Tampilkan postingan dengan label Ika Natassa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ika Natassa. Tampilkan semua postingan

Minggu, 14 Mei 2017

REVIEW : CRITICAL ELEVEN

REVIEW : CRITICAL ELEVEN


“I’ve burned my bridges. There’s no turning back. There’s only going forward, with you.” 

Apabila kamu rajin berselancar di dunia maya, komentar yang-kini-telah-amat-sangat-menjemukan untuk didengar, “Reza Rahadian lagi, Reza Rahadian lagi,” rasa-rasanya kerap dijumpai. Entah kamu menggemari Reza Rahadian atau justru tergabung dengan para netizen yang memandangnya sinis, sulit untuk menampik bahwa aktor penggenggam empat Piala Citra dari kategori akting ini merupakan salah satu pelakon terbaik yang dimiliki oleh perfilman Indonesia. Dia senantiasa memberi effort lebih untuk peran-peran yang dimainkannya sekalipun sebatas peran kecil atau malah sekadar numpang lewat. Energi positif yang dibawa Reza pun umumnya turut menular ke film maupun lawan mainnya sehingga tidak mengherankan namanya menjadi komoditi panas di kalangan para produser. Tiga lawan main yang ‘naik kelas’ seusai dipasangkan dengannya antara lain Bunga Citra Lestari, Acha Septriasa, serta Adinia Wirasti. Bersama nama terakhir, Reza telah tiga kali tandem. Uji coba pertama di film omnibus Jakarta Maghrib (segmen “Jalan Pintas”) dilalui dengan mulus yang membawa keduanya dipertemukan sekali lagi di Kapan Kawin?. Chemistry kuat nan memancar diantara duo Reza-Adinia dalam film komedi romantis tersebut membuat mereka lantas dipercaya untuk menghidupkan karakter bernama Ale dan Anya dalam gelaran romansa dewasa yang diekranisasi dari novel metropop laris manis rekaan Ika Natassa, Critical Eleven. Sebuah peran yang kian menguatkan pernyataan bahwa Reza dan Adinia adalah dua pelakon jempolan di tanah air saat ini.  

Istilah Critical Eleven berasal dari dunia penerbangan yang mempunyai makna 11 menit paling menentukan keselamatan penumpang yang terbagi pada 3 menit selepas take off dan 8 menit jelang landing. Istilah ini dialegorikan oleh film produksi kolaborasi Starvision dan Legacy Pictures ke pertemuan dua insan manusia, Anya (Adinia Wirasti) dan Ale (Reza Rahadian). Terlampau sibuk dengan pekerjaan masing-masing; Anya adalah seorang konsultan manajemen yang pekerjaannya menuntut dia kerap bepergian, sementara Ale adalah operation engineer di perusahaan kilang minyak, membuat keduanya tidak memiliki waktu untuk memikirkan urusan asmara. Tapi yang namanya jodoh, hanya Tuhan yang tahu. Takdir mempertemukan Anya dengan Ale dalam penerbangan menuju Sydney. Tiga menit pertama memberi kesan manis bagi keduanya, dan delapan menit terakhir menggugah mereka untuk membawa pertemuan singkat ini ke hubungan lebih serius. Selepas kembali ke Indonesia, Anya dan Ale meresmikan hubungan mereka dalam ikatan pernikahan. Pasangan muda ini lantas memutuskan hijrah ke New York demi mengikuti pekerjaan Ale. Selayaknya kebanyakan pengantin baru di bulan-bulan pertama pernikahan, Anya dan Ale pun dilingkupi kebahagiaan meluap seolah-olah dunia hanya milik berdua. Namun sejalan dengan berlalunya waktu, terlebih setelah Ale kembali ke kilang minyak dan Anya dinyatakan berbadan dua, percikan-percikan konflik mulai mengemuka yang perlahan tapi pasti kian mengganas dan pada akhirnya mengancam keutuhan rumah tangga mereka. 

