Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

Minggu, 20 Agustus 2017

REVIEW : THE BATTLESHIP ISLAND

REVIEW : THE BATTLESHIP ISLAND


The Battleship Island telah memberi tanda centang terhadap semua rumusan baku yang diperlukan untuk menjadi sebuah sajian blockbuster menggelegar. Pertama, film ini diarahkan Ryoo Seung-wan, sutradara spesialis laga yang memberi kita The Berlin File (2013) dan Veteran (2015) yang amat seru itu. Kedua, film ini dibintangi jajaran pemain kenamaan dengan kualitas akting mumpuni seperti Hwang Jung-min, So Ji-sub, Song Joong-ki, serta Lee Jung-hyun. Ketiga, film ini memboyong topik seksi berupa fiksionalisasi atas peristiwa nyata yang menimpa warga Korea di Pulau Hashima, Jepang, kala Nippon tengah beringas-beringasnya ke sesama sedulur Asia pada Perang Dunia II. Dan keempat, film ini dianggarkan dengan dana raksasa untuk ukuran film asal Korea Selatan yakni mencapai lebih dari $20 juta demi membangun set baru yang menyerupai setiap sudut Pulau Hashima. Kombinasi maut yang dipunyai The Battleship Island ini memang membuatnya terkesan sebagai tontonan gigantis dan tak mungkin salah di atas kertas – sehingga tak mengherankan empat juta warga Negeri Gingseng berbondong-bondong menyaksikannya di bioskop dalam lima hari pertama. Yang lantas menjadi pertanyaan adalah akankah realita benar-benar memenuhi ekspektasi ini atau sekali lagi realita mengkhianati ekspektasi? 

Dalam merekonstruksi peristiwa yang terjadi di pulau berjulukan Battleship Island (Pulau Kapal Perang, sebutan yang merujuk pada bentuk fisiknya) pada tahun 1945 atau jelang dibombardirnya Nagasaki yang berjarak 15 km dari Hashima, Ryoo Seung-wan mengambil pendekatan fiktif. Sang sutradara yang bertindak pula selaku penulis skrip membagi penceritaan dalam film menjadi tiga subplot yang masing-masing melibatkan seorang pemain band bernama Lee Kang-ok (Hwang Jung-min) beserta putrinya, Lee So-hee (Kim Su-an), seorang kepala preman yang kerap bikin onar bernama Choi Chil-sung (So Ji-sub), dan seorang tentara gerakan kemerdekaan Korea bernama Park Moo-young (Song Joong-ki). Seperti halnya ratusan warga Korea lain, Lee dan Choi dijebak Jepang untuk bekerja dalam tambang batu bara yang berada di sebuah pulau kecil tengah laut. Guna bertahan hidup, Lee memanfaatkan kemampuannya bersilat lidah untuk berkawan akrab dengan para petinggi Jepang, sementara Choi menggunakan keahlian bertarungnya untuk menjadi ‘mandor’ bagi pekerja Korea. Gelaran konflik dalam film mulai berkembang tatkala Lee mendapati identitas sesungguhnya dari Park yang menyamar sebagai pekerja guna membebaskan salah seorang pejuang kemerdekaan. Lee yang dimintai bantuan oleh Park berkat luasnya jaringan pertemanannya, tentu tak tinggal diam begitu saja saat kesempatan melarikan dari pulau bersama sang putri tertampang nyata di depannya. 

