Tampilkan postingan dengan label Superhero. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Superhero. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

REVIEW : DEADPOOL 2

REVIEW : DEADPOOL 2


“You're no hero. You're just a clown, dressed up like a sex toy.” 
“So dark. You sure you're not from the DC universe?” 

Ditengah-tengah riuhnya film superhero yang menjunjung tinggi kebajikan, Deadpool (2016) yang diproduksi oleh 20th Century Fox berdasarkan komik berseri terbitan Marvel Comics menawarkan sebuah alternatif yang nyeleneh. Dia menjadi antitesis dari para pahlawan yang tergabung dalam Marvel Cinematic Universe berkat tutur kata dan tindakannya yang tak mengenal kompromi. Menerabas habis batasan-batasan rating yang biasanya membelenggu kreativitas dari film sejenis. Mengingat film ini dijual sebagai tontonan dewasa (jangan bilang belum diperingatkan, wahai para orang tua tukang ngeluh!), sang superhero dengan kostum ketat berwarna merah pekat ini pun mendapat keleluasaan dari pihak studio untuk menghabisi lawan-lawannya menggunakan cara yang berdarah-darah, berasyik masyuk dengan perempuan pujaannya, sampai melontarkan nyinyiran pedas penuh dengan referensi ke budaya populer yang tidak sedikit diantaranya mencakup F-word. Komponen-komponen yang amat sangat jarang dijumpai di film superhero belakangan ini, bukan? Pendekatannya yang berani ditambah gaya tuturnya yang nyentrik – merobohkan dinding keempat (berinteraksi dengan penonton) – ini menjadi sebuah kejutan manis sekaligus membuat Deadpool tampil menjulang. Tidak mengherankan jika kemudian sekuelnya yang bertajuk Deadpool 2 kembali mengaplikasikan formula yang terbukti berhasil ini meski tentunya bakal mengundang satu pertanyaan besar; akankah sensasi yang diberikannya kepada penonton masih sama seperti predesesornya? 

Berlatar dua tahun selepas peristiwa di film pertama, Wade Wilson (Ryan Reynolds) digambarkan telah menikmati kehidupannya sebagai pahlawan pembasmi kejahatan bernama Deadpool. Hubungannya dengan Vanessa (Morena Baccarin) pun kian mesra, bahkan keduanya telah berencana untuk memiliki momongan. Jika segalanya berjalan sesuai rencana seperti ini, lalu apa pemantik konflik dalam Deadpool 2 yang membuat penonton tertarik mengikuti guliran penceritaannya? Demi menghindari spoiler – saya peduli dengan kenyamanan kalian semua, para pembaca yang budiman! – rasa-rasanya tak perlu menjlentrehkan secara detil apa yang kemudian terjadi. Yang jelas, menginjak menit belasan, Deadpool mengalami goncangan hebat dalam hidupnya sampai-sampai mendorong Colossus (Stefan Kapičić) untuk turun tangan dan menyeretnya ke markas X-Men. Pertemuannya dengan para anggota X-Men yang sebagian besar diantaranya tidak terkenal (menurut si karakter tituler yang tak tahu sopan santun ini, tentu saja) perlahan tapi pasti membuat Deadpool menemukan kembali tujuan hidupnya. Bersama dengan sejumlah karakter baru, salah satunya adalah Domino (Zazie Beetz) yang kekuatan utamanya adalah ‘keberuntungan’, Deadpool membentuk kelompok superhero bernama X-Force. Misi besar yang mereka jalankan yakni menyelamatkan seorang mutan remaja bernama Russell (Julian Dennison) yang memiliki kekuatan dalam menyulut api dari mutan penjelajah waktu, Cable (Josh Brolin yang juga memerankan Thanos di Avengers: Infinity War), yang berniat untuk mencabut nyawanya. 



Tidak ada perubahan signifikan yang bisa dijumpai dalam Deadpool 2 sekalipun kursi penyutradaraan kini bergeser ke David Leitch (John Wick, Atomic Blonde). Leitch bersama dengan tiga penulis skrip memahami betul, tidak ada gunanya memperbaiki sesuatu yang tidak rusak. Oleh karena itu, Deadpool 2 dihidangkan sesuai dengan ekspektasi penonton yang telah menyaksikan jilid pertamanya; kekerasannya berada di level ‘pedas’, humornya yang nakal banyak mencuplik referensi ke budaya populer. Walau unsur kejutannya tak lagi besar, sensasi yang disalurkan kepada penonton kurang lebih masihlah sama. Deadpool 2 tetaplah sebuah sajian eskapisme gila-gilaan yang menghibur. Demi memenuhi aturan tidak tertulis untuk sekuel, cakupan skalanya pun sekali ini ditingkatkan. Si pembuat film mengkreasi lebih banyak laga di seri ini – dimulai dari menit pembuka yang membangkitkan semangat sampai klimaks yang lebih menggigit – begitu pula dengan lawakan-lawakan khas Deadpool yang makin tak terkontrol dan kian bejibun. Semuanya menjadi sasaran empuk nyinyirannya, terlebih jika namamu terafiliasi dengan semesta yang diciptakan oleh Marvel Cinematic Universe atau DC Extended Universe. Deadpool menyentil para personil Avengers sekaligus mencibir DC (duo Martha yang ikonik tentu tak terlewatkan). Dia juga tidak ragu-ragu mempertanyakan orisinalitas lagu ‘Do You Want to Build a Snowman?’ dari Frozen (2013), kebingungan dengan penulisan nama Kirsten Dunst yang benar (saya memahamimu, Deadpool!), mengeluhkan keputusan Logan (2017) untuk ikut-ikutan menjadi film superhero dewasa, menghujat karir aktor berkebangsaan Kanada bernama Ryan Reynolds (!), hingga paling meta: mengkritisi penulis skrip Deadpool 2 yang terlampau malas menciptakan konflik rumit. 

Tak pelak, kekuatan utama Deadpool 2 berada pada materi ngelabanya yang harus diakui cerdas dan kreatif. Ini masih belum ditambah dengan lelucon yang dikembangkan dari situasi-situasi yang berlangsung di sepanjang durasi. Saya juga tidak akan menyebutkannya satu demi satu karena lelucon merupakan bagian dari kejutan yang dimiliki oleh Deadpool 2. Hitung-hitung sebagai bentuk kompensasi atas jalinan kisah yang cenderung lurus-lurus saja, minim kelokan yang digemari sebagian penonton. Leitch mengombinasikan banyolan-banyolan dengan hidangan laga yang lebih gahar (plus sadis) dibandingkan film pertama. Menilik fakta bahwa Deadpool 2 tidak digelontori bujet sejor-joran Avengers: Infinity War, maka sebaiknya hempaskan bayangan adegan laganya bakalan segegap gempita film tersebut. Sebagian diantaranya memang tidak menawarkan pembaharuan (kamu telah melihatnya beberapa kali di film laga), tapi Leitch sanggup meniupkan excitement kedalamnya sehingga tak peduli seberapa pun seringnya kamu menjumpai adegan ini, tetap ada kesenangan tersendiri kala menyaksikannya. Malah, Deadpool 2 mempunyai momen klimaks membekas (sayangnya tak ada guyonan merujuk ke Carrie (1976)!) yang turut mengonfirmasi pelabelan ‘film keluarga’ oleh Deadpool di permulaan film – sekadar info, film pertama disebut ‘film percintaan’. Tentu ini bukan memiliki makna bahwa si pembuat film mempersilahkan penonton-penonton cilik memenuhi gedung bioskop, melainkan menunjukkan bahwa si pahlawan bermulut kotor ini tak lagi berjuang sendirian. Dia menjalin pertemanan dengan karakter-karakter baru yang mengisi kekosongan hatinya.


Pertemanan ini memungkinkan Deadpool 2 untuk menghadirkan sederet momen mengharu biru yang menghangatkan hati. Tidak semuanya bekerja dengan baik – ada kalanya diruntuhkan oleh guyonannya sendiri – seperti persahabatan Deadpool dan Russell yang tak segreget perkiraan, tapi paling tidak masih ada senyum mengembang di penghujung film ketika kita melihat sejauh mana Wade Wilson telah berkembang sebagai seorang manusia. Ryan Reynolds mampu menangani momen dramatik seiring bergejolaknya batin Wade seapik dia menangani momen komedik yang mengharuskannya melontarkan nyinyiran secara cepat seraya bertingkah nyeleneh. Chemistry yang dibangunnya bersama Julian Dennison berlangsung cukup baik, sementara pemeran-pemeran pendukung mampu mengimbangi performa ciamik dari Reynolds. Zazie Beetz mencuri perhatian sebagai Domino yang keberuntungannya tak pernah habis, Karan Soni sebagai Dopinder yang memiliki obsesi menjalani misi bersama Deadpool, dan Josh Brolin menunjukkan sisi rapuh dari Cable dibalik tampilan fisiknya yang sangar. Disamping kombinasi mulus antara banyolan, laga, beserta performa pemain, elemen lain yang membantu menciptakan kesenangan dalam Deadpool 2 adalah pilihan lagu pengiring di setiap adegannya. Bukan lagu-lagu beraliran rap, metal, atau rock yang menghentak-hentak melainkan tembang-tembang lembut dengan sisi emosional tinggi yang mungkin tak pernah terbayangkan akan menghiasi film superhero ‘ngaco’ semacam ini. Tembang-tembang tersebut antara lain ‘Take on Me’ milik A-Ha, ‘We Belong’ oleh Pat Benatar, ‘All Out of Love’-nya Air Supply, ‘Tomorrow’ dari drama musikal Annie (1977), sampai lagu tema film ini, ‘Ashes’, yang dibawakan Celine Dion bak lagu tema dari James Bond. Gokil!

Note : 1) Jangan terburu-buru tinggalkan gedung bioskop karena ada dua adegan bonus yang sangat layak buat dinanti. Keduanya terletak di sela-sela credit title jadi kamu tidak perlu menunggu terlalu lama.
2) Pastikan kamu menuntaskan urusan belakang sebelum film dimulai karena salah satu poin kejutan Deadpool 2 terletak pada cameo. Kemunculannya sangat cepat sehingga jika kamu keluar atau terlalu sibuk mengecek ponsel saat menonton, hampir bisa dipastikan akan terlewat. Blink, and you'll miss it

Outstanding (4/5)


Senin, 25 Juni 2018

REVIEW : INCREDIBLES 2

REVIEW : INCREDIBLES 2


“Done properly, parenting is a heroic act.” 

