Tampilkan postingan dengan label November. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label November. Tampilkan semua postingan

Senin, 11 Desember 2017

JUSTICE LEAGUE (2017) REVIEW : Kesalahan DC yang Sama Lagi

JUSTICE LEAGUE (2017) REVIEW : Kesalahan DC yang Sama Lagi


DC Films lagi-lagi mengeluarkan sebuah film tentang manusia supernya di tahun ini. Setelah bulan Juni lalu, akhirnya Wonder Woman dirilis dan mendapatkan hati di banyak penontonnya. Dengan begitu, DC dan Warner Bros semakin percaya diri dengan line up film-film manusia super milik DC lainnya. Meskipun, masih belum ada lini waktu yang benar-benar tertata seperti yang dilakukan oleh film manusia super milik brand sebelah.

Dengan lini waktunya yang tak terarah, Warner Bros dan DC sepertinya masih juga tak takut untuk mengeluarkan film Justice League di tahun ini. Justice League ini adalah tempat para manusia super milik DC berkumpul. Film ini disutradarai oleh Zack Snyder pada awalnya hingga sebuah musibah datang menghampirinya. Di tengah filmnya yang sudah selesai dan dalam proses penyuntingan, Joss Whedon ini ditunjuk untuk melakukan supervisi terhadap film Justice League.

Hal ini yang membuat Justice League harus melakukan syuting ulang yang membuat film ini memiliki budget yang membengkak. Dengan budget dua kali lipat, Joss Whedon pun harus memotong durasi film yang awalnya dari 170 menit menjadi 120 menit. Upaya mempersingkat durasi ini cukup menyita banyak perhatian calon penontonnya karena mungkin ada harapan bahwa Justice League akan kembali memukau dan harapan baru bagi DC films selanjutnya.


Memiliki 6 manusia super di dalam satu film tentu punya story device yang perlu dijelaskan lebih agar penonton tak kebingungan dengan setiap karakternya. Dengan linimasa cerita yang kacau balau dalam menentukan origin story, durasi 120 menit ini tentu adalah sebuah bencana besar bagi Justice League. Alih-alih akan punya sebuah pace cerita yang lebih dinamis, durasinya yang pendek ini membuat performa Justice League tak lagi mengikat dan jatuh menjadi sebuah sajian yang mengecewakan.

Justice League mengisahkan tentang kota yang sedang mengalami kehancuran karena musuh besar datang dan berusaha menguasai bumi. Paska kematian Superman, orang-orang di kota tak lagi punya manusia super yang melindungi mereka. Untuk itu, Bruce Wayne (Ben Affleck) sebagai seorang Batman berusaha untuk mengumpulkan para manusia super seperti Wonder Woman (Gal Gadot), Aquaman (Jason Momoa), The Flash (Ezra Miller), dan Cyborg (Ray Fisher).

Mereka harus berhadapan dengan Steppenwolf (Ciaran Hinds) yang datang dari legenda Amazon yang berusaha mengumpulkan kekuatan dari 3 artefak yang bisa membuatnya lebih kuat. Para manusia super ini bergabung dan berusaha untuk mengalahkan Steppenwolf. Para manusia super yang sedang kewalahan mengalahkan Steppenwolf ini mencari strategi lain. Bruce Wayne berambisi untuk membangunkan lagi Superman agar tim manusia supernya ini menjadi sebuah tim yang kuat.


Ketika secara garis besar sebuah plot dari Justice League bisa sesederhana itu, hanya saja dalam presentasinya hal tersebut berkata lain. Justice League ini tampil bagaikan sebuah kompilasi 5 film pendek yang terasa seperti omnibus di 1 jam pertama. Setiap manusia super di dalam Justice League ini seperti punya kisahnya sendiri yang perlu untuk dijelaskan agar penonton bisa memihak karakter mana yang akan jadi idolanya. Sayangnya, hal ini berpengaruh dengan performa Justice League secara keseluruhan.

Meski diberi ruang untuk bergerak bagi karakter-karakternya, itu pun tak membuat setiap karakternya punya porsi yang kuat sebagai sebuah karakter utuh. Selama 120 menit, Justice League bingung harus fokus dengan kisah yang mana. Plot utamanya pun beberapa kali harus tersingkirkan demi cabang cerita lain yang sama tak kuatnya. Tak ada koneksi yang bisa saling berkesinambungan antar setiap kerangka ceritanya sehingga Justice League punya kesan sangat berantakan.

Motif-motif setiap karakternya dan alasan-alasan untuk setiap plotnya ini terasa hilang dari dalam filmnya. Ketika penonton sedang berusaha menerima informasi tentang setiap karakternya, dalam waktu itu juga penonton merasa adanya informasi yang terputus karena cerita sudah beralih dengan cara yang tak halus. Sehingga, muncul kesan bahwa Justice League seperti sebuah gabungan kisah-kisah pendek superhero dengan benang merah kecil dan bahkan benang merah tersebut dilupakan.