Realita memenuhi ekspektasi adalah jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan di penghujung paragraf pembuka. Ya, Ryoo Seung-wan berhasil menghadirkan The Battleship Island sebagai sebuah tontonan yang bukan saja epik, tetapi juga menghantui sekaligus mengoyak emosi. Sulit untuk menghempaskan apa yang kita saksikan sepanjang 132 menit begitu saja dari benak dalam waktu dekat. Betapa tidak, tata produksinya tergarap detil yang memungkinkan penonton untuk meyakini bahwa kita telah dilempar kembali oleh si pembuat film ke 72 tahun silam. Seolah-olah kita menjadi saksi hidup dari kejamnya kehidupan yang mesti dilalui para budak kerja paksa yang dikirim ke Pulau Hashima. Sedari awal, sulit untuk tidak merasa miris dan meringis melihat pemandangan yang terhampar di layar. Terlebih Ryoo pun tak segan-segan menghamparkan sederet adegan kekerasan yang akan membuatmu ngilu bukan main guna memberi kesan riil dalam menggambarkan kekejaman Perang dan keberingasan Jepang. Salah satu paling sulit dilupakan ada pada adegan serdadu Jepang memaksa seorang perempuan dari rumah bordil yang mengaku sakit untuk berguling-guling di atas papan yang telah ditancapi banyak paku. Menyesakkan! Lainnya, kamu akan melihat betapa mudahnya menjumpai mayat bergelimpangan di pulau ini atau isi tubuh manusia terburai ketika senjata dan bom menunjukkan peranannya.


Menyadari bahwa penonton tak akan kuat bertahan apabila The Battleship Island dilantunkan dengan nada penceritaan melulu depresif, si pembuat film menebarkan bubuk humor selagi ada celah. Sosok Lee yang diceritakan sebagai penjilat ulung kerap menjalankan tugas menjadi comic relief bersama rekan-rekan band-nya atau putrinya. Keberadaannya senantiasa menghadirkan keceriaan tersendiri, namun di sisi lain turut membawa penonton dalam rasa hangat, cemas, dan pilu. Dibandingkan karakter inti lain seperti Choi dan Park, jatah tampil yang diberikan kepada Lee memang lebih mencukupi. Kita diberi kesempatan menjalin keterikatan bersamanya berkat sorotan ke hubungan ayah-anak, lalu kita juga melihatnya mengalami perkembangan sebagai satu karakter. Keputusan memberi ruang lebih besar terhadap plot yang melingkungi Lee ini bukannya tanpa resiko. Konsekuensi yang mesti dihadapi, subplot dan karakter lain agak terpinggirkan. Memasuki pertengahan film The Battleship Island terasa agak melelahkan buat diikuti lantaran intriknya terlampau dipaksakan untuk bercabang-cabang tanpa pernah dipaparkan secara layak. Tak terelakkan lagi, kebingungan sempat melanda akibat banyak karakter dan persoalan yang berlalu lalang. Terseok-seok selama beberapa saat, film kembali menemukan ritmenya ketika memasuki klimaks yang menghentak. 

30 menit terakhir dari The Battleship Island adalah bagian terbaik yang dimiliki film. Kapabilitas Ryoo dalam membesut sekuens laga mendebarkan kembali dipertontonkannya disini. Sulit untuk menghembuskan nafas lega melihat Park dibantu Lee dan beberapa karakter kunci lain dalam menjalankan misi membawa ratusan pekerja Korea untuk melarikan diri dari pulau dengan mengendap-endap di pagi buta. Apa yang terjadi saat sebagian besar pihak Jepang masih terlelap sungguh mendebarkan, lalu saat mereka terbangun dan memberikan perlawanan, pertempurannya berlangsung seru. Memperoleh tunjangan sangat baik sekali dari gerak kamera Lee Mo-gae dan penyuntingan duo Kim Jae-bum beserta Kim Sang-bum, klimaks The Battleship Island menghadirkan cukup banyak momen untuk dikenang. Namun selagi beberapa kawan menyebut “bendera disobek” atau “mengangkat jembatan besi yang patah” sebagai momen berkesan dalam film, saya justru memilih shot terakhir yang menghantui dan menghantam emosi di saat bersamaan itu sebagai momen paling menancap di memori. Melaluinya, diri ini semakin meyakini bahwa aktris cilik yang sebelumnya kita kenal melalui Train to Busan, Kim Su-an, akan memiliki masa depan cerah dalam karir berlakon. Performa luar biasanya adalah penggerak utama The Battleship Island, bahkan melampaui Hwang Jung-min, So Ji-sub, Song Joong-ki, serta Lee Jung-hyun yang juga sumbangkan akting sangat apik.

