Tampilkan postingan dengan label 2015. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 2015. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 06 Mei 2017

Krisha (2015) (4,5/5)

Krisha (2015) (4,5/5)


RottenTomatoes: | IMDb: 7,1/10 | Metascore: 86/100 | NikenBicaraFilm : 4,5/5

Rated: R
Genre: Drama

Directed by Trey Edward Shults ; Produced by J.P. Castel, Jonathan R. Chan, Chase Joliet, Trey Edward Shults, Wilson Smith ; Written by Trey Edward Shults ; Based on Krisha by Trey Edwards Shults ; Starring Krisha Fairchild, Robyn Fairchild, Bill Wise ; Music by Brian McOmber ; Cinematography Drew Daniels ; Edited by Trey Edward Shults ; Distributed by A24 ; Release date March 16, 2015 (SXSW), March 18, 2016 (United States) ; Running time 81 minutes ; Country United States ; Language English

Story / Cerita / Sinopsis :
Krisha (Krisha Fairchild) hadir pada sebuah pesta Thanksgiving keluarga yang telah ditinggalkannya selama 10 tahun.

Review / Resensi :
Krisha dibuka dengan potret wajah Krisha (Krisha Fairchild), seorang wanita paruh baya, dalam ekspresi yang bizarre: campuran linglung dan "kosong", dengan iringan scoring music dari Brian McOmber yang sama anehnya. My first impression was like... "Okay, am I gonna watch drama or horror movie?". Lalu adegan berlanjut memperlihatkan Krisha datang dengan mobilnya - melalui pergerakan kamera yang mengalir tanpa terputus - ia tampak kikuk mencari rumah yang benar. Rupanya ia hendak menghadiri pesta Thanksgiving keluarganya. Ia kemudian disambut dengan ramah oleh saudara, saudara ipar, anak dan keponakan-keponakannya. Belakangan kita mengetahui bahwa Krisha adalah seorang mantan alkoholik dan drug abuser yang sudah sober, dan berniat menunjukkan tekad kuat kepada keluarga besarnya yang tampaknya pernah disakitinya dan ditinggalkannya di masa lalu. 

Sekilas, premis Krisha tampak seperti family reunion movie dengan tema redemption, sebuah drama yang membuat kita sedih sekaligus terharu. Ya.... tipikal film dengan pesan-pesan optimis dan positif tentang mantan pecandu yang berusaha "tobat". Namun Krisha rupanya bukanlah tipikal film semacam itu. Dalam karya debutnya yang disutradarai, diedit dan naskahnya juga dikerjakan sendiri, Trey Edward Schultz menunjukkan bahwa ia adalah filmmaker yang talented dan jenius (I can't wait for his next horror movie in June!) yang mampu memberikan atmosfer dan pendekatan berbeda dari sebuah family drama. Impresi pertama saya tidak berubah hingga akhir, saya seperti menonton sebuah film drama dalam kemasan "horror". Sebuah experimental psychodrama yang terasa realistis dan surealis di saat yang sama. Krisha is so.... bizarre, in a good way.

Krisha adalah tipe film yang membuatmu sadar bahwa untuk bikin film yang bagus kamu nggak butuh dana banyak. Dana film yang hanya sebesar $14.000 ini didapatkan melalui Kickstarter, semacam pengumpulan dana untuk proyek-proyek kreatif. Dalam press release-nya, terungkap juga bahwa film ini cuma di-shoot 9 hari, dilakukan di rumah orangtua Schultz, dan nyaris semua pemeran dalam film ini adalah kerabat dan teman dekat Schultz. Yang lebih menakjubkan lagi, pemeran Krisha adalah bibi Schultz sendiri yang nama depannya juga Krisha. Gilak, untuk non-professional actress, akting Krisha Fairchild di sini keren dan natural banget. Ini semacam bukti bahwa talented gift actress ga harus A-list Hollywood Actress yang kudu dibayar mahal. Dan karena memang diperankan oleh "orang beneran", kesan realistis karakter Krisha juga tampak lebih meyakinkan. Seorang wanita paruh baya dengan tubuh yang tidak terlalu terawat dan rambut abu-abunya yang kusut. Demikian juga dengan para pemeran lainnya - seperti mampu menampilkan suasana "American family" beneran. It's just like a family project, and it's so damn cool! Saya mau donk ama keluarga bikin film bareng-bareng kayak gini.