Saat dirilis ke hadapan publik pada tahun 2004 silam, The Incredibles bisa dikatakan menawarkan sebuah sajian menyegarkan yang menawarkan perspektif berbeda terhadap tontonan superhero terlebih pada masa itu adaptasi komik Marvel dan DC belum mendominasi layar lebar (FYI, Marvel Cinematic Universe baru dimulai pada tahun 2008 melalui Iron Man). Berceloteh mengenai dua pahlawan berkekuatan super yang memutuskan untuk menjalani kehidupan normal layaknya manusia kebanyakan dengan membina rumah tangga, film arahan Brad Bird (The Iron Giant, Ratatouille) ini menyisipinya dengan isu serius semacam krisis paruh baya dan rempongnya mengasuh anak ‘luar biasa’ seraya mengajak penonton bersenang-senang sekaligus memberi cemooh ke segala keklisean film superhero – persis seperti yang dilakukan oleh dwilogi Deadpool tempo hari. Sayangnya, sekalipun resepsi yang diterima dari publik dan kritikus amat positif, The Incredibles tak seketika mendapat instalmen kelanjutan. Membutuhkan waktu lebih dari satu dekade bagi Pixar Animation Studios untuk memberikan lampu hijau bagi pembuatan Incredibles 2 yang masih menempatkan Brad Bird di kursi penyutradaraan dan penulisan naskah. Kesuksesan Marvel Cinematic Universe lalu sambutan hangat yang diberikan oleh publik maupun kritikus kepada Monsters University (2013) dan Finding Dory (2016) tampaknya telah meluluhkan hati para petinggi Pixar. Lebih-lebih, mereka melihat masih adanya potensi kisah kepahlawanan keluarga Parr untuk dikembangkan lebih jauh lagi. 

Memulai penceritaan tepat setelah film pertama berakhir, Incredibles 2 menyoroti bagaimana pengorbanan keluarga Parr yang terdiri dari Bob atau Mr. Incredible (Craig T. Nelson), Helen atau Elastigirl (Holly Hunter), Violet (Sarah Vowell), Dash (Huck Milner), serta Jack-Jack yang masih balita (Eli Fucile) dalam memberantas kejahatan ternyata tak memperoleh pengakuan yang sepantasnya dari pemerintah. Memperhitungkan kerusakan masif yang ditimbulkan akibat aksi-aksi para pahlawan kala beraksi, pemerintah memutuskan untuk melarang segala praktik kepahlawanan yang memanfaatkan kekuatan khusus. Akibat larangan ini, keluarga Parr pun mau tak mau menjauhi gemerlapnya sorotan media dan menyembunyikan identitas mereka yang sesungguhnya dari khalayak ramai. Situasi yang suram bagi para superhero ini perlahan tapi pasti mulai berubah tatkala seorang pebisnis sukses yang bergerak di bidang telekomunikasi bernama Winston Deavor (Bob Odenkirk) beserta sang adik, Evelyn (Catherine Keener), berinisiatif untuk membersihkan nama baik para superhero. Caranya dengan merekrut Elastigirl sebagai ‘brand ambassador’ lalu merekam setiap aksinya dalam memberantas kejahatan. Trik ini terbukti berhasil sehingga kepercayaan publik berhasil didapatkan, popularitas Elastigirl mendadak menjulang, dan Mr. Incredible pun terpaksa menggantikan posisi sang istri untuk mengurus rumah tangga. Akan tetapi, keadaan lagi-lagi tak berjalan sesuai rencana ketika Elastigirl mesti berhadapan dengan seorang penjahat dengan motif dipertanyakan bernama Screenslaver.


Menonton Incredibles 2 di laya bioskop kala libur panjang ternyata sungguhlah pilihan tepat. Sedari menit pertama, Brad Bird telah mengondisikan penonton untuk bersemangat, tergelak-gelak, hingga berdebar-debar di kursi bioskop. Bagi saya yang kebetulan sedang membutuhkan hiburan untuk menghempaskan kepenatan dari pikiran, apa yang ditawarkan oleh Incredibles 2 jelas lebih dari cukup. Laganya seruuu, humornya pun lucuuu. Menengok produk akhirnya yang sanggup membuat hati bergembira, penantian para penggemar selama belasan tahun (intermezzo; saya ingat betul menyaksikan instalmen pertamanya di Tunjungan 21 saat masih bocah) tentu tidaklah sia-sia. Kesenangan yang telah terbentuk sedari menit pembuka yang berlangsung gegap gempita kala menampilkan aksi keluarga Parr beserta Frozone (Samuel L. Jackson, si Nick Fury) dalam menghentikan Underminer, mampu terjaga secara stabil hingga babak pamungkasnya yang akan membuat klimaks dari sejumlah film superhero terlihat cupu. Sosok antagonis dalam jilid ini memang tidak terlampau mengancam yang membuat barisan karakternya bertekuk lutut dan motif kejahatannya pun klasik – bisa dimengerti mengingat bagaimanapun juga, Incredibles 2 mesti menghibur penonton cilik – akan tetapi si pembuat film mengompensasinya bagi penonton dewasa dengan serentetan sekuens laga yang tidak sedikit diantaranya membuat saya berdebar-debar, materi ngelaba yang jitu dalam menggelitik saraf tawa, hingga jalinan pengisahan yang mengikat meski tergolong berat untuk ukuran film keluarga. 

Keberadaan humor dalam Incredibles 2 menjadi pelengkap yang sangat baik bagi serentetan sekuens laganya. Elemen komedik mengambil tongkat estafet dari elemen laga ketika film tidak sedang menyoroti sepak terjang Elastigirl yang (tentu saja) menyumbang sebagian momen aksi di Incredibles 2. Dengan kata lain, kamu bisa menemukannya saat sorotan beralih ke Mr. Incredible atau Bob yang kelimpungan dalam mengurus anak-anaknya. Bob mesti membantu Violet yang sedang kesengsem kepada salah satu laki-laki di sekolahnya yang apesnya tidak bisa mengingat siapa Violet karena satu dan lain hal, lalu membantu Dash yang kesulitan mengerjakan tugas-tugas matematika, hingga mencari solusi untuk mengontrol kekuatan Jack-Jack yang mengerikan. Aksi heroik Bob dalam menjalankan tugasnya sebagai Ayah Rumah Tangga ini tidak saja mengundang gelak tawa heboh yang salah dua momennya dipersembahkan oleh adegan pertarungan antara Jack-Jack dengan seekor rakun di halaman belakang rumah yang pecah sekali (Rocket Raccoon, is that you?) dan pertemuan singkat dengan desainer langganan keluarga, Edna Mode (Brad Bird), tetapi juga memberi kehangatan pada hati sekalipun tonjokkan emosinya tidak sekuat, katakanlah, Coco (2017).


Seperti halnya instalmen pertama, disamping memberi hiburan dalam bentuk pertarungan dan lawakan, Incredibles 2 turut menghadirkan guliran penceritaan menarik yang didalamnya mengandung komentar-komentar sosial yang relevan dengan situasi terkini. Isu yang dibicarakannya sekali ini berkaitan dengan women empowerment, pembagian peran dalam sektor rumah tangga, prasangka, keegoisan pemerintah, sampai ketergantungan terhadap teknologi. Walau kedengarannya berpotensi bikin dahi mengernyit, Brad Bird sanggup menyampaikannya secara lancar dan ringan tanpa mengurangi esensinya barang sedikitpun. Bagus! 

Note : Saat hendak menonton Incredibles 2, pastikan untuk tidak terlambat memasuki ruang pemutaran. Ada sebuah film pendek berjudul Bao sebelum film utama yang akan membuatmu ingin memberikan pelukan hangat kepada ibu tercinta. Kalau ini, buagus!

Outstanding (4/5)

Minggu, 13 Mei 2018

Avengers : Infinity War (2018) (4,5/5)

Avengers : Infinity War (2018) (4,5/5)


"In time, you will know what it's like to lose. To feel so desperately that you're right. Yet to fail all the same. Dread it. Run from it. Destiny still arrives," - Thanos. 

RottenTomatoes: 84% | IMDb: 8.9/10  | Metascore: 68/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5

Rated : PG-13 | Genre: Action, Adventure, Fantasy

Directed by Anthony Russo, Joe Russo ; Produced by Kevin Feige ; Screenplay by Christopher Markus, Stephen McFeely ; Based on The Avengers by Stan Lee, Jack Kirby ; Starring Robert Downey Jr., Chris Hemsworth, Mark Ruffalo, Chris Evans, Scarlett Johansson, Benedict Cumberbatch, Don Cheadle, Tom Holland, Chadwick Boseman, Paul Bettany, Elizabeth Olsen, Anthony Mackie, Sebastian Stan, Danai Gurira, Letitia Wright, Dave Bautista, Zoe Saldana, Josh Brolin, Chris Pratt ; Music by Alan Silvestri ; Cinematography Trent Opaloch ; Edited by Jeffrey Ford, Matthew Schmidt ; Production company Marvel Studios ; Distributed by Walt Disney Studios Motion Pictures ; Release date April 23, 2018 (Dolby Theatre), April 27, 2018 (United States) ; Running time 149 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $316–322 million

Story / Cerita / Sinopsis :
The Avengers dan teman-teman sesama superhero lainnya harus berjuang mengalahkan Thanos.

Review / Resensi:
Bukan NikenBicaraFilm namanya kalo ngereviewnya nggak telat. Hahaha. Giliran hype-nya udah reda saya malah baru nulis review-nya. Sebenarnya nontonnya udah dari 2 minggu lalu (dua kali nonton pula), namun karena sibuk pacaran ngumpulin mood maka review ini baru ditulis sekarang. Tapi nge-review telat ada untungnya juga sih. Dengan asumsi banyak yang sudah nonton, maka saya bebas untuk ngasih spoiler tipis-tipis di review-nya tanpa perlu khawatir diamuk massa. Jadi, lebih tepatnya review ini lebih diperuntukkan untuk mereka yang sudah nonton Avengers: Infinity War (selanjutnya ditulis singkat IW aja ya biar cepet).

Sedari remaja saya punya kecenderungan untuk membenci sesuatu yang disukai oleh banyak orang. Yaa... semacam anak-anak sok edgy jaman sekarang lah, cuma jaman saya SMP istilah edgy belum ada. Maka ketika hype IW lagi tinggi-tingginya, dimana timeline Instagram dan Facebook saya dipenuhi oleh teman-teman yang pamer nonton premiere IW dengan bangga, saya sempat langsung ga mood dan agak males (padahal ngiri aja ga bisa nonton premiere). Dan biasanya kalo uda gini, hasrat nyinyir saya suka keluar. Tapi entah bagaimana ketika saya masuk ke bioskop dan nonton, hasrat nyinyir saya itu entah menguap kemana. Saya menikmati setiap adegan, tertawa di setiap leluconnya, dan ketika film berakhir saya menemukan diri saya bengong sambil mikir, "Hah? Udah?". Sejujurnya, waktu nonton yang pertama kali saya merasa film ini sempurna, tapi ketika nonton untuk kedua kalinya, saya baru ngerasa ada beberapa hal yang miss. But overall I can say that Infinity War is fullfill my expectation. So prepare yourself, racauan saya ini juga akan lumayan panjang. Sampe paragraf ini aja saya masih meracau nggak penting ~

 "It's all been leading to this.."