Dalam menggelar kisah kasih Ale dan Anya, dua sutradara Monty Tiwa beserta Robert Ronny membaginya menjadi tiga babak yang masing-masing merepresentasikan tema utama dari Critical Eleven; cinta, duka, dan penerimaan. Melalui ‘cinta’ yang mengisi sepertiga awal durasi, si pembuat film mengajak penonton berkenalan dengan tokoh-tokoh krusial seraya mengetengahkan penceritaan pada bermekarannya bunga-bunga asmara dua karakter utama yang sebelumnya terus menguncup. Mengingat fokusnya, fase ini pun didominasi oleh rasa manis seiring tingginya intensitas kebersamaan antara Ale dengan Anya. Inilah tahapan dimana pernikahan masih manis-manisnya. Fase ini penting agar penonton dapat mengenal, lalu membentuk ikatan, dan kemudian bersorak pada dua protagonis utama karena salah satu kunci kesuksesan dari suatu film romansa adalah seberapa jauh penonton menginvestasikan emosinya terhadap perjuangan para protagonis untuk memenangkan cinta. Beruntung bagi Critical Eleven, disamping mempunyai bangunan karakter memikat; Anya mewakili perempuan mandiri dan Ale adalah gambaran pria pekerja keras yang romantis, ada pula chemistry intim dari dua pelakon utama yang menguarkan kesan kuat keduanya adalah suami istri betulan sehingga mudah bagi penonton untuk terjerat baik kepada Anya maupun Ale. Seperti tengah mendengar dongeng percintaan dari teman atau tetangga yang kita idolakan. Munculnya ketertarikan guna mengetahui kelanjutan kisah kasih Anya dengan Ale ini menandakan bahwa Critical Eleven telah lepas landas secara mulus.


Nada penceritaan film yang mula-mula cerah ceria ini pelan-pelan bertransformasi menjadi kelabu begitu memasuki fase ‘duka’. Seperti halnya perjalanan udara yang sewaktu-waktu menjumpai turbulensi, kehidupan pernikahan pun tak akan terbebas dari guncangan. Seberapa besar impak yang diberikannya – dapat terus melaju atau justru terjun bebas – bergantung kepada penanganan dua pilot rumah tangga. Anya dan Ale dihadapkan pada tragedi besar di usia pernikahan yang terbilang masih dini. Tentu saja, keduanya mengalami keterkejutan amat besar. Yang lantas amat disayangkan, keduanya memilih menyikapi duka tersebut dengan caranya masing-masing alih-alih saling menguatkan yang justru merenggangkan hubungan mereka. Dari sinilah, momen-momen emosional dalam Critical Eleven mulai menguat. Adegan di rumah sakit yang memperlihatkan Anya merajuk minta pulang di pelukan Ale, dan adegan kelanjutannya yang sebaiknya tidak diungkapkan dalam ulasan ini, sungguh merobek hati. Bisa dikatakan, ini adalah salah satu momen paling emosional yang pernah ada di film Indonesia. Kedekatan dengan karakter yang telah kita bentuk di fase sebelumnya, menunjukkan hasilnya di fase ini. Kita menaruh empati terhadap problematika yang mendadak menyergap kehidupan pernikahan pasutri ini. Berharap-harap cemas – terlebih jika kamu belum pernah membaca materi sumbernya – mengenai apa yang selanjutnya memasuki kehidupan mereka. Satu tanya mengemuka, akankah kebahagiaan seperti di awal mula dapat kembali dirasakan oleh Anya dan Ale? 

Tanya ini bukannya tanpa alasan. Penonton dapat merasakan perubahan atmosfer dalam chemistry Adinia Wirasti dengan Reza Rahadian semenjak konflik besar memasuki arena penceritaan. Kehangatan telah tiada, tergantikan oleh rasa dingin. Mereka sanggup ciptakan kecanggungan mengusik ketenangan ketika Anya dan Ale berada di satu ruangan, seperti saat mereka makan malam bersama. So close yet so far. Pertanda api asmara di kehidupan pernikahan mereka telah meredup dengan sangat cepat. Emosi penonton terus dihajar habis-habisan sampai kemudian Critical Eleven memasuki tahapan ‘penerimaan’ yang diharapkan mampu memberikan solusi memuaskan terhadap dinginnya hubungan Anya dengan Ale. Monty dan Robert turut menghembuskan kehangatan di titik ini kala kedua orang tua Ale yang dimainkan secara mengesankan oleh Slamet Rahardjo dan Widyawati akhirnya memilih untuk turun tangan. Fase ini mempersilahkan penonton dewasa untuk berkontemplasi mengenai makna dari suatu hubungan sekaligus mempersembahkan satu momen emas ketika ibu Ale berbincang empat mata bersama Anya. Apabila kamu pernah merasakan kehilangan dan merasakan telah menemukan keluarga baru yang menerimamu dengan tangan terbuka, obrolan yang melibatkan dua aktris terbaik berbeda generasi ini akan membuat hatimu berdesir lalu tanpa tersadar meneteskan air mata. Ya, bahkan sampai jelang pendaratan, Critical Eleven masih berhasil menyentuh hati-hati yang sensitif. Inilah sebuah balada tentang cinta, duka, serta penerimaan yang dikemas manis, hangat, sekaligus emosional dengan tunjangan performa sangat apik dari dua pelakon utamanya. Ciamik!

