Tampilkan postingan dengan label Jailangkung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jailangkung. Tampilkan semua postingan

Senin, 03 Juli 2017

JAILANGKUNG (2017) REVIEW : Mitos Hantu dengan Wajah Baru yang Minim
Eksplorasi

JAILANGKUNG (2017) REVIEW : Mitos Hantu dengan Wajah Baru yang Minim Eksplorasi


Mitos tentang sosok tak kasat mata yang dipanggil dengan mantra “datang tak dijemput, pulang tak diantar”ini kembali menghantui penontonnya. Film tentang hantu legendaris ini pernah ada dan mewarnai perfilman Indonesia di tahun 2001 sekaligus menjadi penanda bangkitnya film Indonesia kala itu. Sehingga, sosok hantu ini sudah menjadi sebuah brand yang akan dengan mudah dikonsumsi dan mendapat kepercayaan dari penontonnya.

Sosok hantu legendaris ini kembali ditangani oleh sutradara yang pernah menangani sosok ini di tahun 2001 dengan rejenuvasi nama menjadi Jailangkung sesuai dengan mitos yang ada. Tetapi, mantra yang digunakan dalam ritualnya kali ini pun sudah berubah. “Datang Gendong, Pulang Bopong” menjadi mantra baru untuk memanggil makhluk tak kasat mata ini. Jose Purnomo dan Rizal Mantovani diakuisisi oleh Screenplay Films bersama dengan Legacy Pictures untuk mengarahkan Jailangkung yang dirilis di bulan lebaran 2017 ini.

Selain rejuvenasi nama dari Jelangkung ke Jailangkung, proyek film ini juga memakai nama-nama baru di perfilman Indonesia yang sekaligus memiliki  potensi agar sukses. Jefri Nichol dan Amanda Rawles menjadi pasanan di dalam film yang terbukti mampu mendatangkan penonton lewat Dear Nathan. Formula itu pun digunakan di dalam film dengan genre yang berbeda. Bersama dengan Baskoro Adi Wuryanto, Jose Purnomo dan Rizal Mantovani berusaha menghidupkan lagi mitos hantu legendaris ini untuk disajikan kepada penontonnya. 


Dengan kembalinya dua sutradara yang  berhasil menakut-nakuti penontonnya lewat film Jelangkung di tahun 2001, tentu penonton berusaha memiliki harapan terhadap versi terbarunya. Calon penonton tentu masih mengharapkan bagaimana dua sutradara ini memiliki kemagisannya lagi untuk sekali lagi dapat menghantui penontonnya dengan mitos yang sama. Nyatanya, Jailangkungmemang memiliki kekuatan yang sangat minimalis. Jailangkung menitikberatkan kekuatannya pada nilai produksi yang menunjukkan bahwa film ini tak dibuat sembarangan.

Jailangkung memiliki berbagai macam kekurangan yang perlu diperhatikan dalam mengarahkan dan menuturkan ceritanya. Meski Jefri Nichol, Amanda Rawles, Hannah Al Rashid, atau pun Lukman Sardi berusaha untuk memberikan performa terbaiknya, tak bisa dipungkiri bahwa Jailangkung secara tertulis dibangun begitu lemah. Jailangkungkebingungan dengan apa yang berusaha disampaikan secara visual. Sehingga, penonton pun akan merasakan banyak sekali pertanyaan yang tak terjawab. 


Jailangkung langsung saja dimulai dengan bagaimana Bella (Amanda Rawles) yang sedang berada di rumah sakit menemui ayahnya (Lukman Sardi) yang sedang koma. Bella dan juga kakaknya Angel (Hannah Al-Rashid) berusaha untuk mencari tahu penyebab ayahnya yang tiba-tiba koma dan tak sadarkan diri begitu lama. Informasi pertama yang mereka dapatkan adalah sang Ayah, Ferdi memiliki sebuah rumah lain tempat dia ditemukan dalam kondisi tak sadarkan diri.