Kabarnya Krisha memang terinspirasi dari kisah nyata salah satu anggota keluarga Schultz yang punya problem yang sama. Melalui film ini, Schultz sepertinya hendak membicarakan bagaimana efek kecanduan tidak hanya merusak pecandu, namun juga dapat merusak hubungan keluarga. Yang menarik, Krisha menawarkan dua perspektif berbeda: melalui sudut pandang sang mantan pecandu, Krisha, dan anggota keluarga lainnya. Shultz tampaknya berusaha menampilkan anggota keluarga lainnya sebagai tipikal keluarga yang dekat dan bahagia, yang telah "move-on" tanpa kehadiran Krisha, namun kemudian berusaha "menerima" lagi Krisha. Tapi pada akhirnya, forgiving is not that easy (hal ini disampaikan melalui karakter sang anak (diperankan oleh Schultz sendiri) dan saudara ipar Krisha) dan kesabaran toh ada batasnya (disampaikan oleh saudara perempuan Krisha, Robyn). 

Lalu melalui perspektif Krisha, Schultz tampaknya berusaha mengajak kita merasakan emosi dan chaos dalam otak Krisha - disampaikan melalui kombinasi pergerakan kamera yang simultan, lighting effect, dan scoring music yang aneh (tapi jenius). Kita seperti dibuat sama bingung dan depresinya dengan Krisha. Acara Thanksgiving yang harusnya "hangat" terasa seperti horror dinner menegangkan ala The Invitation (2015). Kebahagiaan dan kedekatan anggota keluarga lainnya justru seperti keterasingan dan sumber kecemasan bagi Krisha. "The turkey" yang dimasak oleh Krisha adalah semacam simbolisme "bukti" yang harus ditunjukkan Krisha kepada anggota keluarga lainnya bahwa ia sudah berhasil keluar dari keterpurukannya. Dan sepanjang film ini kita dibuat sama cemasnya dengan Krisha: apakah turkey itu berhasil dimasak atau tidak.

Menonton Krisha mau ga mau membuat saya teringat dengan Under The Skin (2014), walaupun kedua film ini punya genre yang jauh berbeda. Entahlah, mungkin karena atmosfer eksperimental-nya yang kental dan terutama scoring music-nya yang aneh tapi..... cool! Keduanya seperti 2 film yang akan disutradarai oleh Thom Yorke kalo doi bikin film. Yeah, it's a great and bizarre movie, namun saya merasa bahwa saya membutuhkan basic story yang lebih mendalam lagi. Saya merasa ingin tahu lebih dalam lagi mengenai kisah hidupnya. Saya ingin tahu bagaimana dia meninggalkan anak dan keluarga lainnya, kenapa ia kecanduan hingga bagaimana ia mengatasi kecanduannya. Mungkin Schultz memang tidak bertujuan menyajikan film yang "lengkap" soal kisah hidup Krisha. Sooo... kalo emang tujuan dia bikin penonton penasaran dan terseret pada emosi dan simpati pada sosok Krisha dan keluarga lainnya, he did a great job.


Overview:
Jelas Krisha bukanlah tipikal family drama biasa. Dengan budget luar biasa tipis, Krisha berhasil menyajikan sebuah psychodrama yang menawan dalam keanehannya. Film ini terasa eksperimental, seperti campuran antara realisme dengan surealis, seperti nonton film drama rasa horror-thriller. Kita dibawa untuk terseret pada emosi dan chaos dalam otak sang protagonis, Krisha. Dalam karya debutnya ini Schultz menunjukkan bahwa ia adalah sutradara yang brilian dan patut diperhatikan. And Krisha Fairchild? She is unbelievable!



Senin, 03 April 2017

The Stanford Prison Experiment (2015) (4,5/5)

The Stanford Prison Experiment (2015) (4,5/5)

It's easy for you to say, 'Oh, I wouldn't have acted that way, but you don't know. That's - that's the truth. You don't know. And now, I know what I'm capable of, and it hurts. 
RottenTomatoes: 85 % | IMDb: 6,9/10 | Metascore: 67/100 | NikenBicaraFilm : 4,5/5

