Tampilkan postingan dengan label Istirahatlah Kata-Kata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Istirahatlah Kata-Kata. Tampilkan semua postingan

Senin, 20 Februari 2017

ISTIRAHATLAH KATA-KATA (2017) REVIEW : Keterbatasan Interpretasi
Menimbulkan Perbedaan Persepsi

ISTIRAHATLAH KATA-KATA (2017) REVIEW : Keterbatasan Interpretasi Menimbulkan Perbedaan Persepsi


Film adalah sebuah medium untuk menyampaikan pesan. Hal ini dapat digunakan oleh banyak pihak untuk mencapai tujuan mereka masing-masing. Salah satunya adalah menggunakan film untuk menunjukkan suara-suara yang terpendam di tengah kebisingan suara masyarakat yang sama setiap harinya. Menunjukkan realita lain yang perlu diangkat dan ditunjukkan kepada banyak orang di tengah realita yang itu-itu saja.

Mungkin tujuan inilah yang berusaha ingin disampaikan oleh Yosep Anggi Noen saat ini. Menggunakan film sebagai medium menyuarakan pendapat, menyuarakan orang yang telah lama hilang untuk ‘dihidupkan kembali’. Lewat film terbarunya, ‘Istirahatlah Kata-Kata’, Yosep Anggi Noen ingin mengingatkan sosok penting di tengah era orde baru. Wiji Thukul, salah satu simbol perlawanan orde baru yang hilang saat membela hak asasinya.

Mengenalkan kepada banyak orang tentang Wiji Thukul –mungkin –adalah tujuan utama dari Yosep Anggi Noen. Lewat ‘Istirahatlah Kata-Kata’, Yosep Anggi Noen ingin menumbuhkan, setidaknya awareness terhadap sosok tersebut. Wiji Thukul tentu adalah sosok yang unik, menyuarakan pendapatnya adalah nafas baru bagi perfilman Indonesia dalam genre film biografi. Keunikan sosok Wiji Thukul pun diarahkan dengan pendekatan yang ‘unik’ pula oleh Yosep Anggi Noen. 


Yosep Anggi Noen memang tak memiliki rekam jejak film dengan pendekatan yang populer. Sehingga, keunikan dari sosok Wiji Thukul ini memang menjadi kekuatan sendiri bagi Yosep Anggi Noen dalam merangkai ‘Istirahatlah Kata-Kata’. Muncul banyak ketenangan yang digambarkan lewat adegan-adegan statis yang digadang sebagai sebuah puisi visual layaknya Wiji Thukul yang memiliki keterampilan menulis puisi.

Di saat sosok Wiji Thukul adalah satu titik balik penting dari pemerintahan Indonesia dan sosoknya yang dekat dengan masyarakat, pengarahan milik Yosep Anggi Noen tak sengaja memberi jarak antara karakter tersebut dengan penontonnya. Sosok yang perlu mendapat sorotan dan didekatkan kepada penontonnya ini terasa memiliki eksklusivitas. Hal itu tak hanya muncul lewat cara penyampaian dari Anggi Noen tetapi juga bagaimana dia menggambarkannya. 


Wiji Thukul (Gunawan Maryanto) adalah sosok pahlawan kata-kata yang sedang menjadi buronan di negaranya sendiri. Dia adalah salah satu orang yang melawan tatanan negara orde baru lewat puisi-puisi yang dibuatnya. Dia pun berkelana jauh, pergi dari pulau Jawa tempat tinggalnya ke pulau-pulau lain hanya untuk menyelamatkan dirinya agar tak tertangkap oleh polisi dan antek-antek orde baru lainnya.

Di tengah perjuangan Wiji Thukul menjauhkan diri dari para antek-antek orde baru yang berusaha menangkapnya, sisi lainnya Istri Wiji Thukul, Sipon (Marissa Anita) pun hidupnya ikut tak tenang. Sipon gelisah atas keadaan Wiji Thukul, juga gelisah karena hidupnya selalu diawasi oleh Polisi-polisi yang ingin menangkap Wiji Thukul. Sipon dipaksa untuk memberitahu di mana Wiji Thukul berada dan itu membuatnya tersiksa. 


