Tampilkan postingan dengan label Outstanding. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Outstanding. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

REVIEW : AVENGERS: INFINITY WAR

REVIEW : AVENGERS: INFINITY WAR


“The entire time I knew him, he only ever had one goal. To wipe out half the universe. If he gets all the Infinity Stones, he can do it with the snap of his fingers. Just like that.” 

Pertempuran terakbar di sejarah perfilman dunia dalam satu dekade terakhir telah tiba. Para pahlawan dengan kekuatan adidaya milik Marvel Studios yang pertama kali bahu membahu menyelamatkan dunia (atau New York?) dari kegilaan Loki melalui The Avengers (2012), lalu bereuni dalam Avengers: Age of Ultron (2015) tatkala mereka mendapat tugas dinas bersama di Sokovia yang terancam hancur lebur dari serangan Ultron, dan sempat pecah kongsi karena perbedaan ideologi di Captain America: Civil War (2016), akhirnya memperoleh perlawanan yang tidak lagi bisa dipandang sebelah mata lewat Avengers: Infinity War yang merupakan film ke-19 dalam rangkaian Marvel Cinematic Universe (MCU). Ya, di perayaan menapaki usia ke-10 sejak MCU pertama kali diperkenalkan dalam Iron Man (2008) ini, pertaruhannya benar-benar nyata dan berada di tingkatan sangat tinggi. Betapa tidak, para anggota Avengers kini mesti menghadapi Thanos yang digadang-gadang sebagai supervillain yang amat sulit untuk ditaklukkan. Dibandingkan dengan Thanos, Loki dan Ultron tidak lebih dari sebatas remah-remah renggingang. Dia mengoleksi enam batu akik, eh maksud saya, Batu Keabadian alias Infinity Stones, yang memungkinkannya untuk menguasai jagat raya dengan mudah semudah menjentikkan jari. Berbekal batu-batu tersebut, si Mad Titan ini akan melenyapkan separuh dari populasi galaksi yang dianggapnya telah berkontribusi terhadap kekacauan alam semesta sehingga suatu keseimbangan dapat dicapai. Gila, kan? 

Gila memang satu kata yang tepat untuk mendeskripsikan Avengers: Infinity War disamping ambisius serta epik. Duo sutradara Anthony dan Joe Russo (Captain America: The Winter Soldier, Captain America: Civil War) memastikan bahwa penantian khalayak ramai selama satu dekade tidaklah sia-sia. Mereka berupaya untuk mengkreasi Avengers: Infinity War sebagai sebuah pemuncak yang layak dikenang dan lebih gegap gempita dibandingkan dengan dua predesesornya. Salah satu caranya adalah dalam penceritaan yang merentang panjang hingga 149 menit, duo ini tidak mempersilahkan para penonton untuk memalingkan muka barang sejenak dari layar bioskop maupun mengambil jeda satu dua menit untuk ngacir ke toilet demi menuntaskan panggilan alam. Ya bagaimana bisa melepaskan atensi saat film telah mencengkram perhatian secara erat sedari menit pertama. Russo bersaudara yang mengejawantahkan naskah kreasi Christopher Markus dan Stephen McFeely ini tidak banyak berbasa-basi kala memulai alunan penceritaan dari Avengers: Infinity War. Mereka seketika menempatkan kita dalam situasi mendebarkan yang merupakan kelanjutan dari adegan bonus di Thor: Ragnarok (2017) yang memperlihatkan nasib para pengungsi Asgard selepas para penumpang dari sebuah kapal ruang angkasa misterius dengan ukuran raksasa tiba-tiba menyantroni kapal mereka. Kita mengetahui bahwa salah satu penumpang kapal tersebut adalah Thanos (Josh Brolin) dan kita mengetahui bahwa Batu Keabadian koleksinya telah bertambah.


Itu artinya, alam semesta tengah terancam bahaya. Bruce Banner (Mark Ruffalo) yang kebetulan menjadi saksi mata kala Thanos merebut Space Stone dari genggaman Thor (Chris Hemsworth) seketika mengabarkan ke bumi bahwa ada ancaman besar yang segera datang dalam wujud Thanos beserta kroni-kroninya yang dikenal dengan sebutan Black Order. Saya tidak perlu menjabarkan proses bersatunya kembali para anggota inti Avengers seperti Tony Stark (Robert Downey Jr.), Steve Rogers (Chris Evans), Natasha Romanoff (Scarlett Johansson), Rhodey (Don Cheadle), Wanda Maximoff (Elizabeth Olsen), Vision (Paul Bettany), serta Sam Wilson (Anthony Mackie) secara detil karena akan sedikit merusak kesenangan dalam menyaksikan Avengers: Infinity War. Yang jelas, mereka berkenan menyingirkan ego masing-masing dan memutuskan untuk bersatu sekali lagi lantaran dihadapkan pada satu musuh besar yang sama, yakni Thanos. Mengingat sang lawan sama sekali tidak bisa diremehkan – terlebih lagi jika dia sudah berhasil mengumpulkan keenam Batu Keabadian secara komplit – maka bala bantuan pun dibutuhkan oleh para personil Avengers yang sekali ini berasal dari Stephen Strange si penyihir (Benedict Cumberbatch), Peter Parker si remaja laba-laba (Tom Holland), T’Challa si Raja Wakanda (Chadwick Boseman), Bucky Barnes (Sebastian Stan) yang merupakan sohib kental Steve Rogers, sampai para bandit galaksi berhati mulia dari dwilogi Guardians of the Galaxy yang salah satu anggotanya memiliki keterkaitan secara langsung dengan Thanos. 

Semenjak adegan pembuka yang membuat diri ini terhenyak, daya cengkram memang tidak pernah sedikitpun mengendur sampai Avengers: Infinity War benar-benar mengakhiri gelarannya. Film ini memenuhi segala ekspektasi yang disematkan untuknya. Sepanjang durasi merentang, si pembuat film mengisinya dengan serentetan sekuens laga bombastis, humor yang efektif mengocok perut, serta momen emosional yang membuat mata sembab, yang menjadikan perjalanan panjang selama 2,5 jam terasa berlangsung dengan begitu cepat sampai-sampai kita tidak menyadari bahwa film telah tutup durasi. Seperti telah saya singgung di dua paragraf sebelumnya, mengalihkan pandangan dari layar dan melenggang ke toilet di sela-sela rangkaian konfrontasi adalah suatu hal yang hampir mustahil dilakukan selama menyaksikan Avengers: Infinity War. Ini tentu saja terdengar hiperbolis, tapi setidaknya begitulah situasi di bioskop tempat saya menyaksikan reuni para pahlawan bertubuh atletis ini. Penonton duduk anteng menyaksikan intrik yang menggeliat dalam film (jika ada suara tak diinginkan, akan terdengar ‘sssttt’ berjamaah), lalu gregetan dan harap-harap cemas ketika pertarungan antara Avengers melawan Black Order maupun Thanos mulai berlangsung, kemudian tertawa terbahak-bahak begitu mendengar celetukan atau tindakan kocak para karakter (favoritku secara personal: tatapan Okoye (Danai Gurira) saat melihat Hulkbuster terjerembab di medan tempur. Priceless!), sampai akhirnya menyeka air mata yang tidak nyana-nyana bakal mengalir di beberapa titik. Epik! 


Keberhasilan Russo bersaudara dalam melibatkan emosi penonton ini tentu berkat kombinasi dari pengarahan, naskah, elemen teknis (efek visualnya jempolan!), serta performa pemeran yang bekerja secara semestinya. Saat hendak menyaksikan Avengers: Infinity War, ada satu pertanyaan yang pastinya mencuat di benak sebagian penonton. Pertanyaan tersebut berbunyi, “bagaimana cara si pembuat film memberi mereka jatah tampil yang layak sementara jumlah mereka sangat banyak?.” Tidak bisa dipungkiri memang ada kekhawatiran bahwa beberapa pahlawan kesayangan kita akan terpinggirkan porsinya mengingat durasi film begitu terbatas sementara ada lusinan superhero dan satu penjahat besar yang mengambil peran. Namun kekhawatiran tersebut lenyap tak bersisa usai film menjalankan penceritaannya secara resmi. Pengarahan beserta naskah yang solid ditunjang oleh penyuntingan rapi dan akting jajaran pemain yang apik memungkinkan setiap karakter memiliki kesempatan untuk bersinar sekaligus berkontribusi nyata terhadap penceritaan termasuk pendatang baru macam Stephen Strange beserta para penjaga galaksi dan sang supervillain, Thanos, yang tak saja intimidatif tetapi juga menyimpan kompleksitas pada karakternya (dia bukanlah penjahat satu dimensi dengan motif dangkal) sehingga membuat kita berada di posisi serba salah; kita membencinya karena destruksi yang diciptakannya dan di saat bersamaan kita bersimpati kepadanya karena dibalik perangainya yang bengis, dia masih memiliki hati. 

