Tampilkan postingan dengan label Zendaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Zendaya. Tampilkan semua postingan

Senin, 15 Januari 2018

THE GREATEST SHOWMAN (2017) REVIEW : An Ordinary Musical Sequence

THE GREATEST SHOWMAN (2017) REVIEW : An Ordinary Musical Sequence


Di ujung tahun 2017, datanglah sebuah drama musikal yang diarahkan oleh Michael Gracey. The Greatest Showman, film musikal yang sudah bertahun-tahun mengalami pengembangan dalam banyak hal, akhirnya bisa tayang dan rilis juga di tahun 2017. Sebelum rilis, The Greatest Showman mendapatkan kesempatan untuk masuk ke dalam nominasi Best Comedy or Musical Motion Picture di Golden Globes 2017.

Banyak nama-nama besar yang ikut terlibat dalam film The Greatest Showman. Mulai dari Hugh Jackman, Michelle Williams, Zac Efron, hingga Zendaya dan nama-nama baru yang meramaikan film ini. Sehingga, film ini pun sudah memiliki antisipasi yang cukup besar dari calon penontonnya. Belum lagi, The Greatest Showman menggunakan duo musisi, Benj Pasek dan Justin Paul, yang sudah memenangkan banyak penghargaan lewat film La La Land tahun lalu.

Ini adalah debut awal Michael Gracey di kursi sutradara sebuah film besar. Michael Gracey pada awalnya bermain di ranah visual effects dan art departments dan di film debutnya kali ini dia berusaha menceritakan sebuah kisah nyata dari sosok P.T. Barnum. Meski begitu, Michael Gracey berusaha untuk membuat filmnya tak sekedar menjadi kisah seseorang semata. Melainkan, Michael Gracey berusaha membuat The Greatest Showman sebagai sebuah anthem untuk mereka yang terpinggirkan.


The Greatest Showman menceritakan sosok P.T. Barnum (Hugh Jackman), seorang anak dari pembuat sepatu yang hidup serba kekurangan. Kehidupannya yang serba kekurangan ini tak membuat Barnum mundur untuk mengejar siapa yang dicintai. Dialah Charity (Michelle Williams), perempuan yang sangat dicintai oleh Barnum meskipun orang tua Charity tak menyetujui hubungan mereka. Selepas menikah, mereka hidup jauh dari orang tua Charity.

Selama hidupnya, Barnum memiliki kesusahan secara finansial padahal dia harus membiayai kehidupan istri dan dua anaknya. Kehidupannya semakin susah ketika Barnum harus diberhentikan secara paksa di tempatnya bekerja karena bangkrut. Barnum bertekad untuk membeli sebuah museum patung lilin dengan sisa uang dan pinjaman dari bank. Sempat sepi, tetapi Barnum mengubah museum itu menjadi sebuah tempat pertunjukkan dan hiburan unik untuk semua orang.


The Greatest Showman memberikan sebuah sensasi menarik untuk mengikuti kisah perjuangan hidup seseorang. Menggunakan genre musikal dalam kemasannya untuk memberikan inovasi dalam menuturkan cerita yang berpotensi biasa saja ini menjadi sesuatu yang sangat berbeda dan segar.  Hal ini sangat efektif bagi The Greatest Showman yang memiliki tujuan tak hanya sebagai media hiburan, tetapi juga sebagai media menyebarkan semangat positivistik bagi setiap penontonnya.

Tak diragukan lagi, dengan rekam jejak Michael Gracey yang pernah berada di art departments membuat The Greatest Showman terlihat begitu mewah untuk ukuran film-film musikal yang ada. Set-set musikalnya dibuat begitu menghentak dan bisa membuat penonton berdecak kagum saat menontonnya. Segala musical sequence punya segala kedinamisannnya sehingga penonton bisa tahu alasan kenapa sosok P.T. Barnum adalah sosok yang sangat berpengaruh bagi semua orang yang ingin membuat sebuah pertunjukkan besar.

