Tampilkan postingan dengan label 3.5 stars. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 3.5 stars. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

ANANTA (2018) REVIEW : Kisah Manis Yang Tak Biasa

ANANTA (2018) REVIEW : Kisah Manis Yang Tak Biasa

 
Setelah terus-terusan menjadi ratu drama dari Screenplay Films, Michelle Ziudith akhirnya memiliki kesempatan untuk mengeksplor dirinya di bawah naungan MD Pictures. Begitu pula dengan Risa Sarasvati yang juga berusaha mengeksplorasi genre adaptasi bukunya dari cerita horor ke cerita drama romantis. Kesuksesan Risa Sarasvati dengan MD Pictures lewat Danur, tentu dengan mudah MD Pictures percaya dengan karya-karya yang dihasilkan lewat bukunya.

Ananta, sebuah karya romantis milik Risa Sarasvati yang diadaptasi oleh MD Pictures yang dipercayakan proyeknya kepada Rizki Balki. Sebagai sutradara, Rizki Balki sudah pernah menangani film drama remaja milik MD Pictures juga berjudul Beauty And The Best. Ananta tentu sangat bertumpu dengan kehadiran wajah Michelle Ziudith yang sudah berpengalaman dengan film-film serupa dan didampingi dengan Fero Walandouw dan juga Nino Fernandez.

Alim Sudio berperan untuk mengadaptasi tulisan buku milik Risa Sarasvati ke dalam sebuah naskah. Dirinya juga sudah berpengalaman dalam mengadaptasi buku-buku remaja serupa lewat film A : Aku, Benci, Cinta. Lewat film Ananta, naskah adaptasi yang dilakukan oleh Alim Sudio berhasil menjadi poin utama di dalam filmnya yang berdurasi 90 menit. Dengan adanya hal tersebut, Ananta berhasil menjadi sebuah sajian film drama romantis Indonesia yang manis untuk disaksikan.


Menceritakan tentang Tania (Michelle Ziudith), seorang remaja perempuan yang sering dianggap aneh oleh teman-temannya karena dirinya yang sangat anti sosial. Meski begitu, Tania mempunyai bakat menggambar yang sangat luar biasa. Dengan menggambar itulah, Anantabisa bertahan karena dirinya terserap oleh dunia yang dibuatnya sendiri. Hingga suatu ketika, dia bertemu dengan sosok yang bisa membuatnya mau untuk mengenal dunia sekitarnya.

Sosok itu adalah seorang laki-laki bernama Ananta Prahadi (Fero Walandouw). Dia adalah anak baru di sekolah Tania dan tak sengaja bertemu di ruang guru kala itu. Ananta berusaha mendekati Tania yang sangat tak mau untuk berinteraksi dengan orang lain. Ananta menemukan kelemahan Tania yang tak tahan dengan menu nasi kerak dan obrolan tentang lukisannya. Semenjak itulah, Ananta dan Tania menjadi dekat satu sama lain.


Sebagai sebuah film drama romantis Indonesia, Ananta memang masih terjebak dengan segala tanda yang bisa dikategorikan sama dengan film-film serupa. Membahas tentang kehilangan yang dikemas dengan cara yang sama dan tak bisa menjadi sesuatu yang segar di dalam genrenya. Tetapi secara mengejutkan, dibalik caranya yang sama dalam mengemas dan menceritakan hal tersebut, Anantaberhasil menunjukkan performanya yang pas sehingga film ini masih sangat bisa dinikmati dibanding dengan film-film serupa.

Naskah adaptasinya adalah bintang utama dari film Ananta ini sendiri. Naskah milik Alim Sudio berhasil menangkap ceritanya yang awalnya mendayu-dayu tetapi berubah menjadi sesuatu yang menyenangkan. Tetapi, tak lupa untuk tetap tahu menempatkan momen-momen romantis yang bisa membawa perasaan penontonnya selama 90 menit. Sayangnya, Rizki Balki tak berusaha untuk memberikan sesuatu yang lebih agar Ananta bisa menggali perasaan penontonnya lebih dalam lagi.

Ananta memiliki beberapa karakter yang bisa memberikan rasa keterikatan yang bisa lebih kuat lagi kepada penontonnya. Sayangnya, Rizki Balki nampak masih malu untuk mengenalkan karakter-karakter lainnya dengan lebih baik. Sehingga, Ananta mungkin memiliki linimasa yang cukup melompat dari satu adegan ke adegan lainnya. Rizki Balki nampaknya tahu kapabilitasnya sehingga dengan menuturkan cerita utama dari film ini akan jauh lebih bijaksana dibanding berusaha keras untuk mengatasi hal lainnya.


Kesederhanaan tujuan dari Rizki Balki inilah yang ternyata membuat film Ananta punya porsinya yang sangat pas untuk bisa dinikmati oleh segmentasi penontonnya. Rizki Balki mampu menghadirkan suasana mendayu yang mendukung keromantisan yang ada di film Ananta. Tetapi, unsur komedi yang diselipkan di dalam naskahnya agar film Anantatetap bisa menghibur juga masih mampu ditranslasikan dengan baik olehnya.

Bintang lain yang perlu disoroti di dalam film ini adalah penampilan dari Michelle Ziudith yang meskipun masih berkutat di genre serupa tetapi bisa memaksimalkan potensinya. Michelle Ziudith berhasil memerankan sosok Tania yang memang anti sosial lewat gerakan tubuh dan matanya yang sesuai dengan karakterisasi Tania sesungguhnya. Pun, mampu dengan sangat kuat membangun ikatan hubungan dengan lawan mainnya, Fero Walandouw.

