Tampilkan postingan dengan label Screenplay Films. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Screenplay Films. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 14 Oktober 2017

REVIEW : ONE FINE DAY

REVIEW : ONE FINE DAY


“Hidup itu seperti kamera. Kamu harus fokus pada satu target.” 

Andaikata kamu telah menelurkan beberapa karya dengan pokok penceritaan seragam namun terbukti diterima sangat baik oleh publik, apa yang akan kamu lakukan untuk karya berikutnya? Mengaplikasikan formula senada sampai pangsa pasarmu menanggapi dingin atau perlahan tapi pasti mencoba berinovasi demi menggaet pasar lebih luas yang berarti ada resiko besar mesti diambil? Bagi rumah produksi Screenplay Films yang telah memberi kita tontonan percintaan mendayu-dayu seperti Magic Hour, I Love You from 38.000 Feet, Promise, serta dwilogi London Love Story, jawabannya telah teramat jelas yakni pilihan pertama. Mereka seolah-olah berujar, “formula kita telah teruji berhasil untuk penonton usia belasan yang menjadi konsumen utama kita, jadi mengapa harus mengambil resiko dengan mengubahnya hanya untuk menyenangkan hati penonton-penonton sinis yang bisa jadi tidak akan menonton film kita?.” Tidak mengherankan jika rilisan terbaru mereka, One Fine Day, yang masih ditangani oleh tim inti serupa dengan rilisan terdahulu (setidaknya untuk kursi penyutradaraan dan penulisan naskah) tanpa ragu-ragu mengusung guliran penceritaan yang senada seirama. Kita kembali diterbangkan jauh-jauh ke negeri orang untuk menyaksikan kusutnya kisah percintaan muda-mudi berkantong tebal asal Indonesia. 

Dalam One Fine Day, muda-mudi yang terlibat dalam problematika asmara yakni Mahesa (Jefri Nichol) dan Alana (Michelle Ziudith). Mahesa adalah pemuda dari Indonesia yang mencoba mengadu nasib sebagai musisi di Barcelona, Spanyol, bersama dua sahabat baiknya, Revan (Dimas Andrean) dan Dastan (Ibnu Jamil). Akan tetapi, nasib baik tak kunjung berpihak kepadanya seiring dengan teramat seringnya demo musik milik mereka mengalami penolakan. Demi menyambung hidup, Mahesa dan kawan-kawan pun terpaksa menipu perempuan-perempuan kaya. Salah satu target terbaru tiga serangkai ini adalah Alana yang dilihat pertama kali oleh Mahesa di sebuah restoran mewah. Mulanya mengira Alana tidak bakal berbeda jauh dengan para korban sebelumnya yang mudah untuk dibujuk rayu lalu ditinggal pergi, masalah lantas muncul tatkala Mahesa mendapati tiga fakta mengenai Alana. Pertama, Alana adalah perempuan Indonesia. Kedua, Alana telah memiliki kekasih bernama Danu (Maxime Bouttier) yang luar biasa posesif sampai-sampai menitahkan seorang bodyguard, Pak Abdi (Surya Saputra), untuk selalu mengawalnya kemanapun dia pergi. Dan ketiga, Alana telah membuatnya jatuh cinta, begitu pula sebaliknya. Rencana penipuan yang telah disusun dengan baik pun seketika berantakan terlebih Danu tentu tidak akan begitu saja membiarkan sang kekasih digaet oleh laki-laki lain.


Apabila kamu berpikir One Fine Day bakal memiliki jalinan pengisahan berbeda usai membaca sinopsis di atas, well… sayang sekali kamu keliru. Seperti yang sudah-sudah, struktur cerita One Fine Day hanyalah sebentuk daur ulang dari film-film rilisan Screenplay Films sebelumnya macam Magic Hour, London Love Story, serta Promise yang diberikan sedikit bubuhan disana sini agar membuatnya tampak segar. Dalam catatan saya, setidaknya ada tiga hal yang membuat film arahan Asep Kusdinar ini tampak berbeda: pemanfaatan kota Barcelona sebagai latar tempat dengan baik, lagu-lagu pengiring beraliran tropical seperti Vamos De Fiesta dan Te Amo Mi Amor yang cukup ampuh dalam mengajak penonton untuk menghentak-hentakan kaki mengikuti irama, serta Michelle Ziudith yang sekali ini terlihat sangat cantik sekali. Selain ketiga catatan tersebut, tidak ada pembaharuan signifikan yang bisa kamu jumpai dalam One Fine Day. Guliran konfliknya masih berkisar pada muda-mudi dari Indonesia yang hidup bergelimangan harta di negeri orang, lalu jatuh cinta dengan lawan jenis yang (kok bisa-bisanya) ternyata saudara sebangsa, kemudian datang orang ketiga (baik tunggal maupun jamak) yang merecoki hubungan mereka, dan akhirnya diselesaikan melalui klimaks yang mewajibkan Michelle Ziudith menangis sejadi-jadinya karena sang lelaki idaman berada di ambang garis kematian. 

