Tampilkan postingan dengan label 3 stars. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 3 stars. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

OCEAN’S 8 (2018) REVIEW : Tempat Para Aktris Terkenal Bersenang-senang

OCEAN’S 8 (2018) REVIEW : Tempat Para Aktris Terkenal Bersenang-senang

 
Sebuah film bertema perampokan dengan artis perempuan sebagai para pelakunya? Hal ini mungkin akan sangat segar dilakukan perfilman Hollywood saat ini. Inilah yang berusaha dilakukan oleh Warner Bros Pictures bersama dengan sutradara Gary Ross untuk mengembalikan keluarga Ocean kembali ke layar lebar. Tak ada George Clooney, Brad Pitt, dan Matt Damon, kali ini kehormatan keluarga Ocean berada di tangan para perempuan tangguh untuk merampok harta berharga di Amerika.

Inilah dia proyek bernama Ocean’s 8 yang sangat ambisius mengedepankan nama-nama aktris besar dari Sandra Bullock, Cate Blancett, Anne Hathaway hingga Rihanna untuk melakukan tindakan kriminal. Ocean’s 8 bisa dibilang bukanlah sebuah reboot, tetapi menceritakan sisi lain dari keluarga Ocean yang berbeda. Setelah George Clooney yang berperan sebagai Danny Ocean di Ocean’s trilogy milik Steven Soderbergh. Kali ini, Ocean’s 8 akan menyorot kehidupan Debbie Ocean yang juga sama-sama memiliki rencana untuk mendapatkan sesuatu yang besar.

Meski dengan sutradara yang berbeda, Ocean’s 8 tentu sangat diminati banyak orang hanya berkat nama-nama besar yang terlibat di dalam filmnya. Ocean’s 8 ini sepertinya tetap memberikan sebuah film hiburan yang ringan dan seru untuk dinikmati oleh penontonnya. Akan tetapi, teknik pengarahan dari Gary Ross yang tak bisa sekuat apa yang dilakukan oleh Steven Soderbergh bisa mengurangi performa Ocean’s 8 yang berpotensi lebih prima.


Babak penceritaan dari Ocean’s 8pun bisa dikategorikan bermain aman. Tak ada yang segar dalam babak penceritaan dari Ocean’s 8 ini. Naskah yang juga ditulis oleh Gary Ross bersama dengan Olivia Milch ini tak bisa mengeksplorasi trik-trik pencurian baru di dalam genre filmnya. Naskah milik Ocean’s 8 hanya mengulangi formula-formula yang sama yang dimiliki oleh film Ocean’s Trilogy sebelumnya atau film-film bertema serupa.

Ocean’s 8 menceritakan tentang seorang perempuan paruh baya bernama Debbie Ocean (Sandra Bullock) yang baru saja keluar dari penjara karena telah melakukan pencurian. Tetapi, hal itu tak membuat dirinya kapok dan berhenti melakukan kegiatan tersebut. Debbie merencanakan sebuah tindak kriminal baru dengan mengajak rekan yang sudah dirinya kenal lama yaitu Lou (Cate Blanchett). Mereka akan mencuri sebuah perhiasan termahal yang ada di New York.

Sayangnya, rencana ini tak bisa mereka lakukan berdua saja. Debbie dan Lou merekrut banyak perempuan-perempuan kriminal lainnya untuk ikut andil dalam rencana ini. Mulai dari teman lama mereka bernama Tammy (Sarah Paulson), seorang peretas canggih bernama Nine Ball (Rihanna), hingga seorang mantan desainer terkenal bernama Rose Weil (Helena Bonham Carter). Mereka akan mencuri sebuah perhiasan bernilai jutaan dolar yang akan dipakai oleh seorang aktris, Daphne Kruger (Anne Hathaway).


Dengan formula cerita yang diadaptasi dari beberapa film dengan tema serupa memang tak ada salahnya jika bisa dikemas dengan baik pula. Sayangnya, Gary Ross masih tak bisa memaksimalkan potensi yang ada di dalam Ocean’s 8 sehingga bisa tampil dengan performa yang juga bisa mencuri perhatian. Ocean’s 8 terjebak dalam penuturan cerita yang tak istimewa tak seperti nama-nama yang ikut serta di dalam film ini.