Film Ananta bukanlah film pertama dari Fero Walandouw. Tetapi, performanya di dalam film Ananta ini membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi wajah baru yang sangat potensial di perfilman Indonesia. Ikatan yang terjalin begitu kuat antara Fero Walandouw dan Michelle Ziudith ini akan berdampak kepada penontonnya. Dengan begitu, suasana romantis, gemas, sekaligus sedih bisa dengan mudah tergambar dan dengan mudah membawa penonton hanyut ke dalamnya.


Meskipun, paruh ketiga di dalam film Ananta ini masih memiliki konklusi yang bisa membuat geleng kepala. Tetapi, film Ananta ditutup dengan performa Michelle Ziudith yang sangat emosional serta epilog yang manis sehingga kekurangan tersebut mampu tertutupi dengan hal-hal terbaik di dalam filmnya. Pun, sepanjang film Anantaini penonton juga sudah disuguhi dengan warna sinematografi yang pas dengan penuturan kisah Tania dan Ananta yang manis namun tak biasa itu.

Jumat, 01 Juni 2018

DEADPOOL 2 (2018) REVIEW : The Anti-Hero is Back (And its Better....)

DEADPOOL 2 (2018) REVIEW : The Anti-Hero is Back (And its Better....)


Lampu hijau dengan mudah didapatkan oleh proyek Deadpool setelah film pertamanya berhasil mendapatkan untung berkali-kali lipat. Terlebih, film pertamanya hanya bermodalkan 58 juta dolar. Meskipun sutradara di film keduanya ini berganti estafet dari Tim Miller ke David Leitch yang sudah terbukti mengarahkan sebuah mahakarya film aksi berjudul John Wick. Pergantian sutradara ini tentu tak menjadi dari film Deadpool karena film ini sudah mempunyai nyawanya sendiri. 

Ya, nyawa dari Deadpool ini tentu saja adalah Ryan Reynolds yang berhasil menghidupkan karakter Wade Wilson dengan level yang berbeda. Deadpool 2 pun tetap menggunakan ciri khas dari film sebelumnya mulai dari penuturan cerita hingga strategi pemasaran yang gila-gilaan. Juga, film ini semakin diramaikan dengan adanya karakter-karakter baru dengan nama-nama yang juga tak kalah besar. Mulai dari Josh Brolin hingga nama-nama besar yang menjadi cameo sekedipan mata.

Breaking the fourth wall, formula penuturan cerita dari Deadpool yang berusaha dipertahankan agar film ini memiliki identitasnya. Rhett Reese dan Paul Wernick masih menjadi duo yang bertanggung jawab atas ketengilan Deadpool di sepanjang 115 menit filmnya. Pun, meta jokes dengan referensi pop culture tentang showbiz berusaha dimasukkan ke dalam filmnya dari Barbara Streisand hingga Taylor Swift sebagai perwakilan budaya masa kini.


Jika dibandingkan filmnya yang pertama, Deadpool 2 lebih berhasil untuk mengkombinasikan formula breaking the fourth wall dengan humor-humor yang ada sebagai amunisi utama dari filmnya. Tak seperti film pertamanya yang asal lempar jokes dengan lebih masif, Deadpool 2 seperti lebih memperhitungkan segala humornya agar terasa lebih pas dan tidak terlalu berlebihan. Nyatanya, dengan caranya yang lebih hati-hati itu bisa menjadikan Deadpool 2 bisa memiliki performa lebih baik dari film pertamanya.

Sebagai sutradara, David Leitch ternyata mampu bemain lebih dalam lagi dibandingkan Tim Miller di film pertama. Wade Wilson memiliki perkembangan secara personal yang berarti sebagai sosok karakter di sebuah film. Ini akan berpengaruh dengan bagaimana penyampaian cerita di dalam Deadpool 2 yang lebih mengulik tentang kehidupannya sebagai anti hero yang tengil tetapi masih sangat sensitif jika sudah berurusan dengan ranah pribadinya.


Maka dari itu, Deadpool 2 lebih menonjolkan bagaimana Wade Wilson (Ryan Reynolds) yang sedang mengalami keputusasaan saat menjalani hidupnya paska menjadi seorang mutan. Kejahatan demi kejahatan sudah dirinya lewati tetapi membuatnya harus merelakan waktunya bersama sang Istri, Vanessa (Morena Bacharin). Keterlibatan Wade Wilson dalam memberantas kejahatan secara tak langsung membuat kehidupan sang Istri pun ikut terancam.

Nyawa sang Istri yang terancam inilah yang membuat Wade Wilson putus asa dan ingin berusaha memperbaiki kehidupannya. Di dalam misinya, Wade Wilson harus melindungi seorang mutan bernama Firefist (Julian Dennison) yang sedang dalam bahaya. Firefist sedang diincar oleh sosok mutan di masa depan bernama Cable (Josh Brolin). Dengan begitu, Wade Wilson berusaha untuk membuat sebuah tim baru untuk menyelamatkan Firefist dengan nama X-Force.


Meski berhasil memberikan kombinasi yang lebih melebur dalam formula penceritaannya, Deadpool 2 memiliki rintangan saat berusaha menuturkan konfliknya. David Leitch memang tahu benar untuk memberikan nilai emosional di dalam Deadpool 2 dan hal tersebut terjadi secara alami di dalam filmnya. Terlebih di dalam adegan-adegan yang melibatkan interaksi karakter antara Wade Wilson dan juga Vanessa. Poin inilah yang sebenarnya menjadi pondasi utama yang menjadi koneksi dengan segala konfliknya.