Agar membuat film terasa semakin romantis dan dramatis, maka rentetan dialog-dialog puitis yang biasanya berwujud analogi mesti disisipkan di berbagai titik sekalipun waktunya kurang tepat. Salah satu yang paling membekas dalam One Fine Day adalah “hidup itu seperti kamera. Kamu harus fokus pada satu target” yang cukup menerjemahkan guliran pengisahan film. Ini adalah salah satu kabar baik yang dibawa One Fine Day, si pembuat film tidak ngoyo untuk membuat filmnya terlihat cerdas dengan memberi banyak subplot tanpa esensi atau menghadirkan alur non-konvensional (mari kita ucapkan halo pada Promise, saudara-saudara!) yang malah berujung pada terpelintirnya otak penonton. One Fine Day dituturkan secara lugas dan jelas dengan pesan mengenai kejujuran dan memperjuangkan mimpi yang tersampaikan cukup baik. Kabar baik lainnya, barisan pemain menunjukkan lakon tidak mengecewakan khususnya Maxime Bouttier yang sanggup membuat sosok Danu si bocah kaya manja yang berbahaya tampak menjengkelkan, Surya Saputra sebagai bodyguard yang terombang ambing antara mengikuti perintah atasan atau hati nurani, serta Michelle Ziudith yang kentara makin terlatih dalam adegan tangis-tangisan (tolong, beri dia peran menantang. Dia aktris menjanjikan!). 

Dengan formula cerita yang masih jalan di tempat, One Fine Day memang bakal kesulitan dalam menggaet penggemar baru yang sebelumnya tidak pernah bisa menerima film-film keluaran Screenplay Films yang cheesy-nya kebangetan itu. Akan tetapi, film ini akan sangat mudah untuk membuat pangsa pasarnya tersenyam-senyum bahagia menyaksikan duo Jefri Nichol-Michelle Ziudith bermesra-mesraan di sepanjang durasi diiringi alunan lagu tropical yang asyik buat goyang.

Acceptable (2,5/5)


ONE FINE DAY (2017) REVIEW : Nuansa Baru tanpa Perubahan Baru

ONE FINE DAY (2017) REVIEW : Nuansa Baru tanpa Perubahan Baru

 
Screenplay Films memang sedang aktif-aktifnya untuk merilis filmnya. Di awal tahun, penonton di sapa lewat Promisedan London Love Story 2. Di kuarter kedua, penonton disapa lewat film horor dengan judul Jailangkung yang mendapatkan perolehan penonton yang cukup fantastis. Dan akhir kuarter tahun ini, screnplay berusaha untuk merilis film terbarunya dengan nuansa yang cukup berbeda dengan judul One Fine Day.

Tak bisa dipungkiri, kehadiran Screenplay Films dalam ranah perfilman Indonesia ini menjadi salah satu kompetitor yang kuat bagi rumah produksi lainnya. Mulai dari Magic Hour, Screenplay Films membuktikan bahwa mereka bisa membuat film yang laris manis di pasaran. Meskipun, formula yang dihadirkan oleh rumah produksi satu ini tetap sama dari satu film ke film lainnya. Tetapi, ada usaha untuk mengubah filmnya menjadi cinematic event yang akan dinanti segmentasinya.

Maka, datanglah One Fine Dayyang berusaha mendaur ulang formula usangnya dengan cara mengkombinasikan para pemainnya. Michelle Ziuditih, aktris favorit dari Screenplay Films ini disandingkan dengan aktor pendatang baru dengan fans range yang sangat besar yaitu Jefri Nichol. Serta, nama-nama yang belum pernah digunakan oleh Screenplay Films sebelumnya seperti Maxime Bouttier turut mewarnai film terbaru dari Asep Kusdinar ini.