Outstanding (4/5)


Kamis, 20 April 2017

REVIEW : KARTINI

REVIEW : KARTINI


“Tubuh boleh terpasung, tapi jiwa dan pikiran harus terbang sebebas-bebasnya.” 

Kartini garapan Hanung Bramantyo bukanlah kali pertama bagi kisah pahlawan nasional asal Jepara, Raden Adjeng Kartini, dalam memperjuangkan kesetaraan hak untuk para perempuan pribumi diboyong ke layar perak. Sebelumnya, sutradara legendaris tanah air, Sjumandjaja sudah menguliknya terlebih dahulu melalui R.A. Kartini (1982), dan Azhar Kinoi Lubis dibawah bendera MNC Pictures sempat pula memadupadankannya dengan tuturan fiktif lewat Surat Cinta Untuk Kartini (2016). Telah mendapatkan dua gambaran berbeda, sedikit banyak membuat kita bertanya-tanya, apa yang lantas hendak dikedepankan oleh Hanung Bramantyo di versi terbaru Kartini? Ketertarikan untuk mengetahui interpretasi Hanung Bramantyo terhadap sang pejuang emansipasi perempuan inilah salah satu yang melandasi keinginan untuk menyimak Kartini. Alasan lainnya, barisan pemain ansambel yang direkrutnya. Bukankah amat menggoda kala pelakon-pelakon papan atas tanah air seperti Dian Sastrowardoyo, Acha Septriasa, Christine Hakim, Ayushita Nugraha, Deddy Sutomo, Djenar Maesa Ayu, Denny Sumargo, Adinia Wirasti, serta Reza Rahadian berkolaborasi dalam satu film? Terlebih rekam jejak sang sutradara yang dikenal piawai mengarahkan pemain-pemainnya, Kartini jelas tampak menjanjikan. Dan memang, di tangan seorang Hanung Bramantyo, Kartini menjelma sebagai sebuah film biopik yang menghibur, emosional, sekaligus mempunyai cita rasa megah. 

Dalam menyampaikan tuturannya, Kartini mengunduh referensi utama dari “Panggil Aku Kartini Saja” buah karya Pramoedya Ananta Toer, buku kumpulan surat “Habis Gelap Terbitlah Terang” milik Armijn Pane, serta catatan Tempo bertajuk “Gelap Terang Hidup Kartini”. Periode yang dicuplik berada di satu dasawarsa terakhir sebelum Kartini (Dian Sastrowardoyo) tutup usia pada tahun 1904, atau dengan kata lain, setelah pemilik nama kecil Srintil ini cukup usia untuk dipingit. Menurut tradisi Jawa kuno, perempuan yang berada dalam fase dipingit, harus berdiam diri di dalam rumah sampai seorang pria datang untuk mengajaknya melangkah ke pelaminan. Guna menghabiskan waktunya, Kartini kerap menenggelamkan diri ke buku-buku serta majalah-majalah keluaran Belanda atau bermain-main bersama kedua adiknya, Roekmini (Acha Septriasa) dan Kardinah (Ayushita Nugraha). Tidak seperti perempuan sebaya lainnya, ketiga bersaudari ini mempunyai pemikiran berbeda mengenai pernikahan dan longgarnya batasan yang diberlakukan oleh sang ayah, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (Deddy Sutomo), memungkinkan mereka berkawan akrab dengan keluarga Belanda yang mengagumi tulisan Kartini, lalu mendirikan sekolah untuk masyarakat kurang mampu, sekaligus membantu meningkatkan taraf hidup para pengrajin ukiran di Jepara. 

