“Ternyata, jadi buron itu jauh lebih menakutkan daripada menghadapi sekompi kacang ijo bersenapan lengkap yang membubarkan demonstrasi.”
Wiji Thukul, atau bernama asli Widji Widodo, dikenal sebagai penyair yang kerap melontarkan perlawanan terhadap rezim diktatorial Orde Baru melalui bait-bait sajaknya yang tanpa tedeng aling-aling nan beringas. Terlibat sangat aktif dalam beragam organisasi yang vokal menyuarakan pemberontakan terhadap penguasa lalim, tak pelak menyeret Wiji untuk terus menerus berurusan dengan aparat keamanan. Bahkan, namanya tercatut dalam daftar aktivis yang dianggap bertanggungjawab atas meletusnya Kerusuhan 27 Juli 1996 lantaran sang penyair tergabung di Partai Rakyat Demokratik (PRD). Demi menghindari cengkraman aparat, Widji pun terpaksa meninggalkan keluarga beserta kediamannya di Solo dan berpindah-pindah tempat persembunyian dari satu daerah ke daerah lain dengan sesekali memperbaharui identitas palsunya. Pelariannya tersebut turut membawa Wiji ke Pontianak dimana dia mendiami kota ini selama delapan bulan lamanya dan kepingan kisah pelariannya di kota ini lantas didokumentasikan oleh Yosep Anggi Noen melalui film panjang keduanya bertajuk Istirahatlah Kata-Kata.
Mengusung subjek nyata yang mempunyai kontribusi nyata atas peralihan peta politik dengan tergulingnya rezim Soeharto meski berdampak pada keberadaannya yang tak jelas rimbanya sampai sekarang, sang sutradara tidak memilih untuk menggiring Istirahatlah Kata-Kata (atau Solo, Solitude dalam judul internasional) ke ranah film biopik sarat akan glorifikasi dan memposisikan Wiji Thukul (Gunawan Maryanto) bak pahlawan. Tidak. Sebaliknya, ini hanyalah film drama kemanusiaan dengan ruang lingkup kecil yang mempergunakan sosok Wiji semacam studi kasus untuk menunjukkan bahwa para penduduk negeri ini pernah berada dalam satu masa terbungkam rapat-rapat hak mereka dalam menyuarakan pendapat. Lantaran ingin pula menunjukkan bahwasanya Wiji Thukul bukanlah sosok agung atau dalam artian, tidak berbeda dengan masyarakat kelas bawah kebanyakan – hanya bedanya dia mempunyai kemampuan mumpuni dalam mengolah kata menjadi penuh rasa dan makna – yang juga dihantui oleh rasa takut diuber aparat, itulah mengapa Yosep Anggi Noen sekadar mencuplik fase tertentu dalam hidup Wiji Thukul yang dianggapnya cukup merepresentasikan keinginannya dalam menggambarkan Wiji sekaligus mempunyai impak terhadap keputusan besar sang subjek.
Fase terpilih adalah ketika Wiji menjejakkan kaki di Pontianak. Secara berkala dia berpindah hunian kepunyaan orang-orang yang berbeda, seperti rumah dari seorang dosen bernama Thomas (Dhafi Yunan) dan aktivis asal Medan, Martin (Eduwart Boang Manalu), yang tinggal bersama istrinya, Ida (Melanie Subono). Disamping soroti hari-hari penuh kesunyian mencekam yang dilalui oleh Wiji, Istirahatlah Kata-Kata juga memberi kesempatan bagi penonton untuk melongok sekejap ke situasi di kampung halaman Wiji. Rumahnya mendapat pengawasan ketat dari intel, bahkan istrinya, Sipon (Marissa Anita) dan anaknya sempat pula diinterogasi guna memperoleh petunjuk mengenai keberadaan Wiji. Tapi Anggi – begitu sapaan akrab sang sutradara merangkap penulis naskah – tidak pernah lebih jauh dari itu. Dia memang enggan menelanjangi masa lalu maupun masa depan penuh tanda tanya dari si tokoh utama, penyampaian informasi mengenai situasi politik yang menyelubungi film pun sebatas didapat melalui narasi teks di awal dan akhir serta siaran berita di radio. Perhatian utama dari Istirahatlah Kata-Kata adalah bagaimana sesosok wong cilik terpaksa terkorbankan kebebasannya karena keberaniannya menggugat sikap-sikap keliru pemerintah. Dalam cakupan lebih luas, ini adalah potret masyarakat kelas bawah yang tertindas.