Sayangnya, David Leitch belum maksimal dalam menyambungkan setiap subplot yang ada. Efek selanjutnya adalah muncul sebuah jarak yang terjadi ketika film ini berusaha untuk berganti dengan plot lainnya yang menjadi fokus selanjutnya di dalam film ini. Sehingga, pengalaman saat menonton Deadpool 2 adalah sepertinya menyaksikan beberapa potongan film pendek yang berbeda dan dikemas menjadi satu film di dalam 118 menitnya.

Tetapi, kelemahan itu berhasil ditutup dengan bagaimana David Leitch bisa memberikan sebuah sentuhan sekuens aksi yang sudah menjadi kelebihannya dalam mengarahkan sebuah film. Deadpool 2 memberikan punya action sequences yang bisa membuat penontonnya terhibur dengan berbagai kelemahan babak penceritaannya. Poin inilah yang mampu membuat penontonnya bertahan karena David Leitch tahu dalam mengemas berbagai adegan aksi yang seru dan intens kepada penontonnya.


Serta bagaimana Deadpool 2 berhasil untuk memberikan spotlight dengan cara yang pas dengan karakter-karakter barunya. Sehingga, mereka bisa memiliki potensi untuk berkembang di dalam film-film Deadpool selanjutnya. Poin ini merujuk pada karakter Domino, Cable, dan juga Firefist yang mungkin di dalam film ini masih belum bisa berkembang terlalu besar. Hanya saja, cara Rhett Reese dan dan Paul Wernick sudah sangat pas dalam menuliskan latar belakang karakter tambahan tersebut.

Performa Ryan Reynolds yang sudah tak lagi dikhawatirkan saat  memerankan karakter Wade Wilson sehingga mampu menyampaikan segala unsur komedinya dengan baik. Secara tidak langsung, segala unsur komedi di dalam film Deadpool 2 ini adalah cara untuk memberikan tribute terhadap segala referensi pop culture di berbagai macam generasinya. Hal inilah yang mampu membuat Deadpool 2 tetap menjadi sebuah tontonan alternatif di genre film superhero yang semakin berkembang.


Ditemani dengan berbagai musik-musik manis dari berbagai era mulai dari tren di tahun 80an hingga EDM yang sedang gempar di masa kini, Deadpool 2 akan berhasil merebut hati penontonnya. Meskipun tak menjadi sebuah film superhero yang sempurna, akan tetapi Deadpool 2 berhasil membuat penontonnya ingin melihat perkembangan film ini di kesempatan selanjutnya. Deadpool 2 berhasil memiliki sedikit perkembangan dibandingkan film pertamanya. Tak banyak, namun sangat berarti untuk kelangsungan franchise ini.

Senin, 26 Maret 2018

PETER RABBIT (2018) REVIEW : Adaptasi Buku Klasik dengan Kemasan Masa
Kini

PETER RABBIT (2018) REVIEW : Adaptasi Buku Klasik dengan Kemasan Masa Kini


Mengadaptasi sebuah buku klasik ke dalam sebuah film tentu tak bisa dilakukan dengan cara yang sembarangan. Tentu, beberapa orang akan meragukan performa film adaptasi dari sebuah buku klasik tersebut. Hal ini terjadi kepada Sony Pictures Animation yang berusaha mengadaptasi buku klasik untuk anak-anak Peter Rabbit. Banyak orang yang meragukan dan mempertanyakan cara Sony Pictures mengadaptasi buku milik Beatrix Potter ketika trailernya muncul. 

Pada akhirnya, Sony Pictures Animation memaknai film adaptasi dari buku klasik ini sebagai sebuah adaptasi bebas yang terikat dengan cerita yang ada di dalam bukunya. Adaptasi yang dilakukan oleh Sony Pictures terhadap Peter Rabbit ini disutradarai oleh Will Gluck yang pernah menangani film-film komedi milik Sony Pictures pula. Pun, film ini dibintangi oleh nama-nama besar seperti Domnhall Gleeson, Rose Bryne, Daisy Ridley, Margot Robbie, dan jangan lupakan James Cordon sebagai Peter Rabbit ini.

Dengan apa yang berusaha ditampilkan oleh Sony Pictures di dalam trailer Peter Rabbit, tentu penonton tak akan berharap apa-apa.  Bahkan ada beberapa orang yang meragukan Peter Rabbit akan bisa tampil memiliki cita rasa klasik yang dimiliki oleh bukunya. Hanya saja, sebagai sebuah film adaptasi bebas dari bukunya, Peter Rabbit tampil di luar dugaan. Meski masih memiliki beberapa kekurangan, Peter Rabbit tampil sangat menghibur penontonnya.


Bukan hanya penonton anak-anak yang menjadi target segmentasi film ini, tetapi juga bagi penonton dewasa yang menemani mereka menyaksikan Peter Rabbit di layar besar. Will Gluck berusaha untuk menyajikan Peter Rabbit tetap pada hakikatnya yang sesuai dengan segmentasi yang tercipta lewat bukunya. Sehingga, Peter Rabbit adalah film keluarga yang tepat untuk disaksikan bersama-sama di saat sedang penat dan membutuhkan hiburan di sela-sela waktu yang sibuk.

