Tampilkan postingan dengan label april. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label april. Tampilkan semua postingan

Jumat, 27 April 2018

AVENGERS : INFINITY WAR (2018) REVIEW : The End Begins Here

AVENGERS : INFINITY WAR (2018) REVIEW : The End Begins Here


Tibalah sudah waktu untuk para superhero milik Marvel dalam masa yang berbeda dari yang film-film sebelumnya. Setelah mengalami banyak fase dalam perjalanan filmnya selama sepuluh tahun, sudah waktunya kumpulan superhero untuk menghadapi masa yang jauh lebih sulit dibanding sebelumnya. Konflik dari mereka pun semakin lama semakin pelik di fasenya yang ketiga ini. Sehingga, kompleksitas dalam konflik di setiap stand alone filmnya sudah waktunya untuk disajikan dalam satu film besar.

Avengers : Infinity Wartentu menjadi sebuah film superhero milik Marvel yang sangat ditunggu-tunggu baik fans maupun penikmat film. Komandonya pun berganti dari Joss Whedon ke Anthony & Joe Russo yang selalu dengan baik mengemas film linimasa penting dari Marvel yang datang dari sosok Captain America. Terlebih ketika Captain America : Civil War mampu menjadi salah satu hasil akhir dari film-film Marvel yang dikemas dengan sangat baik.

Dengan adanya dasar ini, lantas tak salah apabila Kevin Feige sebagai produser memilihnya untuk mengarahkan kisah para kumpulan manusia super yang sudah lebih kompleks ini. Avengers : Infinity War tentu sudah memiliki ambisi yang sangat besar terlebih ketika sudah banyak sekali film-film stand alonemilik Marvel yang sudah beredar. Sehingga, Avengers : Infinity War tentu tak akan malu-malu memunculkan berbagai macam superheronya dalam satu frame.


Avengers : Infinity Warmemiliki banyak sekali karakter superhero milik Marvel yang harus tampil di dalamnya. Meski ada beberapa karakter yang akan disimpan untuk film Avengers selanjutnya di tahun 2019 nanti, tentu mengarahkan sebuah film dengan karakter banyak itu bukanlah hal yang mudah. Anthony dan Joe Russo tentu berusaha keras agar apa yang dia arahkan bisa mampu memiliki porsi yang tepat bagi karakter, plot, beserta tempo filmnya.

Inilah Avengers : Infinity Waryang berusaha memberikan kompleksitas yang luar biasa besar dalam konfliknya. Russo Brothers mampu mengarahkan apa yang berusaha disampaikan di dalam film ini dengan porsi yang benar-benar pas. Sehingga dalam durasinya yang mencapai 149 menit, Avengers : Infinity Warmampu menyampaikan pesannya yang sangat ambisius dengan cara yang sudah tepat sasaran dan efektif.  Serta menyematkan film ini sebagai salah satu cinema experience paling dahsyat sebagai sebuah film manusia super milik Marvel Cinematic Universe.


Thanos (Josh Brolin) sudah memiliki rencana untuk menghancurkan alam semesta beserta isinya. Oleh karena itu, dia harus mengumpulkan enam infinity stone yang tersebar di alam semesta. Thanos melakukan berbagai upaya agar bisa mengumpulkan keenam batu tersebut. Hingga akhirnya Thanos mengutus anak buahnya untuk mengambil batu-batu tersebut yang berada di bumi. Batu yang diincar adalah Time Stone yang berada di tangan Doctor Strange (Benedict Cumberbatch) dan Mind Stone yang berada di tangan Vision(Paul Bethany).

Tentu saja para manusia super tak hanya tinggal diam. Tony Stark sekaligus Iron Man (Robert Downey Jr.) yang sedang berusaha melindungi Doctor Strange harus terjebak dalam sebuah pesawat luar angkasa yang sedang menginvasi bumi saat itu. Beserta Spider-Man (Tom Holland), Tony Stark berusaha untuk mengeluarkan Doctor Strange yang sedang menjadi incaran. Tetapi, hal lain malah terjadi ketika mereka berusaha untuk menyelamatkan infinity stone yang tersisa.