Dengan begitu, Justice League tak punya daya dan upaya untuk mengembalikan konsentrasi penontonnya yang sangat terdistraksi dengan plot yang saling tumpang tindih di 1 jam awal. Kisah ceritanya yang sebenarnya sederhana ini malah menjadi blunder karena film ini terasa menyibukkan dirinya tanpa memperhatikan plot utama sebagai penggeraknya. Alhasil, Justice League hanya sebagai sekedar sebuah parade manusia super idola dari komik DC yang tak ada kekuatannya sama sekali.

Entah siapa yang perlu disalahkan dari presentasi Justice League ini. Yang jelas pengarahan dari Zack Snyder dan kolaborasi supervisinya dari Joss Whedon tak bisa memberikan rasa dan tensi yang kuat. Sehingga, dalam 120 menitnya, Justice League memiliki performa yang begitu hambar hingga mungkin paruh akhir filmnya yang menampilkan adegan pertarungan para manusia super ini. Itupun, Justice League tak lagi menawarkan hal baru di dalam genre-nya.


Justice League memiliki visual efek yang begitu kasar dengan warna yang tak terlalu indah. Penonton yang akan menantikan parade visual efek pun akan sangat kecewa. Maka, amunisi senjata Justice League untuk mendistraksi segala kelemahan filmnya pun sama sekali tak tersisa. Hanya sosok Superman yang muncul di 1 jam terakhir inilah yang menjadi poin menarik dan satu-satunya dalam Justice League. Meskipun, penonton harus lagi-lagi terdistraksi dengan CGI yang membuat wajah Henry Cavill nampak berbeda dan berpotensi menjadi sesuatu yang menggelikan untuk dilihat. DC Films nampak jatuh ke lubang yang sama lagi.

Senin, 28 November 2016

MOANA (2016) REVIEW : Film Animasi Penuh Misi yang Tak Termakan Ambisi

MOANA (2016) REVIEW : Film Animasi Penuh Misi yang Tak Termakan Ambisi


Disney di era yang baru ini memiliki misi di dalam film-film miliknya. Sehingga, filmnya tak sekedar menjadi film animasi pelipur lara biasa tetapi ada nilai-nilai yang berusaha disematkan lewat karakter-karakternya, terutama karakter-karakter putri yang biasa mereka buat. Disney berusaha merombak segala identitas Princess yang kadang kelewat putih dan terlihat sempurna. Mulai dari Princess and The Frog, Tangled, dan Frozen, Disney berusaha untuk mengontruksi ulang identitas dari sosok Princess.

Tak berhenti di ketiga film tersebut, Disney kembali berusaha mengonstruksi identitas karakter-karakter Princess-nya dalam film teranyarnya berjudul Moana. Film ini ditangani oleh orang-orang lama Disney yang pernah berkecimpung lewat Aladdin dan The Little Mermaid yaitu Ron Clements. Sehingga mungkin proyek Moana ini sudah berada di tangan yang tepat karena rekam jejak sang sutradaranya yang sudah terbiasa berkecimpung di karakter-karakter tuan puteri.

Di era sekarang di mana ilmu pengetahuan sudah semakin berkembang pesat, lantas juga ada pesan yang berubah di dalam film-film animasi Disney saat ini. Moana pun penuh akan misi untuk mengedukasi dengan baik tentang gender dan ras yang bermain di wilayah Disney seperti biasanya. Dengan misi yang terkesan serius itu, memperhalus cara penyampaian pesan itu sangat penting dan Moana memiliki itu sebagai kekuatan filmnya. 


Jared Bush selaku penulis naskah film ini berusaha untuk memberikan sebuah kampanye dengan dampak masif tentang perempuan masa kini yang perlu diberi tempat sejajar dengan laki-laki. Moana adalah perwakilan tentang suara-suara perempuan yang tak ingin dianggap remeh. Bahkan, ada konstruksi lain tentang kata ‘Princess’ atau ‘Tuan Puteri’ dalam bahasa Indonesia. Lewat Moana, konstruksi bahasa secara visual dan penampilan fisik dari seorang tuan puteri itu diperbarui. Bahwa semua orang bisa menjadi tuan puteri, tak melulu memiliki kulit putih atau badan kurus dengan berbagai gemilau perhiasan dan busana cantik.

Memperkenalkan hal-hal semacam ini mungkin akan susah, terlebih penonton telah mendapatkan terpaan tentang sosok tuan puteri yang ideal oleh media-media lain. Tetapi, Disney memiliki kecerdikan mengemas pesan serius itu lewat film Moana. Tanpa perlu mengumbar superioritas feminisme dengan kemasan visual yang terkesan ‘nyeleneh’, Moana memberikan sebuah pesan audio visual yang dapat diterima oleh segala kalangan dengan segala kerendahan hati atas berlimpahnya pengetahuan kesetaraan gender yang mereka miliki. 