Menerjemahkan kisah perjuangan Raden Adjeng Kartini ke bahasa gambar sebetulnya bukan perkara mudah. Malah cenderung beresiko tinggi. Betapa tidak, Kartini tiada pernah bersinggungan dengan peristiwa-peristiwa akbar yang mempunyai tingkat kegentingan tinggi dan cenderung lebih dikenang atas sumbangan pemikiran-pemikirannya mengenai kedudukan perempuan yang melampaui zaman. Dengan latar penceritaan yang juga terbatas, Kartini lebih berpeluang untuk terjerembab sebagai film biopik sejarah menjemukan ketimbang menyenangkan. Dua film terdahulu mengenai sang pahlawan adalah bukti konkritnya. Sempat was-was versi anyar ini akan bernasib serupa mengingat perpaduan Hanung dengan film biopik acapkali kurang menyatu (mohon maaf, Sang Pencerah dan Soekarno kesulitan mengetuk sanubari ini), alangkah terkejutnya diri ini tatkala mendapati bahwa Hanung Bramantyo sanggup mempresentasikan Kartini sebagai tontonan yang menghibur. Tunggu, tunggu dulu... menghibur? Betul. Hanung dan Bagus Bramanti yang merancang skrip agaknya memahami, garis dramatik dalam kehidupan Kartini seringkali berada di posisi horizontal. Apabila melulu dilantunkan serius, penonton dapat tergeletak kebosanan di dalam bioskop. Maka dari itu, setidaknya di paruh awal, si pembuat film secara cerdik menyelipkan cukup banyak kelakar sehingga membuat film terasa ringan untuk diikuti.


Berbeda dengan film dari genre seragam yang kerap memanfaatkan karakter sampingan sebagai comic relief, Kartini berani melibatkan sang karakter tituler untuk berpartisipasi dalam mengundang derai tawa penonton. Ini dimungkinkan lantaran Kartini tidak diglorifikasi sebagai perempuan Jawa cerdas yang anggun pula santun. Dalam interpretasi Hanung, sosoknya dimanusiawikan yang tampak dari lakunya yang tomboi, keisengannya, serta keengganannya untuk melulu sendiko dawuh (baca: tunduk patuh) utamanya kala bertentangan dengan apa yang diyakininya. Akibat tindakan sesuka hatinya, seorang pelayan di rumahnya bahkan beberapa kali kena semprot dan adegan ini ditampilkan menggunakan sentuhan komedi. Tawa canda lain di film mencuat pula dari interaksi lekat antara Kartini dengan kedua adiknya yang turut membantu sang kakak memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan pribumi dan rakyat kecil. Tidak semata-mata bergantung pada elemen komedik, imajinasi sang sutradara beserta visualisasi cantik hasil bidikan gambar dari Faozan Rizal yang berpadu mulus bersama kostum indah, iringan musik melodius, dan tata artistik ciamik turut membantu hadirkan ‘gelombang rasa’ di separuh awal. Ciptakan pula sensasi megah. Dalam kaitannya dengan imajinasi, terlihat melalui adegan kala Kartini tengah membaca buku maupun surat. Ketimbang sekadar menarasikan isi bacaan, Kartini ditampakkan tukar dialog bersama sang penulis. Terkadang berlatar sekitar pendapa, belakangan mulai melemparkan Kartini jauh ke negeri Belanda – sesuai asal surat korespondensi yang diterimanya. 