Paruh awal dari Ocean’s 8ini belum bisa menemukan ritmenya yang pas. Sehingga, beberapa motif dan latar belakang cerita dari setiap karakter di dalam film ini tak bisa disampaikan dengan baik. Terlebih, kedelapan karakter perempuan di dalam film ini punya perannya masing-masing. Sehingga, akan lebih baik jika penonton pun juga bisa ikut kenal dan simpati dengan setiap karakternya. Dengan durasinya yang mencapai 115 menit, Ocean’s 8 hanya berputar di tempat.


Gary Ross nampaknya ragu untuk mengeksplorasi dan mengembangkan potensi dari Ocean’s 8 hingga mencapai titik puncaknya. Banyak sekali pesan yang berusaha disampaikan tak bisa diterima utuh oleh penontonnya. Perlu waktu bagi Gary Ross untuk bisa menyampaikan apa yang dirinya mau kepada penonton. Beruntungnya, di paruh kedua film ini, Gary Ross bisa memberikan tempo yang jauh lebih pas dibandingkan dengan satu jam awalnya.

Setelah cerita fokus ke rencana pencurian, barulah Ocean’s 8 bisa mengeluarkan kekuatannya sehingga dapat menghibur penontonnya. Meski tak ada yang baru dengan rencana pencuriannya, tetapi Gary Ross masih bisa mengemasnya dengan takaran yang pas. Sehingga, saat rencana pencurian berlangsung, penonton bisa juga ikut bersenang-senang dengan apa yang dilakukan oleh para pemeran perempuan yang ada di dalam film ini.


Meskipun, beberapa cerita yang tak meyakinkan di awal bisa membuat pelaksanaan pencurian ini tak bisa semencengkram yang semestinya. Tetapi, bagaimana Sandra Bullock, Cate Blanchett, Sarah Paulson, Anne Hathaway, Mindy Kailing, Rihanna, Helena Bonham Carter, dan Awkwafina bisa terlihat sangat senang bermain di dalam film ini bisa menutupi kekurangan Ocean’s 8. Kesenangan para ensemble cast film ini bisa disalurkan menjadi sebuah performa yang keren dan memiliki kharismanya yang kuat. Serta inilah nyawa dari film ini sehingga bisa menghibur penontonnya.

Senin, 29 Januari 2018

JUMANJI : WELCOME TO THE JUNGLE (2017) REVIEW : Old Game, New Look,
Generic Taste

JUMANJI : WELCOME TO THE JUNGLE (2017) REVIEW : Old Game, New Look, Generic Taste


Mungkin ada beberapa dari penonton yang telah tumbuh menjadi dewasa dengan Jumanji. Ya, film tentang permainan papan yang menjadi nyata itu sudah sangat melegenda pada zamannya. Sehingga, ada beberapa orang yang mungkin tak menghiraukan rencana Sony Pictures untuk menghadirkan kembali kisah tentang permainan tersebut. Tetapi, Sony Pictures masih saja berusaha optimis dengan rencananya menghidupkan kembali Jumanji.

Tentu, para orang yang sudah tumbuh dengan Jumanji akan merasa ragu dengan apa yang dilakukan Sony Pictures. Banyak yang skeptis dengan bagaimana performa Jumanji : Welcome To The Jungle ini nantinya. Tetapi, Sony Pictures tetap percaya diri dengan performa Jumanji : Welcome To The Jungle. Dibintangi oleh banyak pemain terkenal seperti Dwayne Johnson, Kevin Hart, Karen Gillan, dan Jack Black, Jumanji : Welcome To The Jungle disutradarai oleh Jake Kasdan yang biasa menangani film komedi.

Jumanji : Welcome To The Jungleini rupanya tak digubah menjadi sebuah remake. Tetapi, film ini adalah sebuah kisah lanjutan yang diadaptasi lebih kekinian agar penonton baru pun bisa lebih relevan dengan apa yang ditampilkan. Adaptasinya pun mengubah permainan papan menjadi permainan konsol dengan cerita yang juga mengikuti perubahan tersebut. Secara cukup mengagetkan, Jumanji : Welcome To The Jungle memiliki performa yang pas untuk dapat dinikmati sebagai sebuah film yang sangat menghibur penontonnya.