Istirahatlah Kata-Katasebagai sebuah film harusnya memberikan informasi tentang sosok Wiji Thukul yang telah dibungkam berpuluh tahun lamanya. Tujuan Yosep Anggi Noen sebenernya  mulia untuk menghidupkan kembali suara-suara yang telah hilang. Lewat Istirahatlah Kata-Kata, Yosep Anggi Noen ‘menghidupkan lagi’ sosok Wiji Thukul yang memberikan dampak besar terhadap tatanan orde baru yang otoriter kala itu. Orang-orang perlu tahu siapa Wiji Thukul yang selama ini hanya diketahui oleh orang-orang tertentu.

Dalam menyampaikan informasi tersebut, ‘Istirahatlah Kata-Kata’ tak dapat menuntaskan misinya dengan baik. Sosok Wiji Thukul yang dikenal di segmentasi tertentu itu pun tak dapat dikenal secara universal. Hal itu, dikarenakan keunikan Yosep Anggi Noen dalam menuturkan ceritanya yang terkadang tak sepenuhnya berisikan informasi itu. Puisi yang dilantunkan Gunawan Maryanto sebagai pengiring adegan-adegannya itu belum bisa ditransalasikan dengan pintar. Ada kesempitan ruang bergerak dalam menyampaikan informasinya dikarenakan idealisme sang sutradara.

Wiji Thukul adalah simbol atas perlawanan tatanan orde baru yang otoriter. Lewat ‘Istirahatlah Kata-Kata’, sang sutradara berhasil mengingatkan kembali kepada banyak orang tentang hak asasi manusia yang dilanggar di orde baru. Tetapi, lagi-lagi Yosep Anggi Noen tak bisa mengembangkan idenya yang luar biasa dengan visualisasi yang pintar. Menggambarkan perlawanan dalam sebuah narasi film seharusnya tak melulu harus menggunakan kata-kata tak beretika seperti ‘tahi’ atau ‘asu’ yang dalam bahasa Indonesia berarti anjing. Juga, menggunakan atribut minuman keras sebagai simbol perlawanan itu. 

 
Dengan kata-kata yang tak sepantasnya diucapkan itu memang memberikan penekanan bahwa memang seperti inilah realita yang ada di masyarakat. Menunjukkan bagaimana masyarakat kelas bawah berinteraksi satu sama lain tanpa ada dramatisasi. Kesalahan itu malah membuat film ini tak memiliki elegansi dan menunjukkan bahwa sang sutradara tak terlalu berpandangan luas dalam memberikan interpretasi. Padahal, ada satu adegan dalam ‘Istirahatlah Kata-Kata’ yang memberikan satu penggambaran ironi yang pintar saat sedang bervisualisasi.

Terjadi pula alienasi yang terjadi antara sosok Wiji Thukul dan penonton yang seharusnya memiliki intimasi karena sosok ini seharusnya memiliki atribut yang setara dengan masyarakat biasa pada umumnya. Tetapi, penggunaan narasi berbahasa inggris di awal dan di akhir film membuat ‘Istirahatlah Kata-Kata’ memiliki jarak dengan penontonnya. Dan hal itu, berbanding terbalik dengan bagaimana dialog atau naskah di dalam film ini yang dibuat begitu kasar dengan dalih menunjukkan realita yang sebenarnya.

Pun, terjadi penggambaran yang malah salah tentang sosok Wiji Thukul di dalam ‘Istirahatlah Kata-Kata’ ini. Bagaimana Yosep Anggi Noen melakukan pendekatan yang unik ini dan tak begitu hati-hati memperhatikan informasi yang berusaha disampaikan, maka akan terjadi kesalahan persepsi. Penonton akan menanyakan apa yang telah dilakukan oleh Wiji Thukul? Apa yang membedakan Wiji Thukul dengan pemberontak lainnya? Lantas, apa yang membuat Wiji Thukul PERLUuntuk disuarakan kembali kepada masyarakat luas?  Hal itu tak begitu dapat terjawab hingga akhir film ini.


Istirahatlah Kata-Kata memang tak menunjukkan perjalanan sosok Wiji Thukul dengan linimasa waktu yang runtut. Poin yang berusaha digambarkan oleh Yosep Anggi Noen memang ketika Wiji Thukul sedang menyelamatkan nyawanya. Tetapi, lantas tak ada visual apapun yang menyokong betapa pentingnya Wiji Thukul untuk bersembunyi dari kejaran orde baru. Malah, setiap visualisasi dan atribut pemberontakan klise ini memberikan pandangan bahwa sosok ini tak memiliki urgensi apapun untuk dikenalkan kepada masyarakat luas dan ini adalah kesalahan. 

