodoh dan lambat khas film horror. 

*spoiler* Ngomongin ending The Wailing sangat bikin saya penasaran. The Wailing bagaikan serangkaian puzzle berserakan dan penonton diharuskan untuk menyusun puzzlenya. Sebuah clue dari sang sutradara menunjukkan bahwa film ini punya kecenderungan tinjauan filosofis good versus evil, dan tugas kita adalah menebak siapa yang jahat siapa yang baik. Selama dua jam awal kita dibuat cukup yakin dengan siapa yang jahat, tapi menjelang akhir (titik klimaksnya) kita dikejutkan dengan sebuah "twist", dimana tebakan siapa yang jahat kemudian berganti. Namun justru saat kita mulai yakin siapa yang jahat, Na Hong-jin malah bermain dengan emosi penonton, bikin kita sama dilematisnya dengan sang tokoh utama mengenai siapa yang bisa dipercaya. Lalu tiba-tiba saja film berakhir dan meninggalkan saya dengan pertanyaan besar yang menggantung. Makin bingung karena saya toh tidak terlalu familiar dengan dunia mistis Korea, apalagi harus disambung-sambungin dengan nilai-nilai Christianity menyangkut faith dan temptation. Ada banyak versi analisa yang beredar di internet, dan ini makin bikin saya bingung! *spoiler ends*

Overview:
The Wailing adalah sebuah campuran indah antara misteri/suspense, thriller dan horror. Dalam sinematografinya, scoring music, desain produksi dan kostumnya, Na Hong-jin sukses membawa kita kepada dunia folklore dan spiritualisme Korea. Nilai autentik tradisionalismenya adalah hal yang membuat The Wailing terasa khas dan menarik, menghadirkan atmosfer mistis yang kelam, creepy, dan disturbing. Durasi 2 jam terbilang panjang, namun Na Hong-jin sukses menyeret penonton kepada konflik dan emosi sang tokoh utama - membuat saya sama sekali nggak merasa bosan. Na Hong-jin dengan baik melempar umpan yang saya tangkap, dan kini saya terjebak pada dunianya. Seriously, The Wailing is one great hell terror show.