Bagusnya, para karakter yang jumlahnya bejibun ini dimunculkan karena mereka memang dibutuhkan untuk menggerakkan kisah, bukan sebatas untuk memeriahkan film semata. Demi menegaskan peranan masing-masing, film berjalan sedikit pelan di paruh pertama – itupun sudah sarat laga dan humor jadi tak ada kesempatan untuk menguap. Ketika job description telah dipaparkan dengan jelas, Avengers: Infinity War seketika lepas landas di satu jam terakhir yang bersinonim erat dengan ‘kegilaan’. Pertaruhannya meningkat diikuti dengan pertempuran yang keseruannya mengalami eskalasi dan tonjokkan pada sisi emosi. Selepas film berakhir kita memang tidak akan langsung bertepuk tangan (momen itu telah muncul di adegan ‘kembalinya Thor’ yang disambut sorak sorai), tetapi muncul satu perasaan yang membuat kita pada perenungan. Memandang ke layar bioskop yang telah kosong seraya berusaha mencerna tontonan yang baru saja kita saksikan. Bahkan perasaan ini masih menghinggapi hingga beberapa jam kemudian. Sebuah perasaan yang hanya bisa muncul saat film yang baru saja kita saksikan telah meninggalkan impak yang sangat kuat pada emosi. 


Note : Avengers: Infinity War hanya memiliki satu adegan bonus di penghujung durasi, tapi penting untuk disimak.

Outstanding (4,5/5)
REVIEW : DEADPOOL 2

REVIEW : DEADPOOL 2


“You're no hero. You're just a clown, dressed up like a sex toy.” 
“So dark. You sure you're not from the DC universe?” 

Ditengah-tengah riuhnya film superhero yang menjunjung tinggi kebajikan, Deadpool (2016) yang diproduksi oleh 20th Century Fox berdasarkan komik berseri terbitan Marvel Comics menawarkan sebuah alternatif yang nyeleneh. Dia menjadi antitesis dari para pahlawan yang tergabung dalam Marvel Cinematic Universe berkat tutur kata dan tindakannya yang tak mengenal kompromi. Menerabas habis batasan-batasan rating yang biasanya membelenggu kreativitas dari film sejenis. Mengingat film ini dijual sebagai tontonan dewasa (jangan bilang belum diperingatkan, wahai para orang tua tukang ngeluh!), sang superhero dengan kostum ketat berwarna merah pekat ini pun mendapat keleluasaan dari pihak studio untuk menghabisi lawan-lawannya menggunakan cara yang berdarah-darah, berasyik masyuk dengan perempuan pujaannya, sampai melontarkan nyinyiran pedas penuh dengan referensi ke budaya populer yang tidak sedikit diantaranya mencakup F-word. Komponen-komponen yang amat sangat jarang dijumpai di film superhero belakangan ini, bukan? Pendekatannya yang berani ditambah gaya tuturnya yang nyentrik – merobohkan dinding keempat (berinteraksi dengan penonton) – ini menjadi sebuah kejutan manis sekaligus membuat Deadpool tampil menjulang. Tidak mengherankan jika kemudian sekuelnya yang bertajuk Deadpool 2 kembali mengaplikasikan formula yang terbukti berhasil ini meski tentunya bakal mengundang satu pertanyaan besar; akankah sensasi yang diberikannya kepada penonton masih sama seperti predesesornya? 

Berlatar dua tahun selepas peristiwa di film pertama, Wade Wilson (Ryan Reynolds) digambarkan telah menikmati kehidupannya sebagai pahlawan pembasmi kejahatan bernama Deadpool. Hubungannya dengan Vanessa (Morena Baccarin) pun kian mesra, bahkan keduanya telah berencana untuk memiliki momongan. Jika segalanya berjalan sesuai rencana seperti ini, lalu apa pemantik konflik dalam Deadpool 2 yang membuat penonton tertarik mengikuti guliran penceritaannya? Demi menghindari spoiler – saya peduli dengan kenyamanan kalian semua, para pembaca yang budiman! – rasa-rasanya tak perlu menjlentrehkan secara detil apa yang kemudian terjadi. Yang jelas, menginjak menit belasan, Deadpool mengalami goncangan hebat dalam hidupnya sampai-sampai mendorong Colossus (Stefan Kapičić) untuk turun tangan dan menyeretnya ke markas X-Men. Pertemuannya dengan para anggota X-Men yang sebagian besar diantaranya tidak terkenal (menurut si karakter tituler yang tak tahu sopan santun ini, tentu saja) perlahan tapi pasti membuat Deadpool menemukan kembali tujuan hidupnya. Bersama dengan sejumlah karakter baru, salah satunya adalah Domino (Zazie Beetz) yang kekuatan utamanya adalah ‘keberuntungan’, Deadpool membentuk kelompok superhero bernama X-Force. Misi besar yang mereka jalankan yakni menyelamatkan seorang mutan remaja bernama Russell (Julian Dennison) yang memiliki kekuatan dalam menyulut api dari mutan penjelajah waktu, Cable (Josh Brolin yang juga memerankan Thanos di Avengers: Infinity War), yang berniat untuk mencabut nyawanya. 



Tidak ada perubahan signifikan yang bisa dijumpai dalam Deadpool 2 sekalipun kursi penyutradaraan kini bergeser ke David Leitch (John Wick, Atomic Blonde). Leitch bersama dengan tiga penulis skrip memahami betul, tidak ada gunanya memperbaiki sesuatu yang tidak rusak. Oleh karena itu, Deadpool 2 dihidangkan sesuai dengan ekspektasi penonton yang telah menyaksikan jilid pertamanya; kekerasannya berada di level ‘pedas’, humornya yang nakal banyak mencuplik referensi ke budaya populer. Walau unsur kejutannya tak lagi besar, sensasi yang disalurkan kepada penonton kurang lebih masihlah sama. Deadpool 2 tetaplah sebuah sajian eskapisme gila-gilaan yang menghibur. Demi memenuhi aturan tidak tertulis untuk sekuel, cakupan skalanya pun sekali ini ditingkatkan. Si pembuat film mengkreasi lebih banyak laga di seri ini – dimulai dari menit pembuka yang membangkitkan semangat sampai klimaks yang lebih menggigit – begitu pula dengan lawakan-lawakan khas Deadpool yang makin tak terkontrol dan kian bejibun. Semuanya menjadi sasaran empuk nyinyirannya, terlebih jika namamu terafiliasi dengan semesta yang diciptakan oleh Marvel Cinematic Universe atau DC Extended Universe. Deadpool menyentil para personil Avengers sekaligus mencibir DC (duo Martha yang ikonik tentu tak terlewatkan). Dia juga tidak ragu-ragu mempertanyakan orisinalitas lagu ‘Do You Want to Build a Snowman?’ dari Frozen (2013), kebingungan dengan penulisan nama Kirsten Dunst yang benar (saya memahamimu, Deadpool!), mengeluhkan keputusan Logan (2017) untuk ikut-ikutan menjadi film superhero dewasa, menghujat karir aktor berkebangsaan Kanada bernama Ryan Reynolds (!), hingga paling meta: mengkritisi penulis skrip Deadpool 2 yang terlampau malas menciptakan konflik rumit. 

Tak pelak, kekuatan utama Deadpool 2 berada pada materi ngelabanya yang harus diakui cerdas dan kreatif. Ini masih belum ditambah dengan lelucon yang dikembangkan dari situasi-situasi yang berlangsung di sepanjang durasi. Saya juga tidak akan menyebutkannya satu demi satu karena lelucon merupakan bagian dari kejutan yang dimiliki oleh Deadpool 2. Hitung-hitung sebagai bentuk kompensasi atas jalinan kisah yang cenderung lurus-lurus saja, minim kelokan yang digemari sebagian penonton. Leitch mengombinasikan banyolan-banyolan dengan hidangan laga yang lebih gahar (plus sadis) dibandingkan film pertama. Menilik fakta bahwa Deadpool 2 tidak digelontori bujet sejor-joran Avengers: Infinity War, maka sebaiknya hempaskan bayangan adegan laganya bakalan segegap gempita film tersebut. Sebagian diantaranya memang tidak menawarkan pembaharuan (kamu telah melihatnya beberapa kali di film laga), tapi Leitch sanggup meniupkan excitement kedalamnya sehingga tak peduli seberapa pun seringnya kamu menjumpai adegan ini, tetap ada kesenangan tersendiri kala menyaksikannya. Malah, Deadpool 2 mempunyai momen klimaks membekas (sayangnya tak ada guyonan merujuk ke Carrie (1976)!) yang turut mengonfirmasi pelabelan ‘film keluarga’ oleh Deadpool di permulaan film – sekadar info, film pertama disebut ‘film percintaan’. Tentu ini bukan memiliki makna bahwa si pembuat film mempersilahkan penonton-penonton cilik memenuhi gedung bioskop, melainkan menunjukkan bahwa si pahlawan bermulut kotor ini tak lagi berjuang sendirian. Dia menjalin pertemanan dengan karakter-karakter baru yang mengisi kekosongan hatinya.