Peter Rabbit memang tak mengadaptasi salah satu plot cerita di dalam seri bukunya. Tentu sebagai sebuah film adaptasi bebas, Will Gluck membuat plotnya sendiri untuk Peter Rabbit. Secara cerita, Peter Rabbit memang akan masih memiliki formula yang sama dengan beberapa film yang temanya serupa. Tetapi, Peter Rabbit masih memiliki banyak amunisinya untuk membuat filmnya sebagai sajian film keluarga yang seru untuk disaksikan.


Peter Rabbit ini lebih menceritakan tentang seorang kelinci bernama Peter (James Cordon) yang hidup di sebuah lubang di bawah pohon yang rindang. Musuh terbesar dari Peter adalah Old McGregor yang memiliki perkebunan indah di luar sana. Peter sering sekali berusaha untuk masuk ke dalam kebun tersebut untuk mengambil makanan hasil kebun. Meskipun, dia sering pula untuk selalu kejar-kejaran dengan sang pemilik kebun tersebut.

Hingga suatu ketika, Old McGregor wafat dan Peter beserta ketiga adiknya tentu girang bukan main karena kebun tersebut bisa diambil alih olehnya. Hanya saja, kebahagiaan dari Peter tentu tak bertahan lama. Thomas McGregor mewarisi semua harta milik Old McGregor yang telah wafat. Ternyata, Thomas semakin melindungi kebun yang dia warisi dengan cara yang lebih ganas agar tak lagi dihancurkan oleh binatang-binatang yang ada di sana. Di sinilah, Peter berusaha untuk melawannya.


Secara plot besar, tentu Peter Rabbit arahan dari Will Gluck ini tak memiliki intensi sama sekali untuk mengambil salah satu plot dalam buku cerita yang ada dari Beatrix Potter untuk diadaptasi ke dalam sebuah film. Meski ini akan sangat beresiko bagi kelangsungan filmnya, nyatanya Will Gluck bisa memberikan tindakan preventif agar film Peter Rabbit miliknya tak berjalan terlalu jauh. Plotnya yang sudah pernah ditemui di dalam genre serupa beruntung diarahkan dengan sangat aman dan bahkan sedikit di atas ekspektasi penontonnya.

Peter Rabbit tentu menjadi sebuah sajian yang sangat menyenangkan untuk diikuti sepanjang filmnya. Tanpa adanya usaha untuk memberikan plot yang revolusioner, Peter Rabbit masih bisa memberikan amunisi tawa yang sangat besar baik kepada penonton muda ataupun dewasa. Will Gluck masih berhasil memunculkan citarasa film keluarga ke dalam filmnya. Meskipun, Will Gluck harus mengorbankan cita rasa klasik dari Peter Rabbit ini hilang seketika.

Mungkin, ini akan menjadi problematika bagi para penggemar karakter Peter Rabbit yang diciptakan oleh Beatrix Potter. Tetapi, Will Gluck tetap berusaha untuk tak terlalu mengabaikan sumber asli di dalam filmnya. Ada beberapa detil yang ada di dalam buku milik Beatrix Potter yang berusaha ditampilkan ke dalam filmnya. Memberikan sebuah penghormatan kepada karakter-karakter yang ada di dalam buku klasiknya dengan kemasan yang lebih mengikuti zaman.


Memberikan unsur friend-enemy bak Home AloneTom & Jerry, dan film-film serupa, Peter Rabbit dipresentasikan sebagai sebuah film yang lebih penuh akan petualangan. Pun, film ini memiliki amunisi lain dari desain karakter di dalam filmnya yang akan membuat penonton bisa merasa gemas dengan Peter Rabbit dan ketiga saudarinya. Meski di tengah film, Peter Rabbit memang tak berjalan mulus karena ada beberapa subplot yang terlalu menumpuk sehingga penyelesaiannya pun tak bisa halus.

Tetapi, Will Gluck berusaha untuk tetap menyuntikkan amunisi hati yang sangat besar di dalam Peter Rabbit. Sehingga, meski filmnya ditutup dengan tak sempurna, masih ada rasa emosional yang bisa dirasakan oleh penontonnya sehingga membuat hati hangat. Dengan begitu, Will Gluck bisa menetapkan film adaptasinya ini sebagai sebuah film keluarga yang menyenangkan tetapi memiliki hati besar untuk menyampaikan pesannya tentang keluarga. Meskipun harus tetap mengorbankan citarasa klasik tersebut, setidaknya 95 menit milik Peter Rabbit masih sangat bisa dinikmati.

Senin, 19 Maret 2018

YOWIS BEN (2018) REVIEW : Bahasa Jawa Timuran, Bahasan Tetap Universal.

YOWIS BEN (2018) REVIEW : Bahasa Jawa Timuran, Bahasan Tetap Universal.


Budaya jawa timuran dalam sebuah film memang bukan lagi hal baru. Ada beberapa film yang setting jawa timurnya pun kental. Yowis Ben, film arahan dari Fajar Nugros yang berkolaborasi dengan Bayu Skak ini terlihat mengasyikkan. Bukan sekedar karena filmnya yang menggunakan bahasa jowoan, tetapi lebih karena trailernya yang terlihat menarik. Pun, lebih menarik lagi ketika ada nama Bayu Skak yang ikut membantu Fajar Nugros sebagai sutradara.

Selain itu, naskah dari Yowis Ben pun ditulis sendiri oleh Bayu Skak. Trailernya menarik tetapi tak disangka bahwa Yowis Ben bisa menjadi sebuah film yang mendatangkan jumlah penonton yang cukup banyak. Dengan kedekatan budaya, tentu saja Yowis Bensangat menarik penonton di daerah jawa timur mulai dari Surabaya, apalagi Malang yang setting filmnya pun berada di sana. Tentu ini adalah sebuah fenomena menarik dalam perfilman Indonesia.