One Fine Day berusaha memberikan nuansa yang berbeda dibanding dengan film-film Screenplay sebelumnya. Tetapi dengan Asep Kusdinar yang tetap berada di bangku sutradara, jangan harap ada perubahan signifikan dari One Fine Day ini. Dengan segala upaya membuat nuansa yang lebih ceria dan tata produksi yang lebih sinematik, Screenplay Films lagi-lagi tak berusaha memperbaiki bagaimana One Fine Dayharus diarahkan.

Inilah One Fine Day yang menceritakan tentang Mahesa (Jefri Nichol), orang asli Indonesia yang sedang merantau ke Barcelona. Kehidupannya di Barcelona memang tak semujur yang banyak orang bayangkan. Dia mengikuti minatnya untuk membuat band bersama teman-temannya sekaligus menipu wanita-wanita Barcelona untuk bisa bertahan hidup di sana. Hingga di suatu cafe, dia bertemu dengan wanita cantik bernama Alana (Michelle Ziudith).

Mahesa berusaha untuk mendekati Alana, tetapi dengan maksud yang lain. Dia tak ingin menipu Alana, tetapi Mahesa benar-benar jatuh cinta padanya. Meskipun, sebenarnya Alana ini sudah menjadi kekasih lelaki lain bernama Danu (Maxime Bouttier). Tetapi, Mahesa tetap berusaha mengejar Alana dan mereka pergi berdua secara diam-diam. Alana bisa bersenang-senang dengan Mahesa dan hal tersebut tak pernah dirinya rasakan ketika bersama Danu. 


Formula kisah ceritanya ini generik, kisah cinta ala-ala Screenplay Films dengan kemasannya yang hiperbolik. Belum lagi, One Fine Day dipenuhi dengan rentetan dialog-dialog khasnya yang sangat dramatis agar pas untuk dikutip untuk bahan gegalauan oleh segmentasinya. Plotnya sederhana, tetapi bagaimana Asep Kusdinar berusaha untuk memberikan banyak konflik di dalam ceritanya tak diimbangi dengan metode pengarahan yang benar.

One Fine Day hanya dipenuhi dengan fans service yang disasar benar kepada target segmentasinya. Eksploitasi yang dilakukan oleh Tisa TS di dalam One Fine Day adalah impian dan ambisinya tentang makhluk bernama laki-laki. Maka, di sepanjang 30 menit pertama One Fine Day, fokus utama dari film ini bukanlah plot cerita beserta bangunan konflik-konfliknya. Tetapi, fokusnya berubah ke bagaimana Jefri Nichol disorot habis-habisan untuk memenuhi impian para fansnya.

Asep Kusdinar menuruti setiap mimpi dan obsesi Tisa TS sehingga tak bisa memaksimalkan pengarahannya yang beberapa kali membaik di dua film Screenplay sebelumnya. One Fine Daypenuh akan lekuk tubuh dan wajah dari Jefri Nichol. Bermain terlalu asyik sendiri menampilkan paras Jefri Nichol yang sedang bercengkrama mesra dengan Michelle Ziudith agar setiap fansnya bisa terpuaskan. Juga keindahan kota Barcelona yang dipadupadankan bersama lagu-lagunya yang nuansanya pun dipaskan dengan keeksotisan kotanya. 


Tetapi, dengan begitu penonton akan mulai kebingungan dengan siapa itu Mahesa, Alana, Danu dan segala bentuk karakter yang ada di dalam filmnya. Belum baik menceritakan bangunan tiap karakter dan mengenalkan plotnya, konflik yang memperumit film datang bertubi-tubi ditambahi dengan pengenalan karakter lain. Ini adalah sebuah distraksi besar dari plot ceritanya yang seharusnya sederhana dan bisa berjalan lancar-lancar saja.

Mengikuti One Fine Day akan membutuhkan usaha yang luar biasa besar agar tahu tentang segala motif konflik dan karakternya. Penonton disuruh untuk meraba bangunan karakter dan plotnya dengan informasi-informasi yang tak sepenuhnya ada di sepanjang filmnya yang berdurasi 104 menit. Seharusnya, film dengan durasi sepanjang itu sudah lebih dari cukup untuk berusaha memberikan dasar-dasar cerita agar presentasinya semakin kuat. Tetapi, karena obsesi tersebut, One Fine Day tak bisa memberikan performanya yang maksimal. 