Pertemanan ini memungkinkan Deadpool 2 untuk menghadirkan sederet momen mengharu biru yang menghangatkan hati. Tidak semuanya bekerja dengan baik – ada kalanya diruntuhkan oleh guyonannya sendiri – seperti persahabatan Deadpool dan Russell yang tak segreget perkiraan, tapi paling tidak masih ada senyum mengembang di penghujung film ketika kita melihat sejauh mana Wade Wilson telah berkembang sebagai seorang manusia. Ryan Reynolds mampu menangani momen dramatik seiring bergejolaknya batin Wade seapik dia menangani momen komedik yang mengharuskannya melontarkan nyinyiran secara cepat seraya bertingkah nyeleneh. Chemistry yang dibangunnya bersama Julian Dennison berlangsung cukup baik, sementara pemeran-pemeran pendukung mampu mengimbangi performa ciamik dari Reynolds. Zazie Beetz mencuri perhatian sebagai Domino yang keberuntungannya tak pernah habis, Karan Soni sebagai Dopinder yang memiliki obsesi menjalani misi bersama Deadpool, dan Josh Brolin menunjukkan sisi rapuh dari Cable dibalik tampilan fisiknya yang sangar. Disamping kombinasi mulus antara banyolan, laga, beserta performa pemain, elemen lain yang membantu menciptakan kesenangan dalam Deadpool 2 adalah pilihan lagu pengiring di setiap adegannya. Bukan lagu-lagu beraliran rap, metal, atau rock yang menghentak-hentak melainkan tembang-tembang lembut dengan sisi emosional tinggi yang mungkin tak pernah terbayangkan akan menghiasi film superhero ‘ngaco’ semacam ini. Tembang-tembang tersebut antara lain ‘Take on Me’ milik A-Ha, ‘We Belong’ oleh Pat Benatar, ‘All Out of Love’-nya Air Supply, ‘Tomorrow’ dari drama musikal Annie (1977), sampai lagu tema film ini, ‘Ashes’, yang dibawakan Celine Dion bak lagu tema dari James Bond. Gokil!

Note : 1) Jangan terburu-buru tinggalkan gedung bioskop karena ada dua adegan bonus yang sangat layak buat dinanti. Keduanya terletak di sela-sela credit title jadi kamu tidak perlu menunggu terlalu lama.
2) Pastikan kamu menuntaskan urusan belakang sebelum film dimulai karena salah satu poin kejutan Deadpool 2 terletak pada cameo. Kemunculannya sangat cepat sehingga jika kamu keluar atau terlalu sibuk mengecek ponsel saat menonton, hampir bisa dipastikan akan terlewat. Blink, and you'll miss it

Outstanding (4/5)


REVIEW : PERFECT STRANGERS (2016)

REVIEW : PERFECT STRANGERS (2016)


“We have everything in here (mobile phone). It’s the black box of our lives. How many couples would split up if they saw each other’s phones?” 

Tanyakan kepada dirimu sendiri: seberapa jauh kamu mengenal orang-orang yang kamu sebut sebagai sahabat, kekasih, maupun suami/istri? Apakah kamu benar-benar yakin bahwa mereka bisa sepenuhnya dipercaya? Benarkah tidak ada rahasia beracun yang disembunyikan rapat-rapat oleh mereka darimu? Bagaimana kalau ternyata mereka sejatinya tidak lebih dari orang asing yang kebetulan saja mendapat sebutan ‘sahabat, kekasih, maupun suami/istri’? Hmmm. Pertanyaan-pertanyaan ‘baper’ yang bisa jadi sempat menggelayuti pikiran kita ini menjadi landasan utama bagi Paolo Genovese untuk menghasilkan film layar lebar terbarunya yang bertajuk Perfect Strangers (dalam bahasa Italia berjudul Perfetti sconosciuti). Paolo bersama empat rekannya memformulasikan sederet pertanyaan tersebut ke dalam skrip yang lantas diejawantahkannya menjadi bahasa gambar. Demi membuatnya terasa kian menggigit, si pembuat film menyelubunginya dengan komentar sosial terkait dampak negatif dari kemajuan teknologi. Dampak negatif yang dijlentrehkan Paolo melalui Perfect Strangers adalah bagaimana teknologi telah merenggut habis privasi masyarakat modern melalui aplikasi maupun situs pertemanan (ironis!) dan mampu menjelma sebagai bahaya laten bagi hubungan antar manusia apabila tidak dipergunakan secara bijak. Dramaaaaaa! 

Guliran penceritaan Perfect Strangers mempertemukan penonton dengan tujuh sahabat lama yang konfigurasinya terdiri atas tiga pasangan menikah dan satu duda. Pasangan pertama adalah Lele (Valerio Mastandrea) dan Carlotta (Anna Foglietta) yang tidak lagi saling berkomunikasi secara intens. Pasangan kedua adalah pengantin baru, Cosimo (Edoardo Leo) dan Bianca (Alba Rohrwacher), yang gairah seksual keduanya masih menggebu-nggebu. Pasangan ketiga adalah Rocco (Marco Giallini) dan Eva (Kasia Smutniak) yang menapaki fase sebagai orang tua dari seorang remaja. Sementara sang duda adalah Peppe (Giuseppe Battiston) yang telah memiliki kekasih baru. Ketujuh sahabat ini berkumpul dalam sebuah jamuan makan malam yang dihelat di apartemen milik Rocco dan Eva. Mengingat mereka telah cukup lama tidak saling bersua, maka setumpuk obrolan dengan berbagai topik yang amat acak pun terus mencuat sampai akhirnya Eva memutuskan untuk membuat sebuah permainan menarik sekaligus ‘berbahaya’. Eva meminta setiap personil yang hadir untuk meletakkan ponsel cerdas masing-masing di atas meja makan lalu membiarkan seluruh pesan atau telepon yang masuk ke ponsel mereka diketahui oleh semuanya, tanpa terkecuali. Mulanya, permainan ‘tak ada rahasia diantara kita’ ini berlangsung menyenangkan. Namun saat rahasia-rahasia besar mulai terungkap, kesenangan tersebut berubah menjadi tragedi yang seketika menggoyahkan ikatan pernikahan dan persahabatan yang telah terjalin selama bertahun-tahun. 



Perfect Strangers mengawali penceritaan dengan sekelumit babak introduksi yang menyoroti persiapan tiga pasangan sebelum menghadiri jamuan makan malam (Peppe baru diperkenalkan di lokasi acara). Tidak mendalam, tapi cukup untuk memberi kita gambaran mengenai hubungan yang terjalin diantara mereka; Lele-Carlotta dingin, Cosimo-Bianca menggelora, sementara Rocco-Eva cenderung berada di tengah-tengah. Begitu beranjak ke apartemen Rocco dan Eva yang akan menjadi panggung utama berlangsungnya ‘pertempuran’ sepanjang sisa durasi, Paolo lantas menyodori penonton dengan tek tokan remeh temeh antar sahabat yang berfungsi untuk menegaskan relasi ketujuh manusia ini sekaligus untuk menggelitik saraf tawa penonton. Dari obrolan-obrolan ini, kita pun menyadari bahwa guliran kisah Perfect Strangers bergantung sepenuhnya pada kekuatan dialog yang dikreasi oleh lima penulis naskah. Apabila materi pembicaraannya lembek, lalu chemistry antar pelakon tak bertenaga, dan penyuntingan kurang lincah, Perfect Strangers jelas berada dalam masalah besar. Beruntungnya apa yang terjadi justru sebaliknya. Obrolan ringan yang menghiasi belasan menit awal sedikit demi sedikit mengalami eskalasi, utamanya usai Eva memutuskan untuk memberikan bumbu pedas pada malam reuni kecil-kecilan ini. Disamping agar makan malam bersama ini terasa hidup (tentu tak akan ada tamu yang sibuk dengan ponselnya sendiri), tujuan Eva mencetuskan permainan ‘tak ada rahasia diantara kita’ ini adalah mengetes kejujuran – meski sejatinya telah melanggar privasi. Dia menantang, “jika memang tidak ada yang disembunyikan, kenapa harus takut?” 

Tentu saja, Paolo tidak membiarkan pesan atau telepon yang masuk ke ponsel para karakter berada di taraf aman. Kalau sebatas berhubungan dengan bisnis maupun panggilan dari kerabat atau sahabat, dimana asyiknya? Mesti ada ketegangan dong! Maka dari itu, si pembuat film menyelipkan rahasia pada masing-masing karakter. Tingkatannya beragam, ada yang biasa-biasa saja, sedang-sedang saja, sampai parah sekali yang seketika menciptakan ledakan hebat di meja makan dan memberi penonton suatu tontonan yang menarik – momen terbaik adalah ketika dua tamu bertukar ponsel yang tanpa disangka-sangka malah bikin geger karena dua pesan sederhana. Tidak ada yang terbebas dari konflik, tidak ada putih bersih di sini. Ketika kamu mengira bahwa satu persoalan telah cukup menggegerkan, tunggu sampai kamu mendengar rahasia lain yang siap diungkapkan. Yang jelas, Paolo tidak akan membiarkanmu terserang jenuh sampai jatuh terlelap di pertengahan durasi karena kolaborasinya bersama para penulis naskah yang mengkreasi dialog-dialog cepat nan tajam, penyunting gambar yang cekatan dalam menyusun ritme film, serta pemain ansambel dengan chemistry menyengat, memungkinkan Perfect Strangers untuk memiliki cita rasa mencekam dan mencengkram dari menit ke menit. Itulah mengapa menyaksikan Perfect Strangers yang dijual sebagai tontonan satir ini tak ubahnya menonton sebuah gelaran thriller. Kamu tidak akan rela memalingkan muka barang sejenak dari layar karena setiap percakapan yang meluncur dari mulut para karakter adalah kunci. 