Rated: R
Genre: Thriller, Suspense, Drama

Directed by Kyle Patrick Alvarez ; Produced by Brent Emery, Lizzie Friedmann, Karen Lauder, Greg Little, Christopher McQuarrie ; Written by Tim Talbott ; Starring Billy Crudup, Michael Angarano, Ezra Miller, Tye Sheridan, Keir Gilchrist, Olivia Thirlby, Nelsan Ellis ; Music by Andrew Hewitt ; Cinematography Jas Shelton ; Edited by Fernando Collins ; Production companiesAbandon Pictures, Coup d'Etat Films, Sandbar Pictures ; Distributed by IFC Films ; Release date January 26, 2015 (Sundance), July 17, 2015 (United States) ; Running time122 minutes ; Country United States ; Language English

Story / Cerita / Sinopsis :
Dua puluh empat mahasiswa menjadi sukarelawan dalam sebuah eksperimen simulasi penjara. Dua belas menjadi tahanan, dan dua belas lainnya ditugaskan menjadi penjaga. Eksperimen ini kemudian berjalan di luar kendali. 

Review / Resensi :
Selain eksperimen Milgram, salah satu eksperimen di bidang psikologi yang populer dan kontroversial adalah The Stanford Prison Experiment. Sebanyak 24 mahasiswa menjadi volunteer dalam eksperimen tersebut dengan 9 (dan 3 cadangan) menjadi tahanan dan 9 (dan 3 cadangan) lainnya menjadi penjaga penjara. Mahasiswa yang dipilih adalah mahasiswa dengan kehidupan relatif normal: nggak ada background kriminal dan relatif sehat secara fisik dan mental. Simulasi yang kelihatannya tidak berbahaya itu kemudian menunjukkan hasil yang mengejutkan: beberapa orang yang bertugas menjadi penjaga penjara menunjukkan tendensi tanda-tanda sadisme, dan beberapa orang yang menjadi tahanan menunjukkan tanda-tanda pasif menerima segala tindakan abusif dari para "petugas penjara". So.. eksperimen ini seolah-olah mampu menunjukkan bahwa beberapa orang yang diberi otoritas bisa menunjukkan sifat yang berbeda dari sifat aslinya. Some people could turn into an evil and seems enjoying it....

Nama indie director Kylie Patrick Alvarez sudah menarik perhatian saya sejak filmnya Easier With Practice, dan The Stanford Prison Experiment ini membuktikan bahwa dia sutradara yang baik. Oh my god, this movie is very intense from beginning till the 'end. Alvarez dengan baik mampu membangun tensi ketegangan yang terasa real melalui setiap adegannya. Ia mampu membangunnya melalui detail keheningan yang berlanjut dengan adegan yang menguras emosi, menciptakan efek ketegangan dan ketakutan yang sama dengan "tahanan-tahanan"-an itu. Naskah dari Tim Talbott juga dipenuhi dialog-dialog yang membuat kita mempertanyakan batas kemanusiaan kita. Saya tipe yang ketawa nonton film-film berdarah-darah ala Tarantino, tapi kalo film yang menegangkan secara psikologis gini saya suka stress-stress sendiri. Sebagai contoh: saya stress berat nonton series Breaking Bad (dan sampai sekarang belum berani lanjut ke season 4), dan The Stanford Prison Experiment ini mampu memberikan pengalaman serupa. Bikin saya ngepause-pause beberapa kali, nylimur bentar mainan handphone atau cari makanan di kulkas. Dan tau kalo film ini berdasarkan eksperimen asli dengan fakta-fakta yang beneran terjadi di lapangan, bikin film ini jadi makin menakutkan. 

Salah satu foto adegan dari eksperimen sesungguhnya tahun 1971 yang menunjukkan penjaga melakukan tindakan abusif terhadap tahanan. FYI, tim peneliti yang melakukan eksperimen ini tidak pernah memberitahu penjaga tahanan bagaimana "menertibkan" tahanan. So, they did this by their own initiative. 
Setelah menonton filmnya saya coba sekilas baca-baca eksperimen aslinya yang dilakukan 1971 dan membandingkan keduanya. Memang ada beberapa perbedaan dari eksperimen aslinya, namun secara garis besar hampir semua kejadian di film ini sesuai dengan kejadian aslinya. Setting tempatnya, pakaian yang dikenakan, kejadian-kejadian yang terjadi, dan karakter-karakter yang ada. Para petugas penjara mengenakan seragam, dilengkapi dengan pentungan, dengan kacamata hitam untuk menghindari kontak mata. Sedangkan para tahanan mengenakan "dress" dengan nomor tahanan - bertujuan untuk mengaburkan identitas asli para tahanan. Dress tanpa baju dalam dan ditelanjangi di bagian awal masuk "penjara-penjaraan" digunakan dengan tujuan untuk mendegradasi, mempermalukan, dan emasculated psikologis personal para tahanan. Ya.... selama ini kita mengira bahwa kita adalah raja dari pikiran kita sendiri. Namun eksperimen ini seperti menunjukkan kebalikannya. Para tahanan "dilucuti" harga diri, kebebasan dan otoritas dirinya, sedangkan petugas penjara merasa memiliki "otoritas penuh".... dan mahasiswa-mahasiswa yang normal itu pun kemudian berubah menjadi budak dan monster. Fyi, eksperimen yang rencananya 2 minggu ini cuma bisa bertahan 6 hari, dan "pemberontakan" dari para tahanan bahkan sudah terjadi sejak hari pertama. Eksperimen aslinya bisa dicek di www.prisonexp.org.