Belum lagi lagu-lagu gubahan Benj Pasek dan Justin Paul yang sangat ear-catchy. Sehingga, ketika penonton selesai menonton film ini, akan banyak beberapa lagu yang tetap terngiang di dalam pikirannya. Dengan begitu, perilaku yang timbul selanjutnya adalah penonton akan mencari setiap lagu yang ada di dalam The Greatest Showman. Lalu muncul sebuah efek domino bagi penontonnya yang terpukau dengan film dan berujung pada memberikan rekomendasi kepada orang lain.


Hanya saja, The Greatest Showman sebagai sebuah film musikal sebenarnya tidak memberikan sebuah pertunjukkan yang baru. Michael Gracey mampu membuat ilusi bagi penontonnya agar tak bisa melihat kekurangan pengarahannya lewat berbagai musical sequencenya. Itu pun sebenarnya segala keemosionalan The Greatest Showman hanya bertumpu dengan lagu-lagu gubahan dari Benj Pasek dan Justin Paul. Tanpa gubahan lagunya yang kuat, The Greatest Showman pun tak bisa tampil sekuat itu.

Dengan durasinya sepanjang 104 menit, banyak sekali cabang cerita dan sudut pandang yang harus dibebankan kepada film ini. Michael Gracey pun kesusahan memiliki kefokusan dalam pengarahan, sehingga The Greatest Showman hanya bisa bisa meraih permukaan setiap konfliknya. Ada banyak kisah yang berusaha disorot di dalam film ini. Hal ini sebenarnya bisa berpotensi bagi presentasi The Greatest Showman, hanya saja masih belum ada penanganan yang pas dari Michael Gracey untuk bisa memperdalam setiap konflik dan karakternya.

Pun, setelah tembang ‘This Is Me’ yang tampil begitu megah sekaligus menjadi anthem di dalam film ini, The Greatest Showman menunjukkan performanya yang melemah di 40 menit terakhir. Michael Gracey mungkin cukup bisa memberikan bridging karakter dan plot di satu jam pertama. Efeknya, Michael Gracey harus mulai kewalahan untuk menyelesaikan konfliknya yang ada di awal. Itu pun masih ada intensi dalam naskahnya untuk memberikan konflik tambahan lagi di 30 menit terakhir sehingga beban Michael Gracey pun harus semakin bertambah.


Segala kemegahan yang ada di awal film The Greatest Showman pun sayangnya tak bisa memiliki sebuah penutup yang bisa sama megahnya dengan apa yang sudah ada di awal. Adanya sebuah rendition yang jauh lebih kekinian di dalam setiap lagunya ini pula yang membuat beberapa musical sequencenya tak bisa kuat. Sehingga, The Greatest Showman pun tak bisa memiliki identitasnya dalam sebagai sebuah film musikal. Efek akhirnya, penonton mungkin akan bisa berkali-kali mendengarkan lagunya dan tak lagi merasakan atau bahkan tak mengenali kekuatan di dalam adegannya.

Sehingga, The Greatest Showman pun bisa saja hanya dinikmati sebagai sebuah album lepas tanpa harus disangkutpautkan dengan filmnya. Ini karena lagu gubahan Benj Pasek dan Justin Paul pun sudah sangat bisa diterima di telinga pendengarnya. Tetapi, The Greatest Showman perlu mendapatkan apresiasi dengan caranya berusaha memberikan inovasi dalam menceritakan kisah sosok nyata di dunia. Masih punya kekuatannya sebagai film yang menghibur, tetapi sebagai sebuah film akan gampang berlalu begitu saja.

Kamis, 13 Juli 2017

SPIDER-MAN : HOMECOMING (2017) REVIEW : Lika Liku Hidup Remaja Super

SPIDER-MAN : HOMECOMING (2017) REVIEW : Lika Liku Hidup Remaja Super


Setelah memiliki berbagai macam transisi dan pengulangan, pada akhirnya Marvel dan Disney memutuskan untuk mengakuisisi Spider-Man dari Sony untuk bisa masuk jajaran Marvel Cinematic Universe-nya. Dengan begitu, Marvel Cinematic Universe memiliki ekspansi dunia yang semakin rumit dan punya deretan manusia super yang semakin penuh sesak. Tetapi, hal itu bukan menjadi sesuatu yang perlu ditakutkan oleh Marvel Cinematic Universe karena dunianya sudah memasuki fase ketiga yang memang butuh komplikasi lebih.