Sepuluh tahun sejak dimulai dengan Iron Man (2008) dan diikuti tujuh belas film berikutnya, Avengers: Infinity War adalah semacam titik kulminasi dari MCU. Apakah ini adalah laga pemungkas? Untungnya enggak kok, daftar film berikutnya masih panjang (so suck it up, trend superhero masih akan merajai layar bioskop kita). Setelah Joss Whedon menggarap Avengers (2012) dan Avengers : Age of Ultron (2015), untuk seri ketiganya ini Russo Brothers yang sebelumnya nggarap Captain America: Winter Soldier (2014) dan Captain America: Civil War (2016) didapuk menjadi sutradara. IW menceritakan tentang rival terbesar semua jagoan di MCU: Thanos (Josh Brolin). Thanos sebenarnya punya cita-cita mulia, yakni menyeimbangkan alam semesta. Tapi caranya  itu yang ngawur: dengan genosida separuh makhluk hidup di seluruh alam semesta. Untuk mencapai cita-citanya ini ia mengumpulkan batu akik infinity stones di seluruh alam semesta yang akan membuatnya menjadi makhluk terkuat di jagat raya. The Avengers dan geng superhero lainnya pun berusaha menggagalkan rencana ini.

Infinity War punya beban yang cukup berat dari sekedar membuat "film-action-seru-full-superhero-dengan-efek-CGI-maha-dahsyat". IW harus menyatukan banyak karakter dalam satu film (setidaknya, saya hitung ada lebih dari 30 karakter yang nongol di film ini) tanpa membuatnya terasa "keroyokan". Untuk itu, IW mencoba memecahnya menjadi empat tim dengan misi yang berbeda-beda. Sebuah langkah yang baik dan cukup bijaksana. Tapi tentu saja, buat banyak orang yang ga ngikutin film-film MCU dari awal pastinya cuma bisa bengong karena ga paham dengan begitu banyaknya karakter yang nongol.

Saya membaca salah satu komentar seseorang kalo IW kurang mampu mengembangkan karakter masing-masing superhero dengan baik. Nah, di sini uniknya. Buat saya IW memang tidak sedang mengembangkan karakter para superhero itu, MCU punya 18 film sebelum ini untuk mengembangkan karakter-karakter jagoannya. Tapi IW adalah tentang karakter Thanos itu sendiri. Setelah sempat dikritik banyak orang karena menghadirkan villain yang begitu-begitu aja, MCU kayaknya berusaha memperbaiki hal ini dengan bikin villain yang tidak satu dimensi. Setelah sukses dengan Vulture di Spiderman: Homecoming (2017), dan Eric Killmonger (dan Ulysses Klaue?) di Black Panther (2018), Thanos adalah villain berikutnya yang membekas di hati. Setelah sebelumnya Thanos cuma cameo doank di Guardians of the Galaxy (2004) dan akhir credit di Avengers: Age of Ultron (2015), kali ini Thanos diperankan full dan langsung oleh Josh Brolin. Hal ini bikin Thanos ga cuma villain dengan muka jelek doank, tapi ada gurat-gurat emosional dan manusiawi yang bisa ditangkap dari wajahnya. Melalui IW kita tidak hanya dikenalkan dengan sifat dan karakter Thanos, tapi juga motivasi dan prinsipnya. Tambahan lagi, Thanos bukan sembarang villain. Doi kuat banget! Jagoan superhero ada sebegitu banyaknya dan si Almighty Thanos ini cuma luka dikit di muka ("All this, just for drop of blood"). 

(Spoiler: Ngomong-ngomong, saya pengen menyoroti bahwa Thanos rela mengorbankan Gamora untuk mencapai tujuannya. Hal ini beda dengan para superhero lainnya yang ga rela mengorbankan sesama superhero demi kedamaian alam semesta. Wanda ga rela Vision mati, Gamora ga rela Thanos nyiksa Nebula, Starlord mikir lama sebelum nembak Gamora, Dr. Strange ga membiarkan Iron Man mati (yang ini sih mungkin ada hubungannya dengan penglihatan Dr. Strange), Loki ga rela Thor mati... Intinya, mengorbankan diri sendiri tampaknya lebih mudah daripada mengorbankan orang lain yang kita cintai. Tapi please yes ini taruhannya alam semesta, dan ga ada yang cukup berani untuk melakukannya - kecuali Thanos. Jangan salah, Thanos beneran sayang sama Gamora. dan ingat ketika di bagian akhir Thanos ketemu Gamora kecil dan dia bilang bahwa dia kehilangan semuanya. Tapi itu sepadan dengan "cita-cita mulia" yang dimpikannya. Adegan RCTI Oke (saat Thanos duduk santai di sawah sambil lihat matahari terbit) di bagian akhir juga menarik. Sejauh ini, kayaknya belum ada film superhero yang "membiarkan" villainnya menang. Pertanyaan yang muncul adalah, kalo villain seperti Thanos menang apa sih yang bakal dia lakukan? Oh, dia ga berniat menguasai alam semesta dan memperbudak makhluk lainnya. Dia duduk santai aja di sawah menikmati "kedamaian" yang ia ciptakan).

Thanos bisa jadi adalah fokus utama dari IW, namun bukan berarti IW melupakan jagoan-jagoannya. Porsi kemunculan masing-masing karakter memang sangat terbatas, saya aja agak sebel Black Panther cuma nongol bentar dan kemunculannya kurang seksi. Tapi IW punya beberapa adegan yang memunculkan masing-masing karakter superhero lainnya dengan cukup seksi. Sebut saja: Iron Man dan Spiderman dengan kostum barunya, Thor dengan kekuatan barunya, dan bagaimana Captain America muncul dengan sangat dramatis dari balik kereta yang lewat. Momen-momen ini yang luput dari film Justice League (2017) kemaren dimana ga ada momen yang bikin saya berdecak kagum saat jagoannya muncul. Sejauh ini dari kubu sebelah momen kemunculan dramatis cuma pas Wonder Woman muncul di BvS : Dawn of Justice (2016). Saya juga suka setiap karakter di MCU masih cukup dikenali sifat-sifat aslinya. Yeng belum nonton film-film sebelumnya bisa dengan gampang menyebut sifat Tony Stark yang flamboyan, Peter Parker yang cerewet dan kaya dengan referensi pop-culture, Steve Rogers yang kaku (tapi makin hot ya Allaaaahh ~), hingga Star Lord yang konyol dan "tidak berwibawa". Sungguh MCU punya banyak stock superhero yang sangat menjual. Kamu tinggal milih aja.

Mengumpulkan seluruh karakter jadi satu adalah persoalan yang sulit, tapi menggabungkan berbagai tema dalam satu film juga adalah yang persoalan sulit yang lain. Dua seri Avengers sebelumnya menurut saya lebih mudah meleburkan tema dan atmosfer dari film-film sebelumnya, karena realitanya masih berpijak pada bumi. Namun IW ini harus menggabungkan semesta Captain America + Iron Man dkk di bumi dengan Guardians of The Galaxy (GoTG) dan Thor yang intergalactic. Semesta Captain America + Iron Man bernuansa lebih realis, high-tech, dengan mengikuti hukum-hukum fisika, kalau Guardians of the Galaxy lebih berasa space fantasy dengan warna-warna yang colorful. Untungnya, Thor: Ragnarok (2017) kemarin telah meleburkan semesta Asgardnya Thor dengan semesta universe GoTG, jadinya ga rancu ketika Thor bertemu untuk pertama kali dengan GoTG. Thanos sendiri dan pasukannya adalah makhluk luar angkasa, sehingga semesta IW dengan setting luar angkasa kemudian jadi terasa lebih dominan fantasi - yang mungkin tidak terlalu disukai oleh sebagian orang.

Sebagian orang yang saya tahu protes bahwa IW terasa sangat kekanak-kanakan dan kebanyakan humor yang tidak pada tempatnya. Banyak yang lebih suka momen di bumi dan Wakanda daripada momen-momen di luar angkasa (baca: GoTG). Lantas kemudian mereka membanding-bandingkan dengan betapa awesome-nya Winter Soldier, atau film superhero sebelah seperti Watchmen, The Dark Knight (TDK), dan Logan. Hey, saya juga sangat suka Winter Soldier dan TDK, tapi saya merasa MCU memang punya semesta dan visinyanya sendiri. MCU (kayaknya) enggak pernah berniat untuk jadi film superhero yang realis dan depresif macam TDK. MCU emang berniat jadi film yang fun, ringan, dan menyenangkan para penonton mainstream - meluaskan target market Marvel dari kaum comic-nerd menjadi penonton mainstream. Justru, menurut saya seri Captain America yang serius dan penuh drama-politik adalah yang agak menyimpang dari sebagian besar film-film MCU lainnya. Karena itulah, ketika banyak yang merasa jokes di IW maksa dan ga lucu, saya justru tertawa paling keras di bioskop. Saya kepikiran kalo sisipan leluconnya kayaknya dibikin oleh James Gunn. And anyway, GoTG-nya James Gunn sejauh ini tetap film MCU favorit saya (#teamyondu #teamdrax), saya melonjak kegirangan ketika terdengar Rubberband Man dari The Spinners seiring dengan ditampilkannya tim GoTG. Vibe-nya GotG banget.

Jikapun ada kekurangan, maka itu adalah sejak awal saya selalu merasa MCU adalah film yang bermain aman. Lakon menang mburi, lakon ga mungkin kalah (pahlawan menang belakangan, pahlawan ga mungkin kalah). Maka biarpun ending IW cukup menyesakkan yang mengingatkan saya akan series depresif bin absurd The Leftover, tapi saya tahu bahwa pada akhirnya akan baik-baik saja. Prasangka saya di awal juga akan begini: MCU akan membunuh salah satu karakter sentral, tapi superhero lainnya akan baik-baik saja - dan kayaknya ini yang mungkin akan dilakukan di untitled Avengers 4. Bakalan bikin lumayan sedih, tapi ga akan bikin penonton depresi. Faktor inilah yang kemudian bikin saya tidak pernah "melibatkan diri secara emosional seutuhnya" akan perjuangan the Avengers. Karena saya tahu mereka bakal menang....

Selain itu, yang bikin comic-nerd-nya merasa kecewa adalah karena pasukan anak buah Thanos, si Black Order tidak ditampilkan dengan cukup baik dan matinya juga.... gitu doank. Berhubung saya bukan pembaca komiknya, saya sih ga merasa terlalu keberatan, apalagi hal ini kepentok durasi terbatas. Tapi saya sedikit kecewa kalau anggota Black Order yang mengesankan cuma si Ebony Maw, yang kekerenan gaya bertarungnya mengingatkan saya dengan kerennya Yondu (#teamEbonyMaw). Sayangnya, anggota lainnya biasa aja dan mudah dilupakan.

Overview:
Bukan tugas yang mudah untuk membuat film dengan karakter sebanyak itu, harus menggabungkan beberapa "tema", menghibur penonton, sambil tetap tidak melupakan kualitas. It's not a perfect movie, tapi Avengers: Infinity War cukup mampu memenuhi ekspektasi saya. Naskah yang digarap Christoper Markus dan Stephen Freely memberikan porsi yang cukup berimbang antara setiap karakter, dengan mengambil langkah cerdas menjadikan Thanos sebagai "bintang utama", dan eksekusi yang dilakukan Russo Brothers cukup baik. Apakah ini adalah laga puncak dari keseluruhan rangkaian MCU? Ketika IW berakhir dan meninggalkan saya dalam keadaan terbengong-bengong, tentu saya mengharapkan Avengers 4 akan lebih seru lagi!

