Tampilkan postingan dengan label Scarlett Johansson. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Scarlett Johansson. Tampilkan semua postingan

Jumat, 27 April 2018

AVENGERS : INFINITY WAR (2018) REVIEW : The End Begins Here

AVENGERS : INFINITY WAR (2018) REVIEW : The End Begins Here


Tibalah sudah waktu untuk para superhero milik Marvel dalam masa yang berbeda dari yang film-film sebelumnya. Setelah mengalami banyak fase dalam perjalanan filmnya selama sepuluh tahun, sudah waktunya kumpulan superhero untuk menghadapi masa yang jauh lebih sulit dibanding sebelumnya. Konflik dari mereka pun semakin lama semakin pelik di fasenya yang ketiga ini. Sehingga, kompleksitas dalam konflik di setiap stand alone filmnya sudah waktunya untuk disajikan dalam satu film besar.

Avengers : Infinity Wartentu menjadi sebuah film superhero milik Marvel yang sangat ditunggu-tunggu baik fans maupun penikmat film. Komandonya pun berganti dari Joss Whedon ke Anthony & Joe Russo yang selalu dengan baik mengemas film linimasa penting dari Marvel yang datang dari sosok Captain America. Terlebih ketika Captain America : Civil War mampu menjadi salah satu hasil akhir dari film-film Marvel yang dikemas dengan sangat baik.

Dengan adanya dasar ini, lantas tak salah apabila Kevin Feige sebagai produser memilihnya untuk mengarahkan kisah para kumpulan manusia super yang sudah lebih kompleks ini. Avengers : Infinity War tentu sudah memiliki ambisi yang sangat besar terlebih ketika sudah banyak sekali film-film stand alonemilik Marvel yang sudah beredar. Sehingga, Avengers : Infinity War tentu tak akan malu-malu memunculkan berbagai macam superheronya dalam satu frame.


Avengers : Infinity Warmemiliki banyak sekali karakter superhero milik Marvel yang harus tampil di dalamnya. Meski ada beberapa karakter yang akan disimpan untuk film Avengers selanjutnya di tahun 2019 nanti, tentu mengarahkan sebuah film dengan karakter banyak itu bukanlah hal yang mudah. Anthony dan Joe Russo tentu berusaha keras agar apa yang dia arahkan bisa mampu memiliki porsi yang tepat bagi karakter, plot, beserta tempo filmnya.

Inilah Avengers : Infinity Waryang berusaha memberikan kompleksitas yang luar biasa besar dalam konfliknya. Russo Brothers mampu mengarahkan apa yang berusaha disampaikan di dalam film ini dengan porsi yang benar-benar pas. Sehingga dalam durasinya yang mencapai 149 menit, Avengers : Infinity Warmampu menyampaikan pesannya yang sangat ambisius dengan cara yang sudah tepat sasaran dan efektif.  Serta menyematkan film ini sebagai salah satu cinema experience paling dahsyat sebagai sebuah film manusia super milik Marvel Cinematic Universe.


Thanos (Josh Brolin) sudah memiliki rencana untuk menghancurkan alam semesta beserta isinya. Oleh karena itu, dia harus mengumpulkan enam infinity stone yang tersebar di alam semesta. Thanos melakukan berbagai upaya agar bisa mengumpulkan keenam batu tersebut. Hingga akhirnya Thanos mengutus anak buahnya untuk mengambil batu-batu tersebut yang berada di bumi. Batu yang diincar adalah Time Stone yang berada di tangan Doctor Strange (Benedict Cumberbatch) dan Mind Stone yang berada di tangan Vision(Paul Bethany).

Tentu saja para manusia super tak hanya tinggal diam. Tony Stark sekaligus Iron Man (Robert Downey Jr.) yang sedang berusaha melindungi Doctor Strange harus terjebak dalam sebuah pesawat luar angkasa yang sedang menginvasi bumi saat itu. Beserta Spider-Man (Tom Holland), Tony Stark berusaha untuk mengeluarkan Doctor Strange yang sedang menjadi incaran. Tetapi, hal lain malah terjadi ketika mereka berusaha untuk menyelamatkan infinity stone yang tersisa.


Di fasenya yang ketiga, Avengers : Infinity War memang sudah saatnya mengambil jalan yang lebih berbeda dibanding film-film sebelumnya. Anthony dan Joe Russo telah berhasil menjawab keinginan penonton yang ingin melihat manusia super dalam film Marvel sedang berada di dalam kompleksitasnya yang semakin pelik. Ada nada cerita yang lebih kelam dibanding dengan dua film Avengers sebelumnya.Anthony dan Joe Russo sudah membuka awal film ini dengan begitu emosional.