Dengan adanya informasi tersebut, Bella berusaha mencari tahu seperti apa di sana. Bella yang putus asa secara tak sengaja mendengar sebuah penjelasan dari Rama (Jefri Nichol) yang membahas tentang mitos-mitos tentang dunia astral. Rama berusaha mencari tahu penyebab dari komanya ayah Bella dan memang ditemukan sebuah fakta bahwa Ferdi, ayah Bella, bermain Jailangkung di area rumah tersebut. Dan sekarang, arwah Ferdi dibawa oleh makhluk halus sehingga dia tak sadarkan diri.

Konflik yang digunakan di dalam film Jailangkung ini sebenarnya bukan lagi hal yang baru di dalam film-film dengan genre serupa. Jailangkungtetap diisi dengan plot cerita yang generik di dalam film horor, tetapi hal itu pula ditambahi dengan keklisean dialog khas film-film milik Screenplay lainnya. Sebenarnya Jailangkung berusaha memberikan mitos baru tentang makhluk tak kasat mata yang secara tak langsung terpanggil di dalam ritualnya. Tetapi, latar belakang cerita dan bagaimana konfliknya terbangun tetap tak bisa dipungkiri bahwa Jailangkung memiliki sesuatu yang generik. 


Meski dengan sesuatu yang generik, Jailangkungseharusnya bisa mengolahnya menjadi sesuatu yang dapat dinikmati. Sayangnya, konflik yang generik dan lurus-lurus saja itu tampil dengan terbata-bata. Plot cerita yang seharusnya dapat diikuti begitu saja oleh penontonnya, Jailangkung malah membuatnya begitu rumit tetapi tanpa diarahkan dengan teliti. Sehingga, hal itu berdampak pada performa Jailangkung yang terpisah-pisah dalam penuturannya.

Transisi plot cerita dalam Jailangkungini tak bisa berjalan dengan baik. Konfilk yang muncul terlalu awal di dalam film ini membuat penonton bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi. Tetapi penjelasan itu tak dibahas dengan detil, hanya muncul sedikit informasi yang membuat penonton pada akhirnya meraba apa yang berusaha disampaikan oleh Jose Purnomo dan Rizal Mantovani. Permasalahan yang belum selesai dibahas ini masih ditambahi pula dengan cabang cerita yang lain.

Alhasil, dengan durasi yang hanya berkisar 86 menit, penceritaannya terbata-bata tetapi berusaha terlihat komplikasi. Hal itu mempengaruhi penyelesaian dari film ini sendiri yang muncul tak rapi. Penonton kesusahan untuk mendapatkan afirmasi dengan apa yang berusaha diselesaikan oleh para karakternya. Ada rasa ketidakpuasan yang muncul saat film ini berakhir. Penonton merasa butuh penjelasan selanjutnya yang lebih rinci agar penonton mengerti apa yang dimau oleh dua sutradara film Jailangkungini.  Mungkin ada niatan dari dua sutradaranya untuk hadir menyapa penontonnya di seri kedua. Sehingga, film Jailangkung ini hanya berusaha membangun set-up dunia horor yang baru. 


Memang, performa dari para aktor dan aktrisnya berusaha memberikan sesuatu yang terbaik untuk penontonnya di dalam film Jailangkung. Tetapi, hal tersebut tetap tak dapat menutupi celah bagaimana Jailangkung masih belum maksimal dalam pengarahan dan penulisan skenarionya. Sehingga, Jailangkung memang masih belum terlalu maksimal dalam performa isinya. Tetapi, tak dapat dipungkiri bahwa Jailangkungmemiliki performa teknis yang digarap tak sembarangan. Gambar dan tata produksi dalam film Jailangkung ini tak memiliki kesan asal-asalan.