Minggu, 25 Februari 2018

REVIEW : BLACK PANTHER

REVIEW : BLACK PANTHER


“You cannot let your father’s actions define your life. You get to decide what kind of king you want to be.” 

Apabila ditengok sekilas lalu, film-film rilisan Marvel Studio memang memiliki corak seragam. Tergolong cerah ceria dengan setumpuk asupan humor dan laga yang membuatnya tampak ‘sepele’. Akan tetapi jika kita berkenan memperhatikannya lebih mendalam, film-film ini sejatinya mempunyai pendekatan berbeda antara satu dengan lainnya. Dalam satu tahun terakhir saja kita telah menyaksikan bagaimana Doctor Strange (2016) menghadirkan visual bergaya psikedelik dengan konten terkait perjalanan spiritual, lalu Guardians of the Galaxy Vol. 2 (2017) yang menyisipkan banyak hati ke dalam penceritaan sehingga memunculkan momen luar biasa emosional (tanpa diduga!), dan Thor Ragnarok (2017) mengajak penonton untuk tidak terlalu serius dalam memandang tontonan eskapisme yang memang bertujuan untuk menghibur. Adanya pendekatan berbeda-beda yang membuat masing-masing judul memiliki ciri khasnya sendiri inilah yang memberi ketertarikan tersendiri terhadap superhero movies kreasi Marvel Studio. Pemantiknya berasal dari satu pertanyaan sederhana, “apa kejutan berikutnya yang akan dipersiapkan oleh mereka?” Maka begitu Black Panther yang keterlibatannya dalam Marvel Cinematic Universe (MCU) pertama kali diperkenalkan melalui Captain America: Civil War (2016) diumumkan sebagai terbaru keluaran studio ini, kepenasaran dalam diri seketika membumbung. Terlebih lagi, sang sutradara, Ryan Coogler (Fruitvale Station, Creed), dan barisan pemainnya memiliki jejak rekam impresif dalam karir perfilman. 

Black Panther membuka jalinan pengisahannya dengan sekelumit narasi untuk membekali penonton dengan latar belakang Wakanda – sebuah negara fiktif di benua Afrika yang menjadi latar utama film – dan sosok Black Panther. Konon, berkat penemuan benda asing bernama Vibranium yang lantas dimanfaatkan sebagai bahan dasar untuk mengembangkan teknologi, negara cilik ini mampu tumbuh makmur. Demi mempertahankan kedigdayaan negara sekaligus menghindarkan Vibranium dari disalahgunakan oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab, Wakanda memutuskan untuk mengisolasi diri sampai-sampai citra mereka di mata dunia tak lebih dari sebatas negara dunia ketiga. Usai penjabaran singkat ini yang kemudian dilanjut sebuah prolog bertemakan drama pengkhianatan berlatar tahun 1992, Black Panther secara resmi memulai penceritaannya dengan mempertemukan kita pada T’Challa (Chadwick Boseman) di masa kini. T’Challa diangkat menjadi raja baru di Wakanda sekaligus pemilik identitas baru Black Panther pasca tewasnya sang ayah dalam peristiwa pengeboman yang berlangsung di Captain America: Civil War. Pada hari-hari pertama pemerintahannya, T’Challa seketika dihadapkan pada situasi genting terkait pencurian Vibranium yang membawanya terbang ke Korea Selatan berbekal bantuan dari tiga perempuan hebat; mantan kekasihnya Nakia (Lupita Nyong’o), pengawalnya Okoye (Danai Gurira), dan adiknya Shuri (Letitia Wright). Dalam perburuannya ini, T’Challa tidak saja dihadapkan pada Killmonger (Michael B. Jordan) yang memiliki misi terselubung terhadap Wakanda tetapi juga kegamangan hati yang membuatnya mempertanyakan tentang jati dirinya sebagai seorang raja.


Tidak ada keraguan sama sekali dalam diri ini bahwa Black Panther akan mampu menjadi sebuah tontonan yang menghibur – berpatokan pada pengalaman menyaksikan film-film pahlawan berkekuatan super keluaran Marvel Studio sejauh ini. Dan memang untuk urusan membuat hati merasa bungah, tidak pula menyesali telah meluangkan waktu serta menyisihkan uang, Black Panther berhasil melakukannya. Secara mendasar, Black Panther telah memenuhi semua kriteria yang bisa kamu harapkan dari sebuah film mengenai pahlawan super yang ajib. Rentetan laga mendebarkan? Check. Guyonan-guyonan menyegarkan? Check. Sosok penjahat yang bikin gregetan (sekaligus bersimpati)? Check. Tampilan visual yang membuat mata terbelalak? Check. Guliran penceritaan sarat intrik mengikat? Check. Dan paling penting, pahlawan yang mengajak penonton untuk bersorak sorai kepadanya? Check. Ya, Ryan Coogler telah memberikan tanda centang untuk seluruh bahan utama yang diperlukan demi menghindari munculnya raut muka penuh kekecewaan dari penonton. Tidak sebatas menggugurkan kewajiban, tentu saja, Coogler juga terampil meramunya sehingga setiap komponen ini terasa padu dan nikmat buat dikudap kala disorotkan ke layar lebar. Gelaran laganya sekalipun tidak semelimpah (dan semegah) yang diperkirakan, muncul sesuai kebutuhan. Keberadaannya sanggup membuat penonton merasa terlibat yang ditandai dengan aktifitas meremas-remas kursi bioskop maupun keinginan untuk bersorak sorai. Entah dengan kalian, tapi bagi saya, pertarungan T’Challa dengan para pengincar tahta di air terjun merupakan salah satu adegan laga terbaik di Black Panther

Seperti halnya elemen tarung-tarungan yang sedikit direduksi, elemen haha-hihi dalam Black Panther juga tidak sepekat beberapa film terakhir rilisan Marvel Studio. Masih bisa dijumpai di berbagai titik, utamanya setiap kali melibatkan Shuri yang sedikit nyentrik tidak seperti anggota kerajaan lain yang cenderung formal, tapi kentara sekali si pembuat film tidak ingin mengedepankannya sebagai jualan utama dan hanya mempergunakannya tatkala dirasa urat syaraf penonton mulai mengencang. Dampak positifnya, humor yang dipergunakan dalam Black Panther terasa lebih efektif sekaligus memberi efek kejut (boom!). Dalam artian, kita tidak pernah benar-benar tahu kapan bakal dilontarkan. Ditunjang dengan penempatan waktu yang tepat, ledakannya dapat lebih maksimal dan ini terjadi beberapa kali dalam Black Panther sehingga riuh tawa terdengar menggema di dalam bioskop. Mengasyikkan, bukan? Sebagai tontonan eskapisme, Black Panther memang tidak mengecewakan. Tapi yang membuatnya terasa lebih istimewa adalah Coogler tidak semata-mata mengkreasinya menjadi sebuah sajian pelepas penat yang ringan-ringan saja. Dia menjumput sejumlah topik pembicaraan tergolong serius berkenaan dengan representasi kelompok minoritas, black power, kesetaraan jender, isolasionisme, hingga opresi lalu membubuhkannya ke dalam penceritaan secara cermat – bukan sebatas di permukaan saja. Poin lebihnya, keberadaan topik ini membuat Black Panther memiliki greget tersendiri dalam penceritaannya yang sejatinya telah dipenuhi intrik ala drama Shakespeare dan mengundang bahan diskusi panjang-panjang bersama kawan (atau dalam ruang seminar). 


Disamping barisan laga cadas, asupan humor segar, beserta guliran pengisah mengikat, sumber energi lain yang mampu membantu Black Panther berdiri kokoh adalah elemen teknisnya. Tengok saja efek visualnya yang merealisasikan Wakanda yang futuristis, kostumnya dengan detil yang kaya (ada yang mirip baju koko yes!), sinematografinya yang tak saja menyuplai gambar indah tetapi juga bergerak lincah, penyuntingannya yang dinamis, sampai iringan musiknya yang meniupkan identitas ke film baik melalui skoring dengan sentuhan etnik maupun pilihan tembang bernuansa R&B/Hip-hop. Ini masih belum ditambah kekuatan terbesar dari Black Panther yakni performa ansambel pemainnya yang mampu menghadirkan atraksi akting mengagumkan. Chadwick Boseman menunjukkan wibawa (dengan sesekali guratan keraguan) sebagai seorang raja terpilih merangkap pahlawan, Michael B. Jordan memberikan kompleksitas terhadap sosok Killmonger yang menjadikannya tidak sebatas penjahat gila yang sepatutnya kita benci, Lupita Nyong’o bersama Danai Gurira adalah dua perempuan tangguh yang akan diidolakan para gadis cilik, Letitia Wright menghadirkan tawa dalam setiap kemunculannya, Angela Bassett memberi keteduhan seorang ibu, dan Forest Whitaker memperlihatkan ambiguitas yang membuat kita menyadari bahwa karakter-karakter kunci di Black Panther berada dalam area abu-abu – tidak sepenuhnya putih, tidak pula sepenuhnya hitam. Memiliki kombinasi maut dari berbagai departemen seperti ini, tak mengherankan jika kemudian Black Panther mampu tersaji sebagai sebuah produk unggul dan menjadi kontender kuat sebagai film terbaik di tahun 2018.

Note : Black Panther memiliki dua adegan tambahan saat credit scene bergulir yang memberikan kita petunjuk mengenai The Avengers: Infinity War.

Outstanding (4/5)


Kamis, 14 Desember 2017

Justice League (2017) (2,5/5)

Justice League (2017) (2,5/5)


RottenTomatoes: 40% | IMDb: 7,2/10 | Metascore: 45/100 | NikenBicaraFilm: 2,5/5

Rated: PG-13
Genre: Action, Adventure, Fantasy

Directed by Zack Snyder ; Produced by Charles Roven, Deborah Snyder, Jon Berg, Geoff Johns ; Screenplay by Chris Terrio, Joss Whedon ; Story by Chris Terrio, Zack Snyder ; Based on Justice League by Gardner Fox ; Starring Ben Affleck, Henry Cavill, Amy Adams, Gal Gadot, Ezra Miller, Jason Momoa, Ray Fisher, Jeremy Irons, Diane Lane, Connie Nielsen, J. K. Simmons ; Music by Danny Elfman ; Cinematography Fabian Wagner ; Edited by David Brenner, Richard Pearson, Martin Walsh ; Production companiesDC Films, RatPac Entertainment, Atlas Entertainment, Cruel and Unusual Films ; Distributed by Warner Bros. Pictures ; Release date November 17, 2017 (United States) ; Running time120 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $300 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Selepas kematian Superman, Bruce Wayne alias Batman (Ben Affleck) bekerjasama dengan Diana Prince alias Wonder Woman (Gal Gadot) untuk membentuk aliansi superhero demi melawan kedatangan musuh.

Review / Resensi :

APAAA??! BARU REVIEW JUSTICE LEAGUE???!!

(Mohon maaf, review ini mengandung ranjau spoiler).