Di fasenya yang ketiga, Avengers : Infinity War memang sudah saatnya mengambil jalan yang lebih berbeda dibanding film-film sebelumnya. Anthony dan Joe Russo telah berhasil menjawab keinginan penonton yang ingin melihat manusia super dalam film Marvel sedang berada di dalam kompleksitasnya yang semakin pelik. Ada nada cerita yang lebih kelam dibanding dengan dua film Avengers sebelumnya.Anthony dan Joe Russo sudah membuka awal film ini dengan begitu emosional.

Pintarnya, mereka mampu menjaga keemosionalan tersebut hingga akhir durasi film yang mencapai 149 menit. Bukan hanya itu, mereka juga berhasil menangkap perjalanan terjal dari para manusia super dengan cara yang lebih personal dan intim. Sehingga, penonton bisa merasakan betapa getir dan cemasnya para karakter superhero saat menyaksikan Avengers : Infinity Warini.Hal yang menanti bagi penonton yang sudah secara emosional melekat dengan cerita dalam film ini adalah bagaimana Avengers : Infinity War menyelipkan momen dan elemen yang tak terduga dengan sangat kuat di setiap adegannya.


Hal tersebut akan berakumulasi dengan baik hingga puncaknya adalah konklusi dari Avengers : Infinity Warini sendiri. Rasa emosional yang sudah tak terbendung sepanjang durasi akan membuat penontonnya akan ikut merasakan pahit dan hancur berkeping-keping perasaan para manusia super sedang merasakan segala keputusasaan, ketakutan, dan sedikit harapan. Inilah sebuah sensitivitas yang dimiliki oleh Russo Brothers yang menjadi poin utama dari Avengers : Infinity War ini sendiri. Dengan begitu, penonton akan dihantui secara psikis untuk menantikan kelanjutan Avengers di tahun 2019 nanti.

Begitu pula dengan bagaimana Thanos sebagai musuh utama Avengers yang sudah disimpan sejak fase pertama ini berhasil memberikan rasa waspada bagi penonton. Karakter Thanos dibangun dengan sangat bagus di Avengers : Infinity War sehingga penonton bisa tahu kenapa musuh para Avengers kali ini benar-benar tak bisa terkalahkan. Dengan begitu, penonton bisa ikut merasa terancam dengan kedatangan Thanos di dalam adegan film dan akan bisa merasakan kepuasan ketika Thanos diserang oleh para manusia super yang ada di dalam Avengers : Infinity War.


Avengers : Infinity War telah menunjukkan bahwa Anthony dan Joe Russo berhasil membawa Marvel Cinematic Universe ke dalam tahapan yang jauh lebih serius. Keputusannya untuk membawa film Avengers : Infinity War lebih kelam dibanding film sebelumnya ini sudah sangat tepat apalagi didukung dengan pengarahannya yang luar biasa kuat dan emosional. Tetapi, Avengers : Infinity War tak melupakan ciri khasnya dalam membuat film-film superhero yang mengandung unsur menyenangkan dan suntikan humor segar seperti biasanya sekaligus berhasil membuat penontonnya berduka ketika credit titlebergulir. Luar biasa!

Jumat, 05 Mei 2017

GUARDIANS OF THE GALAXY Vol. 2 (2017) REVIEW : Sekuel Dengan
Kemeriahannya Yang Berbeda

GUARDIANS OF THE GALAXY Vol. 2 (2017) REVIEW : Sekuel Dengan Kemeriahannya Yang Berbeda


Marvel Cinematic Universe fase ketiga sudah berjalan dengan diawali dari Captain America : Civil War di April 2016 lalu. Perjalanan fase ketiga ini memiliki lebih banyak komplikasi dibandingkan dengan beberapa fase sebelumnya. Tibalah di mana fase ketiga ini akan lebih membahas banyak tentang orang-orang yang berada di sekitar Infinity Stone. Mulai dari Doctor Strange, Guardians of The Galaxy Vol. 2, dan Thor : Ragnarok. Semuanya akan berada di titik temu fase ketiga yaitu Avengers : Infinity War yang akan bertarung melawan Thanos.