Nonton film ini membuat saya teringat fasisme, bullying, hingga pengkaderan jaman ospek di kampus. Well, power and controlling other people is..... fun. Ya, film dan eksperimen ini memang tidak menunjukkan bahwa semua orang berperilaku serupa jika diberi otoritas atau situasi yang sama (ga semua orang bisa jadi jahat, ga semua orang jadi pemberontak atau submisif), tapi mungkin kita punya sifat bawah-sadar yang bisa bangkit jika mengalami situasi tertentu. Ada kasus yang menarik dalam film ini sendiri: seorang tahanan nomor 8612 (Ezra Miller) dan petugas penjara yang berlagak "John Wayne" (Michael Angarano). Tahanan #8612 menunjukkan sifat pemberontak sekaligus manipulatif, sedangkan "John Wayne" menunjukkan tanda-tanda sadistik. Keduanya sebenarnya..... punya bawaan sifat yang sama. Yang membedakan mereka adalah: one flipped coin. Satu diundi jadi tahanan, satu kena undian jadi petugas penjara. 

Cukup menegangkan dan menakutkan pula ketika eksperimen kontroversial ini rupanya tidak hanya mengubah perilaku para mahasiswa yang menjadi sukarelawan, namun juga para peneliti itu sendiri. Termasuk dalam hal ini adalah sang pimpinan penelitian, Dr. Zimbardo (Billy Crudup). Bagi saya, Dr. Zimbardo ini serupa monster yang sesungguhnya. Monster yang "bertangan bersih" namun penyebab semua hal-hal buruk itu terjadi, dan bahkan kalau nggak "dimarahin" tunangannya dia akan tetap melanjutkan eksperimen tidak etis ini. Zimbardo seolah-olah melupakan bahwa sukarelawan dalam eksperimen tersebut adalah manusia sungguhan, bukan sekedar obyek penelitian. Kalo ditarik garis panjang... kita bisa melihat sebuah negara dimana rakyat kecil yang memberontak dengan tentara atau polisi yang melakukan hal-hal opresif. Namun tangan kotor sesungguhnya dimiliki pejabat-pejabat berkuasa yang duduk manis di ruangannya dan membiarkan hal itu terjadi. They are the real fascist. And you know what, this movie shows you that we need a woman to create a peace! Hail woman with their sensitive and empathy side! 

Selain naskah dan directing yang baik, saya juga menyukai bagaimana The Stanford Prison Experiment bisa menghadirkan suasana tahun 70-an dengan baik dan juga stylish. Saya suka tone kecoklatan yang digunakan, sesuai dengan mood kusam muram yang depresif. And the other great thing about this movie is their cast! Ini kayak semacam nonton sekumpulan the next young breakthrough actor yang biasa main film indie jadi satu: mulai dari Ezra Miller, Tye Sheridan, Thomas Mann, Michael Angarano, Olivia Thirlby, hingga Johnny Simons. Oh ya, saya juga menyukai scoring music yang menarik dari Andrew Hewitt.  

Overview:
The Stanford Prison Experiment boleh dibilang seperti A Clockwork Orange versi.... beneran. Kylie Patrick Alvares mampu menghadirkan sebuah film yang begitu intens dan menegangkan secara psikologis dari awal hingga akhir. This movie makes you wonder about our morality and humanity boundaries, membuatmu mempertanyakan apakah kita punya sisi jahat tersembunyi yang bisa dibangkitkan pada situasi tertentu? Are we a monster? The cast is amazing, visualnya stylish, scoring music-nya juga menarik. Quite underrated, but this one is my fav! 