Saya tahu me-review ini sangat basi. Kalau saya ngejar visitors ke blog ini, seharusnya saya sudah nge-review saat filmnya diputar pertengahan November lalu. Tapi ada daya, setelah nonton ini (alhamdulillah, kali ini nontonnya sama patjar ga sendirian), saya nggak punya cukup waktu dan (terutama) good mood untuk nulis reviewnya. Alhasil, saya baru bisa bikin review-nya hampir satu bulan kemudian... Dan inipun saya bisa ngebelain untuk bikin reviewnya, karena nafsu nyinyir saya lumayan besar. 

Ketika menulis review ini, saya berusaha mengais-ngais ingatan saya soal Justice League. Dan sejujurnya, ingatan saya soal film ini kenapa buruk-buruk semua ya. Yang terbayang pertama kali adalah wajah masam kekasih saya yang keluar bioskop sambil bersungut-sungut. Saya tahu sejak nonton trailernya (yang terlihat cukup buruk), ia berusaha tidak terlalu berekspektasi tinggi soal Justice League - apalagi mengingat reputasi film-film DCEU yang sejauh ini memalukan dibandingkan MCU, namun ia tidak menyangka bahwa ternyata hasilnya akan seburuk ini. Saya teringat komentarnya, "Fans DC ga usah sibuk membela film-film DC dengan menjatuhkan film-film MCU. Harusnya fans DC sejati malu dan marah film-film DC dibuat jadi seburuk ini!". Dan kamipun sibuk berdiskusi sambil nyinyir. Selain itu, yang terbayang berikutnya ketika berusaha mengingat-ngingat film Justice League ini adalah nada-nada catchy yang keluar dari mulut Jason Momoa sebagai Aquaman saat berkata, "My man!" dan "Alright!", serta pemandangan si Jason Momoa berjalan dengan gagah keluar dari bar sambil membuang botol bir yang baru saja ia tenggak. Entahlah, nancep banget itu di ingatan. BECAUSE IT'S SO DAMN CHEESY!

Fans DC, yang sabar ya semuanya. Nggak usah lah marah-marah ke Rotten Tomatoes dan menuduh situs itu berkonspirasi dengan Disney/Marvel untuk menjatuhkan DC, karena situs itu kerjanya cuma ngumpulin pendapat kritikus doank, bukan punya kritikus sendiri. Dan emang film-film DCEU parah-parah semua kok! (Kecuali Wonder Woman, ya). 

Salah satu kritikan terbesar yang ada pada film Batman v Superman : Dawn of Justice adalah film itu kurang fun dan terlalu serius. Bagi saya pribadi sih, jika memang DCEU menempatkan posisinya sebagai film-film superhero yang realis dan dark, maka bukanlah masalah untuk terlalu serius. Tengoklah The Dark Knight atau Captai America: Winter Soldier yang serius, minim humor dan lebih cocok utuk penonton dewasa, tapi kerennya pakai banget. Bagi saya kekurangan BvS lebih kepada scriptnya yang kacau dan membosankan, serta kurang unsur thrilling yang bikin kita tegang lalu bisa berdecak kagum. Nah, Justice League ini tampaknya berusaha menerjemahkan kritikan "terlalu serius" itu dengan berusaha menyelipkan unsur humor agar tampil sedikit santai dan tidak terlalu membosankan. Tapi tapi tapi... jatuhnya malah norak dan murahan. Saya sampai heran apakah orang-orang di belakang Justice League adalah orang-orang amatir di dunia perfilman. Kerasa sekali bahwa visi DCEU sama sekali tidak sekuat MCU. Perubahan ke arah kelewat ringan dan santai justru membuat Justice League terasa inkonsisten dengan film-film yang dibuat sebelumnya.

Bagi saya, naskahnya adalah kesalahan yang paling fatal bikin Justice League ini hancur lebur. Kekasih saya (sorry saya harus sering menyebut-nyebut dirinya karena sebagian pengetahuan dan referensi movie-comic saya dari doi), sedari awal sudah bisa menebak alur cerita Justice League ini. Pendekatan DC sangat jauh berbeda jika dibandingkan MCU. MCU berusaha membangun universe-nya pelan-pelan dengan cara membuat satu-satu film setiap jagoannya lantas mengumpulkannya di akhir fase. Sementara DC, berhubung udah telat start, memilih langsung mengumpulkan jagoannya terlebih dahulu lewat Justice League dengan hanya baru mengenalkan Wonder Woman, Superman, dan Batman. Otomatis, ada beban mengenalkan superhero-superhero lainnya lewat Justice League sebelum melakukan petarungan epik. Kekasih saya pun beropini, dalam durasi dua jam yang terbilang singkat, Justice League punya beban cerita yang padat: harus mengenalkan masing-masing superhero, memberi mereka alasan untuk bersatu, memperkenalkan sang villain Steppenwolf dan apa motifnya, lalu menampilkan pertarungan sengit. Kekasih saya pun menebak sudah pasti senjata untuk ngalahin si villain adalah Superman, dan si Superman ini harus muncul di saat kritis. Sangat mudah ditebak.

Saya juga mengharapkan ada sedikit "kerumitan" dalam ceritanya, tapi ternyata ceritanya sangat sederhana, dan entah bagaimana semuanya terasa sangat konyol. Setiap permasalahan yang ada solusinya ditemukan hanya dalam beberapa saat kemudian dan kayak terlalu gampang dan nggak pakai mikir sama sekali. Contoh, gimana Cyborg yang (ngakunya) tidak bisa mengendalikan kemampuan dirinya tiba-tiba bisa jadi sangat ahli saat dibutuhkan, atau ketika Superman yang lagi gendeng tiba-tiba jadi normal lagi karena sang kekasih muncul di waktu yang tepat (untungnya si Louis Lane ga kejebak macet di jalan). Saya sampai mikir, ini yang nulis naskah apa nggak belajar dari kesalahan yang membuat film-film DC jadi bulan-bulanan kritikus selama ini? Justice League semakin menegaskan reputasi Zack Snyder yang dikenal sebagai sutradara yang naskah filmnya selalu kacau. Saya bahkan merasa Justice League ini jauh lebih buruk daripada Suicide Squad maupun BvS.

Kalau mau dibandingkan dengan Avengers, saya merasa konflik-konflik yang muncul lebih "kaya" di film tersebut. Sebuah aliansi superhero yang berusaha untuk membentuk kerjasama yang solid, walau harus disertai dengan berantem-berantem terlebih dahulu. Siapa yang memimpin langsung jelas, dan mereka punya strategi-strategi yang diperhitungkan dengan baik. (Terlepas, konflik yang muncul di Avengers dan Avengers: Age of Ultron basically disebabkan oleh mereka sendiri!). Sementara Justice League ini.... ya ampun payah sekali. Kalau misal dua klub superhero ini ditandingkan, saya yakin Justice League ini keok duluan. Batman, yang seharusnya menjadi pemimpin besar dari superhero league ini nyatanya mendapatkan porsi paling..... memalukan. Pertama, Batman ga yakin dengan keputusannya "membangunkan" Superman. Kedua, saat Superman tiba-tiba jadi gendeng, gimana bisa Batman muncul terlambat sementara yang lain udah bertarung duluan, dan pas Superman ngeliat si Louis Lane, dilemparkan ajalah si Batman ini "semudah" itu kayak kita biasa ngelempar pakaian kotor ke keranjang. Ketiga, pas adegan klimaks menuju pertarungan dengan Steppenwolf - di dunia antah berantah -, Batman dan kawan-kawannya nggak punya strategi dan perencanaan jelas apa yang harus mereka lakukan. Saya malah lupa-lupa ingat si Batman ini ngelawan siapa sih pas climax scene. Dan kenapa sih pas mau berantem lawan musuh mereka ga nungguin Superman yang susah-susah mereka hidupkan lagi?

Ya Tuhan, saya merasa Justice League ini lebih tepat untuk disebut Superman dan kawan-kawan kecilnya. Superman ini nabi deh kayaknya. Ga ada jelek-jeleknya doi.

Oke, naskah sudah sekacau dan sekonyol itu ya. At least beri kami penonton pertarungan yang epik!

Ternyata.... enggak bagus-bagus juga. Saya cuma suka adegan kuda-kudaan para warrior perempuan di Themyscira. Selebihnya.... lame. Saya merasa CGI paradaemon dan steppenwolf-nya sangat mengganggu. Kurang stylish. Pun action fight scene-nya juga.... kurang stylish. Budget 300 juta dollar terbuang dalam kesia-siaan. Apalagi konon katanya budget itu banyak terpotong untuk efek CGI ngilangin brengos si Superman. Saya juga berharap ada momen-momen cool ketika setiap jagoan tampil di layar (sebagaimana Wonder Woman muncul di BvS untuk pertama kali yang emang keren banget), tapi ternyata.... ya enggak ada juga. Yang keren malah kemunculan Deathstroke di post-credit scene.

Hmm.. apalagi ya yang belum saya sebutkan. Oh ya, adegan desa yang kebingungan diserang oleh alien. Yang rupanya... cuma berisi satu keluarga ya. Yeah, right. Ga bisa bayar figuran, masbro?

Overview : 
Justice League seperti film yang terasa dikerjakan dengan.... malas-malasan. Terutama, scriptnya. Padahal, ini yang selalu menjadi bahan kritikan kebanyakan orang. Ceritanya terlalu ringan dan sederhana, mudah ditebak, kurang kuat, dan terasa sangat konyol. Justice League berusaha sedikit mirip MCU dengan menambahkan unsur fun, namun buat saya hal ini malah membuatnya terasa tidak konsisten dan cheap. Action scene-nya juga tidak terlalu spesial, tidak ada momen yang bisa bikin semacam moviegasm di dalam bioskop. Batman tampak seperti pemimpin yang ceroboh, dan karakter lain juga tidak terlalu membantu.

Oh, come on... is it that bad? Yes. 

Senin, 30 Oktober 2017

Thor: Ragnarok (2017) (4/5)

Thor: Ragnarok (2017) (4/5)



What are you, the god of hammers?

RottenTomatoes: 96% | IMDb: 8,3/10 | Metascore: 73/100 | NikenBicaraFilm: 4/5

Genre: Action & Adventure, Fantasy, Drama, Comedy
Rated: PG-13

Directed by Taika Waititi ; Produced by Kevin Feige ; Screenplay by Eric Pearson, Craig Kyle, Christopher Yost ; Based on Thor by Stan Lee, Larry Lieber, Jack Kirby ; Starring Chris Hemsworth, Tom Hiddleston, Cate Blanchett, Idris Elba, Jeff Goldblum, Tessa Thompson, Karl Urban, Mark Ruffalo, Anthony Hopkins ; Music by Mark Mothersbaugh ; Cinematography Javier Aguirresarobe ; Edited by Joel Negron, Zene Baker ; Production companyMarvel Studios ; Distributed by Walt Disney Studios Motion Pictures ; Release date October 10, 2017 (El Capitan Theatre) November 3, 2017 (United States) ; Running time 130 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $180 million

Story / Cerita / Sinopsis:
Setelah kehilangan palu ajaibnya, Thor (Chris Hemsworth) harus melarikan diri dari Planet Saakar untuk menyelamatkan Asgard dari tangan Hela (Cate Blancett).