Memang, One Fine Daymemiliki nuansa yang berbeda dari film-film Screenplay sebelumnya yang tingkat dramatisasinya terlalu berlebihan. Tetapi, pengarahan One Fine Day tak benar-benar berbeda bahkan sedikit menurun performa pengarahan dari Asep Kusdinar ini. Penonton akan merasa ada beberapa adegan hilang di dalam filmnya sehingga harus mengkoneksikan sendiri setiap informasi dari filmnya. Inilah yang membuat One Fine Day tak memiliki performa yang maksimal meskipun sudah mencari atmosfir yang lain. 

Senin, 03 Juli 2017

JAILANGKUNG (2017) REVIEW : Mitos Hantu dengan Wajah Baru yang Minim
Eksplorasi

JAILANGKUNG (2017) REVIEW : Mitos Hantu dengan Wajah Baru yang Minim Eksplorasi


Mitos tentang sosok tak kasat mata yang dipanggil dengan mantra “datang tak dijemput, pulang tak diantar”ini kembali menghantui penontonnya. Film tentang hantu legendaris ini pernah ada dan mewarnai perfilman Indonesia di tahun 2001 sekaligus menjadi penanda bangkitnya film Indonesia kala itu. Sehingga, sosok hantu ini sudah menjadi sebuah brand yang akan dengan mudah dikonsumsi dan mendapat kepercayaan dari penontonnya.

Sosok hantu legendaris ini kembali ditangani oleh sutradara yang pernah menangani sosok ini di tahun 2001 dengan rejenuvasi nama menjadi Jailangkung sesuai dengan mitos yang ada. Tetapi, mantra yang digunakan dalam ritualnya kali ini pun sudah berubah. “Datang Gendong, Pulang Bopong” menjadi mantra baru untuk memanggil makhluk tak kasat mata ini. Jose Purnomo dan Rizal Mantovani diakuisisi oleh Screenplay Films bersama dengan Legacy Pictures untuk mengarahkan Jailangkung yang dirilis di bulan lebaran 2017 ini.

Selain rejuvenasi nama dari Jelangkung ke Jailangkung, proyek film ini juga memakai nama-nama baru di perfilman Indonesia yang sekaligus memiliki  potensi agar sukses. Jefri Nichol dan Amanda Rawles menjadi pasanan di dalam film yang terbukti mampu mendatangkan penonton lewat Dear Nathan. Formula itu pun digunakan di dalam film dengan genre yang berbeda. Bersama dengan Baskoro Adi Wuryanto, Jose Purnomo dan Rizal Mantovani berusaha menghidupkan lagi mitos hantu legendaris ini untuk disajikan kepada penontonnya. 


Dengan kembalinya dua sutradara yang  berhasil menakut-nakuti penontonnya lewat film Jelangkung di tahun 2001, tentu penonton berusaha memiliki harapan terhadap versi terbarunya. Calon penonton tentu masih mengharapkan bagaimana dua sutradara ini memiliki kemagisannya lagi untuk sekali lagi dapat menghantui penontonnya dengan mitos yang sama. Nyatanya, Jailangkungmemang memiliki kekuatan yang sangat minimalis. Jailangkung menitikberatkan kekuatannya pada nilai produksi yang menunjukkan bahwa film ini tak dibuat sembarangan.

Jailangkung memiliki berbagai macam kekurangan yang perlu diperhatikan dalam mengarahkan dan menuturkan ceritanya. Meski Jefri Nichol, Amanda Rawles, Hannah Al Rashid, atau pun Lukman Sardi berusaha untuk memberikan performa terbaiknya, tak bisa dipungkiri bahwa Jailangkung secara tertulis dibangun begitu lemah. Jailangkungkebingungan dengan apa yang berusaha disampaikan secara visual. Sehingga, penonton pun akan merasakan banyak sekali pertanyaan yang tak terjawab. 


Jailangkung langsung saja dimulai dengan bagaimana Bella (Amanda Rawles) yang sedang berada di rumah sakit menemui ayahnya (Lukman Sardi) yang sedang koma. Bella dan juga kakaknya Angel (Hannah Al-Rashid) berusaha untuk mencari tahu penyebab ayahnya yang tiba-tiba koma dan tak sadarkan diri begitu lama. Informasi pertama yang mereka dapatkan adalah sang Ayah, Ferdi memiliki sebuah rumah lain tempat dia ditemukan dalam kondisi tak sadarkan diri.