Sebagai sebuah tontonan alternatif, ‘Istirahatlah Kata-Kata’ memang dapat menjadi salah satu referensi. Di dalam film ini, ada keunikan yang biasa dilakukan oleh Yosep Anggi Noen di film-film sebelumnya, apalagi sosok yang berusaha diangkat oleh Yosep Anggi Noen di dalam film ini juga mewakili keunikannya dalam bertutur. Sayangnya, keunikan dalam bertutur tak begitu matang sehingga mempengaruhi performa ‘Istirahatlah Kata-Kata’ sebagai film utuh. Kurangnya penuturan yang hati-hati oleh Yosep Anggi Noen menyebabkan beberapa bagian malah menimbulkan kesalahan persepsi. Begitu pula, menunjukkan bahwa Yosep Anggi Noen memiliki keterbatasan dalam berinterpretasi. 

Jumat, 20 Januari 2017

REVIEW : ISTIRAHATLAH KATA-KATA

REVIEW : ISTIRAHATLAH KATA-KATA


“Ternyata, jadi buron itu jauh lebih menakutkan daripada menghadapi sekompi kacang ijo bersenapan lengkap yang membubarkan demonstrasi.” 

Wiji Thukul, atau bernama asli Widji Widodo, dikenal sebagai penyair yang kerap melontarkan perlawanan terhadap rezim diktatorial Orde Baru melalui bait-bait sajaknya yang tanpa tedeng aling-aling nan beringas. Terlibat sangat aktif dalam beragam organisasi yang vokal menyuarakan pemberontakan terhadap penguasa lalim, tak pelak menyeret Wiji untuk terus menerus berurusan dengan aparat keamanan. Bahkan, namanya tercatut dalam daftar aktivis yang dianggap bertanggungjawab atas meletusnya Kerusuhan 27 Juli 1996 lantaran sang penyair tergabung di Partai Rakyat Demokratik (PRD). Demi menghindari cengkraman aparat, Widji pun terpaksa meninggalkan keluarga beserta kediamannya di Solo dan berpindah-pindah tempat persembunyian dari satu daerah ke daerah lain dengan sesekali memperbaharui identitas palsunya. Pelariannya tersebut turut membawa Wiji ke Pontianak dimana dia mendiami kota ini selama delapan bulan lamanya dan kepingan kisah pelariannya di kota ini lantas didokumentasikan oleh Yosep Anggi Noen melalui film panjang keduanya bertajuk Istirahatlah Kata-Kata

Mengusung subjek nyata yang mempunyai kontribusi nyata atas peralihan peta politik dengan tergulingnya rezim Soeharto meski berdampak pada keberadaannya yang tak jelas rimbanya sampai sekarang, sang sutradara tidak memilih untuk menggiring Istirahatlah Kata-Kata (atau Solo, Solitude dalam judul internasional) ke ranah film biopik sarat akan glorifikasi dan memposisikan Wiji Thukul (Gunawan Maryanto) bak pahlawan. Tidak. Sebaliknya, ini hanyalah film drama kemanusiaan dengan ruang lingkup kecil yang mempergunakan sosok Wiji semacam studi kasus untuk menunjukkan bahwa para penduduk negeri ini pernah berada dalam satu masa terbungkam rapat-rapat hak mereka dalam menyuarakan pendapat. Lantaran ingin pula menunjukkan bahwasanya Wiji Thukul bukanlah sosok agung atau dalam artian, tidak berbeda dengan masyarakat kelas bawah kebanyakan – hanya bedanya dia mempunyai kemampuan mumpuni dalam mengolah kata menjadi penuh rasa dan makna – yang juga dihantui oleh rasa takut diuber aparat, itulah mengapa Yosep Anggi Noen sekadar mencuplik fase tertentu dalam hidup Wiji Thukul yang dianggapnya cukup merepresentasikan keinginannya dalam menggambarkan Wiji sekaligus mempunyai impak terhadap keputusan besar sang subjek. 