Review / Resensi:
Seringkali setiap menulis review artikel tentang film superhero, saya selalu mengawalinya dengan pernyataan kalau saya bukan fans film superhero. Dan emang sih, karena dulu saya belum khatam film-film MCU dan nggak pernah ada niatan buat nonton. Sampai kemudian saya dapet pacar yang kebetulan lumayan comic nerd, dicekokinlah saya dengan cerita-cerita soal komik. Terpengaruh rayuannya (pacaran model apa sih ngomongin komik!), saya pun akhirnya mengkhatamkan MCU. But once again, saya ga menyebut diri saya fans film superhero - karena saya toh ga tertarik-tarik amat untuk ngikutin banget, apalagi sampai baca komiknya. Tapi kalau ditanya saya pilih MCU atau DCEU, ya saya jawab saya milih MCU (Tapi kalau ditanya milih MCU atau X-Men? Saya pilih X-Men soalnya ada Fassbender!). Secara umum, MCU punya pondasi yang lebih kuat dan visioner dalam menjalankan universe-nya dibandingkan DCEU. Yaaahh... mudah-mudahan Justice League yang tayang pertengahan November ini ga ancur ya. Kalo ancur lagi, siap-siap saya bikin artikel full of nyinyir ~

Di antara sekian banyak film-film MCU, series Thor yang merupakan salah satu pilar Avengers justru paling lemah di antara yang lain. Saya baru namatin Thor 1-2 bulan lalu, tapi saya bahkan sudah lupa-lupa ingat filmnya tentang apa. Secara box office, Thor juga termasuk yang menghasilkan paling sedikit. Saya rasa kesalahan series ini adalah karena narasinya yang terasa sederhana dan kurang solid, serta tone antara dark dan comedy-nya kurang menyatu. Pesona Thor (Chris Hemsworth) pun kalah dengan Loki (Tom Hiddleston) yang tampil lebih mencuri perhatian dan justru menjadi favorit orang-orang. Maka direkrutlah Taika Waititi, yang juga terkenal sebagai sutradara dan komedian (ia ternyata pernah bikin komedi duo bareng Jemaine Clement-nya Flight of the Choncords), untuk membawa arah berbeda bagi film ketiga Thor ini. For me, he nailed it. Thor: Ragnarok adalah film superhero yang fun dan menyenangkan. Ini adalah seri ketiga namun kita berharap ini harusnya menjadi sebuah film awal yang memulai series Thor. Dari jauh hari ketika trailernya dirilis, kita tidak hanya disuguhi pertandingan epik antara Thor versus Hulk, namun sudah terbaca jelas bahwa Thor: Ragnarok ini punya tone yang sangat jauh berbeda dibandingkan film pertama dan keduanya. 

Diangkatnya Taika Waititi di kursi sutradara sudah jelas arahnya: Thor akan lebih fokus ke segi komedi. Thor: Ragnarok membawa formula yang kurang lebih mirip dengan Guardians of The Galaxy, bahkan termasuk tata visual dan artistic style-nya mengingatkan saya dengan film itu. Film Guardians of The Galaxy yang sebelumnya merupakan jagoan tidak terlalu terkenal itu ternyata punya formula yang disukai oleh banyak penonton dan kritikus (termasuk saya!), dan mencetak kesuksesan besar. Langkah beresiko ini sukses melejitkan Guardians of the Galaxy, tapi apakah langkah ini cocok untuk Thor? Entahlah. Sebagian fans garis keras mungkin akan menyuarakan kekecewaannya (walaupun tetap aja nonton), namun kritikus dan audiens jelas menyukainya. Ada satu hal yang perlu diingat: MCU hadir untuk menggaet lebih banyak penonton dan fans. Film-film MCU hadir untuk mempopulerkan comic - yang sebelumnya hanya disukai oleh minoritas - menjadi pop culture generasi baru yang bisa disukai oleh lebih banyak orang.

Saya banyak baca bahwa begitu banyak orang (terutama para fans) yang complain begini: MCU kebanyakan melawak. Spiderman, Ant-Man atau Star-Lord yang melawak masih bisa dimaklumi, tapi Thor? Emh.. saya ga paham ya komik Thor sendiri gimana, tapi saya merasa Thor: Ragnarok ini mewakili pembaharuan baru yang diinginkan pihak studio. Series Thor sendiri sebenarnya menurut saya sifatnya lebih comedic, namun komedinya nanggung banget. Karena itu tampaknya studio ingin membuat konsep baru series Thor lewat Ragnarok yang kira-kira seperti ini, "Sudah skalian aja kita bikin film ketiga Thor ini ringan, kocak, penuh fantasi, dengan style yang artistik yang colorful!". Komedi Thor:Ragnarok bahkan punya porsi lebih banyak daripada Guardians of the Galaxy. Entah apakah kamu tertawa dengan lelucon-leluconnya, namun saya yang tertawa dengan film-film Adam Sandler dan salah satu film komedi favorit saya adalah White Chicks, saya dibuat tertawa lepas nonton ini. Mungkin karena saya masuk gedung bioskop SUDAH TAHU saya bakal nonton film superhero yang ringan dan kocak, dan sesungguhnya lelucon Thor: Ragnarok ini fresh and fun. Kalau ada yang protes bahwa film ini seperti parodi, emang itu tujuannya.
Grandmaster: Here's the deal, god of thunder: if you want to go back to Ass... Ass-wherever you came from...Thor: ASGARD!
(Lihat, bahkan mereka memang ingin menertawakan konsep superhero dewa-dewa ini dengan menertawakan nama negeri asal Thor)

Biarpun Thor adalah anak Dewa, tapi boleh dibilang sebenarnya kelakuannya ga kayak dewa-dewa yang bijak (seperti Superman, misalnya). Thor digambarkan punya sifat pemarah dan keras kepala yang tidak terlalu bisa ditanggapi dengan serius. Ia mungkin Dewa, namun di bumi kelakuannya jelas konyol. Sebagai dewa ia bahkan kalah leadership dari Captain America atau Iron Man (Thor: "I don't hang with the Avengers anymore. It all got too corporate"). Karena itulah tampaknya lewat Thor: Ragnarok ini studio punya visi ingin mencitrakan Thor secara refresh dan berbeda. Thor tidak hanya kehilangan palu dan rambut yang menjadi ciri khasnya selama ini, namun studio juga ingin menonjolkan sisi lain dari Thor. Skalian aja dibuat si Dewa ini tampak konyol dengan selera humor tinggi. Film yang naskahnya dikerjakan bertiga oleh Eric Pearson, Craig Kyle, Christopher Yost ini juga memanfaatkan Chris Hemsworth yang rupanya berbakat sebagai aktor komedi, apalagi setelah perannya sebagai cowok seksi tapi bodoh di reboot Ghostbuster (2016). Ragnarok ini juga berhasil menjadikan Thor sebagai benar-benar bintangnya tanpa tertutupi Loki maupun Hulk, dan menampilkan pemungkas yang baik bagi perjalanan karakter Thor dari si anak yang seenaknya sendiri menjadi anak yang berjuang menyelamatkan Asgard. Biarpun diperankan cowok paling ganteng di Avengers, kenyataannya pesona Thor sejauh ini kalah dibandingkan karakter lain seperti Iron Man, Captain America, atau bahkan Star-Lord. Namun Thor: Ragnarok ini menjadikan Thor menjadi karakter yang kini jadi sama menonjolnya dan lebih likeable.

Tidak hanya selera komedinya yang mirip Guardians of the Galaxy, saya juga merasa atmosfernya senada dengan Guardians of the Galaxy. Saya dulu kesulitan menghubungkan antara Asgard dengan realita bumi dan universe milik Guardians of the Galaxy, namun Thor: Ragnarok ini akhirnya berhasil menampilkan hubungan "universe"-nya dengan universe milik Guardians of the Galaxy (dan Thanos). And oh my God, saya menyukai setiap keseruan yang ada di Planet Sakaar! Planet ini mungkin bukan planet terbaik di alam semesta, tapi setidaknya kotanya yang colorful, penduduknya yang unik, serta kehadiran Grandmaster (Jeff Goldblum) yang jahat tapi kocak ini adalah alasan-alasan yang bikin planet ini menarik. Kita seperti diajak masuk ke perpaduan pabrik coklat Willy Wonka plus film sci-fi 80an versi MCU. Saya juga menyukai desain artistiknya yang sangat vibrant dan candy colored, dengan fashion style retro costume yang artsy, ditambah dukungan scoring music elecronic synthetizer dari Mark Mothersbaugh yang super asyik. Mungkin ini satu-satunya MCU series yang scoring music-nya saya suka (harus diakui, scoring music DCEU sejauh ini lebih juara). Oh, dan jangan lupakan juga The Immigrant Song dari Led Zeppelin yang super keren pada action scene-nya.

Namun memang, cerita Thor: Ragnarok ini sendiri sebenarnya sangat sederhana. Ada musuh, lalu dilawan (ya emang dimana-mana gitu sih). Tapi tho film-film Thor yang lain juga tidak pernah kompleks dan complicated. Biarpun seperti biasa Cate Blancett bermain dengan baik sebagai sang villain, namun tetap saja Hela bukanlah villain yang luar biasa. Salah satu isu terbesar dari film ini adalah bahwa ada banyak momen tragis yang seharusnya bisa ditangisi, namun penonton tidak diajak untuk meresapi momen-momen dramatis itu. Mungkin ini adalah keputusan yang harus diambil mengingat misi Thor: Ragnarok ini memang sebuah film fantasi yang fun - dan tidak seharusnya penonton cemas apakah Asgard akan hancur atau tidak, karena tho kita tidak tinggal di sana. Tapi seharusnya ada momen-momen sedikit mengharukan atau menyedihkan, karena Thor: Ragnarok ini kurang "main perasaan". Bandingkan dengan Guardians of The Galaxy, misalkan... yang walaupun humornya dominan, namun masih ada hal-hal yang menyentuh hati. (*Spoiler* Hancurnya Groot di GotG 1 atau kematian Yondu di GoTG 2 membuat kita bersedih. Tidak seperti kematian Odin dan Skurge atau kehancuran Asgard yang terasa berlalu begitu saja di Thor: Ragnarok ini. *Spoiler ends*).

Overview:
Tidak selamanya film ketiga selalu lebih jelek daripada film pertamanya. Di bawah arahan Taika Waititi, Thor: Ragnarok adalah film terbaik dibandingkan film-film Thor sebelumnya. It's fun, full of humor, and visually stylish. Thor akhirnya mendapatkan panggung terbaik yang menonjolkan dirinya sebagai sang God of Thunder. Biarpun ceritanya sendiri klise dan harusnya ada banyak momen yang butuh "main perasaan", secara keseluruhan Thor:Ragnarok tetaplah tontonan berkelas nan menghibur. 

Jumat, 11 Agustus 2017

REVIEW : RAFATHAR

REVIEW : RAFATHAR


“Ini bukan bayi biasa. Ini bayi mutan, Bos.” 