Dalam memvisualisasikan keseharian Wiji, atau saat sesekali diajak menengok Sipon, Anggi memilih untuk lebih sering mengistirahatkan kata-kata dan membiarkan gambar-gambar indahnya berbicara dengan sendirinya. Kadangkala terdengar iringan musik maupun suara lirih nan menyayat-nyayat hati dari Gunawan Maryanto yang mengumandangkan sajak-sajak Wiji Thukul, namun lebih sering kesunyian yang menghinggapi. Bukan kesunyian menenangkan, melainkan kesunyian menggelisahkan yang didalamnya sarat akan misteri. Andaikata aparat mengetahui posisi persembunyian Wiji, bukankah mereka akan melakukan penyergapan dalam diam ketimbang penuh kegaduhan yang justru menyadarkan si buron mengenai keberadaan mereka? Dihantui oleh paranoia semacam ini, Wiji pun kesulitan memejamkan mata di malam hari karena kesunyian bukan juga pertanda bagus baginya. Kesunyian bisa berarti memang “tidak ada apa-apa” atau justru “ada apa-apa tapi terselubung”. Dikomando oleh performa jempolan Gunawan Maryanto yang air muka dan gesturnya senantiasa menyiratkan rasa gusar, ketidaknyamanan pun mengusik penonton habis-habisan dalam beberapa titik. Jangan-jangan, sebetulnya ada intel tengah mengawasi gerak-gerik Wiji kala dia makan, membuat rencana pelarian, menciptakan puisi-puisi baru, atau sedang tidur...
Itu baru gangguan secara implisit. Istirahatlah Kata-Kata juga sempat menggedor jantung secara nyata ketika Wiji dan Thomas berpapasan dengan tentara gadungan yang mengulik identitasnya atau saat seorang tentara betulan melibatkannya dalam obrolan basa-basi agak-agak nyerempet bahaya di sebuah tempat cukur. Tak terelakkan, keringat dingin sempat mengucur deras. Ikut merasakan kecemasan maksimal yang menggelayuti Wiji. Bagaimana jika salah satu dari perjumpaan ini merupakan alasan berakhirnya pelariannya? Nuansa cekam yang menghiasi Istirahatlah Kata-Kata di paruh awal, sedikit demi sedikit tersisihkan menyusul tumbuh laginya keberanian yang sempat menyusut pada diri Wiji dan kerinduan tak tertahankan terhadap Sipon. Anggi mulai menyusupinya dengan candaan-candaan seperti tampak dalam obrolan warung kopi di bibir sungai Kapuas lalu sentilannya pada 'keusilan' PLN, dan menginjeksikan sisi manis namun getir melalui perjumpaan kembali Wiji dengan Sipon yang setapak demi setapak berkembang lebih dramatis hingga sampai pada klimaks menghantam emosi yang bukan semata tonjolkan lakonan bagus dari Gunawan Maryanto tetapi juga hebatnya penampilan Marissa Anita. Pada akhirnya, tanpa harus banyak berkata-kata, hanya dalam kesunyiannya, Istirahatlah Kata-Kata mampu pancarkan rasa cekam dan goreskan rasa pilu yang cukup dalam.
Outstanding (4/5)
REVIEW : ISTIRAHATLAH KATA-KATA
4/
5
By
Mimin