Tetapi, akan masih banyak penonton yang meragukan bagaimana performa Yowis Ben secara utuh. Nama Bayu Skak tentu menjadi taruhan serta alasan lain bagi mereka yang tak dekat dengan budayanya untuk hadir menonton film Yowis Ben ini. Ketenaran Bayu Skak di media sosial tentu menjadi keunggulan sendiri bagi Yowis Ben untuk melakukan promosi dan mendatangkan jumlah penonton. Tetapi, kedekatan secara budaya ini adalah kata kunci bagaimana Yowis Ben bisa sangat sukses.


Kesuksesan yang didapatkan oleh Yowis Ben ini untungnya masih selaras dengan bagaimana 100 menit dari film ini dikemas oleh Fajar Nugros dan Bayu Skak. Yowis Ben memiliki kekuatan utama dalam bahasa jawa timurannya sebagai gong utama semua celotehan komedinya. Tak bisa dipungkiri bahwa bahasa lokal inilah yang menjadi keistimewaan dari Yowis Ben. Terlebih, sebenarnya Yowis Ben tak memiliki sesuatu yang baru di dalam genre-nya untuk ditawarkan kepada penontonnya.

Yowis Ben sangat menggantungkan dirinya dengan kedekatan budaya lokal yang sangat kental. Hal ini mungkin tak bisa sepenuhnya bisa membuat penonton yang tak kenal budaya tersebut akan mendapatkan efek yang sama dengan yang sudah kenal dengan budaya tersebut. Tetapi, Fajar Nugros dan Bayu Skak setidaknya sudah memberikan caranya sendiri untuk mengemas film Yowis Ben agar tetap bisa dinikmati setiap orang.


Yowis Ben menceritakan tentang seorang remaja sekolah menengah atas bernama Bayu (Bayu Skak) yang masih saja terjebak problematika zaman now yaitu popularitas. Bayu yang hidup bersama Ibunya yang berprofesi sebagai penjual nasi pecel membuat Bayu dikenal sebagai Pecel Boy. Ini karena Bayu sering membantu ibunya berjualan nasi pecel kepada teman-temannya di sekolah. Hal inilah yang membuat Bayu berpikir untuk memperbaiki reputasinya di sekolah.

Bersama dengan teman dekatnya,  Doni (Joshua Suherman), Bayu memutuskan untuk membuat band yang bisa mengangkat popularitasnya di sekolah. Ini juga menjadi alasan agar Bayu bisa mendekati cewek yang dia taksir di sekolah bernama Susan (Cut Meyriska). Akhirnya bertemulah Bayu dan Doni dengan Yayan (Tutus Thomson) dan Nando (Brandon Salim). Mereka menamai band mereka menjadi Yowis Bendan beberapa videonya berhasil menjadi viral.


Plot ceritanya tak ada yang spesial, Yowis Ben menggunakan pakem dan tema yang sama dengan beberapa film remaja yang ada. Sehingga, memang bagi yang sudah pernah menonton film dengan genre serupa, Yowis Ben tak akan menawarkan sesuatu yang baru. Tetapi, hal tersebut tak semata-mata membuat Yowis Ben tak bisa menjadi sajian yang menarik. Pintarnya Fajar Nugros dan Bayu Skak mengemas sesuatu yang usang itu sehingga memiliki daya tariknya yang baru.

Memasukkan bahasa lokal sebagai injeksi daya tarik sekaligus sorotan utama dalam film ini tentu bukanlah perkara mudah. Celotehan-celotehan bahasa jawa timuran ini adalah kekuatan utama dalam porsi komedinya dan ini harus punya ketelitian agar tak timbul adegan yang jatuhnya menganggu. Bayu Skak dalam naskahnya memiliki ketelitian itu di dalam Yowis Ben. Pun, bahasa lokal ini tak hanya sebagai dialognya saja, tetapi juga bahasa dalam lagu yang dimainkan oleh para karakternya ini berhasil menjadi cocok di kuping penontonnya.

Yowis Ben berhasil memberikan gambaran tentang dinamika remaja zaman sekarang yang sangat mempedulikan popularitas apalagi di dunia maya. Konflik inilah yang perlu digarisbawahi bahwa semua remaja di belahan provinsi manapun ternyata memiliki konflik yang sama. Pengikut di akun media sosial menjadi momok yang penting bagi perjalanan hidup remaja zaman sekarang. Tetapi, mereka tak benar-benar tahu apa yang didapatkan setelah sangat mempedulikan persona yang mereka tampilkan di dunia maya. Inilah yang membuat Yowis Ben bisa dinikmati oleh semua budaya.


Tetapi, tak bisa dipungkiri pula bahwa pentingnya penggambaran dinamika remaja zaman sekarang ini tak bisa tersampaikan dengan sempurna. Yowis Ben mengorbankan konflik ini kepada subplot lain tentang kekeluargaan dan cinta-cintaan yang pada akhirnya membuat Yowis Ben tak memiliki penceritaan yang baik. Beberapa adegan memiliki tempo yang melambat dan plot mereka menjadi saling tumpang tindih dan diselesaikan dengan secepat mungkin.