Inilah kisah Jumanji : Welcome To The Jungle yang sedang menyasar sosok remaja sekolah menengah atas. 4 remaja yang sedang mendapatkan hukuman dan terjebak di satu ruangan untuk segera mereka bersihkan. Mereka adalah Spencer (Alex Wolff), Fridge (Ser’Darius Blain), Bethany (Madison Iseman), dan Martha (Morgan Turner). Di tengah mereka sedang membersihkan ruangan tersebut, mereka menemukan sebuah permainan konsol tua dan memutuskan untuk bermain dengan permainan tersebut.

Setelah memilih karakter permainan sesuai dengan yang mereka pilih, sesuatu aneh terjadi dengan diri mereka. Permainan tersebut menghisap keempat remaja tersebut dan masuk ke dalam dunia permainan yang datang dari antah berantah. Di sana, mereka menjadi sosok yang mereka pilih. Mereka tak bisa keluar dari permainan tersebut. Satu-satunya jalan keluar adalah dengan menyelesaikan permainan tersebut yang ternyata bukan sesuatu yang mudah.


Jumanji : Welcome To The Junglememiliki konsep cerita yang sama dengan film pendahulunya. Sehingga, secara cerita pun sebenarnya tak ada hal baru yang berusaha ditampilkan oleh film ini. Tetapi, Jumanji : Welcome To The Junglediberkahi dengan jajaran aktor dan aktris yang berhasil membuat 115 menit filmnya memiliki performa yang sangat menyenangkan. Keputusan pintar dari Jake Kasdan untuk tak terlalu lama menceritakan kisah awal mula dari Jumanji : Welcome to the Jungle ini.

Cerita latar belakang setiap karakter dan alasan-alasan kenapa mereka bisa terjebak ke dalam permainan ini bisa disampaikan dengan cara yang pas. Kesibukan lainnya yang perlu untuk diperhatikan adalah bagaimana keempat remaja yang terjebak dengan karakter pilihan mereka bisa keluar dari permainan tersebut. Jumanji : Welcome To The Junglepunya segala keseruan dalam ceritanya yang bisa diandalkan. Sehingga, penonton akan sangat dengan mudah terhibur dengan apa yang ditampilkan oleh Jake Kasdan.

Punya paket lengkap dalam amunisinya untuk menghibur penonton lewat petualangan yang seru di dunia Jumanjiyang baru. Segala petualangan tersebut pun bisa semakin dinikmati karena dalam naskahnya diinjeksi lagi dengan humor segar yang semakin membuat Jumanji : Welcome To The Jungle ini terlihat segar. Segala keseruan itu tak hadir begitu saja, hal ini tentu berkat performa dari Dwayne Johnson, Kevin Hart, Jack Black, dan Karen Gillan yang berhasil meyakinkan penontonnya bahwa mereka tetap empat remaja yang sedang terjebak dalam dunia permainan konsol.


Pun, pemain pendukung seperti Nick Jonas pun bisa bermain dengan sangat baik. Sehingga, kelima karakter dalam Jumanji : Welcome To The Jungle ini memiliki ikatan emosi yang sangat baik. Ini pula yang mengangkat setiap sekuens aksi dan petualangan dalam Jumanji : Welcome To The Jungle sehingga dalam perjalanannya film ini tak terasa hambar. Meskipun, ada beberapa minor yang membuat Jumanji : Welcome To The Jungle tak selalu bisa menjaga tensinya dengan kuat. Pun, humor yang ada di dalam film ini pun beberapa kali memudar.

Selain itu, ikon legendaris tentang permainan papan yang berubah jadi nyata ini pun tak lagi diulik lebih dalam lagi. Tak ada penghormatan lain tentang permainan papan Jumanji yang bisa membuat penontonnya yang tumbuh dengan film tersebut bisa merasakan rasa nostalgia. Menyaksikan Jumanji : Welcome To The Jungle pun hanya seperti menyaksikan film action pada umumnya meskipun sama-sama menggunakan nama besar Jumanji untuk filmnya dan ini cukup disayangkan sekali.


Tetapi, bagi yang tak terlalu mengenal Jumanji, tentu saja film terbaru dari Jake Kasdan ini adalah sebuah film yang akan menghibur Anda dengan sangat baik. Jake Kasdan sepertinya ingin membuat Jumanji : Welcome To The Junglesebagai sebuah film lanjutan yang bisa dinikmati secara universal tanpa perlu memikirkan sensasi nostalgia dengan beberapa easter eggs yang berlebihan. Cukup memberikan pengertian tentang seperti apa Jumanjipada zamannya. Ya, usahanya itu harus diakui cukup berhasil, tetapi sebagai film dengan nama besar Jumanji, film ini tak bisa mewarisi kelegendarisannya.