Outstanding (4/5)


Sabtu, 13 Mei 2017

CRITICAL ELEVEN (2017) REVIEW : Mempercayai Sebuah Cinta Dengan Segala
Turbulensinya

CRITICAL ELEVEN (2017) REVIEW : Mempercayai Sebuah Cinta Dengan Segala Turbulensinya


Dari sekian banyak film-film dengan genre drama romantis di perfilman Indonesia, hanya ada beberapa film yang diproduksi dengan baik. Tak hanya dari segi teknis, tetapi juga dari sisi pengarahan film yang tak terlalu digarap serius. Menciptakan nuansa penuh akan cinta di sebuah film tak akan semudah yang dibayangkan orang. Apabila hal tersebut tak bisa diarahkan dengan baik, penonton tak akan bisa merasakan koneksi atas atmosfir penuh kasih sayang di dalam film drama bertemakan cinta.

Maka, inilah yang berusaha dilakukan oleh Starvision dan Legacy Pictures untuk membuat sebuah drama romantis dengan ideal. Mereka memutuskan untuk bersama-sama mengadaptasi sebuah buku dari penulis ternama Ika Natassa. Critical Eleven, salah satu buku laris miliknya akhirnya mendapatkan kesempatan untuk ‘lahir’ pertama kali sebagai sebuah film layar lebar. Critical Elevenmemiliki kru dan jajaran aktris yang tak sembarangan. Mulai dari Reza Rahadian dan Adinia Wirasti sebagai pemeran utama, Jenny Jusuf sebagai penulis skenario, serta Monty Tiwa yang kali ini berkolaborasi untuk mengarahkan sebuah film dengan Robert Ronny.

Misi mulia dari Ika Natassa dan segala orang yang terlibat di dalam film Critical Eleven adalah tentang memberikan harapan dalam cinta. Nyatanya, dengan performa milik Reza Rahadian dan Adinia Wirasti yang menghidupkan setiap karakter fiksinya ini berhasil meyakinkan penonton atas misi mulia milik Ika Natassa. Inilah kisah cinta milik Ale dan Anya yang penuh akan asam manis di setiap perjalanannya, tetapi bisa membuat setiap orang akan percaya dengan kekuatan cinta. 


Membicarakan tentang cinta akan terdengar sangat melankolis dan picisan. Tetapi, memiliki kehidupan tanpa cinta di sekitar kita tak serta merta membuat hidup kita lebih bahagia. Hal itu lah yang berusaha disampaikan di dalam film Critical Eleven ini. Tema Cinta yang dibahas di dalam Critical Eleven ini memang tak sekedar antar pasangan, tetapi juga lebih di setiap aspek. Mulai dari keluarga, sahabat, dan juga setiap menit kehidupan yang tuhan berikan kepada kita.

Semua misi tentang cinta ini disajikan ke dalam sebuah film dengan durasi yang mencapai 135 menit. Critical Eleven adalah analogi tentang keadaan dalam pesawat yang paling kritis yaitu 3 menit sesaat setelah terbang dan 8 menit sesaat sebelum mendarat yang mewakili kehidupan setiap orang. Ini pula yang dirasakan sesaat ketika film berjalan di durasinya yang panjang. Film Critical Eleven sebagai sebuah pesawat mengalami masa kritis itu tak selamanya dengan mulus. Sesekali ada Turbulensi yang terjadi saat film baru saja menerbangkan sayapnya dan sesaat sebelum film akhirnya tiba di tujuan.  


Misi tentang memberikan harapan kepada cinta kali ini ditugaskan kepada Anya (Adinia Wirasti), seorang perempuan mandiri yang bekerja dengan giat. Anya begitu mencintai bandara hingga suatu ketika dia juga bertemu dengan seorang pria bernama Ale (Reza Rahadian). Pertemuan yang tak disengaja itu ternyata mendekatkan mereka. Hingga pada akhirnya, Ale dan Anya memutuskan untuk menikah dan Ale yang bekerja di Oil Rig di daerah meksiko memutuskan agar mereka tinggal di New York.