Ada satu film keluarga dari era 90-an yang rutin ditayangkan beberapa bulan sekali oleh salah satu televisi swasta tanah air berjudul Baby’s Day Out (1994). Dalam film tersebut, kita melihat serentetan kekonyolan yang dialami sejumlah pelaku tindak kriminal akibat dipecundangi seorang bayi yang mereka culik dari keluarga kaya. Guliran penceritaan kurang lebih senada bisa dijumpai pula dalam film laga berbumbu komedi Rob-B-Hood (2006) yang dibintangi Jackie Chan dan film komedi romantis Demi Cinta (2017), produksi MNC Pictures dimana para penculik malah dibuat jatuh hati kepada si bayi. Dari ketiga film tersebut, bisa ditarik benang merah bahwa pekerjaan menculik bayi dalam film fiktif yang sepintas tampak sangat mudah dieksekusi rupanya jauh lebih memusingkan dari yang perkirakan. Percobaan terbaru dalam menjalankan misi ‘menculik bayi’ dilakukan oleh Raffi Ahmad dan Nagita Slavina dalam Rafathar (2017) yang konon dibuat sebagai kado ulang tahun bagi putra tercinta mereka, Rafathar Malik Ahmad. Bekerjasama dengan Umbara bersaudara; Bounty sebagai sutradara sementara Anggy di kursi produser, Rafathar dikreasi sebagai film laga komedi yang diharapkan mampu menghibur seluruh anggota keluarga. Berhasilkah? 

Rafathar berkisah mengenai sepasang perampok profesional bernama Jonny Gold (Raffi Ahmad) dan Popo Palupi (Babe Cabita) yang ditugaskan oleh atasannya, Bos Viktor (Agus Kuncoro), untuk menculik seorang bayi, Rafathar (Rafathar Malik Ahmad), yang diadopsi oleh pasangan kaya, Mila (Nur Fazura) dan Bondan (Arie Untung). Seperti halnya para penculik di film-film yang telah disebutkan di atas, Jonny beserta Popo pun menganggap sepele tugas ini. Apa sih yang mungkin merepotkan dari menculik bayi? Yang tidak mereka antisipasi, Rafathar adalah bayi yang amat aktif serta mempunyai kekuatan telekinetik yang memungkinkannya mengendalikan logam dengan mudah. Alhasil, Jonny dan Popo kelimpungan dalam menangani Rafathar. Ini masih belum ditambah mereka harus menghadapi kejaran dari Detektif Julie (Nagita Slavina) yang dipercaya orang tua angkat Rafathar untuk mengusut tuntas kasus penculikan sang buah hati ini dan Kolonel Demon (Verdi Solaiman) yang menyimpan agenda terselubung dibalik niatnya membantu Mila beserta Julie dalam menemukan Rafathar. Ditengah-tengah segala kekacauan, perlahan tapi pasti Rafathar mulai mencuri hati kedua penculiknya sehingga Jonny dan Popo pun belakangan memutuskan untuk menyelamatkan Rafathar dari cengkraman Bos Viktor. 


Bagai mengombinasikan Baby’s Day Out dan Rob-B-Hood, Rafathar sejatinya terdengar menjanjikan di atas kertas. Konsepnya tergolong segar untuk ukuran film petualangan keluarga dari tanah air yang acapkali bercerita tentang petualangan para bocah di dalam hutan seolah-olah hanya itu yang bisa diceritakan. Namun besarnya potensi yang dimiliki oleh Rafathar pada akhirnya berakhir sebatas potensi saat beberapa persoalan menghalangi film produksi RNR Movies dan Umbara Brothers Film untuk berkembang lebih jauh. Persoalan terbesar pertama yang menghinggapi Rafathar adalah materi humornya yang (maaf beribu maaf) tidak lucu. Beberapa diantaranya memang masih bisa membuat saya menyunggingkan senyum terutama saat melibatkan Agus Kuncoro yang menggunakan banyak logat dan Babe Cabita yang bolak-balik amnesia, tapi sebagian besar diantaranya mempunyai daya bunuh yang lemah. Terasa mentah kala dilontarkan sampai-sampai bingung hendak bereaksi seperti apa. Mengingat secara fitrah Rafathar adalah sebuah film komedi, ketidaksanggupan dalam menghadirkan derai tawa jelas suatu masalah apalagi film ini banyak bergantung pada lawakan dan pemakaian CGI untuk mengalirkan kisah ketimbang mengandalkan kekuatan naskah serta akting pemain. Alhasil, film seringkali hampa dan hambar untuk diikuti sehingga durasi 90 menit pun terasa sangat panjang. 

Belum lagi, pemakaian CGI dalam Rafathar termasuk persoalan terbesar kedua yang menghinggapi film. Berulang kali muncul tanpa esensi jelas dan terlampau dipaksakan yang malah mengekspos kelemahannya. Tampak sangat kasar. Adegan ondel-ondel raksasa maupun mengejar-ngejar Rafathar yang berlangsung di dalam rumah, apartemen, sampai jalanan memang tergarap cukup baik. Tapi lain halnya saat kita membicarakan soal robot berwujud ATM dan kulkas serta klimaksnya yang membuat kepala berdenyut-denyut pusing. Apabila bujet dan waktu tidak memadai untuk memvisualisasikannya, bukankah lebih bijak jika adegan disederhanakan saja tanpa harus didorong-dorong agar tampil bombastis? Penggunaan CGI kurang matang sedari pertengahan hingga babak ketiga ini sejujurnya sangat mengganggu kekhidmatan menonton karena kita seolah-olah tengah menyaksikan film yang belum tuntas. Kekhidmatan menonton juga terganggu lantaran Rafathar berada di posisi serba tanggung. Mau menyasar penonton segala usia kok plotnya terlalu njelimet buat kanak-kanak dan humornya seringkali nyerempet. Namun di sisi lain, mau mengambil hati penonton usia belasan ke atas, terbentur oleh kombinasi antara plot kurang mengikat, kelakar garing, dan CGI kasar. Alhasil, (lagi-lagi) Rafathar seringkali hampa dan hambar untuk diikuti sehingga durasi 90 menit pun terasa sangat panjang. Sungguh sangat disayangkan. 

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/8_QZYd

Poor (2/5)


Jumat, 14 Juli 2017

Spiderman: Homecoming (2017) (4,5/5)

Spiderman: Homecoming (2017) (4,5/5)


If you're nothing without the suit, then you shouldn't have it.
RottenTomatoes: 93% | IMDb: 8.1/10 | Metascore: 71/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5


Rated: PG-13 | Genre: Adventure, Action, Sci-fi

Directed by Jon Watts ; Produced by Kevin Feige, Amy Pascal ; Screenplay by Jonathan Goldstein, John Francis Daley, Jon Watts, Christopher Ford, Chris McKenna, Erik Sommers ; Story by Jonathan Goldstein, John Francis Daley ; Based on Spider-Man by Stan Lee & Steve Ditko ; Starring Tom Holland, Michael Keaton, Jon Favreau, Zendaya, Donald Glover, Tyne Daly, Marisa Tomei, Robert Downey Jr. ; Music by Michael Giacchino ; Cinematography Salvatore Totino ; Edited by Dan Lebental, Debbie Berman ; Production companyColumbia Pictures, Marvel Studios, Pascal Pictures ; Distributed by Sony Pictures Releasing ; Release date July 7, 2017 (United States) ; Running time133 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $175 million 

Story / Cerita / Sinopsis :
Sebagai Spiderman, Peter Parker (Tom Holland) yang masih SMA ingin segera membantu membasmi kejahatan. Sayangnya, sang mentor Tony Stark (Robert Downey Jr.) tidak mengijinkannya. Peter pun merasa kecewa dan bosan dengan kehidupannya yang monoton di sekolah, sampai suatu hari ia menemukan sekelompok penjahat dengan senjata canggih yang rupanya dijual oleh seorang pimpinan bandit Adrian Toomes a.k.a Vulture (Michael Keaton). 

Review / Resensi :
Gotta remind you, I am not a big fans of superhero movies. Jadi ampuni saya kalo review di sini terasa sangat "gagap". Apalagi masih banyak film MCU yang belum saya tonton sampai saya menulis review ini, dan nggak ngikutin banget film-film Spiderman sebelumnya. 

Saya mungkin termasuk yang skeptis ketika ada rencana reboot Spiderman untuk dimasukkan ke dunia Marvel Cinematic Universe (MCU), seiring dengan kerjasama antara Sony yang memegang lisensi Spiderman dengan pihak Marvel / Disney. Nggak cuma sekedar skeptis, tapi juga bosen. Makanya ketika Spiderman : Homecoming main di bioskop, saya ga berniat nonton (biarpun pacar saya yang lumayan nerd sudah ngasih saran supaya saya nonton, tapi saya tetap aja ga berangkat ke bioskop). Tapi ketika suatu malam sahabat saya ngajak nonton Spiderman : Homecoming, akhirnya saya pun berangkat nonton tanpa membawa ekspektasi apa-apa. And wow, it's surprisingly good! 

Langkah cerdas bagi tim produksi untuk tidak membuat reboot movie yang "begitu-begitu" lagi. Daripada memulai film Spiderman (lagi) dengan gigitan laba-laba dan meninggalnya Uncle Ben, Spiderman : Homecoming langsung menceritakan tentang struggling Peter sebagai seorang anak sekolah dan juga superhero. Spiderman : Homecoming juga adalah sebuah homage bagi film-film John Hughes (The Breakfast Club, Ferris Bueller's Day Off), maka kerasa sekali bahwa Homecoming ini lekat dengan coming of age story dari perjalanan karakter Peter Parker. Ini sebuah tema berbeda dari film-film MCU lainnya, yang emang setiap film MCU punya tema masing-masing yang beda-beda (Guardians of The Galaxy is comedy space opera, Ant Man is a heist movie, dll).

Setiap film superhero emang punya tema yang kurang lebih from zero to hero, namun dengan memilih background story Spiderman yang masih SMA, Homecoming tampaknya ingin menjadikan Spiderman sangat down to earth with teenage problem. Peter Parker bukan jagoan yang tiba-tiba jago banget dengan villain sekelas Thanos. Alih-alih menjadikan Spiderman sebagai jagoan yang ujug-ujug bisa menyelamatkan dunia, ia hadir tak lebih daripada pahlawan neighborhood. Ia punya niat baik dan very passionate dengan kemampuannya yang lumayan, tapi Spiderman di sini masih harus banyak belajar. Karakter spiderman di Homecoming masih sangat ceroboh, labil, dan nggak bijaksana (adegan nangis pas tertimbun bangunan itu buat saya heartbreaking banget). Lagian umurnya kan masih 15 tahun! Karena itulah, saya bisa memaklumi bahwa fighting dan action scene-nya mungkin kurang wow, karena anggap saja Homecoming ini adalah proses Spiderman yang masih belajar. 