Dengan bergabungnya Spider-Man menjadi salah satu anggota dari Marvel Cinematic Universe, akhirnya manusia laba-laba ini masuk menjadi pemeran pendukung di Captain America : Civil War. Kemunculannya di seri ketiga dari Captain America ini menjadi usaha mencari perhatian dari Marvel kepada fansnya. Sehingga, Spider-Man seolah-olah dilahirkan kembali dengan citra diri yang berbeda dengan film-film sebelumnya.

Spider-Man milik Marvel Cinematic Universe ini digambarkan memiliki usia yang jauh lebih muda dibandingkan dengan film-film sebelumnya. Dan kali ini, Jon Watts menjadi orang yang memiliki kontrol atas apa yang ditampilkan di film Spider-Man terbaru dengan judul Spider-Man : Homecoming. Kali ini, kisah tentang Peter Parker memiliki atmosfir dunia sekolah menengah atas yang jauh lebih kental dari film-film sebelumnya. Serta, Spider-Man : Homecoming berusaha keluar dari kisah-kisah generik yang dipakai oleh film-film sebelumnya. 


Seiring dengan diakuisisinya Spider-Man, Disney dan Marvel tak ingin lagi terjebak dengan cerita-cerita yang serupa. Maka dari itu, Spider-Man : Homecoming berusaha memberikan perspektid yang berbeda. Begitu pula dengan pemeran Peter Parker yang juga ikut diganti. Dari Tobey McGuire menjadi Andrew Garfield, kali ini Peter Parker diperankan oleh Tom Holland yang masih remaja. Hal ini sesuai dengan bagaimana Marvel dan Disney berusaha keras memberikan diferensiasi dari film-film Spider-Man sebelumnya.

Dengan keluar dari babak cerita yang berbeda, Spider-Man : Homecoming berusaha untuk menjadi lebih dari sekedar film manusia super yang menyenangkan. Film yang diarahkan oleh Jon Watts ini membuat Spider-Man : Homecoming yang sedang menceritakan transisi dari kehidupan Peter Parker yang sedang dalam fase remaja. Menciptakan atmosfir coming of age dengan nuansa yang lebih kental untuk mengetahui bagaimana kehidupan Peter Parker secara lebih intim. 


Keintiman itu bermula di sebuah sekolah menengah atas di daerah Queens, kota kecil tempat Peter Parker (Tom Holland) tinggal. Paska pertemuannya dengan Tony Stark (Robert Downey Jr.) yang sedang bertarung sengit dengan Steve Rogers (Chris Evans), Peter merasa bahwa dirinya adalah orang yang sangat penting bagi dunia ini. Dengan keterlibatannya itu, Peter merasa bahwa di kota kecil ini penuh akan kejahatan dan ketidaknyamanan yang perlu dilibas olehnya. Tetapi sikap Peter Parker yang ingin terlibat itu, membuat dirinya malah terjebak dalam masalah.

Peter menemukan transaksi senjata ilegal dengan teknologi mutakhir yang diambil dari bekas-bekas pertarungan anggota Avengers dengan musuh-musuhnya. Peter berusaha memgingatkan Tony Stark tentang keadaan ini, tetapi tidak ada yang menggubrisnya. Dengan adanya kejahatan itu, Peter Parker tak tinggal diam. Dia berusaha sendiri untuk menangkap dan mencari tahu siapa dalang di balik penjualan senjata ilegal ini. Tetapi, Peter Parker juga mendapatkan resiko yang sangat besar dari apa yang dia lakukan.


Kentalnya atmosfir remaja di dalam film Spider-Man : Homecoming ini seakan-akan memberikan nafas baru di deretan film-film manusia super milik Marvel. Bagaimana Jon Watts memvisualisasikan bagaimana Peter Parker sebagai sosok karakter yang tetap tak bisa lepas dengan kehidupannya sebagai orang biasa. Memiliki alter ego menjadi sosok manusia super tetapi juga tetap menjadi remaja dengan perputaran problematika yang tak jauh-jauh dari percintaan, persahabatan, dan popularitas saat SMA.