Minggu, 02 April 2017

Anomalisa (2015) (4,5/5)

Anomalisa (2015) (4,5/5)


Look for what is special about each individual, focus on that.

RottenTomatoes: 93% | IMDb: 7,3/10 | Metascore: 88/100 | NikenBicaraFilm : 4/5

Rated : R
Genre : Animation, Drama

Directed by Charlie Kaufman, Duke Johnson ; Produced by Rosa Tran, Duke Johnson, Charlie Kaufman, Dino Stamatopoulos ; Screenplay by Charlie Kaufman ; Based on Anomalisa by Charlie Kaufman (credited as Francis Fregoli) ; Starring David Thewlis, Jennifer Jason Leigh, Tom Noonan ; Music by Carter Burwell ; Cinematography Joe Passarelli ; Edited by Garret Elkins ; Production company HanWay Films, Starburns Industries, Snoot Films ; Distributed by Paramount Pictures ; Release date 4 September 2015 (Telluride Film Festival), 30 December 2015 (United States) ; Running time 90 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $8 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Michael (David Thewlis) adalah seorang ahli customer service yang merasa terjebak pada kebosanan dalam hidupnya. Lebih buruknya: ia merasa setiap orang di sekitarnya monoton dan bahkan memiliki wajah nyaris serupa (semua suara pemeran lain selain Michael dan Lisa juga diisi oleh orang yang sama, Tom Noonan). Sampai kemudian di sebuah hotel Michael mendengar suara wanita yang menarik perhatiannya, Lisa (Jennifer Jason Leigh).

Review / Resensi :
Kelihatannya seperti film kartun, tapi yang jelas ini bukan film animasi untuk anak kecil. Pertama, biarpun menggunakan teknik stop-motion animation, Anomalisa lebih cenderung realistis dibanding film-film animasi lainnya yang ceria dan berwarna warni. Kedua, film ini memiliki cerita yang sangat dewasa. Ketiga, ada nama Charlie Kaufman (writer Eternal Sunshine of The Spotless Mind (2004) dan Being John Malkovich (1999)) yang menjadi sutradara dan penulis naskahnya. Keempat, film ini menampilkan nude scene dan sex scene. Yeah.. damn right. 

Being John Malkovich, Adaptation, Eternal Sunshine of The Spotless Mind, dan Synecdoche, New York - adalah sederet film yang naskahnya dikerjakan Charlie Kaufman. Jadi, sudah pasti kita akan menyaksikan film yang aneh, sureal, dan tidak mudah dicerna. Demikian dengan Anomalisa - film yang menjadi nominasi pertama dengan rated R di kategori Best Animated Feature ajang Oscar tahun 2016. Anomalisa menawarkan keanehan yang sama: tentang orang dengan sindrom Fregoli (yang dijadikan nama hotelnya) - yaitu orang yang mengalami delusi bahwa setiap orang di sekitarnya adalah orang sama yang sedang menyamar. Dalam film hal itu diwakili dengan pengisi suara yang sama (Tom Noonan) untuk setiap orang kecuali karakter Michael dan Lisa. 

Mungkin, karena memang ingin serupa dengan kehidupan Michael yang digambarkan tampak jenuh dengan kehidupannya, bagian pertama film ini juga terasa membosankan. Kita diajak melihat Michael naik pesawat, naik taksi, hingga tiba ke di kamar hotel dan menelpon istri dan selingkuhannya di masa lalu. Percakapan-percakapannya dibangun basa-basi, normal, dan yaaaa... membosankan. Sampai Michael kemudian mendengar suara wanita yang menggugah dirinya, suara yang berbeda dari suara-suara lainnya. Suara Lisa (Jennifer Jason Leigh). Lisa kemudian menjadi titik semangat baru dalam hidup Michael yang monoton. Lisa, biarpun tidak sempurna, adalah anomali dalam hidupnya. Sebuah perbedaan, yang terasa sangat menyenangkan dan menggairahkan.

Bagian awalnya memang ngebosenin dan hambar banget, tetapi ketika Michael akhirnya menemukan Lisa - film berubah menjadi sangat menarik dan emosional buat saya. Saya seperti diseret kedalam suasana jatuh cinta dan keintiman yang sama. Lisa bukanlah karakter yang menarik, ia punya kepercayaan diri rendah dan nggak cantik-cantik banget, namun di balik kesederhanaan itu Lisa menawarkan anomali: sesuatu yang berbeda. Dan itu yang membuatnya menarik. Saya yang nggak terlalu suka nonton film animasi tiba-tiba bisa lupa kalo lagi nonton film animasi, sampai ikutan baper pada dialog-dialog yang tercipta antara Michael dan Lisa. And even that intimate scene... feel so real and sweet. 