Menceritakan tentang Moana (Auli'i Cravalho) yang hidup selalu serasi di tengah-tengah suku Polynesia yang dikepalai oleh ayahnya, Chief Tui (Temuera Morrison). Tetapi, Moana merasa bahwa dirinya ingin sekali berlayar di luar sana, tetapi sang ayah selalu melarangnya. Sebuah kabar buruk pun melanda pulau mereka yang sebelumnya serba berkecukupan. Ikan-ikan tak bisa lagi ditangkap dan hasil perkebunan mereka pun banyak tak jadi. Hal tersebut dikarenakan oleh “hati” berbentuk batu milik Te Fiti yang dicuri oleh sosok setengah dewa legendaris, Maui (Dwayne Johnson) belum dikembalikan ke asalnya.

Lautan yang merampas ‘hati’ milik Te Fiti dan Kail milik Maui memilih Moana untuk menyuruh Maui mengembalikan hati tersebut kepada Te Fiti. Moana pun memberanikan diri untuk mengarungi lautan, menempuh badai dan jarak yang jauh untuk bisa kembali mensejahterakan suku Polynesia dan mengemban misi yang diberikan Lautan kepadanya. Yang jelas, perjalanan itu tak akan mudah karena dia akan bertemu dengan banyak rintangan seperti suku Kakamora yang juga mengincar hati Te Fiti dan Te Ka sang monster yang siap menghabisi Moana. 


Moana memiliki banyak perbedaan dengan film-film Disney Princess sebelumnya, mulai dari penampilan Moana secara fisik maupun dari penyampaian dari naskah yang ditulis Jared Bush. Secara struktur plot, Moana memang tak memiliki sesuatu yang berbeda dengan film-film Disney lainnya. Perbedaannya adalah bagaimana penyampaian dari Ron Clements dan Don Hall kepada sosok Moana. Bagaimana Ron Clements dan Don Hall berusaha membuat sosok Moana memiliki kesempatan untuk menyelesaikan segala misinya sendiri. Memberikan kekuatan pada karakter Moana yang menjadi diferensiasi dari karakter Disney Princess lainnya.

Jika dalam film-film Disney Princess lainnya berisikan tentang mencari kebenaran, maka berbeda dengan Moana. Dalam film ini Moana diberikan sebuah misi dan segala aksi petualangan yang seru, hal ini seperti memperlihatkan bagaimana Moana adalah perumpamaan dari suara perempuan masa kini. Bagaimana perempuan bisa diberi tanggung jawab dan menyelesaikan pekerjaannya, bukan sekedar membantu pekerjaan orang lain. Inilah yang menjadi kekuatan Moana secara naratif, bagaimana dia digambarkan sangat kuat dan bisa berperilaku setara dengan Maui sebagai laki-laki. 


Ron Clements dan Don Hall tetap tak melupakan bagaimana film ini tetap memiliki sisi sentimentil yang pas dengan sosok Moana sebagai perempuan. Sehingga, penuturan yang ada di dalam film ini terkesan sangat lembut dan tak terlalu padat seperti Zootopia. Ron Clements dan Don Hall berusaha untuk memberikan ruang kepada penontonnya untuk beristirahat, menikmati indahnya visual yang dimiliki oleh Moana. Selipan-selipan unsur komedi lewat berbagai karakter yang bisa mencuri penontonnya seperti HeiHei, si ayam dengan tingkah aneh, dan Pua, si babi yang menggemaskan.

Di dalam film Moana juga memiliki beberapa sekuens musikal yang diselipkan di dalam film Moana, sehingga penonton sesekali diberi relaksasi. Sekuens musikalnya pun tak terasa dipaksakan, penuh akan nuansa eksotis seperti Moana dan suku-sukunya sebagai orang yang hidup di pulau-pulau penuh lanskap pantai. Bukan hanya lagu-lagunya, tetapi juga musik-musik pendukung yang ada di dalam film ini. Ada unsur budaya yang berusaha dimasukkan ke dalam film Moana dan dapat divisualisasikan secara indah. Menjadikan film ini memiliki cita rasa klasik yang khas milik film-film Disney di era yang berbeda. 


Moana adalah sebuah film animasi dengan misi yang luar biasa banyak, mulai dari sebagai representasi akan gender dan ras, nilai-nilai sosial, dan tribut untuk menumbuhkan kembali cita rasa klasik seperti film-film Disney terdahulu. Dengan banyaknya poin itu, Moana berhasil memberikan tontonan yang mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut. Moana memiliki presentasi yang gemilang mulai dari penuh dengan visual-visual indah, juga petualangan seru dan menyenangkan. Ron Clements dan Don Hall berusaha menyampaikan Moana dengan berbeda dan berani. Moana adalah cara menikmati cita rasa klasik lewat visual yang moderen.