Inilah yang membuat Spider-Man : Homecoming memiliki diferensiasi dengan film-film manusia laba-laba yang lain. Atribut remaja seperti malam prom, pesta, dan persahabatan yang sekaligus menjadi karakter pendukung ini selalu ada dalam film-film yang menggambarkan transisi kehidupan remaja. Tetapi, Jon Watts berusaha untuk berkiblat pada film-film remaja khas dari John Hughes seperti The Breakfast Club dan Sixteen Candles. Referensi itu pun semakin terlihat kentara dengan bagaimana Jon Watts menyelipkan sedikit cuplikan adegan dari Ferris Bueller’s Day Off di dalam filmnya.

Penonton diajak kembali ke masa-masa remaja sekolah menengah atas di dalam sebuah film manusia super dan Spider-Man : Homecoming berhasil memunculkan hal tersebut. Meskipun plot ceritanya masih terlihat generik sebagai sebuah film kisah asli dari seorang manusia super, tetapi ada usaha dari Jon Watts untuk berusaha memberikan diferensiasi tersebut. Tahu akan kelemahannya untuk membuat spektakel aksi, Jon Watts berusaha dengan memberikan kedekatan karakter Peter Parker dengan karakter lainnya. 


Secara aksi, Jon Watts masih belum bisa memberikan detil-detilnya. Pertarungan akhir yang diarahkan di dalam Spider-Man : Homecoming belum bisa memberikan sesuatu yang mencengkram dan kalah dengan adegan pertarungan sebelumnya. Tetapi, Jon Watts bisa mengemas dan menyatukan drama coming of age dengan tetap memiliki cita rasa film manusia super inilah yang perlu diapresiasi. Ketelitian Jon Watts ini adalah kekuatan dari Spider-Man : Homecoming yang bisa setara memberikan porsi di antara dua atmosfir yang berbeda ini dan tampil begitu menyenangkan di dalam film ini.

Spider-Man : Homecoming itu pun tak serta merta menjadi sebuah superhero spin-off film yang memang harusnya ada untuk menceritakan siapa itu manusia laba-laba ini. Tetapi, konflik yang ada di dalam film Spider-Man : Homecoming memberikan relevansi dan ekspansi dengan segala hal yang ada di Marvel Cinematic Universe. Dengan adanya film ini menandakan bahwa fase ketiga di dalam Marvel Cinematic Universe bukan sekedar tentang penambahan karakter, tetapi memang dunianya yang semakin besar. Tentang bagaimana apa yang dilakukan oleh manusia super ini benar-benar dapat berdampak kepada siapapun. 


Oleh karena itu, Spider-Man : Homecoming bisa dibilang menjadi salah satu film penting yang dapat memberikan ekspansi lebih terhadap Marvel Cinematic Universe. Sebuah kisah asli yang memang memiliki plot yang lurus-lurus saja, tetapi dikemas dengan atmosfir yang berbeda. Sehingga, Spider-Man : Homecoming menjadi sesuatu yang segar untuk disantap. Memiliki atmosfir coming of age dengan berbagai macam tribut kepada film-film John Hughes yang kental. Dengan begitu, penonton bisa merasa dekat dengan Peter Parker yang sedang berusaha keras dengan kehidupan remajanya. Jon Watts bisa memberikan pergantian dua atmosfir tanpa merusak esensi dari keduanya. Sehingga, Spider-Man : Homecoming adalah sebuah drama transisi remaja dengan kekuatan super yang sangat menyenangkan.  

Spider-Man : Homecoming juga tampil dalam berbagai format, salah satunya yaitu IMAX 3D Format. Berikut adalah rekapan dari format IMAX 3D film Spider-Man : Homecoming.

DEPTH 

Punya kedalaman yang menarik, sehingga menonton Spider-Man : Homecoming terasa seperti mengintip dari jendela kamar kita

POP-OUT 

Mungkin tidak ada apapun yang bisa keluar dari layar di film Spider-Man : Homecoming. Film ini hanya menekankan tentang kedalaman gambar saat ditonton di format IMAX 3D.

Tonton saja film ini dalam format IMAX 3D. Sangat direkomendasikan, apalagi format IMAX 3D hanya selisih sedikit saja dengan layar reguler.