Performa Yowis Ben pada akhirnya memang tak bisa sempurna karena beberapa minor yang ada di dalam filmnya. Tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa Yowis Ben masih memiliki beberapa hal yang bisa dinikmati oleh penontonnya. Film ini memang sangat bertumpu kepada bahasa lokalnya sebagai kekuatan utama untuk meluncurkan punchline komedi yang mengundang tawa. Meski akan ada beberapa yang meleset bagi mereka yang tak dekat dengan budayanya, setidaknya Yowis Ben sudah berusaha menjadi sajian yang universal lewat konfliknya.

Senin, 21 Agustus 2017

WAR FOR THE PLANET OF THE APES (2017) REVIEW : Penutup Kisah Caesar
yang Tak Sempurna

WAR FOR THE PLANET OF THE APES (2017) REVIEW : Penutup Kisah Caesar yang Tak Sempurna

Cerita tentang kera bernama Caesar ini telah mencapai ke seri ketiganya yang digadang menjadi penutup. Kehadiran trilogi remake dari Planet of The Apes ini memiliki performa yang cukup mengagetkan karena berhasil dibuat dengan kualitas yang di atas rata-rata. Penonton yang sudah cukup meremehkan pembuatan ulang dari film Planet of The Apes ini dibuat kagum dengan bagaimana performa Rise of The Planet of the Apes.

Kesuksesan secara kualitas ini pun berhasil dijaga dan dibuat dengan performa yang jauh lebih bagus lagi di dalam Dawn of the Planet of the Apes. Performa Dawn of the Planet of the Apes yang meningkat berkat pergantian sutradara dari Rupert Wyatt ke Matt Reeves ini membuat 20th Century Fox memutuskan untuk menggunakan Matt Reeves untuk mengarahkan bagian penutupnya. Maka dari itu, Matt Reeves kembali mengarahkan trilogi Planet of The Apes ini ke dalam sebuah penutup yang diharapkan dapat memiliki performa yang bagus.

War For the Planet of The Apesini adalah sebuah seri kunci sekaligus penutup untuk kisah komplotan kera yang dipimpin oleh Caesar ini. Tak hanya Matt Reeves saja yang kembali sebagai pengarah filmnya, tetapi juga Matt Bomback yang juga membantu Matt Reeves untuk menyelesaikan naskah dari film penutupnya ini. Dimeriahkan pula oleh Woody Harrelson di jajaran nama departemen aktingnya bersama dengan Andy Serkis yang tentu saja tetap menjadi Caesar. 


Trilogi baru dari Planet of the Apes ini menjadi sebuah sesuatu yang perlu diapresiasi di perfilman Hollywood karena performanya yang stabil dan cenderung meningkat. War For the Planet of The Apes ini memang masih menjadi sebuah film yang diarahkan dan dibuat dengan baik. Tetapi, sebagai sebuah penutup, War For The Planet of The Apes ini adalah sebuah penutup yang tak sempurna. Memiliki berbagai macam kelemahan yang mendistraksi kemegahan pembuatan film ini.

Kisah utama di dalam seri-seri Planet of the Apes ini tentu saja adalah para kera, terutama tentang Caesar sebagai pemimpinnya. Tetapi, problematika penonton di film-film sebelumnya adalah minimnya relevansi yang dapat dilekatkan dengan para karakter manusianya. Sehingga, War For the Planet of the Apes ini berusaha untuk menumbuhkan relevansi itu. Hal ini pada akhirnya menganggu Matt Reeves untuk bercerita kepentingan-kepentingan karakter yang berusaha dimasukkan ke dalam film ini. 


War For the Planet of the Apesmenceritakan tentang bagaimana Caesar (Andy Serkis) dan para komplotan keranya yang sudah mencari tempatnya yang damai dan aman dari gangguan. Tetapi, kehidupan mereka pada akhirnya diusik oleh para manusia yang berusaha memusnahkan komplotan kera yang dipimpin oleh Caesar. Para manusia dibantu oleh para kera lain yang membelot dari kepemimpinan Caesar ini menemukan tempat persembunyian Caesar dan komplotannya.

Caesar yang merasa dirinya dan komplotannya aman pun tak menyadari bahwa dirinya akan diserang oleh manusia. Perang pun terjadi antara para komplotan Caesar dan manusia. Hal ini pun menyebabkan banyak korban dari komplotan kera milik Caesar berjatuhan terutama kera-kera yang dekat dengan Caesar. Dengan keadaan yang seperti ini, Caesar berusaha untuk membalaskan dendamnya dan menyerang markas besar manusia yang dipimpin oleh The Colonel (Woody Harrelson). 


Berusaha memperbaiki apa yang diminta oleh para penikmat filmnya tentu menjadi sangat penting bagi sineas. Selain untuk tetap menjaga kepercayaan dari penontonnya, hal ini juga menunjukkan bahwa sineas tersebut mau belajar. Tetapi, hal tersebut tentunya perlu diimbangi dengan bagaimana kemampuan seorang sutradara dalam mewujudkan keinginan penontonnya. War For the Planet of the Apes sebenarnya akan lebih terasa penuh makna apabila tetap fokus dengan plot cerita utamanya yaitu tentang balas dendam.

Tetapi, yang dilakukan oleh Matt Reeves dan Matt Bomback adalah dengan memberikan subplot tentang manusia dan kehidupannya yang semakin melemah karena virus yang disebabkan. Informasi tentang hal tersebut memang seharusnya penting untuk semakin memperkuat dan memperbesar bangunan dunia rekaan di dalam film ini. Hanya saja, Matt Reeves seperti tak bisa menanganinya dengan seimbang. Sehingga, informasi-informasi ini yang dimasukkan sebagai cabang cerita pada akhirnya menjadi bumerang terhadap hasil keseluruhannya.