Kunci yang akan menuntun para karakter untuk mengetahui ‘kebenaran beracun’ yang telah tersembunyi selama bertahun-tahun. Kunci yang akan melepaskan topeng yang selama ini dikenakan oleh tujuh manusia yang mengaku dirinya sebagai sahabat dan pasangan yang bisa dipercaya. Kunci yang akan membawa mereka pada keputusan penting; apakah hubungan (persahabatan dan pernikahan) penuh kepalsuan ini layak dipertahankan? Kunci yang akan mengusik pemikiran penonton dengan suatu pilihan; apakah kebenaran ini perlu dibeberkan sekalipun berpotensi merusak hubungan atau lebih baik disimpan erat-erat demi menjaga keutuhan hubungan sekalipun ini berarti ada ketidakjujuran? Dan kunci yang akan membuat kita bertanya-tanya; apakah kemajuan teknologi ini benar-benar telah membuat manusia tidak lagi peduli dengan privasi?

Outstanding (4/5)
REVIEW : TULLY

REVIEW : TULLY


“You’re convinced that you’re this failure, but you actually made your biggest dream come true.” 

Tully, suguhan terbaru dari Jason Reitman yang sekali lagi berkolaborasi dengan penulis naskah Diablo Cody usai Juno (2007) dan Young Adult (2011) yang amat mengesankan, dipersembahkan secara khusus untuk para ibu. Teruntuk para ibu yang mendedikasikan seluruh waktunya untuk mengasuh anak tanpa bala bantuan dari pengasuh anak bersertifikat. Teruntuk para ibu yang rela berjuang seorang diri dalam mengurus anak tanpa (atau minim) uluran tangan dari suami. Dan, teruntuk para ibu yang ikhlas seluruh mimpinya di masa muda terkubur dalam-dalam demi memastikan mimpi sang anak dapat tercapai. Tully tidak ubahnya sebuah surat cinta dari Reitman beserta Cody untuk para ibu di luar sana yang telah berjuang sepenuh tenaga demi memastikan anak-anak mereka memperoleh kehidupan yang layak. Menengok materi pembahasannya yang berjibaku dengan perjuangan seorang ibu, mudah untuk mengira bahwa film ini akan dikemas bak melodrama yang dipenuhi ratapan atau tangis haru. Kalaupun tidak, ya sarat letupan-letupan emosi dan dialog-dialog sinis khas Cody. Akan tetapi, alih-alih melantunkan kisah dengan pendekatan-pendekatan tersebut, Tully justru memilih untuk berbincang-bincang secara kalem. Ini seperti seorang sahabat yang menceritakan pengalaman-pengalaman serunya sebagai seorang ibu kepada sahabat terdekatnya seraya menyeruput teh di teras rumah pada sore hari yang cerah. Terdengar intim, jujur, tetapi juga lucu. 

Guliran penceritaan yang ditawarkan oleh Tully pun tidak rumit-rumit gimanaaaa gitu, malah cenderung sederhana. Fokusnya terletak pada seorang ibu bernama Marlo (Charlize Theron) yang telah dikaruniai dua buah hati dan kini sedang gelisah menanti lahirnya anak ketiga. Kegelisahan ini bukannya tanpa alasan karena Marlo sendiri sejatinya tidak mengantisipasi dirinya akan kembali hamil. Terlebih, si bungsu Jonah (Asher Miles Fallica) yang menunjukkan tanda-tanda mengidap autisme membutuhkan perhatian khusus dari Marlo dan sang suami, Drew (Ron Livingston), terlalu letih dengan rutinitasnya di kantor sehingga tidak memberi banyak bantuan terkait urusan rumah tangga. Tapi bagaimanapun, kehamilan itu terjadi dan dia pun melahirkan anak ketiga. Pada mulanya Marlo berniat mengurus kebutuhan si kecil dan krucil-krucil lainnya seorang diri sekalipun saudaranya, Craig (Mark Duplass), menunjukkan iktikad baik untuk membantu. Namun seiring berjalannya waktu, Marlo yang tidak lagi bisa tidur dengan nyenyak di malam hari perlahan tapi pasti mulai kewalahan sampai kemudian memutuskan untuk meminta bantuan pada night nanny seperti disarankan oleh Craig. Kehadiran night nanny bernama Tully (Mackenzie Davis) ini seketika mengubah kehidupan Marlo yang sebelumnya awut-awutan. Rumahnya bersih dari kotoran, dia bisa tidur dengan nyenyak, memasak untuk seluruh anggota keluarga, serta memuaskan Drew di ranjang. Berkat bantuan Tully, Marlo seperti menemukan gairah baru untuk menjalani hidup sebagai seorang manusia, seorang istri, dan seorang ibu.


Selepas menyaksikan Tully, ada satu perasaan ajaib yang mengemuka sehingga membutuhkan waktu bagi saya selama beberapa saat untuk akhirnya berhenti memandangi layar bioskop yang telah menggulirkan credit title, lalu beranjak dari kursi bioskop, dan melenggang pergi meninggalkan gedung pemutaran. Perasaan itu memunculkan kehangatan di hati. Membuat saya ingin memeluk diri sendiri serta (tentunya) ibu di rumah. Sungguh film yang sangat indah. Betapa tidak, melalui Tully, Reitman dan Cody kembali mengingatkan penonton betapa besarnya perjuangan dan pengorbanan yang telah dilakukan oleh para ibu agar anak-anaknya mendapatkan kehidupan yang layak. Tully tidak menceramahi penonton dengan setumpuk dialog-dialog pengobar semangat yang dirangkai puitis atau dramatisasi berlebihan yang memperlihatkan kehebatan seorang ibu. Yang dilakukannya semata-mata menyoroti rutinitas harian Marlo yang tidak jauh-jauh dari menyusui, mengganti popok, terbangun di tengah malam, mengantarkan anak-anaknya ke sekolah, menghadapi keluhan pihak sekolah mengenai perilaku putranya yang dianggap ‘unik’, mendengarkan rajukan atau tangisan yang bikin gendang telinga pengang, membereskan cucian seraya mengawasi anak, tertidur di sofa pada siang bolong karena kelelahan, menyiapkan makan malam, dan siklus ini terus berulang selama berbulan-bulan (bahkan bertahun-tahun) lamanya. Serentetan aktivitas yang pastinya akan membuat para orang tua terkekeh-kekeh seraya berujar, “saya pernah berada di fase itu!,” dan menumbuhkan empati kepada para ibu dalam diri mereka yang belum mengalami fase menimang-nimang bayi. 

Mengingat Cody menulis naskah Tully tatkala dia baru saja melahirkan anak ketiga, maka bukan sesuatu yang mengherankan jika dia memahami betul pergulatan yang dialami oleh Marlo. Dibantu oleh Reitman yang mempunyai kepekaan tinggi, keduanya memberi penggambaran yang realistis mengenai keseharian seorang ibu dalam menyambut datangnya bayi baru. Agar tidak terasa menjemukan, humor ditaburkan disana sini yang tidak sedikit diantaranya membuat tawa saya meledak di dalam bioskop. Perihal meramu dialog tajam dan guyonan sinis, Cody memang jago. Sensitivitas naskah dan pengarahan dalam Tully ini beruntung sekali memperoleh sokongan yang sangat baik dari jajaran pemainnya, terutama Charlize Theron yang totalitasnya berperan bisa kalian tengok melalui transformasi fisiknya: berat badannya menjulang tinggi hingga tubuhnya terlihat seperti kumpulan lemak. Maka begitu putrinya bertanya, “apa yang terjadi dengan tubuhmu, Bu?,” penonton tidak sukar diyakinkan apa yang memantik pertanyaan tersebut. Performa Theron yang ciamik membuat kita dapat menyematkan empati kepada Marlo yang digambarkan tak ubahnya emak-emak kebanyakan. Terlampau fokus pada tiga buah hatinya, Marlo tidak memiliki waktu untuk mengurus diri sendiri sampai kemudian Tully mengetuk pintu rumahnya dan memberinya kesempatan membenahi hidup. Theron menjalin chemistry menyengat bersama Mackenzie Davis yang gairah mudanya meletup-letup. Interaksi keduanya terasa nyata dan mengalir sampai-sampai muncul keinginan untuk bergabung dengan klub kecil ini. Saking nyamannya bersama mereka, saya tidak rela untuk berpisah dengan Marlo maupun Tully kala film telah mencapai detik terakhir. Ah, andai saja Tully memiliki durasi lebih panjang!

