Tampilkan postingan dengan label Dion Wiyoko. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dion Wiyoko. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

THE GIFT (2018) REVIEW : Pemandu Perjalanan Memaknai Ulang Pesan
Tentang Cinta

THE GIFT (2018) REVIEW : Pemandu Perjalanan Memaknai Ulang Pesan Tentang Cinta


Setelah sibuk mengurusi proyek mega besar, Hanung Bramantyo secara tak disangka hadir menawarkan sesuatu yang baru tahun ini. Proyek film terbarunya ini digadang menjadi sebuah proyek yang personal baginya. Lewat film terbaru inilah, Hanung Bramantyo memberikan klaim bahwa ini adalah salah satu karyanya di mana dirinya bisa menjadi dirinya sendiri dan bebas. Lantas, dengan trailer saja, tentu calon penonton tahu bahwa film ini akan sedikit berbeda

The Gift, proyek film dari Hanung Bramantyo ini dibintangi oleh tiga deretan artis yang sudah memiliki rekam jejak yang baik. Mulai dari Dion Wiyoko, Ayushita Nugraha, Reza Rahadian, hingga Christine Hakim mau memberikan kontribusinya terhadap karya terbaru film Hanung Bramantyo ini. Meski baru saja dirilis di bulan Mei ini, The Gift telah memiliki kesempatan untuk dinikmati penontonnya lewat sebuah film festival di kota Yogyakarta.

Hanung Bramantyo yang biasa mengusung sebuah ide yang besar dalam film-filmnya, tentu sangat penasaran dengan The Gift dalam presentasinya. Terlebih, lewat trailer pun penonton bisa tahu bahwa Hanung Bramantyo memiliki pendekatannya yang berbeda dibanding dengan karya-karya sebelumnya. Pendekatannya yang berbeda inilah yang ternyata menjadi amunisi senjata di dalam filmnya. The Gift tentu menjadi sebuah sajian yang segar di antara film-film Hanung sebelumnya.


Hanung Bramantyo benar-benar memperhatikan betul komposisi di dalam film The Gift ini sehingga bisa menjadi sebuah sajian yang sangat pas. Tak perlu dialog dan performa aktor-aktrisnya yang meluap-luap, tetapi The Gift sangat mampu untuk mengajak penontonnya merasakan perjalanan memaknai ulang apa itu cinta dan kasih sayang dengan pion-pion karakternya yang juga sedang kehilangan kepercayaan terhadap makna cinta yang sesungguhnya.

Inilah The Gift, medium di mana Hanung Bramantyo berani untuk bereksplorasi lebih tentang sensitivitasnya dalam mengarahkan sebuah film. Lewat film inilah, Hanung Bramantyo membuktikan bahwa dirinya tak hanya bisa mengarahkan sebuah film dengan ide yang besar. Semua komposisi pengarahan dari Hanung Bramantyo di dalam film The Gift ini adalah perkara rasa. Lantas, hal ini akan berkorelasi secara signifikan dengan karakter-karakter yang ada di dalam film The Gift ini.



The Gift mengajak menyelami bagaimana Tiana (Ayushita Nugraha), seorang novelis yang ingin sekali lagi berkarya di dalam hidupnya. Dalam caranya untuk berkarya, Tiana berusaha mengeksplorasi dirinya ke tempat-tempat baru dalam hidupnya dan tibalah dia di sebuah kota usang yang dipermak ulang yaitu Yogyakarta. Tinggal di sebuah lingkungan yang cukup kecil, Tiana bertemu dengan laki-laki misterius bernama Harun (Reza Rahadian).

Perkenalan awal mereka tak berjalan dengan baik, hingga akhirnya Harun berusaha mengajaknya sarapan untuk mengenal lebih jauh siapa Tiana. Harun adalah seorang pemuda tuna netra yang masih harus menjaga sikapnya yang tempramental. Tetapi, tak berlangsung begitu lama, Tiana merasa memiliki koneksi yang kuat dengan Harun. Hingga akhirnya, seseorang dari masa lalu Tiana bernama Arie (Dion Wiyoko) datang kepadanya dan berusaha memenangkan hati Tiana.


Dengan perjalanan cerita tersebut, The Gift memang masih menyadur konflik cinta segitiga yang usang. Hanya saja, The Gift tak akan semudah itu berhenti di formulanya yang usang. Naskahnya tak berhenti memposisikan film ini sebagai drama cinta saja, tetapi juga ada usaha untuk mendalami kata ‘cinta’ sehingga memiliki makna yang jauh lebih luas. Caranya adalah dengan menggali lebih lagi perkembangan setiap karakternya sehingga pesan yang disampaikan bisa lebih tepat sasaran.

