Minggu, 01 Januari 2023

REVIEW : PERFECT STRANGERS (2016)


“We have everything in here (mobile phone). It’s the black box of our lives. How many couples would split up if they saw each other’s phones?” 

Tanyakan kepada dirimu sendiri: seberapa jauh kamu mengenal orang-orang yang kamu sebut sebagai sahabat, kekasih, maupun suami/istri? Apakah kamu benar-benar yakin bahwa mereka bisa sepenuhnya dipercaya? Benarkah tidak ada rahasia beracun yang disembunyikan rapat-rapat oleh mereka darimu? Bagaimana kalau ternyata mereka sejatinya tidak lebih dari orang asing yang kebetulan saja mendapat sebutan ‘sahabat, kekasih, maupun suami/istri’? Hmmm. Pertanyaan-pertanyaan ‘baper’ yang bisa jadi sempat menggelayuti pikiran kita ini menjadi landasan utama bagi Paolo Genovese untuk menghasilkan film layar lebar terbarunya yang bertajuk Perfect Strangers (dalam bahasa Italia berjudul Perfetti sconosciuti). Paolo bersama empat rekannya memformulasikan sederet pertanyaan tersebut ke dalam skrip yang lantas diejawantahkannya menjadi bahasa gambar. Demi membuatnya terasa kian menggigit, si pembuat film menyelubunginya dengan komentar sosial terkait dampak negatif dari kemajuan teknologi. Dampak negatif yang dijlentrehkan Paolo melalui Perfect Strangers adalah bagaimana teknologi telah merenggut habis privasi masyarakat modern melalui aplikasi maupun situs pertemanan (ironis!) dan mampu menjelma sebagai bahaya laten bagi hubungan antar manusia apabila tidak dipergunakan secara bijak. Dramaaaaaa! 

Guliran penceritaan Perfect Strangers mempertemukan penonton dengan tujuh sahabat lama yang konfigurasinya terdiri atas tiga pasangan menikah dan satu duda. Pasangan pertama adalah Lele (Valerio Mastandrea) dan Carlotta (Anna Foglietta) yang tidak lagi saling berkomunikasi secara intens. Pasangan kedua adalah pengantin baru, Cosimo (Edoardo Leo) dan Bianca (Alba Rohrwacher), yang gairah seksual keduanya masih menggebu-nggebu. Pasangan ketiga adalah Rocco (Marco Giallini) dan Eva (Kasia Smutniak) yang menapaki fase sebagai orang tua dari seorang remaja. Sementara sang duda adalah Peppe (Giuseppe Battiston) yang telah memiliki kekasih baru. Ketujuh sahabat ini berkumpul dalam sebuah jamuan makan malam yang dihelat di apartemen milik Rocco dan Eva. Mengingat mereka telah cukup lama tidak saling bersua, maka setumpuk obrolan dengan berbagai topik yang amat acak pun terus mencuat sampai akhirnya Eva memutuskan untuk membuat sebuah permainan menarik sekaligus ‘berbahaya’. Eva meminta setiap personil yang hadir untuk meletakkan ponsel cerdas masing-masing di atas meja makan lalu membiarkan seluruh pesan atau telepon yang masuk ke ponsel mereka diketahui oleh semuanya, tanpa terkecuali. Mulanya, permainan ‘tak ada rahasia diantara kita’ ini berlangsung menyenangkan. Namun saat rahasia-rahasia besar mulai terungkap, kesenangan tersebut berubah menjadi tragedi yang seketika menggoyahkan ikatan pernikahan dan persahabatan yang telah terjalin selama bertahun-tahun. 