Outstanding (4/5)


Senin, 25 Juni 2018

REVIEW : INCREDIBLES 2

REVIEW : INCREDIBLES 2


“Done properly, parenting is a heroic act.” 

Saat dirilis ke hadapan publik pada tahun 2004 silam, The Incredibles bisa dikatakan menawarkan sebuah sajian menyegarkan yang menawarkan perspektif berbeda terhadap tontonan superhero terlebih pada masa itu adaptasi komik Marvel dan DC belum mendominasi layar lebar (FYI, Marvel Cinematic Universe baru dimulai pada tahun 2008 melalui Iron Man). Berceloteh mengenai dua pahlawan berkekuatan super yang memutuskan untuk menjalani kehidupan normal layaknya manusia kebanyakan dengan membina rumah tangga, film arahan Brad Bird (The Iron Giant, Ratatouille) ini menyisipinya dengan isu serius semacam krisis paruh baya dan rempongnya mengasuh anak ‘luar biasa’ seraya mengajak penonton bersenang-senang sekaligus memberi cemooh ke segala keklisean film superhero – persis seperti yang dilakukan oleh dwilogi Deadpool tempo hari. Sayangnya, sekalipun resepsi yang diterima dari publik dan kritikus amat positif, The Incredibles tak seketika mendapat instalmen kelanjutan. Membutuhkan waktu lebih dari satu dekade bagi Pixar Animation Studios untuk memberikan lampu hijau bagi pembuatan Incredibles 2 yang masih menempatkan Brad Bird di kursi penyutradaraan dan penulisan naskah. Kesuksesan Marvel Cinematic Universe lalu sambutan hangat yang diberikan oleh publik maupun kritikus kepada Monsters University (2013) dan Finding Dory (2016) tampaknya telah meluluhkan hati para petinggi Pixar. Lebih-lebih, mereka melihat masih adanya potensi kisah kepahlawanan keluarga Parr untuk dikembangkan lebih jauh lagi. 

Memulai penceritaan tepat setelah film pertama berakhir, Incredibles 2 menyoroti bagaimana pengorbanan keluarga Parr yang terdiri dari Bob atau Mr. Incredible (Craig T. Nelson), Helen atau Elastigirl (Holly Hunter), Violet (Sarah Vowell), Dash (Huck Milner), serta Jack-Jack yang masih balita (Eli Fucile) dalam memberantas kejahatan ternyata tak memperoleh pengakuan yang sepantasnya dari pemerintah. Memperhitungkan kerusakan masif yang ditimbulkan akibat aksi-aksi para pahlawan kala beraksi, pemerintah memutuskan untuk melarang segala praktik kepahlawanan yang memanfaatkan kekuatan khusus. Akibat larangan ini, keluarga Parr pun mau tak mau menjauhi gemerlapnya sorotan media dan menyembunyikan identitas mereka yang sesungguhnya dari khalayak ramai. Situasi yang suram bagi para superhero ini perlahan tapi pasti mulai berubah tatkala seorang pebisnis sukses yang bergerak di bidang telekomunikasi bernama Winston Deavor (Bob Odenkirk) beserta sang adik, Evelyn (Catherine Keener), berinisiatif untuk membersihkan nama baik para superhero. Caranya dengan merekrut Elastigirl sebagai ‘brand ambassador’ lalu merekam setiap aksinya dalam memberantas kejahatan. Trik ini terbukti berhasil sehingga kepercayaan publik berhasil didapatkan, popularitas Elastigirl mendadak menjulang, dan Mr. Incredible pun terpaksa menggantikan posisi sang istri untuk mengurus rumah tangga. Akan tetapi, keadaan lagi-lagi tak berjalan sesuai rencana ketika Elastigirl mesti berhadapan dengan seorang penjahat dengan motif dipertanyakan bernama Screenslaver.


Menonton Incredibles 2 di laya bioskop kala libur panjang ternyata sungguhlah pilihan tepat. Sedari menit pertama, Brad Bird telah mengondisikan penonton untuk bersemangat, tergelak-gelak, hingga berdebar-debar di kursi bioskop. Bagi saya yang kebetulan sedang membutuhkan hiburan untuk menghempaskan kepenatan dari pikiran, apa yang ditawarkan oleh Incredibles 2 jelas lebih dari cukup. Laganya seruuu, humornya pun lucuuu. Menengok produk akhirnya yang sanggup membuat hati bergembira, penantian para penggemar selama belasan tahun (intermezzo; saya ingat betul menyaksikan instalmen pertamanya di Tunjungan 21 saat masih bocah) tentu tidaklah sia-sia. Kesenangan yang telah terbentuk sedari menit pembuka yang berlangsung gegap gempita kala menampilkan aksi keluarga Parr beserta Frozone (Samuel L. Jackson, si Nick Fury) dalam menghentikan Underminer, mampu terjaga secara stabil hingga babak pamungkasnya yang akan membuat klimaks dari sejumlah film superhero terlihat cupu. Sosok antagonis dalam jilid ini memang tidak terlampau mengancam yang membuat barisan karakternya bertekuk lutut dan motif kejahatannya pun klasik – bisa dimengerti mengingat bagaimanapun juga, Incredibles 2 mesti menghibur penonton cilik – akan tetapi si pembuat film mengompensasinya bagi penonton dewasa dengan serentetan sekuens laga yang tidak sedikit diantaranya membuat saya berdebar-debar, materi ngelaba yang jitu dalam menggelitik saraf tawa, hingga jalinan pengisahan yang mengikat meski tergolong berat untuk ukuran film keluarga. 

Keberadaan humor dalam Incredibles 2 menjadi pelengkap yang sangat baik bagi serentetan sekuens laganya. Elemen komedik mengambil tongkat estafet dari elemen laga ketika film tidak sedang menyoroti sepak terjang Elastigirl yang (tentu saja) menyumbang sebagian momen aksi di Incredibles 2. Dengan kata lain, kamu bisa menemukannya saat sorotan beralih ke Mr. Incredible atau Bob yang kelimpungan dalam mengurus anak-anaknya. Bob mesti membantu Violet yang sedang kesengsem kepada salah satu laki-laki di sekolahnya yang apesnya tidak bisa mengingat siapa Violet karena satu dan lain hal, lalu membantu Dash yang kesulitan mengerjakan tugas-tugas matematika, hingga mencari solusi untuk mengontrol kekuatan Jack-Jack yang mengerikan. Aksi heroik Bob dalam menjalankan tugasnya sebagai Ayah Rumah Tangga ini tidak saja mengundang gelak tawa heboh yang salah dua momennya dipersembahkan oleh adegan pertarungan antara Jack-Jack dengan seekor rakun di halaman belakang rumah yang pecah sekali (Rocket Raccoon, is that you?) dan pertemuan singkat dengan desainer langganan keluarga, Edna Mode (Brad Bird), tetapi juga memberi kehangatan pada hati sekalipun tonjokkan emosinya tidak sekuat, katakanlah, Coco (2017).


Seperti halnya instalmen pertama, disamping memberi hiburan dalam bentuk pertarungan dan lawakan, Incredibles 2 turut menghadirkan guliran penceritaan menarik yang didalamnya mengandung komentar-komentar sosial yang relevan dengan situasi terkini. Isu yang dibicarakannya sekali ini berkaitan dengan women empowerment, pembagian peran dalam sektor rumah tangga, prasangka, keegoisan pemerintah, sampai ketergantungan terhadap teknologi. Walau kedengarannya berpotensi bikin dahi mengernyit, Brad Bird sanggup menyampaikannya secara lancar dan ringan tanpa mengurangi esensinya barang sedikitpun. Bagus! 

Note : Saat hendak menonton Incredibles 2, pastikan untuk tidak terlambat memasuki ruang pemutaran. Ada sebuah film pendek berjudul Bao sebelum film utama yang akan membuatmu ingin memberikan pelukan hangat kepada ibu tercinta. Kalau ini, buagus!

Outstanding (4/5)

Jumat, 08 Juni 2018

REVIEW : JURASSIC WORLD: FALLEN KINGDOM

REVIEW : JURASSIC WORLD: FALLEN KINGDOM


“Do you remember the first time you saw a dinosaur? You don’t really believe it. It’s like a miracle.” 