Dengan durasinya yang mencapai 118 menit, penonton disuguhi perjalanan karakter Tiana, Harun, dan Arie yang sama-sama memiliki problematikanya memaknai kata cinta. Penuturan Hanung Bramantyo kali ini lebih berusaha mendekatkan ketiga karakternya kepada penonton. Sehingga, setiap karakternya punya ruang untuk berkembang dan dekat kepada penontonnya. Pada akhirnya, simpati penonton adalah hal yang sangat diharapkan dari film The Gift agar bisa mendapatkan efek yang kuat di narasi akhirnya nanti.


Hanung juga dengan rapi menutupi narasi akhirnya yang sengaja disimpan. Sehingga, ketika narasi akhir tersebut berhasil disampaikan, penonton bisa merasakan perasaan getir yang sangat kuat. Setiap menitnya memiliki cita rasa romantis yang muncul sangat sederhana tetapi begitu personal dan punya kekuatannya untuk bisa merasuk ke dalam hati penontonnya. Hal inilah yang membuat The Gift menjadi sebuah persembahan yang berbeda dibandingkan dengan film-film Hanung sebelumnya.

Lewat The Gift, Hanung Bramantyo terasa benar untuk membebaskan dirinya. Bertutur dengan lebih jujur dan berusaha menawarkan sesuatu yang lebih hangat kepada penontonnya. Hal ini diperkuat lewat bagaimana Hanung berusaha menguatkan kesan intimasi tersebut lewat tata gambarnya yang elok. Belum lagi dipercantik dengan warna-warnanya yang menghangatkan mata dan suara musik yang mengalun cantik agar memperkuat sisi manisnya film ini.


Meskipun ada beberapa kebebasan dari Hanung Bramantyo yang akhirnya terbatasi karena masalah durasi. The Gift masih punya cukup banyak amunisi yang membuat dirinya bisa menjadi salah satu karya terbaik dari sutradara satu ini. Belum lagi, nyawa dari film ini sejatinya adalah performa dari ketiga nama utama yang mampu mengajak penonton berinterpretasi ulang atas makna tentang cinta. Ketiganya mampu menjadi sosok karakter yang belum sempurna betul memaknai sebuah kasih sayang yang datang pada dirinya dan The Gift akan menjadi pemandu yang pas untuk memaknai itu.


Jumat, 27 Januari 2017

CEK TOKO SEBELAH (2016) REVIEW : Komedi Dengan Misi Mulia yang Belum
Maksimal

CEK TOKO SEBELAH (2016) REVIEW : Komedi Dengan Misi Mulia yang Belum Maksimal


Kesuksesan Ngenest The Movie, membuat Ernest Prakasa dipercaya oleh Starvision untuk membuat karya. Kesuksesannya pun tak sekedar dalam meraih angka penonton, tetapi secara kualitas pun Ngenest The Movie bisa melampaui ekspektasi penontonnya. Tak hanya dipercaya oleh rumah produksi, karya-karya Ernest Prakasa akan dinantikan oleh penikmatnya. Di tahun 2016 lalu, Ernest Prakasa kembali menghadirkan sebuah film komedi dengan misi yang sangat besar untuk disajikan kepada penontonnya.
 
Lewat ‘Cek Toko Sebelah’, Ernest Prakasa berusaha untuk kembali membuktikan kemampuannya dalam mengarahkan sebuah film. Genre komedi ini sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Ernest Prakasa tetapi ada keseriusan yang lebih diperhatikan di film keduanya. Adanya Dion Wiyoko, Adinia Wirasti, Chew Kin Wah, dan mengambil keputusan berani mendatangkan wajah baru seperti Gisela, menunjukkan bahwa Ernest Prakasa di film keduanya ini sudah tak main-main.

Cek Toko Sebelah lagi-lagi mengangkat tema ras Tionghoa yang memang dekat dengan pribadi Ernest Prakasa. Tetapi, poin utama dari film Cek Toko Sebelah bukan lah tentang Tionghoa sebagai minoritas di Indonesia. Poin utama dari Cek Toko Sebelah adalah tentang keluarga, pesan yang begitu universal bagi siapapun. Maka dari itu, Cek Toko Sebelah memiliki misi yang sangat besar sebagai sebuah film komedi karena misinya untuk menyampaikan pesan yang serius itu dengan kemasan ringan. 


Misinya mulia, pesannya pun hangat, tetapi Cek Toko Sebelah yang berusaha keras untuk meminimalisir filmnya agar tak terlalu berat ini menjadi bumerang di keseluruhan film. Sebagai sebuah film komedi, tak dapat dipungkiri bahwa Cek Toko Sebelah berhasil menghibur penontonnya. Tetapi, hal tersebut bukan berarti menjadi kabar baik. Cek Toko Sebelah memiliki kekurangan-kekurangan yang harusnya bisa diperbaiki di karya-karya Ernest Prakasa selanjutnya.

Problematika domestik yang dibawa oleh Ernest Prakasa ini memang berusaha agar dapat diterima oleh banyak orang, tak hanya dikhususkan kepada kaum Tionghoa yang direpresentasikan di film ini. Ernest tahu bahwa tujuan dari Cek Toko Sebelah ini adalah untuk menumbuhkan relevansi problematika kaum minoritas Indonesia. Menunjukkan bahwa problematika yang terlihat tersegmentasi ini sebenarnya adalah realita sosial yang ada di setiap orang. 