Pintarnya, mereka mampu menjaga keemosionalan tersebut hingga akhir durasi film yang mencapai 149 menit. Bukan hanya itu, mereka juga berhasil menangkap perjalanan terjal dari para manusia super dengan cara yang lebih personal dan intim. Sehingga, penonton bisa merasakan betapa getir dan cemasnya para karakter superhero saat menyaksikan Avengers : Infinity Warini.Hal yang menanti bagi penonton yang sudah secara emosional melekat dengan cerita dalam film ini adalah bagaimana Avengers : Infinity War menyelipkan momen dan elemen yang tak terduga dengan sangat kuat di setiap adegannya.


Hal tersebut akan berakumulasi dengan baik hingga puncaknya adalah konklusi dari Avengers : Infinity Warini sendiri. Rasa emosional yang sudah tak terbendung sepanjang durasi akan membuat penontonnya akan ikut merasakan pahit dan hancur berkeping-keping perasaan para manusia super sedang merasakan segala keputusasaan, ketakutan, dan sedikit harapan. Inilah sebuah sensitivitas yang dimiliki oleh Russo Brothers yang menjadi poin utama dari Avengers : Infinity War ini sendiri. Dengan begitu, penonton akan dihantui secara psikis untuk menantikan kelanjutan Avengers di tahun 2019 nanti.

Begitu pula dengan bagaimana Thanos sebagai musuh utama Avengers yang sudah disimpan sejak fase pertama ini berhasil memberikan rasa waspada bagi penonton. Karakter Thanos dibangun dengan sangat bagus di Avengers : Infinity War sehingga penonton bisa tahu kenapa musuh para Avengers kali ini benar-benar tak bisa terkalahkan. Dengan begitu, penonton bisa ikut merasa terancam dengan kedatangan Thanos di dalam adegan film dan akan bisa merasakan kepuasan ketika Thanos diserang oleh para manusia super yang ada di dalam Avengers : Infinity War.


Avengers : Infinity War telah menunjukkan bahwa Anthony dan Joe Russo berhasil membawa Marvel Cinematic Universe ke dalam tahapan yang jauh lebih serius. Keputusannya untuk membawa film Avengers : Infinity War lebih kelam dibanding film sebelumnya ini sudah sangat tepat apalagi didukung dengan pengarahannya yang luar biasa kuat dan emosional. Tetapi, Avengers : Infinity War tak melupakan ciri khasnya dalam membuat film-film superhero yang mengandung unsur menyenangkan dan suntikan humor segar seperti biasanya sekaligus berhasil membuat penontonnya berduka ketika credit titlebergulir. Luar biasa!

Minggu, 02 April 2017

REVIEW : GHOST IN THE SHELL

REVIEW : GHOST IN THE SHELL


“They created me. But they can not control me.” 

Sekalipun Astro Boy (2009), Dragonball Evolution (2009), serta Speed Car (2008) mengantongi resepsi tak memuaskan dari kritikus maupuk publik, agaknya Hollywood masih belum juga jera untuk mengejawantahkan goresan-goresan gambar komikus Jepang ke dalam medium audio visual sesuai gambaran mereka. Malahan Hollywood pun terbilang amat percaya diri terbukti dari keberanian mereka mempersiapkan beberapa judul adaptasi dari manga/anime lain untuk stok di masa mendatang sekaligus menafsirkan ulang Ghost in the Shell yang dikenal mempunyai muatan kisah cukup njelimet. Ya, proyek film Ghost in the Shell – berdasarkan manga bertajuk serupa hasil karya Masamune Shirow rilisan dua dekade silam yang lantas diadaptasi pula ke anime – yang sejatinya telah dicanangkan sejak lama akhirnya berhasil diwujudkan juga oleh Paramount Pictures dengan menempatkan Rupert Sanders (Snow White and the Huntsman) dibalik kemudi. Jalannya pun tidak juga mulus, sempat diwarnai kontroversi atas pemilihan Scarlett Johansson sebagai pemeran utama yang notabene berdarah Jepang (whitewashing!), walau bagi saya pribadi penunjukkan Sanders untuk mengomandoi Ghost in the Shell versi Hollywood semestinya lebih dikhawatirkan ketimbang perekrutan Johansson menilik apa yang telah dilakukannya di film terdahulu.