Senin, 15 Januari 2018

THE GREATEST SHOWMAN (2017) REVIEW : An Ordinary Musical Sequence

THE GREATEST SHOWMAN (2017) REVIEW : An Ordinary Musical Sequence


Di ujung tahun 2017, datanglah sebuah drama musikal yang diarahkan oleh Michael Gracey. The Greatest Showman, film musikal yang sudah bertahun-tahun mengalami pengembangan dalam banyak hal, akhirnya bisa tayang dan rilis juga di tahun 2017. Sebelum rilis, The Greatest Showman mendapatkan kesempatan untuk masuk ke dalam nominasi Best Comedy or Musical Motion Picture di Golden Globes 2017.

Banyak nama-nama besar yang ikut terlibat dalam film The Greatest Showman. Mulai dari Hugh Jackman, Michelle Williams, Zac Efron, hingga Zendaya dan nama-nama baru yang meramaikan film ini. Sehingga, film ini pun sudah memiliki antisipasi yang cukup besar dari calon penontonnya. Belum lagi, The Greatest Showman menggunakan duo musisi, Benj Pasek dan Justin Paul, yang sudah memenangkan banyak penghargaan lewat film La La Land tahun lalu.

Ini adalah debut awal Michael Gracey di kursi sutradara sebuah film besar. Michael Gracey pada awalnya bermain di ranah visual effects dan art departments dan di film debutnya kali ini dia berusaha menceritakan sebuah kisah nyata dari sosok P.T. Barnum. Meski begitu, Michael Gracey berusaha untuk membuat filmnya tak sekedar menjadi kisah seseorang semata. Melainkan, Michael Gracey berusaha membuat The Greatest Showman sebagai sebuah anthem untuk mereka yang terpinggirkan.


The Greatest Showman menceritakan sosok P.T. Barnum (Hugh Jackman), seorang anak dari pembuat sepatu yang hidup serba kekurangan. Kehidupannya yang serba kekurangan ini tak membuat Barnum mundur untuk mengejar siapa yang dicintai. Dialah Charity (Michelle Williams), perempuan yang sangat dicintai oleh Barnum meskipun orang tua Charity tak menyetujui hubungan mereka. Selepas menikah, mereka hidup jauh dari orang tua Charity.

Selama hidupnya, Barnum memiliki kesusahan secara finansial padahal dia harus membiayai kehidupan istri dan dua anaknya. Kehidupannya semakin susah ketika Barnum harus diberhentikan secara paksa di tempatnya bekerja karena bangkrut. Barnum bertekad untuk membeli sebuah museum patung lilin dengan sisa uang dan pinjaman dari bank. Sempat sepi, tetapi Barnum mengubah museum itu menjadi sebuah tempat pertunjukkan dan hiburan unik untuk semua orang.


The Greatest Showman memberikan sebuah sensasi menarik untuk mengikuti kisah perjuangan hidup seseorang. Menggunakan genre musikal dalam kemasannya untuk memberikan inovasi dalam menuturkan cerita yang berpotensi biasa saja ini menjadi sesuatu yang sangat berbeda dan segar.  Hal ini sangat efektif bagi The Greatest Showman yang memiliki tujuan tak hanya sebagai media hiburan, tetapi juga sebagai media menyebarkan semangat positivistik bagi setiap penontonnya.

Tak diragukan lagi, dengan rekam jejak Michael Gracey yang pernah berada di art departments membuat The Greatest Showman terlihat begitu mewah untuk ukuran film-film musikal yang ada. Set-set musikalnya dibuat begitu menghentak dan bisa membuat penonton berdecak kagum saat menontonnya. Segala musical sequence punya segala kedinamisannnya sehingga penonton bisa tahu alasan kenapa sosok P.T. Barnum adalah sosok yang sangat berpengaruh bagi semua orang yang ingin membuat sebuah pertunjukkan besar.