Saya merasa animation technique yang digunakan memang tepat karena toh filmnya sendiri sangat sureal dan absurd. Orang-orang selain Michael dan Lisa yang memiliki wajah nyaris serupa dengan pengisi suara yang sama, tampaknya cuma bisa tepat jika menggunakan teknik animasi. Namun biarpun nggak menggunakan manusia sama sekali, film ini terasa sangat manusiawi. Saya melihat sindrom Fregoli yang menimpa Michael bisa diartikan lebih luas daripada sekedar delusional karena kelainan mental. Saya melihat Michael mewakili sosok pria yang jenuh dengan kehidupannya, dan merasa terasing dan tidak terkoneksi dengan orang-orang di sekitarnya. Kehadiran Lisa adalah sebuah katalis: serupa ketika kita jatuh cinta. Mendadak, dunia tidak lagi membosankan.

*spoiler* maka itulah, ketika Lisa kemudian "berubah" di mata Michael menjadi "orang biasa", saya bisa merasakan kesedihan dan ketakutan yang sama. Yaaa... perasaan jatuh cinta itu memang tidak abadi. Kemampuan adaptasi manusia punya efek samping menghasiilkan rasa bosan. Kesempurnaan pasanganmu saat kamu sedang fase jatuh cinta mendadak mengabur, dan kamu akan melihat orang yang dulu pernah kamu cintai menjadi tidak lebih dari annoying people, atau bahkan orang yang "asing". Sama seperti yang Michael rasakan pada Lisa pada akhirnya. Dan ini.... menakutkan. *spoiler ends*

Overview:
Charlie Kaufman sekali lagi menunjukkan kemampuannya sebagai seorang penulis naskah yang handal.... dan aneh. But weird in a very good way. Saya yang nggak terlalu suka film animasi sejenak bisa melupakan fakta bahwa saya sedang nonton film animasi. The script is well-written, the movie itself is very emotional. 

Kamis, 16 Maret 2017

Selasa, 14 Maret 2017

3 Dara (2015)

3 Dara (2015)

tiga pria yang mengalami perubahan sikap bak seorang dara. Kisah bermula ketika Affandy (Tora Sudiro), Djay (Adipati Dolken) dan Richard (Tanta Ginting) disumpahi oleh seorang wanita yang sebelumnya mereka goda. Ketiga lelaki itu
LK21 Unduh
Artis : Tora Sudiro,Adipati Dolken,Tanta Ginting,Rianti CartwrightNegara : IndonesiaRilis : 23 September 2015Kategori : Drama, KomediDurasi : 1 jam 26 menit ( 181 mb )IMDb : LK21

Sedang Proses...

Senin, 13 Maret 2017

Minggu, 12 Maret 2017

Doea Tanda Cinta (2015)

Doea Tanda Cinta (2015)

Di Akademi Militer Magelang, Bagus (Fedi Nuril) pemuda jagoan yang dibesarkan dilingkungan yang keras bertemu dengan Mahesa (Rendy Kjaernett) anak manja putra tunggal petinggi Angkatan Darat, Harun Yahya (Tio Pakusadewo).
LK21 Unduh
Artis : Fedrian Nuril, Rendy Kjaernett, Tika BravaniNegara : IndonesiaRilis : 21 Mei 2015Kategori : Aksi, Drama, PerangDurasi : 1 jam 28 menit ( 162 mb )IMDb : LK21

Sedang Proses...

Jumat, 17 Februari 2017

Back to the 90s (2015)

Back to the 90s (2015)

2538 alter ma jib ,Setelah bertengkar dengan ayahnya, seorang remaja memutuskan untuk menghabiskan malam keluar. Tapi sengaja dia diangkut ke tahun 90-an, setelah menanggapi pager ia telah menemukan sebelumnya. Di sana ia mengambil
LK21 Unduh
Artis : Pimchanok Leuwisetpaiboon, Achita Pramoj Na AyudhyaNegara : ThailandRilis : 19 Maret 2015Kategori : Komedi, Fantasi, MusikalDurasi : 1 jam 51 menit ( 116 mb )IMDb : tt4556700

Sedang Proses...