Gambaran realita sosial itu tergambar lewat dari plot Cek Toko Sebelah yang menceritakan tentang bisnis toko kelontong milik Koh Afuk (Chew Kin Wah). Dia merasa bahwa dirinya semakin tua untuk mengurus toko kelontongnya, apalagi setelah ditinggal oleh istrinya (Dayu Wijayanto). Koh Afuk pun memutuskan untuk mewariskan tokonya ke Erwin (Ernest Prakasa). Mendengarkan keputusan koh Afuk, Yohan (Dion Wiyoko) sebagai anak sulung pun tak terima bila toko tersebut diberikan kepada Erwin sebagai anak bungsu.

Erwin pun tak senang mengetahui bahwa dirinya akan mewarisi toko tersebut, karena karir Erwin sedang naik-naiknya. Tetapi, Koh Afuk berusaha untuk meyakinkan Erwin agar mau melanjutkan toko kelontong milik keluarga ini. Akhirnya, Erwin diberi masa percobaan untuk mengurus toko kelontong tersebut selama sebulan. Tetapi, masalah-masalah di toko kelontong ini tak hanya datang dari internal keluarga, tetapi juga oknum-oknum lain yang berusaha membeli toko kelontong koh Afuk untuk kepentingan yang lain. 

 
Menuliskan permasalahan dengan ranah domestik atau pribadi tetapi berusaha memberikan dampak secara luas dan untuk semua kalangan ini dibutuhkan ketelitian. Naskah yang ditulis oleh Ernest Prakasa dan juga mendapat pengembangan cerita dari sang Istri, Meira Anastasia, ini memiliki kehati-hatian itu. Problematika di dalam plot cerita ini memiliki banyak kekayaan bila dirasakan lewat naskahnya, tetapi hasilnya di layar tak dapat dirasakan sepenuhnya.

Dengan durasi mencapai 104 menit, Cek Toko Sebelah terlihat memiliki keterbatasan dalam memperlihatkan kekayaan naskahnya. Yang menyebabkan hal tersebut adalah bagaimana Ernest yang sibuk berusaha menumpulkan isu sosialnya yang berat dengan kemasan komedi yang terlalu banyak. Sekuens-sekuens komedi itu memang cara jitu untuk sesekali digunakan sebagai pelarian diri dari plot yang terlalu serius. Tetapi, sekuens komedi ini tak bisa membaur menjadi satu dengan penuturan plot utamanya dan jadinya informasi yang diterima akan terpisah-pisah.

Cek Toko Sebelah pun tak bisa menjadi sebuah film yang utuh, perkembangan karakternya pun tak bisa terasa maksimal. Ada rasa Ernest ingin mendekatkan penonton dengan setiap karakternya, apalagi problematika seperti ini memang dekat dengan kehidupan sosial yang ada. Hanya saja, penuturannya terbata-bata, sehingga tujuan Ernest untuk mendekatkan itu kurang bisa tersampaikan. Ketika penonton sudah berusaha ingin menyatu dengan setiap karakter dan konfliknya, sekuens komedinya malah mendistraksi intimasi dengan karakternya. 


Kekuatan dari Cek Toko Sebelah adalah nilai produksi yang dibuat dengan teliti. Parodi brand produk yang ada di dalam film ini adalah bentuk salah satu ketelitian Ernest saat mengarahkan film ini. Selain dalam hal teknis, poin penting yang patut mendapat apresiasi adalah penampilan Dion Wiyoko dan Adinia Wirasti. Dion Wiyoko berhasil menerjemahkan kegelisahan Yohan yang merasa bahwa hirarkinya terganggu, diimbangi dengan permainan persona yang teduh dari Adinia Wirasti sebagai ayu. Sehingga, keduanya berhasil menjadi sorotan utama bagi film Cek Toko Sebelah ini.

Cek Toko Sebelah sebenarnya adalah sebuah film yang dibuat dengan teliti dan hati-hati. Hal itu terasa di dalam naskahnya yang ditulis begitu kaya. Hanya saja, dalam translasi menjadi sebuah film, Cek Toko Sebelah tak dapat menjadi sebuah film yang utuh. Hal itu dikarenakan distraksi sekuens komedi yang pada akhirnya menghambat perkembangan konfliknya, sehingga kekayaan naskahnya dalam menggambarkan isu-isu sosial itu tak dapat muncul dengan maksimal. Tetapi, detil nilai produksi dan performa Dion Wiyoko serta Adinia Wirasti ini menunjukkan bahwa Ernest Prakasa sebagai sutradara sebenarnya memiliki misi yang kuat dan mulia. Cek Toko Sebelah harusnya punya performa yang jauh lebih bagus dari ini.