Belum lagi lagu-lagu gubahan Benj Pasek dan Justin Paul yang sangat ear-catchy. Sehingga, ketika penonton selesai menonton film ini, akan banyak beberapa lagu yang tetap terngiang di dalam pikirannya. Dengan begitu, perilaku yang timbul selanjutnya adalah penonton akan mencari setiap lagu yang ada di dalam The Greatest Showman. Lalu muncul sebuah efek domino bagi penontonnya yang terpukau dengan film dan berujung pada memberikan rekomendasi kepada orang lain.


Hanya saja, The Greatest Showman sebagai sebuah film musikal sebenarnya tidak memberikan sebuah pertunjukkan yang baru. Michael Gracey mampu membuat ilusi bagi penontonnya agar tak bisa melihat kekurangan pengarahannya lewat berbagai musical sequencenya. Itu pun sebenarnya segala keemosionalan The Greatest Showman hanya bertumpu dengan lagu-lagu gubahan dari Benj Pasek dan Justin Paul. Tanpa gubahan lagunya yang kuat, The Greatest Showman pun tak bisa tampil sekuat itu.

Dengan durasinya sepanjang 104 menit, banyak sekali cabang cerita dan sudut pandang yang harus dibebankan kepada film ini. Michael Gracey pun kesusahan memiliki kefokusan dalam pengarahan, sehingga The Greatest Showman hanya bisa bisa meraih permukaan setiap konfliknya. Ada banyak kisah yang berusaha disorot di dalam film ini. Hal ini sebenarnya bisa berpotensi bagi presentasi The Greatest Showman, hanya saja masih belum ada penanganan yang pas dari Michael Gracey untuk bisa memperdalam setiap konflik dan karakternya.

Pun, setelah tembang ‘This Is Me’ yang tampil begitu megah sekaligus menjadi anthem di dalam film ini, The Greatest Showman menunjukkan performanya yang melemah di 40 menit terakhir. Michael Gracey mungkin cukup bisa memberikan bridging karakter dan plot di satu jam pertama. Efeknya, Michael Gracey harus mulai kewalahan untuk menyelesaikan konfliknya yang ada di awal. Itu pun masih ada intensi dalam naskahnya untuk memberikan konflik tambahan lagi di 30 menit terakhir sehingga beban Michael Gracey pun harus semakin bertambah.


Segala kemegahan yang ada di awal film The Greatest Showman pun sayangnya tak bisa memiliki sebuah penutup yang bisa sama megahnya dengan apa yang sudah ada di awal. Adanya sebuah rendition yang jauh lebih kekinian di dalam setiap lagunya ini pula yang membuat beberapa musical sequencenya tak bisa kuat. Sehingga, The Greatest Showman pun tak bisa memiliki identitasnya dalam sebagai sebuah film musikal. Efek akhirnya, penonton mungkin akan bisa berkali-kali mendengarkan lagunya dan tak lagi merasakan atau bahkan tak mengenali kekuatan di dalam adegannya.

Sehingga, The Greatest Showman pun bisa saja hanya dinikmati sebagai sebuah album lepas tanpa harus disangkutpautkan dengan filmnya. Ini karena lagu gubahan Benj Pasek dan Justin Paul pun sudah sangat bisa diterima di telinga pendengarnya. Tetapi, The Greatest Showman perlu mendapatkan apresiasi dengan caranya berusaha memberikan inovasi dalam menceritakan kisah sosok nyata di dunia. Masih punya kekuatannya sebagai film yang menghibur, tetapi sebagai sebuah film akan gampang berlalu begitu saja.

Senin, 20 Februari 2017

ISTIRAHATLAH KATA-KATA (2017) REVIEW : Keterbatasan Interpretasi
Menimbulkan Perbedaan Persepsi

ISTIRAHATLAH KATA-KATA (2017) REVIEW : Keterbatasan Interpretasi Menimbulkan Perbedaan Persepsi


Film adalah sebuah medium untuk menyampaikan pesan. Hal ini dapat digunakan oleh banyak pihak untuk mencapai tujuan mereka masing-masing. Salah satunya adalah menggunakan film untuk menunjukkan suara-suara yang terpendam di tengah kebisingan suara masyarakat yang sama setiap harinya. Menunjukkan realita lain yang perlu diangkat dan ditunjukkan kepada banyak orang di tengah realita yang itu-itu saja.