Memasukkanplot tentang kisah manusia dan memasukkan karakter manusia terlebih kepada karakter Nova menjadi sesuatu yang perlu dipertanyakan. Informasi yang diterima oleh penonton pada akhirnya tak bisa sepenuhnya diterima. Penonton meraba sendiri ada apa dengan karakter Nova sehingga menumbuhkan urgensi untuk masuk ke dalam plot cerita dengan screen time yang cukup banyak. Terutama ketika Nova menjadi poin kunci di akhir film dan penonton pun masih mencari motivasi karakter tersebut untuk pada akhirnya harus menjadi sosok yang penting. 


Di luar kebingungan Matt Reeves untuk berusaha memberikan relevansi antara penonton dengan karakter manusia, Matt Reeves masih bisa membuat War For the Planet of the Apes sebagai sebuah film yang masih kuat. Ada beberapa adegan yang diarahkan dengan baik sehingga muncul berbagai macam tensi dan emosi. Terlebih dalam mengarahkan Andy Serkis di balik teknologi motion capture-nya sebagai karakter Caesar. Tanpa directing dan ketelitian berakting dari Andy Serkis, War For the Planet of the Apes akan jatuh menjadi film penutup yang sia-sia.

Sebagai sebuah seri penutup, War For the Planet of the Apes masih tampil dengan cukup kuat berkat beberapa adegan penuh tensi dan keseruan yang berhasil diarahkan oleh Matt Reeves. Tetapi, sayangnya War For the Planet of the Apes bukanlah sebuah penutup yang sempurna dikarenakan usaha Matt Reeves itu sendiri dengan usahanya menjawab kemauan penonton. Hal itu menjadi bumerang bagi performa film ini serta beberapa kali diganggu oleh musik milik Michael Giacchino yang muncul terlalu sering. Sehingga, segala rasa emosional itu sering kali terasa manipulatif sekaligus memunculkan kesan dramatisasi yang berlebih. Meski begitu, trilogi Planet of the Apes ini adalah sebuah trilogi yang perlu untuk diapresiasi.

Sabtu, 13 Mei 2017

CRITICAL ELEVEN (2017) REVIEW : Mempercayai Sebuah Cinta Dengan Segala
Turbulensinya

CRITICAL ELEVEN (2017) REVIEW : Mempercayai Sebuah Cinta Dengan Segala Turbulensinya


Dari sekian banyak film-film dengan genre drama romantis di perfilman Indonesia, hanya ada beberapa film yang diproduksi dengan baik. Tak hanya dari segi teknis, tetapi juga dari sisi pengarahan film yang tak terlalu digarap serius. Menciptakan nuansa penuh akan cinta di sebuah film tak akan semudah yang dibayangkan orang. Apabila hal tersebut tak bisa diarahkan dengan baik, penonton tak akan bisa merasakan koneksi atas atmosfir penuh kasih sayang di dalam film drama bertemakan cinta.

Maka, inilah yang berusaha dilakukan oleh Starvision dan Legacy Pictures untuk membuat sebuah drama romantis dengan ideal. Mereka memutuskan untuk bersama-sama mengadaptasi sebuah buku dari penulis ternama Ika Natassa. Critical Eleven, salah satu buku laris miliknya akhirnya mendapatkan kesempatan untuk ‘lahir’ pertama kali sebagai sebuah film layar lebar. Critical Elevenmemiliki kru dan jajaran aktris yang tak sembarangan. Mulai dari Reza Rahadian dan Adinia Wirasti sebagai pemeran utama, Jenny Jusuf sebagai penulis skenario, serta Monty Tiwa yang kali ini berkolaborasi untuk mengarahkan sebuah film dengan Robert Ronny.

Misi mulia dari Ika Natassa dan segala orang yang terlibat di dalam film Critical Eleven adalah tentang memberikan harapan dalam cinta. Nyatanya, dengan performa milik Reza Rahadian dan Adinia Wirasti yang menghidupkan setiap karakter fiksinya ini berhasil meyakinkan penonton atas misi mulia milik Ika Natassa. Inilah kisah cinta milik Ale dan Anya yang penuh akan asam manis di setiap perjalanannya, tetapi bisa membuat setiap orang akan percaya dengan kekuatan cinta. 


Membicarakan tentang cinta akan terdengar sangat melankolis dan picisan. Tetapi, memiliki kehidupan tanpa cinta di sekitar kita tak serta merta membuat hidup kita lebih bahagia. Hal itu lah yang berusaha disampaikan di dalam film Critical Eleven ini. Tema Cinta yang dibahas di dalam Critical Eleven ini memang tak sekedar antar pasangan, tetapi juga lebih di setiap aspek. Mulai dari keluarga, sahabat, dan juga setiap menit kehidupan yang tuhan berikan kepada kita.

Semua misi tentang cinta ini disajikan ke dalam sebuah film dengan durasi yang mencapai 135 menit. Critical Eleven adalah analogi tentang keadaan dalam pesawat yang paling kritis yaitu 3 menit sesaat setelah terbang dan 8 menit sesaat sebelum mendarat yang mewakili kehidupan setiap orang. Ini pula yang dirasakan sesaat ketika film berjalan di durasinya yang panjang. Film Critical Eleven sebagai sebuah pesawat mengalami masa kritis itu tak selamanya dengan mulus. Sesekali ada Turbulensi yang terjadi saat film baru saja menerbangkan sayapnya dan sesaat sebelum film akhirnya tiba di tujuan.  