Seiring menanjaknya konflik yang ditandai oleh kepasrahan Kardinah menerima dirinya ditaklukkan adat yang kokoh membelenggu budayanya, nada penceritaan Kartini yang semula mengalun ringan perlahan bertransisi ke ranah dramatik berintensitas cukup tinggi yang sanggup menghadirkan momen-momen emosional. Kecermatan tim kasting menunjuk pelakon dan kepiawaian Hanung arahkan pemain kian menunjukkan hasilnya pada titik ini. Dian Sastrowardoyo bermain apik sebagai Kartini dengan karismanya yang menguar kuat. Kita bisa pula merasakan pertentangan batinnya antara memilih menerima realita atau mempertahankan idealisme. Karakter-karakter pendukukung di sekelilingnya yang berkontribusi mengenalkan penonton pada sosok Kartini lewat beberapa sudut pandang, dimainkan secara solid oleh barisan pemain ansambel. Acha Septriasa dan Ayushita Nugraha adalah pasangan yang klop bagi Dian, Deddy Sutomo pancarkan kebijaksanaan seorang ayah sekaligus Bupati, Djenar Maesa Ayu tunjukkan kegetiran mendalam dari seorang istri muda yang luka dari masa lalu belum kunjung pulih, Denny Sumargo yang memerankan kakak tertua Kartini berikan performa terbaik sepanjang karir keaktorannya, Reza Rahadian tunjukkan kelasnya dengan memberi effort lebih sekalipun perannya terhitung amat kecil, dan Christine Hakim adalah bintang sesungguhnya dari film ini. Air mukanya siratkan beragam rasa. Akumulasi emosinya di puncak durasi amat mengena di relung hati yang turut membantu Kartini dapatkan sebuah penutup sempurna. Wuapik!

Outstanding (4/5)


Selasa, 14 Maret 2017

REVIEW : HIDDEN FIGURES

REVIEW : HIDDEN FIGURES


“Every time we get a chance to get ahead, they move the finish line. Every time.” 

Hidden Figures merupakan sebuah film inspiratif yang penting ditonton. Sajian dari Theodore Melfi yang diganjar tiga nominasi di helatan Oscars tahun lalu ini – terdiri dari Film, Aktris Pendukung, serta Naskah Adaptasi – secara tegas menyatakan bahwa keadilan beserta kebebasan semestinya diperjuangkan. Direngkuh. Mereka yang mengalami perundungan, tidak semestinya hanya melontarkan keluh kesah semata tanpa pernah sedikitpun berusaha untuk merubah nasibnya. Pembuktian diri adalah kunci. Guna menguatkan keyakinan penonton, si pembuat film pun menghadirkan studi kasus berdasar buku non-fiksi gubahan Margot Lee Shetterly, Hidden Figures, mengenai kontribusi penting dari tiga perempuan berkulit hitam terhadap pengiriman manusia ke luar angkasa untuk pertama kali kala rasisme beserta seksisme masih menjadi isu mengerikan di Amerika Serikat. Lewat studi kasus tersebut, Hidden Figures memberi pembuktian bahwa slogan “impossible is nothing” memang betul adanya. Selalu ada kesempatan untuk menjadi yang pertama apabila memang dilandasi keberanian untuk mewujudkan mimpi. 

Ketiga perempuan kulit hitam yang menjadi sorotan utama dalam Hidden Figures, yakni Katherine Goble (Taraji P. Henson), Dorothy Vaughan (Octavia Spencer), dan Mary Jackson (Janelle Monae), yang bekerja di bagian komputasi untuk National Aeronautics and Space Administration atau NASA. Ya, sebelum segala bentuk kalkulasi dipercayakan kepada komputer, manusia-manusia berotak encer inilah yang dipercaya menjalankan tugas sebagai komputer. Mengingat pada era 60-an perempuan masih dipandang sebelah mata secara strata sosial belum lagi ditambah fakta adanya segregasi yang menyulitkan masyarakat kulit berwarna mendapatkan kesetaraan hak, tentu bukan persoalan mudah bagi Katherine, Dorothy, maupun Mary untuk meningkatkan jenjang karir. Katherine yang direkrut dalam tim penghitung ketepatan lintasan untuk mengorbitkan John Glenn (Glen Powell) ke angkasa luar kerap disepelekan rekan-rekan kerjanya yang seluruhnya adalah laki-laki kulit putih. Permohonan Dorothy untuk menduduki posisi supervisor ditanggapi dingin sekalipun beban kerjanya telah berada di tingkatan tersebut. Sedangkan Mary yang bertekad menjadi insinyur terhalang persayaratan di jenjang pendidikan. 