Biarpun dari yang saya baca banyak yang bilang humornya kurang lucu, nyatanya saya bisa dibuat tertawa dari awal sampai akhir. For me Homecoming is really really fun, walaupun emang saya ga bisa dibuat tertawa sebagaimana Guardians of The Galaxy. Kayaknya Peter Parker versi Tom Holland ini lebih setia dengan karakter di komiknya yang lucu dan asyik saat berkelahi, namun socially awkward di dunia nyata. Relatable dan juga likeable. Aura culun Tom Holland jauh lebih meyakinkan daripada Andrew Garfield yang terlalu ganteng untuk jadi orang cupu, dan untungnya versi Holland juga tidak segalau dan melankolis ala Tobey Maguire di Spiderman-nya Sam Raimi. Saya juga suka ada beberapa adegan yang tampaknya "terinspirasi" dari Spiderman sebelumnya, seperti (nyaris) upside-down kissing-scene yang iconic itu, atau adegan menyelamatkan kapal yang mengingatkan kita akan adegan nyelametin kereta api di Spiderman 2.

Yang menarik untuk dibahas adalah cast-nya yang kerasa diversity-nya dengan hadirnya etnis yang lebih beragam sebagai teman-teman sekolah Peter. Homecoming juga membangun karakter yang berbeda dari karakter yang pernah kita tahu sebelumnya. Contohnya, Aunt May (Marisa Tomei) yang tidak digambarkan sebagai ibu-ibu tua biasa yang baik hati, tapi malah kebalikan dari itu: MILF yang sexy. Atau karakter "the next MJ" yang jauh banget dengan MJ-nya Kristen Dunst. Vulture-nya Michael Keaton juga cukup impresif, dengan background story yang realistis. He is just a regular criminal who try to do the best for his family (semacam Walter White dari Breking Bad lah). Ia nggak muluk-muluk ingin menguasai dunia, namun punya alasan yang malah terasa paling masuk akal dibanding villain lain. Biarpun mungkin kemampuannya ga hebat-hebat banget, dan memang disetting untuk menjadi lawan seimbang Spiderman yang masih belajar, bagi saya ia adalah salah satu villain terbaik yang pernah ada di MCU. 

Overview:
Sebuah langkah cerdas untuk menjadikan Spiderman : Homecoming sebagai versi reboot yang berbeda dari seri Spiderman sebelumnya. Homecoming adalah sebuah homage bagi film-film John Hughes, fokus ceritanya lebih kepada remaja superhero yang "masih harus banyak belajar". Tom Holland sangat likeable sebagai Peter Parker / Spiderman, dengan lawan villain sepadan, manusiawi, dan keren Vulture (Michael Keaton). Homecoming memang tidak punya action scene yang spektakuler, namun tetap saja sangat fun dan fresh untuk disaksikan. Yes, MCU nailed it again!

Sabtu, 03 Juni 2017

Wonder Woman (2017) (4/5)

Wonder Woman (2017) (4/5)


I will fight, for those who can not fight for themselves. 

RottenTomatoes: 94%  | IMDb: 8,5/10 |  Metascore: 76/100 | NikenBicaraFilm: 4/5

Rated: PG-13
Genre: Action, Adventure

Directed by Patty Jenkins ; Produced by Charles Roven, Deborah Snyder, Zack Snyder, Richard Suckle ; Screenplay by Allan Heinberg ; Story by Zack Snyder, Allan Heinberg, Jason Fuchs ; Based on Wonder Woman by William Moulton Marston ; Starring Gal Gadot, Chris Pine, Robin Wright, Danny Huston, David Thewlis, Connie Nielsen, Elena Anaya ; Music by Rupert Gregson-Williams ; Cinematography Matthew Jensen ; Edited by Martin Walsh ; Production companyDC Films, Atlas Entertainment, Cruel and Unusual Films, Tencent Pictures, Wanda Pictures ; Distributed by Warner Bros. Pictures ; Release date June 2, 2017 (United States) ; Running time 141 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $149 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Biarpun sang ibu, ratu Themyscira, tidak menginginkan putrinya Diana (Gal Gadot) menjadi seorang petarung, namun Diana sejak kecil berambisi untuk berlatih perang dan menyelamatkan dunia. Ia kemudian bertemu Steve Trevor (Chris Pine), seorang mata-mata Inggris di Perang Dunia I. Diana pun pergi  meninggalkan tanah kelahirannya untuk menyelamatkan dunia.

Review / Resensi :
Di tengah persaingan sengit antara MCU (Marvel Cinematic Universe) dan DCEU (DC Extended Universe), sayangnya DCEU harus menelan kekalahan telak dari lawannya. Nggak cuma kalah start, tapi 3 film DCEU yang sudah dirilis Man of Steel (2014), Batman v Superman : Dawn of Justice (2016) dan Suicide Squad (2016) menerima kritikan bertubi-tubi dengan skor menyedihkan di situs Rotten Tomatoes. Bandingkan dengan MCU yang semua filmnya punya skor fresh di situs tersebut. Pada situasi harap-harap cemas seperti ini, syukurlah akhirnya DCEU diselamatkan oleh perempuan. Perempuan! Wonder Woman. Sampai saya nulis ini, Wonder Woman mendapat skor 94% di situs Rotten Tomatoes.  

Boleh dibilang Wonder Woman punya beban berat untuk menyelamatkan DCEU dari jurang kenistaan. Di lain sisi, Wonder Woman punya standar rendah dari film-film DCEU lainnya untuk dilampaui. So, kesan saya.... Wonder Woman jelas adalah film yang jauh lebih baik dari film-film DCEU lainnya. Namun saya nggak bilang bahwa film ini inovatif dan bagusnya pake banget. Ceritanya sendiri sebenarnya standar dan biasa aja. Namun plot yang sederhana jika dikerjakan dengan solid maka akan menghasilkan film yang baik. Hal itulah yang missed pada kasus film-film DCEU sebelumnya yang mencoba tampil kompleks tapi jatuhnya malah amburadul. Wonder Woman mungkin bukan film superhero yang mind-blowing macam The Dark Knight (ga fair sih ngebandingin ini ama TDK, I know..), namun Wonder Woman punya cerita yang solid, sentuhan humor, adegan action yang cukup keren, dan film ini jelas punya hati. 

Menggabungkan kisah Diana dalam perseteruannya melawan Dewa Ares dengan cerita Perang Dunia sudah barang tentu adalah cerita yang sedikit... konyol. Nah di sinilah naskah Allan Heinberg berusaha menggarapnya dengan selera humor. Diana yang dari dunia antah berantah yang dihuni cewek semua tentu akan terasa awkward hadir di dunia manusia. Kenaifan dan kecanggungan Diana menjadi bahan komedi yang cukup menghibur, ditambah dengan selera humor dari karakter-karakter lainnya, terutama Steve (Chris Pine). DCEU emang menempatkan posisinya sebagai universe yang lebih dewasa dan kelam jika dibandingkan pesaingnya, karena itulah film-film mereka sebelumnya berusaha sok keren dengan sedikit filosofis. Wonder Woman ini jauh lebih ringan dan menyenangkan. Dan formula ini ternyata justru berhasil. At least Patti Jenkins sang sutradara punya visi yang solid dan tahu benar bagaimana memaksimalkannya. 

Ngomongin superhero perempuan, maka kita akan membicarakan isu feminisme. Wonder Woman adalah contoh superhero yang tepat, karena komiknya sendiri memang menjadi salah satu ikon feminisme. Di dunia superhero yang patriakal, menyenangkan mengetahui ada sosok wanita perkasa yang nggak kalah hebat dalam mengalahkan musuhnya. Pulau Themyscira tempat asal Diana adalah pulau yang dihuni cewek-cewek jagoan dimana mereka berkelahi dengan tidak saling menjambak dan tampar-tamparan. Naskah Wonder Woman juga cukup menyentil gimana misoginisnya pria-pria jaman itu yang merasa bahwa "perempuan cukup di rumah saja dan bikinin mereka sandwich". Cerdasnya, semangat feminis ini nggak cuma dari sosok Diana sang Wonder Woman, tapi juga salah satu villain adalah Dr. Isabel Maru yang juga perempuan jenius (biarpun jahat). And knowing that DCEU is saved by a woman? Wow! 

And then pesona Gal Gadot layaknya goddess emang luar biasa. Pantes cowok-cowok pada batal puasa gara-gara nonton ini. Malah, kemunculannya yang epik di BvS adalah salah satu (atau satu-satunya) scene terbaik di film tersebut. As a feminism supporter but easily intimidated by a beautiful woman (makanya sama cewe-cewe cantik suka nyinyir), saya merasa bahwa Gal Gadot adalah aktris yang sangat pas dalam memerankan jagoan perempuan. Aktris Israel itu bisa seksi dalam kostum Wonder Woman, tanpa terlihat "dieksploitasi" sehingga terasa sexist. Bagian terbaik dalam konteks feminisme adalah Wonder Woman bisa terlihat powerful tanpa meninggalkan sisi feminin-nya. Hey, menjadi feminis tidak berarti harus tampil maskulin dan mengalahkan pria. Diana mewakili hal ini dengan keyakinan dan kenaifannya: percaya bahwa kedamaian di dunia masih bisa hadir berkat cinta. Ini adalah semangat yang lekat dengan sifat-sifat feminin kan? (Inilah kenapa saya percaya bahwa seharusnya dunia dipimpin perempuan biar gag perang terus!).

Terlepas kritikan yang menimpa Zack Snyder, harus diakui sutradara itu punya sentuhan yang keren banget kalo diaplikasikan di film-film superhero. Tak terkecuali Wonder Woman yang masih bercirikan Snyder lewat action scene-nya serta tone-nya yang sedikit gritty dan kelam. Action scene terfavorit mungkin ketika cewek-cewek jagoan penghuni pulau Themyscira mengalahkan pasukan Jerman di bagian awal dan kemunculan perdana Wonder Woman dengan aksi heroiknya menyelamatkan kota. That was epic!

Sayangnya, justru action di bagian klimaksnya malah terasa datar. Villain utama sang Dewa Ares juga terlalu standar dan mudah dikalahkan untuk ukuran "dewa". Tapi, bukankah hampir semua film superhero emang jarang yang punya villain yang sepadan dengan sang jagoan? (The greatest villain ever maybe is David in Alien : Covenant (2017). He has great philosophical reason! Read more: http://www.vulture.com/2017/05/alien-covenant-david-michael-fassbender-villain.html). Wonder Woman juga terasa kurang brutal mengingat rating film ini emang cuma PG-13. Ada beberapa momen emosional yang juga kurang digali dengan lebih dalem - ditambah akting Gal Gadot yang kadang terasa agak canggung, terutama dengan aksennya yang sedikit aneh. *spoiler* But that ending scene? Langsung bikin baper dan mata saya berkaca-kaca ketika Steve bilang "I love you!" *spoiler ends*

Overview :
Well, it's fun to know that as a feminist icon, Wonder Woman is the one who saved DCEU. Ceritanya sendiri sebenarnya tidak terlalu baru, namun naskah dan penyutradaraan Wonder Woman cukup solid. It's fun and entertaining with a good sense of humor. Pesona Gal Gadot luar biasa dalam menampilkan Wonder Woman yang tidak hanya kuat namun masih memiliki "kenaifan" yang menjadikannya berjiwa mulia sebagai seorang superhero. Chemistry-nya dengan Chris Pine sebagai Steve juga menawan dan menyentuh hati tanpa terkesan murahan (dan saya pun baper).