Misi tentang memberikan harapan kepada cinta kali ini ditugaskan kepada Anya (Adinia Wirasti), seorang perempuan mandiri yang bekerja dengan giat. Anya begitu mencintai bandara hingga suatu ketika dia juga bertemu dengan seorang pria bernama Ale (Reza Rahadian). Pertemuan yang tak disengaja itu ternyata mendekatkan mereka. Hingga pada akhirnya, Ale dan Anya memutuskan untuk menikah dan Ale yang bekerja di Oil Rig di daerah meksiko memutuskan agar mereka tinggal di New York.

Kehidupan di New Yorkmemberikan mereka kebahagiaan, apalagi Anya telah mengandung Ale Junior yang telah diidam-idamkan. Kehidupan Anya paska hamil memang tak semudah yang dibayangkan. Ale menjadi sangat overprotektif kepada Anya karena takut kehilangan buah hatinya. Dengan adanya perubahan sifat ini, muncullah keegoisan masing-masing yang sesekali menimbulkan perdebatan di tengah keharmonisan hubungan mereka. Juga, beberapa peristiwa dalam keluarga kecil mereka yang semakin memunculkan sisi egois masing-masing pihak.


Critical Eleven memang bukan sekedar kisah tentang cinta yang dibuat hanya untuk merasakan indahnya jatuh cinta. Critical Eleven adalah kisah tentang cinta yang menunjukkan penontonnya tentang jatuhnya hidup bergantung kepada cinta. Translasi yang sangat baik dilakukan oleh Jenny Jusuf sebagai penulis skenario yang berhasil mengadaptasi sumber aslinya dengan berbagai cara hingga setiap karakter memiliki kontinuitas yang menarik. Ada detil-detil kecil sebagai sebuah tanda yang dihasilkan oleh Jenny Jusuf di dalam filmnya yang memperkuat karakternya. Tanda itu seperti mainan-mainan yang dimiliki oleh karakter Ale dan Anya.

Bukan hanya sekedar detil kecilnya, tetapi juga memindahkan emosi ke dalam penulisan naskahnya. Selain itu pula, ada kolaborasi baik antara naskah dengan pengarahan yang dilakukan oleh Monty Tiwa dan Robert Ronny dalam Critical Eleven. Penonton bisa merasakan setiap konfliknya yang terjadi di dalam Critical Eleven. Secara tak langsung, penonton menemukan referensi lain yang melekat di karakter dan konfliknya sehingga timbul simpati dan merasakan adanya kedekatan.

Hanya saja, Critical Elevenmemiliki sedikit isu dalam pengarahan yang membuat 135 menit yang ada di dalam filmnya tak memiliki performa yang stabil. Paruh pertama film ini memiliki sedikit turbulensi terhadap penyampaian konflik dan karakternya. Ada penyampaian emosi yang menggebu-gebu sehingga beberapa pesan yang tak tersampaikan dengan sepenuhnya baik. Pemilihan dialog yang sering kali menggunakan bahasa asing membuat adanya jarak antara pesan yang ingin disampaikan kepada penontonnya. Rasa manis di awal film pun beberapa kali terkadang terasa redup. 


Begitu pula dengan turbulensi yang datang lagi di ‘pesawat’ milik Critical Eleven saat ingin mendarat. Critical Eleven memang sudah memiliki landasan mendarat yang mumpuni, tetapi kemulusan terhadap cara memberikan konklusi di film ini tak bisa memberikan rasa manis yang kuat setelah menonton. Di tengah karakter Ale dan Anya yang sudah dikembangkan dengan sangat baik di setiap menitnya, ada cara mendarat yang memberikan sedikit membuat penontonnya tak nyaman. Bagaimana paruh ketiga film ini intensitas cerita sudah tak terjaga dan membuat simpati penontonnya sedikit berkurang.

Kemagisan asam manis cinta yang semakin bertambah durasi semakin terasa ini hampir saja hilang dengan pengarahan yang kurang mulus. Sehingga, ada sambungan adegan yang sedikit saja dihilangkan di dalam naskah yang mungkin dapat menimbulkan keefektifan cerita yang lebih memberikan efek yang kuat kepada penontonnya. Tetapi, beruntung sekali Critical Eleven memiliki Adinia Wirasti dan Reza Rahadian. Mereka memberikan performa terbaiknya di dalam film ini sehingga penonton bisa merasakan setiap manis dan getir hubungan mereka. Mereka bisa menerjemahkan karakter Ale dan Anya yang tak hanya hidup, tetapi juga berkembang dan berubah. 


Sebagai sebuah film drama dengan tema cinta, Critical Eleven memang masih bisa menaikkan standar yang ada. Ini jelas sebuah film Indonesia yang dibuat dengan sepenuh hati dan teliti, apalagi dalam segi teknis film. Gambar, musik, dan nilai-nilai produksi di dalam film Critical Eleven memperkuat alasan bahwa film ini memang tak main-main. Meski memiliki sedikit turbulensi dalam penceritaannya, tetapi Critical Elevenmasih bisa menimbulkan rasa asam dan manis cinta lewat performa luar biasa dari Adinia Wirasti dan Reza Rahadian. Pun, didukung dengan kedetilan dalam bertutur lewat naskah milik Jenny Jusuf. Critical Eleven cukup berhasil mencapai tujuannya untuk membuat penonton percaya dengan cinta dan menggantungkan harapan kepadanya.