Penceritaan Ghost in the Shell mengambil latar beberapa tahun ke depan di kota tanpa nama kala teknologi telah amat maju yang memungkinkan adanya pencangkokkan otak manusia dalam tubuh robot. Salah satu korporasi yang giat mengembangkan robot dengan kecerdasan buatan adalah Hanka Robotics. Berbagai eksperimen rahasia untuk menyempurnakan robot buatan mereka telah dilaksanakan puluhan kali dengan hasil mengecewakan sampai akhirnya Dr. Ouelet (Juliette Binoche) dan CEO Hanka, Cutter (Peter Ferdinando), berhasil mengembangkan produk sempurna dalam wujud Mira Killian (Scarlett Johansson). Setahun berselang sedari dilahirkan ke dunia, Mira dipercaya untuk menempati posisi Mayor dalam tim keamanan anti terorisme, Section 9, dibawah kepemimpinan Chief Daisuke Aramaki (Takeshi Kitano). Bersama dengan Batou (Pilou Asbæk), Mira ditugaskan untuk menelusuri rencana kejahatan terhadap Hanka Robotics yang belakangan diketahui digawangi oleh seorang hacker bernama Kuze (Michael Pitt). Di tengah-tengah penyelidikannya terhadap Kuze, Mira kerap dibayangi kelebatan-kelebatan misterius dari masa lalu yang kemudian mendorong Cutter untuk menghentikan langkah Mira. Mencoba pula mencari tahu kebenaran dibaliknya, Mira justru memperoleh paparan fakta mengejutkan dari sesosok yang tidak pernah disangka-sangka olehnya.


Keragu-raguan atas kapabilitas Rupert Sanders dalam menangani materi senjelimet yang dipunyai Ghost in the Shell, sayangnya harus terbukti. Tidak berbeda jauh dengan apa yang dilakukannya pada Snow White and the Huntsman, Sanders pun lebih mengedepankan soal tampilan ketimbang substansi dalam Ghost in the Shell. Dampaknya adalah film enak buat dipandang mata namun tuturannya sulit buat meresap ke dalam hati. Ya, Ghost in the Shell jelas sama sekali tidak kekurangan bahan untuk membuat para penontonnya takjub kala mengamati parade visualnya yang imajinatif. Dari latar kota futuritisnya – tampak seperti perpaduan antara Jepang dengan Hong Kong – yang dipenuhi gemerlap neon disana sini dan dimeriahkan iklan berbentuk hologram raksasa, lalu desain robot unik dengan salah satunya berbentuk Geisha yang mampu menjelma sebagai mesin pembunuh, sampai tentunya paras rupawan Scarlett Johansson yang sedikit banyak berhasil menghipnotis penonton untuk mengikuti sepak terjang Mira sekalipun tidak cukup memiliki ketertarikan terhadap sosoknya dan performanya pun tak ada greget (oke, ini bias!). Namun ketika membicarakan soal jalinan pengisahan yang diusung, lain lagi ceritanya. Film tidak dibekali amunisi mencukupi agar penonton dapat terhanyut secara sukarela memasuki dunia Mira. 

Ghost in the Shell sebetulnya tawarkan materi kisah cukup menarik untuk diikuti. Si pembuat film memboyong kita ke dalam penyelidikan Mira terhadap suatu kasus yang lantas berganti dengan pencarian atas jati dirinya. Hanya saja ketiadaan daya cengkram menjadi sabab musabab dari ketidakmampuan menaruh ketertarikan pada guliran cerita. Disamping itu, masih semacam ada sekat yang membatasi kita untuk menjalin hubungan erat bersama Mayor Mira. Tatkala kita tidak sanggup menginvestasikan emosi kepada tokoh kunci, sedahsyat apapun persoalan yang dihadapinya pun akan membal. Keinginan untuk mengetahui ujung dari kisah bukan lagi dipicu kepedulian terhadap nasib sang karakter utama melainkan tidak adanya lagi kesabaran tersisa dalam mengikuti proses. Pada akhirnya, diluar geberan visualnya yang memukau, Ghost in the Shell tidak lebih dari film yang kering, dingin, dan hambar. Keputusan untuk kelewat menyederhanakan penceritaan dengan menghempaskan pembicaraan soal eksistensialisme dan hiperrealitas yang sejatinya disodorkan oleh materi sumbernya, turut berkontribusi pada tergerusnya daya tarik Ghost in the Shell. Khalayak yang datang memenuhi bioskop demi memperoleh tontonan yang bukan saja cantik tetapi juga bernutrisi bagi otak bisa jadi akan kecewa. Bahkan buat mereka yang mengharap ini adalah spektakel seru pun sebaiknya mengontrol ekspektasi karena tata laga di Ghost in the Shell tidaklah impresif. Malah terkadang sama malasnya dengan caranya menuturkan kisah.

Acceptable (2,5/5)