Masih terpatri dengan baik di benak bagaimana seorang Steven Spielberg mampu membuat saya terperangah kala melihat sekumpulan dinosaurus berjalan-jalan santai di pulau fiktif Isla Nublar sekaligus membuat saya terpaksa mengintip dari balik telapak tangan kala seekor T.rex mengamuk melalui Jurassic Park (1993). Sebuah film yang mendefinisikan istilah ‘keajaiban sinema’ secara jelas dan salah satu alasan mengapa saya jatuh hati kepada film. Meski dua film kelanjutannya, The Lost World (1997) dan Jurassic Park III (2001), tidak meninggalkan sensasi menonton yang serupa, keduanya tetap terbilang sebagai sajian eskapisme yang menyenangkan buat disimak. Dalam Jurassic World yang dilepas pada tahun 2015, Colin Trevorrow mencoba memunculkan kembali sisi magis dari sang dedengkot. Mengingat standar film pertama sudah teramat tinggi, bisa dimafhumi saat hasil akhirnya tidak persis sama. Akan tetapi yang mengejutkan, Jurassic World mampu berdiri setingkat di atas dua seri terakhir dari segi kualitas sekaligus mengingatkan kita kembali mengapa franchise ini bisa sedemikian populer dan dicintai banyak kalangan. Resepsi hangat yang diperolehnya lantas mendorong Universal Pictures untuk memberikan lampu hijau pada rencana penggarapan trilogi baru. Berselang tiga tahun kemudian, instalmen kedua dalam trilogi baru bertajuk Jurassic World: Fallen Kingdom yang sekali ini dikomandoi oleh J. A. Bayona (The Impossible, A Monster Calls) pun dilepas ke pasaran dengan nada penceritaan yang cenderung lebih gelap dibanding instalmen-instalmen terdahulu. 

Berlatar tiga tahun setelah peristiwa di penghujung seri sebelumnya, Jurassic World: Fallen Kingdom menyoroti nasib para dinosaurus yang sekali lagi berada dalam ambang kepunahan. Pemicunya, letusan besar gunung berapi di Isla Nublar. Claire Dearing (Bryce Dallas Howard) yang kini menjabat sebagai pemimpin dari organisasi pembela hak-hak dinosaurus tentu tak akan membiarkan hewan-hewan langka ini kembali lenyap dari peradaban. Menilik proses evakuasi membutuhkan suntikkan dana besar, Claire mustahil untuk bergerak sendiri. Pemerintah jelas tidak bisa diharapkan karena mereka memilih untuk lepas tangan dalam misi penyelamatan para dinosaurus berdasarkan saran dari Dr. Ian Malcolm (Jeff Goldblum). Bala bantuan untuk Claire lantas datang dari seorang miliarder, Benjamin Lockwood (James Cromwell), yang berencana memindahkan para dinosaurus ke sebuah suaka di pulau lain secara diam-diam sehingga tidak mendapat gangguan dari manusia. Dibantu oleh mantan kekasih Claire, Owen Grady (Chris Pratt), lalu Eli Mills (Rafe Spall) selaku tangan kanan Benjamin, dan Ken Wheatley (Ted Levine) yang mengomandoi pasukan penyelamat, proses evakuasi dinosaurus dari Isla Nublar pun dilancarkan. Tanpa disadari oleh Claire dan Owen, sebuah pengkhianatan terjadi ditengah-tengah evakuasi. Alih-alih diboyong menuju suaka, para dinosaurus ini justru dibawa ke daratan untuk dijual ke sejumlah pembeli dari berbagai negara. Si pengkhianat melihat potensi dinosaurus sebagai senjata perang yang mumpuni dan mesin uang sehingga dia memilih untuk menjadikannya komoditas ketimbang melindunginya.


Saat ditanya seorang teman melalui pesan singkat mengenai pendapat saya mengenai Jurassic World: Fallen Kingdom usai menontonnya, saya hanya memberi jawaban: seruuuuuuu. Ya mau bagaimana lagi, begitulah perasaan saya selama berkelana ke wahana permainan yang diorkestrai oleh J. A. Bayona ini. Entah dengan kalian, tapi bagi saya Fallen Kingdom adalah seri terbaik kedua dalam franchise ‘taman dino’ setelah Jurassic Park. Bahkan lebih baik dari Jurassic World yang itu artinya Fallen Kingdom sanggup membuat saya berdecak kagum. Film telah membetot atensi sedari adegan pembukanya yang memberikan nuansa mendebarkan: ditengah hujan lebat, satu pasukan yang terbagi ke dalam tiga tim berusaha untuk mengambil DNA dari bangkai Indominus rex. Siluet Mosasaurus yang mengintai dari balik air, siluet Tyrannosaurus yang berkelebat di kegelapan, membuat diri ini meremas-remas kursi bioskop. Sesuatu yang buruk akan menimpa tim ini. Tentu saja, amukan dua makhluk tersebut menghadirkan adegan pembuka yang menjanjikan untuk Fallen Kingdom. Di beberapa menit selanjutnya, intensitas sengaja dikendurkan demi memberi ruang bagi duo penulis skrip, Colin Trevorrow dan Derek Connolly, untuk menjabarkan latar belakang kisah yang bakal dikedepankan sekaligus memperkenalkan karakter-karakter anyar termasuk anak buah Claire; Zia si dokter hewan (Daniella Pineda) dan Franklin si ahli IT (Justice Smith). Skrip buatan mereka memang tergolong generik seperti versi pembaharuan dari The Lost World dan mempersilahkan sederet kekonyolan untuk menyelinap masuk, namun untungnya masih cukup bergigi untuk mengundang ketertarikan terkait sejauh mana franchise ini akan dikembangkan ke depannya. 

Berbicara soal gigi, salah satu alasan yang membuat Fallen Kingdom tampak lebih bertaring dibanding kakak-kakaknya, kecuali si sulung, adalah kelihaian J. A. Bayona dalam menyampaikan cerita. Apabila kamu telah menyaksikan film-film garapan sang sutradara seperti The Orphanage (2007), The Impossible (2012), dan A Monster Calls (2016), rasa-rasanya akan menyadari Bayona memberi sentuhan yang sedikit banyak serupa ke dalam Fallen Kingdom. Paruh pertama film membawa ingatan melayang ke The Impossible dengan elemen disaster movie-nya, sementara paruh akhir mengingatkan pada The Orphanage yang merupakan tontonan horor atmosferik. Di paruh pertama, kita bisa menyaksikan bagaimana para karakter inti beserta dinosaurus berkejar-kejaran dengan aliran dan lontaran lava pijar dalam sekuens laga yang amat mengasyikkan. Ditunjang polesan efek khusus menakjubkan (satu hal yang tidak bisa kamu sangkal), beserta penyuntingan dinamis dan tangkapan kamera yang penuh presisi, hari-hari terakhir Isla Nublar terangkum ke dalam bahasa gambar yang membuat saya terperangah bak anak kecil yang diajak ke istana mainan. Tidak ketinggalan, Bayona menyisipkan momen andalannya yakni momen emosional yang diperlihatkan dalam siluet seekor dinosaurus yang tertutup debu vulkanik. Hanya diiringi suara pekikan, satu shot ini sudah cukup efektif untuk menyesakkan dada maupun mengalirkan air mata manusia-manusia berhati sensitif. Usai shot ini, Fallen Kingdom memang tak memilki shot lain yang menusuk hingga ke ulu hati. Akan tetapi, film mempunyai setumpuk bahan yang bakal membuat admin akun One Perfect Shot melompat-lompat kegirangan.


Peralihan nada penceritaan ke arah lebih kelam mulai ditunjukkan saat para manusia (dan dinosaurus) kembali ke daratan. Menapaki babak pamungkas, Fallen Kingdom dilantunkan bak tontonan horor yang bermain-main dengan antisipasi penonton dan atmosfer mengusik. Jika kamu mendamba film bakal diakhiri dengan ‘boom boom bang’ yang membahana, bisa jadi akan sedikit mendengus kecewa. Bukannya tidak ada, hanya saja Bayona lebih memilih untuk fokus pada menciptakan ketegangan yang merangkak perlahan tapi pasti. Ekspektasimu di babak ini sebaiknya ditetapkan saja menjadi ‘menyaksikan sajian seram’, niscaya ada kepuasan tersendiri ketika memasuki wahana permainan milik Bayona yang sejatinya cukup banyak diilhami dari Jurassic Park. Niscaya kamu juga akan mengamini bahwa adegan bersembunyi di dalam kamar itu bikin jantung berdebar-debar. Phew! Menilik jajaran pelakonnya yang bermain bagus; baik chemistry Pratt-Howard yang menguat, Pineda dan Smith sebagai comic relief yang cukup menyegarkan, sampai aktris cilik Isabella Sermon sebagai cucu Maisie yang kemunculannya senantiasa mencuri perhatian, maka satu-satunya keluhan saya untuk Fallen Kingdom adalah musik tema Jurassic Park warisan John Williams yang hanya memiliki peranan kecil di sini sekalipun kemunculannya berada di posisi yang tepat. Andai saja musik ikonis tersebut memperoleh tempat lebih besar, bukan tidak mungkin Fallen Kingdom yang bercita rasa megah nan mewah tetapi tetap mempunyai hati ini akan terasa semakin greget.

Note : Jurassic World: Fallen Kingdom memiliki satu adegan tambahan di penghujung durasi. Jika kalian seperti saya (tidak mau rugi sepeserpun, jadi jika masih ada adegan yang sekalipun tidak penting ya mesti ditunggu), maka bertahanlah sampai detik terakhir.