Fase terpilih adalah ketika Wiji menjejakkan kaki di Pontianak. Secara berkala dia berpindah hunian kepunyaan orang-orang yang berbeda, seperti rumah dari seorang dosen bernama Thomas (Dhafi Yunan) dan aktivis asal Medan, Martin (Eduwart Boang Manalu), yang tinggal bersama istrinya, Ida (Melanie Subono). Disamping soroti hari-hari penuh kesunyian mencekam yang dilalui oleh Wiji, Istirahatlah Kata-Kata juga memberi kesempatan bagi penonton untuk melongok sekejap ke situasi di kampung halaman Wiji. Rumahnya mendapat pengawasan ketat dari intel, bahkan istrinya, Sipon (Marissa Anita) dan anaknya sempat pula diinterogasi guna memperoleh petunjuk mengenai keberadaan Wiji. Tapi Anggi – begitu sapaan akrab sang sutradara merangkap penulis naskah – tidak pernah lebih jauh dari itu. Dia memang enggan menelanjangi masa lalu maupun masa depan penuh tanda tanya dari si tokoh utama, penyampaian informasi mengenai situasi politik yang menyelubungi film pun sebatas didapat melalui narasi teks di awal dan akhir serta siaran berita di radio. Perhatian utama dari Istirahatlah Kata-Kata adalah bagaimana sesosok wong cilik terpaksa terkorbankan kebebasannya karena keberaniannya menggugat sikap-sikap keliru pemerintah. Dalam cakupan lebih luas, ini adalah potret masyarakat kelas bawah yang tertindas.

Dalam memvisualisasikan keseharian Wiji, atau saat sesekali diajak menengok Sipon, Anggi memilih untuk lebih sering mengistirahatkan kata-kata dan membiarkan gambar-gambar indahnya berbicara dengan sendirinya. Kadangkala terdengar iringan musik maupun suara lirih nan menyayat-nyayat hati dari Gunawan Maryanto yang mengumandangkan sajak-sajak Wiji Thukul, namun lebih sering kesunyian yang menghinggapi. Bukan kesunyian menenangkan, melainkan kesunyian menggelisahkan yang didalamnya sarat akan misteri. Andaikata aparat mengetahui posisi persembunyian Wiji, bukankah mereka akan melakukan penyergapan dalam diam ketimbang penuh kegaduhan yang justru menyadarkan si buron mengenai keberadaan mereka? Dihantui oleh paranoia semacam ini, Wiji pun kesulitan memejamkan mata di malam hari karena kesunyian bukan juga pertanda bagus baginya. Kesunyian bisa berarti memang “tidak ada apa-apa” atau justru “ada apa-apa tapi terselubung”. Dikomando oleh performa jempolan Gunawan Maryanto yang air muka dan gesturnya senantiasa menyiratkan rasa gusar, ketidaknyamanan pun mengusik penonton habis-habisan dalam beberapa titik. Jangan-jangan, sebetulnya ada intel tengah mengawasi gerak-gerik Wiji kala dia makan, membuat rencana pelarian, menciptakan puisi-puisi baru, atau sedang tidur... 

Itu baru gangguan secara implisit. Istirahatlah Kata-Kata juga sempat menggedor jantung secara nyata ketika Wiji dan Thomas berpapasan dengan tentara gadungan yang mengulik identitasnya atau saat seorang tentara betulan melibatkannya dalam obrolan basa-basi agak-agak nyerempet bahaya di sebuah tempat cukur. Tak terelakkan, keringat dingin sempat mengucur deras. Ikut merasakan kecemasan maksimal yang menggelayuti Wiji. Bagaimana jika salah satu dari perjumpaan ini merupakan alasan berakhirnya pelariannya? Nuansa cekam yang menghiasi Istirahatlah Kata-Kata di paruh awal, sedikit demi sedikit tersisihkan menyusul tumbuh laginya keberanian yang sempat menyusut pada diri Wiji dan kerinduan tak tertahankan terhadap Sipon. Anggi mulai menyusupinya dengan candaan-candaan seperti tampak dalam obrolan warung kopi di bibir sungai Kapuas lalu sentilannya pada 'keusilan' PLN, dan menginjeksikan sisi manis namun getir melalui perjumpaan kembali Wiji dengan Sipon yang setapak demi setapak berkembang lebih dramatis hingga sampai pada klimaks menghantam emosi yang bukan semata tonjolkan lakonan bagus dari Gunawan Maryanto tetapi juga hebatnya penampilan Marissa Anita. Pada akhirnya, tanpa harus banyak berkata-kata, hanya dalam kesunyiannya, Istirahatlah Kata-Kata mampu pancarkan rasa cekam dan goreskan rasa pilu yang cukup dalam.

Outstanding (4/5)