Alih-alih memandang sinis ke sistem yang mengekang tiga perempuan cerdas tersebut, Hidden Figures justru menempatkan fokusnya pada perjuangan Katherine, Dorothy, serta Mary untuk mendapatkan jalan keluar dari rentetan hambatan yang menghadang. Kalau perlu, sekalian saja merubah sistem. Tiga jurus mereka terapkan dalam pembuktian diri; kecerdasan, keberanian, dan determinasi. Sepanjang durasi mengalun selama 127 menit, kita menyaksikan ketiganya berproses dari mulai disepelekan, perlahan diterima, sampai diakui. Inspiratif! Masing-masing karakter dikondisikan untuk tetap membumi sehingga tiada kesan berjarak dengan penonton; Katherine berhati lembut, Dorothy berjiwa pemimpin, sementara Mary bertekad baja. Alhasil, kita dapat dengan mudah terhubung secara emosi ke setiap karakter. Ketika mereka tersandung, kita ikut nelangsa. Ketika mereka mencapai keberhasilan, kita ikut bersorak sorai. Demi memperkuat karakteristik ketiganya, tidak lupa si pembuat film turut melongok ke kehidupan personal mereka. Bisa dibilang, babak ini tak semenarik kala berkutat di kantor meski tetap menghadirkan satu dua momen menghangatkan hati.


Hangat? Betul. Topik obrolannya boleh saja berat menyoal ras, gender, matematika, luar angkasa, dan sejarah. Namun jangan salah, Hidden Figures sanggup melantunkannya secara ringan dan menyenangkan tanpa pernah sedikitpun mengalienasi penonton yang tidak menaruh minat pada topik-topik tersebut. Malah, mereka bisa memperlihatkan betapa kerennya matematika di film ini! Disamping memberikan rasa hangat berkat adanya kepedulian mendalam terhadap nasib ketiga perempuan ini, tidak sedikit pula humor diselipkan diantara rongga-rongga konflik yang hampir kesemuanya bertaji dalam mengundang gelak tawa penonton. Lihatlah pada adegan Katherine yang harus berlari hampir satu kilometer setiap harinya selama jam kerja demi menjangkau toilet bagi kulit berwarna yang tidak tersedia di gedung tempatnya bekerja. Lucu pula getir di saat bersamaan. Theodore secara cerdas menyematkan pesan besar film mengenai kesetaraan melalui adegan ini yang puncaknya memunculkan salah satu momen terbaik di film, “we all pee the same color.” 

Tentu Hidden Figures tidak akan semencengkram ini tanpa sokongan barisan pemain yang berlakon meyakinkan. Keputusan tepat bagi Screen Actor Guild Awards menganugerahi film lewat kategori “Outstanding Performance by a Cast” karena ansambel pemainnya memang suguhkan atraksi akting ciamik. Lini utama diwakili oleh Taraji P. Henson, Octavia Spencer, dan Janelle Monae, sementara garda pendukung dijaga oleh Glen Powell, Kevin Costner yang memerankan atasan Katherine bernama Al Harrison, Jim Parsons sebagai rekan kerja Katherine yang kerap memandangnya rendah, Kirsten Dunst adalah supervisor yang menghalangi majunya Dorothy, dan Mahershala Ali memerankan pendamping hidup Katherine. Jelas mereka adalah tim yang solid. Kala diminta berdiri sendiri, sorotan pun mengarah pada Taraji yang mempunyai jangkauan emosi paling luas, Octavia yang tegas, Janelle yang memancarkan karisma, Jim yang luar biasa bikin dongkol, dan Kevin yang berwibawa. Masing-masing dari mereka mempunyai momen yang mempersilahkan karakter untuk bersinar. Bagi saya pribadi, selain adegan toilet, momen paling membekas di Hidden Figures adalah ketika Al menyerahkan kapur kepada Katharine. Sebuah pertanda bahwasanya kepercayaan telah didapat. Pembuktian diri menunjukkan hasilnya.