Mungkin tujuan inilah yang berusaha ingin disampaikan oleh Yosep Anggi Noen saat ini. Menggunakan film sebagai medium menyuarakan pendapat, menyuarakan orang yang telah lama hilang untuk ‘dihidupkan kembali’. Lewat film terbarunya, ‘Istirahatlah Kata-Kata’, Yosep Anggi Noen ingin mengingatkan sosok penting di tengah era orde baru. Wiji Thukul, salah satu simbol perlawanan orde baru yang hilang saat membela hak asasinya.

Mengenalkan kepada banyak orang tentang Wiji Thukul –mungkin –adalah tujuan utama dari Yosep Anggi Noen. Lewat ‘Istirahatlah Kata-Kata’, Yosep Anggi Noen ingin menumbuhkan, setidaknya awareness terhadap sosok tersebut. Wiji Thukul tentu adalah sosok yang unik, menyuarakan pendapatnya adalah nafas baru bagi perfilman Indonesia dalam genre film biografi. Keunikan sosok Wiji Thukul pun diarahkan dengan pendekatan yang ‘unik’ pula oleh Yosep Anggi Noen. 


Yosep Anggi Noen memang tak memiliki rekam jejak film dengan pendekatan yang populer. Sehingga, keunikan dari sosok Wiji Thukul ini memang menjadi kekuatan sendiri bagi Yosep Anggi Noen dalam merangkai ‘Istirahatlah Kata-Kata’. Muncul banyak ketenangan yang digambarkan lewat adegan-adegan statis yang digadang sebagai sebuah puisi visual layaknya Wiji Thukul yang memiliki keterampilan menulis puisi.

Di saat sosok Wiji Thukul adalah satu titik balik penting dari pemerintahan Indonesia dan sosoknya yang dekat dengan masyarakat, pengarahan milik Yosep Anggi Noen tak sengaja memberi jarak antara karakter tersebut dengan penontonnya. Sosok yang perlu mendapat sorotan dan didekatkan kepada penontonnya ini terasa memiliki eksklusivitas. Hal itu tak hanya muncul lewat cara penyampaian dari Anggi Noen tetapi juga bagaimana dia menggambarkannya. 


Wiji Thukul (Gunawan Maryanto) adalah sosok pahlawan kata-kata yang sedang menjadi buronan di negaranya sendiri. Dia adalah salah satu orang yang melawan tatanan negara orde baru lewat puisi-puisi yang dibuatnya. Dia pun berkelana jauh, pergi dari pulau Jawa tempat tinggalnya ke pulau-pulau lain hanya untuk menyelamatkan dirinya agar tak tertangkap oleh polisi dan antek-antek orde baru lainnya.

Di tengah perjuangan Wiji Thukul menjauhkan diri dari para antek-antek orde baru yang berusaha menangkapnya, sisi lainnya Istri Wiji Thukul, Sipon (Marissa Anita) pun hidupnya ikut tak tenang. Sipon gelisah atas keadaan Wiji Thukul, juga gelisah karena hidupnya selalu diawasi oleh Polisi-polisi yang ingin menangkap Wiji Thukul. Sipon dipaksa untuk memberitahu di mana Wiji Thukul berada dan itu membuatnya tersiksa. 


Istirahatlah Kata-Katasebagai sebuah film harusnya memberikan informasi tentang sosok Wiji Thukul yang telah dibungkam berpuluh tahun lamanya. Tujuan Yosep Anggi Noen sebenernya  mulia untuk menghidupkan kembali suara-suara yang telah hilang. Lewat Istirahatlah Kata-Kata, Yosep Anggi Noen ‘menghidupkan lagi’ sosok Wiji Thukul yang memberikan dampak besar terhadap tatanan orde baru yang otoriter kala itu. Orang-orang perlu tahu siapa Wiji Thukul yang selama ini hanya diketahui oleh orang-orang tertentu.

Dalam menyampaikan informasi tersebut, ‘Istirahatlah Kata-Kata’ tak dapat menuntaskan misinya dengan baik. Sosok Wiji Thukul yang dikenal di segmentasi tertentu itu pun tak dapat dikenal secara universal. Hal itu, dikarenakan keunikan Yosep Anggi Noen dalam menuturkan ceritanya yang terkadang tak sepenuhnya berisikan informasi itu. Puisi yang dilantunkan Gunawan Maryanto sebagai pengiring adegan-adegannya itu belum bisa ditransalasikan dengan pintar. Ada kesempitan ruang bergerak dalam menyampaikan informasinya dikarenakan idealisme sang sutradara.