Outstanding (4/5)


Rabu, 04 April 2018

REVIEW : A QUIET PLACE

REVIEW : A QUIET PLACE


“Who are we if we can’t protect them? We have to protect them.” 

A Quiet Place, sebuah film horor arahan John Krasinski (The Hollars, Brief Interviews with Hideous Men), mempunyai sebuah premis menggigit yang bisa jadi akan seketika menarik perhatianmu. Dalam film tersebut, suami dari Emily Blunt (yang didapuk menjadi pemeran utamanya) ini mengajukan premis berbunyi, “bagaimana jika di masa depan manusia harus bertahan hidup dari serangan makhluk asing dengan cara tidak mengeluarkan suara sama sekali?”. Coba bayangkan, manusia dewasa ini yang tidak sanggup menahan godaan untuk mempergunjingkan orang lain saban beberapa menit sekali dipaksa untuk tutup mulut sepenuhnya. Tentu saja bukan perkara mudah. Tapi ada konsekuensinya jika kamu keberatan untuk tutup mulut: siap-siap saja dibantai oleh makhluk asing yang entah darimana datangnya. Seramnya lagi, ini tidak sebatas berlaku pada mengistirahatkan pita suara tetapi juga menghilangkan bunyi-bunyian yang diciptakan oleh derap kaki, tepukan tangan, batuk-batuk ringan, kipas angin, mainan berbaterai, kertas yang sobek, pemutar musik, ketikkan di gawai canggih, klakson kendaraan, serta aktivitas (berikut benda) sehari-hari lainnya yang menimbulkan bunyi. Gila, kan? Ya, A Quiet Place memang mempunyai premis gila, tapi ini belum ada apa-apanya tatkala dibandingkan dengan hasil akhirnya. Si pembuat film sanggup mentranslasinya ke dalam sebuah tontonan seram yang akan membuatmu enggan menghembuskan nafas barang sejenak. 

Dalam A Quiet Place, John Krasinski membawa kita ke beberapa tahun di masa depan saat bumi bukan lagi suatu planet yang layak huni bagi manusia. Penonton tidak pernah diberi narasi menyeluruh mengenai kekacauan yang membawa bumi pada kehancuran, melainkan hanya sekilas lalu dari tajuk utama di surat kabar bekas yang berserakan dimana-mana. Dari tajuk utama tersebut kita memperoleh informasi bagaimana suara telah menciptakan kematian misterius di berbagai belahan dunia. Populasi manusia menyurut dan kota-kota besar ditinggalkan sehingga membuat jalanan utama kosong melompong seperti di film-film zombie. Tidak diketahui secara pasti ada berapa umat manusia yang masih berlalu lalang di atas tanah karena fokus utama dari A Quiet Place yang memilih bercerita secara intim hanyalah sebuah keluarga yang terdiri atas Ayah (John Krasinski), Ibu (Emily Blunt), serta tiga orang anak dengan konfigurasi satu perempuan dan dua laki-laki. Mereka bertahan hidup dengan cara mengambil persediaan di supermarket terbengkalai, menangkap ikan di sungai, mendiami sebuah rumah pertanian, dan paling penting, tidak bersuara. Maklum, suara sekecil apapun dapat mendatangkan petaka besar bagi mereka. Demi meminimalisir munculnya suara, kelimanya pun sepakat untuk melepas alas kaki dan berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Akan tetapi, upaya mereka untuk membisu ini mengalami kegagalan tatkala salah satu dari mereka melakukan kesalahan besar yang tidak saja mendatangkan petaka tetapi juga penyesalan mendalam. 


Tanpa banyak berbasa-basi, Krasinski yang turut menempati posisi sutradara dan peracik skrip seketika membawa penonton pada situasi yang tidak menenangkan dalam A Quiet Place. Kita melihat keluarga kecil ini tengah berkeliling supermarket untuk mencari obat. Si kecil bermain-main, berlari-lari, yang belum apa-apa sudah membuat diri ini was-was. Mungkinkah ada sesuatu yang berbahaya tengah mengintai mereka di sana? Suasananya memang sangat sunyi. Kalaupun ada suara, itu berasal dari deru angin atau burung-burung yang menari-nari di udara seolah mengejek para manusia yang dibuat tak berdaya oleh ancaman makhluk asing. Interaksi antar karakter dilangsungkan menggunakan bahasa isyarat atau sekadar ekspresi wajah. Hanya jika keadaan memungkinkan (berdasar aturan main di film ini, mereka bebas bersuara saat ada suara lebih keras di sekitar mereka), dialog verbal dapat muncul. Bisik-bisik pun sebisa mungkin dihindari karena hey, tidak ada salahnya menghindari tindakan yang beresiko, bukan? Siapa yang tahu suara seperti apa yang masih bisa ditolerir? Dari kesunyian ini, Krasinski lantas membangun teror. Menciptakan situasi yang sangat mengusik kenyamanan sehingga memunculkan rasa tercekam dalam diri penonton. Betapa tidak, kita tidak pernah benar-benar tahu kapan ancaman tersebut akan datang menghampiri. Kelima karakter dalam A Quiet Place dapat berbuat blunder sewaktu-waktu mengingat benda-benda yang menghasilkan bunyi-bunyian masih mudah dijumpai di sekitar mereka. Kayu yang berderit, misalnya. 

Kelihaian Krasinski dalam membuat penonton megap-megap karena sulit untuk bernafas (ya gimana bisa bernafas kalau setiap menitnya adalah ancaman!) mendapat sokongan bagus dari tim tata suara yang mampu menghasilkan ‘kesunyian mencekam’. Saya justru merasa tenang saat ada suara, dentuman atau apalah-apalah itu, tapi begitu mode suara beralih ke senyap, hmmm… baiklah. Bersiap-siap buat merapal doa dalam hati seraya meremas-remas kursi bioskop nih. Oia, kesunyian ini bukan berarti tanpa suara sama sekali seperti halnya film bisu lho karena skoring musik mengejutkan khas film seram masih setia mengiringi utamanya tatkala si peneror telah tiba di sekitar personil keluarga. Hanya saja, A Quiet Place memang terasa lebih mencekam justru saat musik-musik ini tiada. Pada suasana yang sunyi ini pula, kita memperoleh kesempatan untuk menengok keluarga fiktifnya John Krasinksi-Emily Blunt. Dari sini, kita sebagai ‘pengamat’ menyaksikan munculnya figur orang tua yang rela melakukan apa saja demi menyelamatkan anak-anaknya, mendapati upaya mereka untuk berdamai dengan duka usai suatu kehilangan besar, serta melihat merenggangnya suatu hubungan yang dipicu oleh komunikasi yang kurang intens serta cenderung terhambat. Meski Krasinski ditemani duo penulis skrip, Bryan Woods dan Scott Beck, tidak menggali konflik internal ini lebih dalam lagi, tapi apa yang mereka paparkan telah cukup untuk menghasilkan momen emosional yang menonjok sekaligus membekali penonton sehingga mereka dapat membentuk afeksi dengan para karakter inti.


Beruntungnya, A Quiet Place memiliki jajaran pemain yang bisa diandalkan seperti John Krasinski, Emily Blunt, serta duo bocah Millicent Simmonds (sekadar informasi, dia memang tuna rungu di kehidupan nyata seperti karakter yang dimainkannya) dan Noah Jupe yang memerankan putra-putri dari Krasinski-Blunt. Mereka membentuk chemistry meyakinkan sampai-sampai kita bisa meyakini bahwa mereka adalah keluarga betulan. Kala berlakon sendiri-sendiri pun, keempat pemain ini memberikan performa yang impresif. Simmonds menyembunyikan kerapuhan dan kekecewaan dibalik topeng tangguhnya, sementara Jupe adalah bocah polos yang dipaksa tumbuh lebih cepat karena keadaan. Lalu Krasinski tampak seperti seorang ayah dan pejuang yang begitu menyayangi keluarganya tapi mengalami kesulitan dalam mengungkapkan rasa cintanya, sementara Blunt memancarkan aura keibuan yang sangat kuat. Blunt berkesempatan pula untuk unjuk gigi dalam A Quiet Place – membuktikan bahwa dia adalah aktris yang patut diperhitungkan – melalui adegan paling membekas dari film ini yaitu ‘tertimpa kesialan di hari H’. Tengok saja ekspresinya, air mukanya, yang menyiratkan rasa sakit bercampur ketakutan. Membuat diri ini ikut berada dalam fase berdebar-debar tidak karuan. Ikut merasa tertekan! Kemahiran para pelakon dalam berolah peran ini memang menjadi salah satu kunci keberhasilan A Quiet Place karena berkat mereka, penonton dapat menginvestasikan emosi. Dapat memberikan dukungan moril sehingga film pada akhirnya tak saja mampu menciptakan teror dan momen emosional yang mengesankan, tetapi juga kenangan (entah baik entah buruk).

Outstanding (4/5)

Sabtu, 31 Maret 2018

REVIEW : READY PLAYER ONE

REVIEW : READY PLAYER ONE


“People come to the Oasis for all the things they can do, but they stay because of all the things they can be.” 