Outstanding (4/5)


Kamis, 23 Februari 2017

Sabtu, 18 Februari 2017

Jumat, 20 Januari 2017

REVIEW : ISTIRAHATLAH KATA-KATA

REVIEW : ISTIRAHATLAH KATA-KATA


“Ternyata, jadi buron itu jauh lebih menakutkan daripada menghadapi sekompi kacang ijo bersenapan lengkap yang membubarkan demonstrasi.” 

Wiji Thukul, atau bernama asli Widji Widodo, dikenal sebagai penyair yang kerap melontarkan perlawanan terhadap rezim diktatorial Orde Baru melalui bait-bait sajaknya yang tanpa tedeng aling-aling nan beringas. Terlibat sangat aktif dalam beragam organisasi yang vokal menyuarakan pemberontakan terhadap penguasa lalim, tak pelak menyeret Wiji untuk terus menerus berurusan dengan aparat keamanan. Bahkan, namanya tercatut dalam daftar aktivis yang dianggap bertanggungjawab atas meletusnya Kerusuhan 27 Juli 1996 lantaran sang penyair tergabung di Partai Rakyat Demokratik (PRD). Demi menghindari cengkraman aparat, Widji pun terpaksa meninggalkan keluarga beserta kediamannya di Solo dan berpindah-pindah tempat persembunyian dari satu daerah ke daerah lain dengan sesekali memperbaharui identitas palsunya. Pelariannya tersebut turut membawa Wiji ke Pontianak dimana dia mendiami kota ini selama delapan bulan lamanya dan kepingan kisah pelariannya di kota ini lantas didokumentasikan oleh Yosep Anggi Noen melalui film panjang keduanya bertajuk Istirahatlah Kata-Kata

Mengusung subjek nyata yang mempunyai kontribusi nyata atas peralihan peta politik dengan tergulingnya rezim Soeharto meski berdampak pada keberadaannya yang tak jelas rimbanya sampai sekarang, sang sutradara tidak memilih untuk menggiring Istirahatlah Kata-Kata (atau Solo, Solitude dalam judul internasional) ke ranah film biopik sarat akan glorifikasi dan memposisikan Wiji Thukul (Gunawan Maryanto) bak pahlawan. Tidak. Sebaliknya, ini hanyalah film drama kemanusiaan dengan ruang lingkup kecil yang mempergunakan sosok Wiji semacam studi kasus untuk menunjukkan bahwa para penduduk negeri ini pernah berada dalam satu masa terbungkam rapat-rapat hak mereka dalam menyuarakan pendapat. Lantaran ingin pula menunjukkan bahwasanya Wiji Thukul bukanlah sosok agung atau dalam artian, tidak berbeda dengan masyarakat kelas bawah kebanyakan – hanya bedanya dia mempunyai kemampuan mumpuni dalam mengolah kata menjadi penuh rasa dan makna – yang juga dihantui oleh rasa takut diuber aparat, itulah mengapa Yosep Anggi Noen sekadar mencuplik fase tertentu dalam hidup Wiji Thukul yang dianggapnya cukup merepresentasikan keinginannya dalam menggambarkan Wiji sekaligus mempunyai impak terhadap keputusan besar sang subjek. 

Fase terpilih adalah ketika Wiji menjejakkan kaki di Pontianak. Secara berkala dia berpindah hunian kepunyaan orang-orang yang berbeda, seperti rumah dari seorang dosen bernama Thomas (Dhafi Yunan) dan aktivis asal Medan, Martin (Eduwart Boang Manalu), yang tinggal bersama istrinya, Ida (Melanie Subono). Disamping soroti hari-hari penuh kesunyian mencekam yang dilalui oleh Wiji, Istirahatlah Kata-Kata juga memberi kesempatan bagi penonton untuk melongok sekejap ke situasi di kampung halaman Wiji. Rumahnya mendapat pengawasan ketat dari intel, bahkan istrinya, Sipon (Marissa Anita) dan anaknya sempat pula diinterogasi guna memperoleh petunjuk mengenai keberadaan Wiji. Tapi Anggi – begitu sapaan akrab sang sutradara merangkap penulis naskah – tidak pernah lebih jauh dari itu. Dia memang enggan menelanjangi masa lalu maupun masa depan penuh tanda tanya dari si tokoh utama, penyampaian informasi mengenai situasi politik yang menyelubungi film pun sebatas didapat melalui narasi teks di awal dan akhir serta siaran berita di radio. Perhatian utama dari Istirahatlah Kata-Kata adalah bagaimana sesosok wong cilik terpaksa terkorbankan kebebasannya karena keberaniannya menggugat sikap-sikap keliru pemerintah. Dalam cakupan lebih luas, ini adalah potret masyarakat kelas bawah yang tertindas.