Wiji Thukul adalah simbol atas perlawanan tatanan orde baru yang otoriter. Lewat ‘Istirahatlah Kata-Kata’, sang sutradara berhasil mengingatkan kembali kepada banyak orang tentang hak asasi manusia yang dilanggar di orde baru. Tetapi, lagi-lagi Yosep Anggi Noen tak bisa mengembangkan idenya yang luar biasa dengan visualisasi yang pintar. Menggambarkan perlawanan dalam sebuah narasi film seharusnya tak melulu harus menggunakan kata-kata tak beretika seperti ‘tahi’ atau ‘asu’ yang dalam bahasa Indonesia berarti anjing. Juga, menggunakan atribut minuman keras sebagai simbol perlawanan itu. 

 
Dengan kata-kata yang tak sepantasnya diucapkan itu memang memberikan penekanan bahwa memang seperti inilah realita yang ada di masyarakat. Menunjukkan bagaimana masyarakat kelas bawah berinteraksi satu sama lain tanpa ada dramatisasi. Kesalahan itu malah membuat film ini tak memiliki elegansi dan menunjukkan bahwa sang sutradara tak terlalu berpandangan luas dalam memberikan interpretasi. Padahal, ada satu adegan dalam ‘Istirahatlah Kata-Kata’ yang memberikan satu penggambaran ironi yang pintar saat sedang bervisualisasi.

Terjadi pula alienasi yang terjadi antara sosok Wiji Thukul dan penonton yang seharusnya memiliki intimasi karena sosok ini seharusnya memiliki atribut yang setara dengan masyarakat biasa pada umumnya. Tetapi, penggunaan narasi berbahasa inggris di awal dan di akhir film membuat ‘Istirahatlah Kata-Kata’ memiliki jarak dengan penontonnya. Dan hal itu, berbanding terbalik dengan bagaimana dialog atau naskah di dalam film ini yang dibuat begitu kasar dengan dalih menunjukkan realita yang sebenarnya.

Pun, terjadi penggambaran yang malah salah tentang sosok Wiji Thukul di dalam ‘Istirahatlah Kata-Kata’ ini. Bagaimana Yosep Anggi Noen melakukan pendekatan yang unik ini dan tak begitu hati-hati memperhatikan informasi yang berusaha disampaikan, maka akan terjadi kesalahan persepsi. Penonton akan menanyakan apa yang telah dilakukan oleh Wiji Thukul? Apa yang membedakan Wiji Thukul dengan pemberontak lainnya? Lantas, apa yang membuat Wiji Thukul PERLUuntuk disuarakan kembali kepada masyarakat luas?  Hal itu tak begitu dapat terjawab hingga akhir film ini.


Istirahatlah Kata-Kata memang tak menunjukkan perjalanan sosok Wiji Thukul dengan linimasa waktu yang runtut. Poin yang berusaha digambarkan oleh Yosep Anggi Noen memang ketika Wiji Thukul sedang menyelamatkan nyawanya. Tetapi, lantas tak ada visual apapun yang menyokong betapa pentingnya Wiji Thukul untuk bersembunyi dari kejaran orde baru. Malah, setiap visualisasi dan atribut pemberontakan klise ini memberikan pandangan bahwa sosok ini tak memiliki urgensi apapun untuk dikenalkan kepada masyarakat luas dan ini adalah kesalahan. 

Sebagai sebuah tontonan alternatif, ‘Istirahatlah Kata-Kata’ memang dapat menjadi salah satu referensi. Di dalam film ini, ada keunikan yang biasa dilakukan oleh Yosep Anggi Noen di film-film sebelumnya, apalagi sosok yang berusaha diangkat oleh Yosep Anggi Noen di dalam film ini juga mewakili keunikannya dalam bertutur. Sayangnya, keunikan dalam bertutur tak begitu matang sehingga mempengaruhi performa ‘Istirahatlah Kata-Kata’ sebagai film utuh. Kurangnya penuturan yang hati-hati oleh Yosep Anggi Noen menyebabkan beberapa bagian malah menimbulkan kesalahan persepsi. Begitu pula, menunjukkan bahwa Yosep Anggi Noen memiliki keterbatasan dalam berinterpretasi.