Jailangkung memang akan dapat membawa kuantitas raihan penonton dengan nilai yang besar saat diedarkan. Tetapi, kuantitas tersebut tak memiliki relevansi dengan kualitas dari Jailangkung yang belum benar-benar maksimal oleh Jose Purnomo dan Rizal Mantovani. Masih banyak kekurangan-kekurangan yang perlu untuk diperbaiki apabila memutuskan untuk memiliki seri selanjutnya. Pengarahan yang belum maksimal serta cerita yang masih belum dimatangkan lagi menjadi problematika utama dalam performa Jailangkung sebagai sebuah film. Meski dengan plotnya yang generik, film ini masih terbata-bata dalam menuturkan konfliknya. Dampaknya, ada kesan buru-buru serta penjelasan yang belum tersampaikan dengan maksimal dan hal tersebut tak dapat memuaskan penontonnya.
 

Rabu, 28 Juni 2017

REVIEW : JAILANGKUNG

REVIEW : JAILANGKUNG


“Jailangkung, jailangkung. Disini ada pesta kecil-kecilan. Datang gendong, pulang bopong.” 


Dilepas di bioskop tanah air pada tahun 2001 silam, film horor bertajuk Jelangkung yang diarahkan oleh duo Rizal Mantovani – Jose Poernomo memperoleh sambutan sangat antusias dari masyarakat Indonesia dan dianggap sebagai salah satu film yang berjasa dalam membangkitkan kembali perfilman Indonesia dari mati suri menahun bersama Petualangan Sherina serta Ada Apa Dengan Cinta?. Kesuksesan yang direngkuhnya lantas melahirkan dua sekuel (Tusuk Jelangkung, Jelangkung 3), sebuah spin-off (Angkerbatu), dan sebuah prekuel (Cai Lan Gong) yang sebagian besar memperoleh resepsi kurang memuaskan. Di tengah mengemukanya tren membangkitkan kembali film yang telah mempunyai ‘nama besar’ pada dua tahun terakhir dan menyadari bahwa masih banyak kisah yang bisa dieksplorasi lebih jauh khususnya berkenaan dengan mitologi permainan jailangkung, rumah produksi Screenplay Films bekerjasama dengan Legacy Pictures lantas memutuskan merekrut duo Rizal-Jose untuk menggarap versi terbaru dari Jelangkung yang diberi judul Jailangkung. Bukan sebentuk film kelanjutan melainkan lebih mendekati ke reboot, Jailangkung tidak memiliki keterkaitan dengan versi terdahulu disamping keterlibatan kedua sutradara yang dipercaya menahkodai proyek besar ini plus penggunaan permainan tradisional bernuansa mistis sebagai penggerak roda penceritaan.

Jailangkung menempatkan fokusnya pada keluarga Wijanarko yang mengalami kemalangan selepas sang kepala keluarga, Ferdi (Lukman Sardi), ditemukan dalam keadaan koma secara misterius. Tidak ada satupun dokter di rumah sakit yang dapat memberikan diagnosis pasti mengenai penyebab komanya Ferdi memantik salah satu putri Ferdi, Bella (Amanda Rawles), untuk menggali informasi seorang diri yang lantas menuntunnya pada seorang mahasiswa bernama Rama (Jefri Nichol). Menurut Rama yang menaruh minat tinggi terhadap hal-hal berkaitan dengan metafisik, penyebab paling masuk akal bagi kondisi Ferdi saat ini adalah ‘ketempelan’ makhluk gaib. Ada sesuatu yang telah dipanggilnya dari alam lain, namun tidak pernah diantarnya pulang. Guna menyelidiki lebih lanjut, Bella dan Rama meminta bantuan ke seorang pilot, Capt Wardana (Augie Fantinus), yang mengetahui keberadaan Ferdi sebelum jatuh koma. Ditemani Rama, Capt Wardana, serta kedua saudarinya, Angel (Hannah Al Rashid) dan Tasya (Gabriella Quinlyn), Bella pun bertolak ke Pulau Alas Keramat. Di sana, mereka menemukan sebuah rumah gedongan terbengkalai yang konon kerap disambangi diam-diam oleh Ferdi. Berbekal jailangkung, Rama, Bella, dan Angel pun mencoba mendapatkan jawaban atas segala tanya tanpa pernah memperhitungkan konsekuensi besar yang akan mereka terima seusai bermain jailangkung.