Steven Spielberg is back! 

Oke. Seruan ini mungkin terdengar agak berlebihan karena kita sama-sama tahu beliau tidak pernah pergi kemana-mana. Dalam satu dekade terakhir, Pak Spielberg masih sangat aktif menghasilkan karya, menempatkan filmnya di jajaran film laris, sampai wara-wiri ke berbagai ajang penghargaan. Hanya saja, film kreasinya dalam beberapa tahun terakhir ini semacam hanya mengincar Oscar beserta rekan-rekannya semata. Minim unsur hiburan. Kalaupun ada yang ditujukan sebagai sajian eskapisme seperti The Adventures of Tintin (2011) dan The BFG (2016), hasil akhirnya terasa kurang menggigit dan seolah-olah Pak Spielberg telah kehilangan sentuhan magisnya yang menjadi salah satu alasan mengapa beliau bisa memiliki nama besar di perfilman dunia. Terlalu sering dicekoki film-film serius garapannya, saya pun bertanya-tanya, “apa mungkin beliau akan kembali menghasilkan film semacam E.T. The Extra Terrestrial (1982) dan Jurassic Park (1993) yang sanggup membuat kita kegirangan sekaligus melongo kagum?”. Harapan itu sepertinya nyaris sirna sampai kemudian mendapati kabar bahwa Steven Spielberg memutuskan untuk kembali bersenang-senang dengan menyajikan tontonan eskapisme murni yang menjelajah teritori yang dikuasainya, fiksi ilmiah dan petualangan. Tontonan ini didasarkan pada novel rekaan Ernest Cline bertajuk Ready Player One. Walau agak skeptis berkaca pada dua film ‘hura-hura’ terakhirnya, tapi tidak bisa disangkal kalau hati ini merasa bungah karena bagaimanapun hasilnya, sebuah popcorn movies garapan sang maestro tetap harus disambut meriah. 

Melalui Ready Player One, Pak Spielberg memboyong kita untuk mengunjungi Columbus, Ohio, di masa depan atau secara spesifik pada tahun 2045. Populasi membludak, korupsi, polusi, serta perubahan iklim yang ekstrim menyebabkan masyarakat dunia hidup dalam kondisi finansial yang memprihatinkan. Itulah mengapa sang karakter utama, Wade Watts (Tye Sheridan), tinggal di sebuah tempat yang disebut ‘Tumpukan’ – well, maknanya pun harfiah karena ini memang tumpukan trailer – bersama bibi dan kekasihnya yang pemabuk. Demi menjauhkan diri dari kepenatan hidup, Wade beserta sebagian populasi masyarakat dunia memilih untuk menghabiskan waktu dengan memainkan game berbasis realitas maya bernama OASIS. Di sini, setiap orang bisa menjadi apapun yang mereka mau tanpa ada batasan-batasan yang mengekang. Wade yang menggunakan avatar bernama Parzival menjalin pertemanan dengan Aech (Lena Waithe), Sho (Philip Zhao), Daito (Win Morisaki), serta Art3mis (Olivia Cooke) yang juga ditaksirnya di OASIS. Mereka berlima membentuk komplotan dengan nama ‘High Five’ demi menuntaskan permainan kreasi James Halliday (Mark Rylance) yang disebut Anarok’s Quest yang mengiming-imingi hadiah berupa tampuk kepemimpinan di OASIS. Mulanya sih, Wade dan kawan-kawan memainkannya secara nothing to lose sampai kemudian tujuan mereka berubah kala Nolan Sorrento yang licik (Ben Mendelsohn), pemilik IOI yang merupakan perusahaan kompetitor OASIS, ikut bermain dan menghalalkan segala cara demi memenangkan permainan termasuk menyingkirkan High Five yang menghalangi jalannya dari dunia maya maupun dunia nyata.


Oke. Seruan “Steven Spielberg is back!” tidak lagi terdengar berlebihan usai menyaksikan apa yang telah beliau perbuat kepada Ready Player One. Setelah beberapa film kelas berat dan satu dua tontonan eskapisme yang mudah dilupakan, Pak Spielberg akhirnya kembali menghadirkan sajian spektakel yang layak untuk dirayakan besar-besaran. Sebuah sajian gegap gempita nan mengasyikkan yang sudah sangat lama tidak kita peroleh dari beliau sejak Jurassic Park (kamu boleh tidak sependapat soal hal ini karena sekuelnya yang dirlis pada tahun 1997 dan Minority Report (2002) juga masih asyik). Apabila kamu adalah penonton film biasa, dalam artian sekadar untuk membunuh waktu dan tidak pernah menganggap film sebagai ‘belahan jiwa’ atau menaruh ketertarikan sangat mendalam kepada budaya populer, Ready Player One mungkin akan terlihat seperti film seru pada umumnya yang kebetulan memiliki penggarapan setingkat lebih baik ketimbang film sejenis yang rilis dalam beberapa bulan belakangan ini. Sekadar disokong efek visual bombastis dan dipenuhi dengan sekuens laga yang (apiknya) senantiasa mengalami eskalasi dari segi intensitas pada setiap menitnya. Boleh jadi, tidak pernah lebih dari itu. Akan tetapi, apabila kamu memiliki kecintaan terhadap film, video game, dan budaya populer lainnya (itu berarti kamu adalah seorang ‘geek’), apa yang disajikan oleh Ready Player One akan membuatmu terperangah hebat dan menggeleng-geleng kepala berulang kali sepanjang durasi. Betapa tidak, referensinya bejibun! Dari yang sangat kentara sampai selewat-selewat saja yang sangat mungkin kamu lewatkan jika berkedip. 

Ada Batman! Ada King Kong! Ada Chucky si boneka iblis! Ada robot dari The Iron Giant (1999)! Ada motor yang ditunggangi Kaneda di Akira (1988)! Ada Mechagodzilla! Ada DeLorean dari trilogy Back to the Future! Ada Gundam! Ada hotel penuh teror dari The Shining (1980) yang penempatannya sungguh jenius serta tak terduga! Dan ‘ada-ada’ lainnya yang bakal panjang sekali apabila dijlentrehkan satu demi satu di sini terlebih ini belum mencakup referensi ke video game dan musik. Ready Player One memang tak ubahnya sebentuk surat cinta dari Pak Spielberg kepada budaya populer yang telah membawanya hingga ke titik ini. Beliau memperlakukannya dengan penuh hormat dan penuh perhitungan matang, bukan asal comot lalu diselipkan sekenanya. Keberadaannya melebur ke dalam plot secara tepat sehingga tidak mendistraksi narasi utama. Penonton awam tetap bisa mengikuti jalinan pengisahan yang ditawarkan oleh film tanpa pernah merasa teralienasi, sedangkan penonton jemaatnya Sheldon Cooper tetap bisa melompat-lompat kegirangan seraya mengikuti guliran penceritaan yang ditawarkan. Seperti telah saya singgung sebelumnya, dengan atau tanpa setumpuk referensi ke budaya populer, Ready Player One tetaplah sebuah sajian hiburan yang gemilang. Sebuah sajian yang mengingatkan kita kepada karya-karya akbar Steven Spielberg di era 70 hingga 90-an sekaligus mengingatkan kita sekali lagi mengapa namanya kerap dielu-elukan oleh para pecinta film.


Ready Player One mempunyai sense of wonder atau sensasi sinematik yang magis atau apalah itu sebutannya yang membuat pengalaman menyaksikan film di layar lebar terasa sulit untuk digantikan. Di film ini, Pak Spielberg membuktikan bahwa dia masih memiliki kemampuan untuk meramu sebuah tontonan spektakel yang menciptakan decak kagum. Visualnya yang mengawinkan animasi dan live action (saat beralih ke animasi, sensasinya seperti sedang bermain video game) tampak memukau, rentetan sekuens laganya yang menggenjot adrenalin tak pernah gagal menghadirkan fase ‘berdebar-debar’, guliran pengisahannya yang menarik membuat penonton tertambat untuk mengikuti misi pencarian ‘telur paskah’ sekaligus terusik untuk menggelar diskusi dengan topik pengaruh kemajuan teknologi pada masyarakat modern, dan lakon jajaran pemainnya apik terutama Mark Rylance yang senantiasa sendu, Ben Mendelsohn sebagai villain utama yang terkadang bengis terkadang lucu, serta Tye Sheridan yang membentuk chemistry apik dengan Olivia Cooke. Berkat kombinasi-kombinasi tersebut, petualangan mengarungi OASIS sepanjang 140 menit pun berlalu dengan begitu cepatnya sampai-sampai muncul keinginan untuk mengulanginya kembali sesaat setelah petualangan berakhir. Betapa tidak, selama bertualang bersama High Five, saya acapkali dibuat tergelak-gelak, bersemangat, melompat-lompat kegirangan bak bocah cilik yang baru diberi mainan baru, sampai menyeka air mata haru. Buagus!

Outstanding (4,5/5)