Dengan adanya informasi tersebut, Bella berusaha mencari tahu seperti apa di sana. Bella yang putus asa secara tak sengaja mendengar sebuah penjelasan dari Rama (Jefri Nichol) yang membahas tentang mitos-mitos tentang dunia astral. Rama berusaha mencari tahu penyebab dari komanya ayah Bella dan memang ditemukan sebuah fakta bahwa Ferdi, ayah Bella, bermain Jailangkung di area rumah tersebut. Dan sekarang, arwah Ferdi dibawa oleh makhluk halus sehingga dia tak sadarkan diri.

Konflik yang digunakan di dalam film Jailangkung ini sebenarnya bukan lagi hal yang baru di dalam film-film dengan genre serupa. Jailangkungtetap diisi dengan plot cerita yang generik di dalam film horor, tetapi hal itu pula ditambahi dengan keklisean dialog khas film-film milik Screenplay lainnya. Sebenarnya Jailangkung berusaha memberikan mitos baru tentang makhluk tak kasat mata yang secara tak langsung terpanggil di dalam ritualnya. Tetapi, latar belakang cerita dan bagaimana konfliknya terbangun tetap tak bisa dipungkiri bahwa Jailangkung memiliki sesuatu yang generik. 


Meski dengan sesuatu yang generik, Jailangkungseharusnya bisa mengolahnya menjadi sesuatu yang dapat dinikmati. Sayangnya, konflik yang generik dan lurus-lurus saja itu tampil dengan terbata-bata. Plot cerita yang seharusnya dapat diikuti begitu saja oleh penontonnya, Jailangkung malah membuatnya begitu rumit tetapi tanpa diarahkan dengan teliti. Sehingga, hal itu berdampak pada performa Jailangkung yang terpisah-pisah dalam penuturannya.

Transisi plot cerita dalam Jailangkungini tak bisa berjalan dengan baik. Konfilk yang muncul terlalu awal di dalam film ini membuat penonton bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi. Tetapi penjelasan itu tak dibahas dengan detil, hanya muncul sedikit informasi yang membuat penonton pada akhirnya meraba apa yang berusaha disampaikan oleh Jose Purnomo dan Rizal Mantovani. Permasalahan yang belum selesai dibahas ini masih ditambahi pula dengan cabang cerita yang lain.

Alhasil, dengan durasi yang hanya berkisar 86 menit, penceritaannya terbata-bata tetapi berusaha terlihat komplikasi. Hal itu mempengaruhi penyelesaian dari film ini sendiri yang muncul tak rapi. Penonton kesusahan untuk mendapatkan afirmasi dengan apa yang berusaha diselesaikan oleh para karakternya. Ada rasa ketidakpuasan yang muncul saat film ini berakhir. Penonton merasa butuh penjelasan selanjutnya yang lebih rinci agar penonton mengerti apa yang dimau oleh dua sutradara film Jailangkungini.  Mungkin ada niatan dari dua sutradaranya untuk hadir menyapa penontonnya di seri kedua. Sehingga, film Jailangkung ini hanya berusaha membangun set-up dunia horor yang baru. 


Memang, performa dari para aktor dan aktrisnya berusaha memberikan sesuatu yang terbaik untuk penontonnya di dalam film Jailangkung. Tetapi, hal tersebut tetap tak dapat menutupi celah bagaimana Jailangkung masih belum maksimal dalam pengarahan dan penulisan skenarionya. Sehingga, Jailangkung memang masih belum terlalu maksimal dalam performa isinya. Tetapi, tak dapat dipungkiri bahwa Jailangkungmemiliki performa teknis yang digarap tak sembarangan. Gambar dan tata produksi dalam film Jailangkung ini tak memiliki kesan asal-asalan.

Jailangkung memang akan dapat membawa kuantitas raihan penonton dengan nilai yang besar saat diedarkan. Tetapi, kuantitas tersebut tak memiliki relevansi dengan kualitas dari Jailangkung yang belum benar-benar maksimal oleh Jose Purnomo dan Rizal Mantovani. Masih banyak kekurangan-kekurangan yang perlu untuk diperbaiki apabila memutuskan untuk memiliki seri selanjutnya. Pengarahan yang belum maksimal serta cerita yang masih belum dimatangkan lagi menjadi problematika utama dalam performa Jailangkung sebagai sebuah film. Meski dengan plotnya yang generik, film ini masih terbata-bata dalam menuturkan konfliknya. Dampaknya, ada kesan buru-buru serta penjelasan yang belum tersampaikan dengan maksimal dan hal tersebut tak dapat memuaskan penontonnya.