Di atas kertas, Jailangkung sebetulnya telah mempunyai segalanya untuk dimanfaatkan sebagai modal dalam mengulangi kejayaan dari versi lawasnya semisal gelontoran dana masif (menurut pengakuan sang sutradara sih, mencapai 10 miliar), barisan pemain berbakat, hingga rancangan teror menjanjikan yang salah satunya melibatkan lelembut dalam wujud sejumlah tenaga kesehatan yang membantu persalinan Angel (ngeri kan?). Namun seperti kita sering alami bersama, ekspektasi kerapkali enggan berjalan beriringan dengan realita. Jailangkung pun, sayangnya, berakhir demikian. Segala konsep menjanjikan yang hendak diusungnya mendadak mentah tatkala diterjemahkan ke bahasa gambar. Sebagai sebuah film yang mengambil fokus di jalur horor, Jailangkung jauh dari kata menakutkan. Alih-alih menyergap penonton dengan teror yang senantiasa membayangi – atau minimal menyebabkan bulu kuduk ini meremang – film lebih sering menempatkan penonton dalam perasaan hampa cenderung jenuh serta membangkitkan hasrat untuk tertawa geli akibat bermunculannya serentetan adegan konyol yang sejatinya tidak diniatkan si pembuat film. Ya, rentetan teror dalam Jailangkung tidak bekerja secara semestinya lantaran timing dalam menggeber penampakan yang kurang tepat guna dan duo Rizal-Jose seolah memandang sepele pentingnya penceritaan untuk membangun teror demi teror. Padahal, salah satu kunci utama dari keberhasilan suatu film horor terletak pada penceritaan hasil dari naskah yang mumpuni. 

Tanpa naskah yang mumpuni, film horor berakhir sebatas parade jump scares yang nihil esensi. Itulah yang dialami Jailangkung. Si pembuat film lebih memilih untuk menggeber penampakan-penampakan sebanyak mungkin yang hampir kesemuanya berlalu begitu saja ketimbang mengelaborasi mitologi seputar pemanggilan arwah menggunakan jailangkung, sejarah sang hantu utama, maupun latar belakang keluarga Wijanarko yang semestinya perlu diketahui oleh penonton guna memancing keterikatan dan ketertarikan. Bisa jadi, ini akibat dari keputusan untuk membatasi durasi hanya mencapai 86 menit yang berimbas pada laju penceritaan cenderung tergesa-gesa dan tidak tersedianya banyak ruang yang tersisa untuk bercerita serta membangun ketegangan. Saya curiga, instruksi untuk penggarapan Jailangkung tertulis begini: durasi tidak perlu panjang-panjang, cerita tidak perlu rumit-rumit, pokoknya asal ada hantu yang kemunculannya diiringi skoring musik mengagetkan saja penonton pasti sudah senang. Apabila memang betul demikian, alangkah mengecewakannya. Beruntunglah bagi Jailangkung mendapat suntikan dana jor-joran untuk mengembangkan visual yang tampak mahal dan memperoleh sumbangsih akting di level cukup dari jajaran pemainnya sekalipun terhalang karakterisasi cethek, sehingga film masih bisa buat dinikmati. Tanpa sokongan dari dua lini ini, maka Jailangkung hanya berakhir sebagai film dengan naskah yang guliran pengisahan berikut dialognya bikin garuk-garuk kepala, penyuntingan yang melompat-lompat kesana kemari menghasilkan adegan kurang koheren, dan jump scares yang sama sekali tidak istimewa. Sungguh sangat disayangkan.

Poor (2/5)