Perfect Strangers mengawali penceritaan dengan sekelumit babak introduksi yang menyoroti persiapan tiga pasangan sebelum menghadiri jamuan makan malam (Peppe baru diperkenalkan di lokasi acara). Tidak mendalam, tapi cukup untuk memberi kita gambaran mengenai hubungan yang terjalin diantara mereka; Lele-Carlotta dingin, Cosimo-Bianca menggelora, sementara Rocco-Eva cenderung berada di tengah-tengah. Begitu beranjak ke apartemen Rocco dan Eva yang akan menjadi panggung utama berlangsungnya ‘pertempuran’ sepanjang sisa durasi, Paolo lantas menyodori penonton dengan tek tokan remeh temeh antar sahabat yang berfungsi untuk menegaskan relasi ketujuh manusia ini sekaligus untuk menggelitik saraf tawa penonton. Dari obrolan-obrolan ini, kita pun menyadari bahwa guliran kisah Perfect Strangers bergantung sepenuhnya pada kekuatan dialog yang dikreasi oleh lima penulis naskah. Apabila materi pembicaraannya lembek, lalu chemistry antar pelakon tak bertenaga, dan penyuntingan kurang lincah, Perfect Strangers jelas berada dalam masalah besar. Beruntungnya apa yang terjadi justru sebaliknya. Obrolan ringan yang menghiasi belasan menit awal sedikit demi sedikit mengalami eskalasi, utamanya usai Eva memutuskan untuk memberikan bumbu pedas pada malam reuni kecil-kecilan ini. Disamping agar makan malam bersama ini terasa hidup (tentu tak akan ada tamu yang sibuk dengan ponselnya sendiri), tujuan Eva mencetuskan permainan ‘tak ada rahasia diantara kita’ ini adalah mengetes kejujuran – meski sejatinya telah melanggar privasi. Dia menantang, “jika memang tidak ada yang disembunyikan, kenapa harus takut?” 

Tentu saja, Paolo tidak membiarkan pesan atau telepon yang masuk ke ponsel para karakter berada di taraf aman. Kalau sebatas berhubungan dengan bisnis maupun panggilan dari kerabat atau sahabat, dimana asyiknya? Mesti ada ketegangan dong! Maka dari itu, si pembuat film menyelipkan rahasia pada masing-masing karakter. Tingkatannya beragam, ada yang biasa-biasa saja, sedang-sedang saja, sampai parah sekali yang seketika menciptakan ledakan hebat di meja makan dan memberi penonton suatu tontonan yang menarik – momen terbaik adalah ketika dua tamu bertukar ponsel yang tanpa disangka-sangka malah bikin geger karena dua pesan sederhana. Tidak ada yang terbebas dari konflik, tidak ada putih bersih di sini. Ketika kamu mengira bahwa satu persoalan telah cukup menggegerkan, tunggu sampai kamu mendengar rahasia lain yang siap diungkapkan. Yang jelas, Paolo tidak akan membiarkanmu terserang jenuh sampai jatuh terlelap di pertengahan durasi karena kolaborasinya bersama para penulis naskah yang mengkreasi dialog-dialog cepat nan tajam, penyunting gambar yang cekatan dalam menyusun ritme film, serta pemain ansambel dengan chemistry menyengat, memungkinkan Perfect Strangers untuk memiliki cita rasa mencekam dan mencengkram dari menit ke menit. Itulah mengapa menyaksikan Perfect Strangers yang dijual sebagai tontonan satir ini tak ubahnya menonton sebuah gelaran thriller. Kamu tidak akan rela memalingkan muka barang sejenak dari layar karena setiap percakapan yang meluncur dari mulut para karakter adalah kunci. 



Kunci yang akan menuntun para karakter untuk mengetahui ‘kebenaran beracun’ yang telah tersembunyi selama bertahun-tahun. Kunci yang akan melepaskan topeng yang selama ini dikenakan oleh tujuh manusia yang mengaku dirinya sebagai sahabat dan pasangan yang bisa dipercaya. Kunci yang akan membawa mereka pada keputusan penting; apakah hubungan (persahabatan dan pernikahan) penuh kepalsuan ini layak dipertahankan? Kunci yang akan mengusik pemikiran penonton dengan suatu pilihan; apakah kebenaran ini perlu dibeberkan sekalipun berpotensi merusak hubungan atau lebih baik disimpan erat-erat demi menjaga keutuhan hubungan sekalipun ini berarti ada ketidakjujuran? Dan kunci yang akan membuat kita bertanya-tanya; apakah kemajuan teknologi ini benar-benar telah membuat manusia tidak lagi peduli dengan privasi?

Outstanding (4/5)
REVIEW : PERFECT STRANGERS (2016)
4/ 5
By
Add your comment