Dalam memvisualisasikan keseharian Wiji, atau saat sesekali diajak menengok Sipon, Anggi memilih untuk lebih sering mengistirahatkan kata-kata dan membiarkan gambar-gambar indahnya berbicara dengan sendirinya. Kadangkala terdengar iringan musik maupun suara lirih nan menyayat-nyayat hati dari Gunawan Maryanto yang mengumandangkan sajak-sajak Wiji Thukul, namun lebih sering kesunyian yang menghinggapi. Bukan kesunyian menenangkan, melainkan kesunyian menggelisahkan yang didalamnya sarat akan misteri. Andaikata aparat mengetahui posisi persembunyian Wiji, bukankah mereka akan melakukan penyergapan dalam diam ketimbang penuh kegaduhan yang justru menyadarkan si buron mengenai keberadaan mereka? Dihantui oleh paranoia semacam ini, Wiji pun kesulitan memejamkan mata di malam hari karena kesunyian bukan juga pertanda bagus baginya. Kesunyian bisa berarti memang “tidak ada apa-apa” atau justru “ada apa-apa tapi terselubung”. Dikomando oleh performa jempolan Gunawan Maryanto yang air muka dan gesturnya senantiasa menyiratkan rasa gusar, ketidaknyamanan pun mengusik penonton habis-habisan dalam beberapa titik. Jangan-jangan, sebetulnya ada intel tengah mengawasi gerak-gerik Wiji kala dia makan, membuat rencana pelarian, menciptakan puisi-puisi baru, atau sedang tidur... 

Itu baru gangguan secara implisit. Istirahatlah Kata-Kata juga sempat menggedor jantung secara nyata ketika Wiji dan Thomas berpapasan dengan tentara gadungan yang mengulik identitasnya atau saat seorang tentara betulan melibatkannya dalam obrolan basa-basi agak-agak nyerempet bahaya di sebuah tempat cukur. Tak terelakkan, keringat dingin sempat mengucur deras. Ikut merasakan kecemasan maksimal yang menggelayuti Wiji. Bagaimana jika salah satu dari perjumpaan ini merupakan alasan berakhirnya pelariannya? Nuansa cekam yang menghiasi Istirahatlah Kata-Kata di paruh awal, sedikit demi sedikit tersisihkan menyusul tumbuh laginya keberanian yang sempat menyusut pada diri Wiji dan kerinduan tak tertahankan terhadap Sipon. Anggi mulai menyusupinya dengan candaan-candaan seperti tampak dalam obrolan warung kopi di bibir sungai Kapuas lalu sentilannya pada 'keusilan' PLN, dan menginjeksikan sisi manis namun getir melalui perjumpaan kembali Wiji dengan Sipon yang setapak demi setapak berkembang lebih dramatis hingga sampai pada klimaks menghantam emosi yang bukan semata tonjolkan lakonan bagus dari Gunawan Maryanto tetapi juga hebatnya penampilan Marissa Anita. Pada akhirnya, tanpa harus banyak berkata-kata, hanya dalam kesunyiannya, Istirahatlah Kata-Kata mampu pancarkan rasa cekam dan goreskan rasa pilu yang cukup dalam.

Outstanding (4/5)