Kehidupan di New Yorkmemberikan mereka kebahagiaan, apalagi Anya telah mengandung Ale Junior yang telah diidam-idamkan. Kehidupan Anya paska hamil memang tak semudah yang dibayangkan. Ale menjadi sangat overprotektif kepada Anya karena takut kehilangan buah hatinya. Dengan adanya perubahan sifat ini, muncullah keegoisan masing-masing yang sesekali menimbulkan perdebatan di tengah keharmonisan hubungan mereka. Juga, beberapa peristiwa dalam keluarga kecil mereka yang semakin memunculkan sisi egois masing-masing pihak.


Critical Eleven memang bukan sekedar kisah tentang cinta yang dibuat hanya untuk merasakan indahnya jatuh cinta. Critical Eleven adalah kisah tentang cinta yang menunjukkan penontonnya tentang jatuhnya hidup bergantung kepada cinta. Translasi yang sangat baik dilakukan oleh Jenny Jusuf sebagai penulis skenario yang berhasil mengadaptasi sumber aslinya dengan berbagai cara hingga setiap karakter memiliki kontinuitas yang menarik. Ada detil-detil kecil sebagai sebuah tanda yang dihasilkan oleh Jenny Jusuf di dalam filmnya yang memperkuat karakternya. Tanda itu seperti mainan-mainan yang dimiliki oleh karakter Ale dan Anya.

Bukan hanya sekedar detil kecilnya, tetapi juga memindahkan emosi ke dalam penulisan naskahnya. Selain itu pula, ada kolaborasi baik antara naskah dengan pengarahan yang dilakukan oleh Monty Tiwa dan Robert Ronny dalam Critical Eleven. Penonton bisa merasakan setiap konfliknya yang terjadi di dalam Critical Eleven. Secara tak langsung, penonton menemukan referensi lain yang melekat di karakter dan konfliknya sehingga timbul simpati dan merasakan adanya kedekatan.

Hanya saja, Critical Elevenmemiliki sedikit isu dalam pengarahan yang membuat 135 menit yang ada di dalam filmnya tak memiliki performa yang stabil. Paruh pertama film ini memiliki sedikit turbulensi terhadap penyampaian konflik dan karakternya. Ada penyampaian emosi yang menggebu-gebu sehingga beberapa pesan yang tak tersampaikan dengan sepenuhnya baik. Pemilihan dialog yang sering kali menggunakan bahasa asing membuat adanya jarak antara pesan yang ingin disampaikan kepada penontonnya. Rasa manis di awal film pun beberapa kali terkadang terasa redup. 


Begitu pula dengan turbulensi yang datang lagi di ‘pesawat’ milik Critical Eleven saat ingin mendarat. Critical Eleven memang sudah memiliki landasan mendarat yang mumpuni, tetapi kemulusan terhadap cara memberikan konklusi di film ini tak bisa memberikan rasa manis yang kuat setelah menonton. Di tengah karakter Ale dan Anya yang sudah dikembangkan dengan sangat baik di setiap menitnya, ada cara mendarat yang memberikan sedikit membuat penontonnya tak nyaman. Bagaimana paruh ketiga film ini intensitas cerita sudah tak terjaga dan membuat simpati penontonnya sedikit berkurang.

Kemagisan asam manis cinta yang semakin bertambah durasi semakin terasa ini hampir saja hilang dengan pengarahan yang kurang mulus. Sehingga, ada sambungan adegan yang sedikit saja dihilangkan di dalam naskah yang mungkin dapat menimbulkan keefektifan cerita yang lebih memberikan efek yang kuat kepada penontonnya. Tetapi, beruntung sekali Critical Eleven memiliki Adinia Wirasti dan Reza Rahadian. Mereka memberikan performa terbaiknya di dalam film ini sehingga penonton bisa merasakan setiap manis dan getir hubungan mereka. Mereka bisa menerjemahkan karakter Ale dan Anya yang tak hanya hidup, tetapi juga berkembang dan berubah. 


Sebagai sebuah film drama dengan tema cinta, Critical Eleven memang masih bisa menaikkan standar yang ada. Ini jelas sebuah film Indonesia yang dibuat dengan sepenuh hati dan teliti, apalagi dalam segi teknis film. Gambar, musik, dan nilai-nilai produksi di dalam film Critical Eleven memperkuat alasan bahwa film ini memang tak main-main. Meski memiliki sedikit turbulensi dalam penceritaannya, tetapi Critical Elevenmasih bisa menimbulkan rasa asam dan manis cinta lewat performa luar biasa dari Adinia Wirasti dan Reza Rahadian. Pun, didukung dengan kedetilan dalam bertutur lewat naskah milik Jenny Jusuf. Critical Eleven cukup berhasil mencapai tujuannya untuk membuat penonton percaya dengan cinta dan menggantungkan harapan kepadanya.