Di bulan April ini, para mantan penjahat dengan tujuan heroik ini akan menyapa penontonnya di edisi kedua filmnya. Guardians of The Galaxy Vol. 2 tetap diarahkan oleh sutradara film pertamanya yaitu James Gunn dengan naskah yang juga ditulis olehnya. Film pertamanya telah sukses merebut perhatian banyak orang sebagai sebuah film manusia super dengan latar belakang cerita yang cukup unik di jajaran film milik Marvel Cinematic Universe. Kelanjutan filmnya pun tentu dinanti banyak orang karena selain menjadi superhero yang berbeda, tetapi warna cerita di dalam filmnya pun unik dibanding yang lain.

Guardians of The Galaxy Vol. 2hadir dengan performa yang sama menyenangkannya dengan film pertamanya. James Gunn berusaha untuk agar Guardians of The Galaxy Vol. 2 masih memiliki ritme dan tempo yang sama dengan film pertamanya. Hanya saja, sebagai film sekuel tentu James Gunn berusaha memikirkan poin pembeda dari filmnya. Apabila Guardians of The Galaxy edisi pertama konflik yang lebih universal, di film keduanya para mantan penjahat ini lebih terfokus terhadap permasalahan internal yang bisa mendekatkan penontonnya kepada setiap karakternya. 


Kali ini masalah hadir saat para penjaga galaksi ini sedang pergi ke sebuah planet yang menjadi kliennya. Mereka membantu Ayesha (Elizabeth Debicki) dengan imbalan membebaskan saudara perempuan Gamora (Zoe Saldana) yaitu Nebula (Karen Gillan). Tetapi, Rocket Raccoon (Bradley Cooper) mencuri benda penting milik Ayesha sehingga mereka pun menjadi buron dan dikejar oleh anak buahnya. Di tengah pelarian dan membela dirinya, mereka diselamatkan oleh ayah dari Star Lord (Chris Pratt).

Star Lord sudah lama menanyakan perihal ayahnya yang menghilang begitu saja dari kehidupannya yang ternyata adalah seorang dewa bernama Ego (Kurt Russell). Ketika Star Lord memiliki banyak pertanyaan tentang hidupnya, bahaya telah datang dan mengancam Star Lord beserta timnya yaitu Drax (Dave Bautista), Rocket, Groot (Vin Diesel), dan Gamora. Mereka diincar oleh The Ravager, tim yang diketuai oleh Yondu (Michael Rooker), mereka ditugaskan oleh Ayesha untuk menangkap para penjaga galaksi ini. 


Tak mungkin bagi banyak orang untuk tak membandingkan sekuelnya kali ini dengan film pertamanya. Guardians of The Galaxy memang menjadi salah satu fenomena baru di Marvel Cinematic Universe. Filmnya yang pertama ternyata tak disangka akan memunculkan penggemar baru sehingga edisi kedua ini akan sangat dinantikan. Beruntung, James Gunn tetap memiliki cita rasa yang sama dan dijadikan dasar dalam pengarahannya untuk tetap memuaskan para penggemarnya di edisi kedua.

Sebagai sebuah sekuel, James Gunn memang berusaha agar Guardians of The Galaxy Vol. 2 memiliki pembeda dengan film pertamanya. Guardians of The Galaxy Vol. 2 memiliki lingkup cerita yang lebih kecil dibandingkan dengan film pertamanya. Konflik yang ada di dalam Guardians of The Galaxy Vol. 2 lebih menyorot kepada internal setiap karakternya. Alih-alih Guardians of The Galaxy Vol. 2 menjadi sebuah film yang baru, film ini lebih menekankan sebagai sebuah film pelengkap dari seri pertamanya.

Volume kedua bukan berarti tak menjadi sebuah film yang bagus, tetapi kedua film ini memiliki kemeriahannya masing-masing. Dengan konfliknya yang begitu personal, Guardians of The Galaxy Vol. 2 bisa membuat penontonnya untuk lebih dekat kepada setiap karakternya dan bagaimana mereka sebagai sebuah tim. James Gunn berusaha menjelaskan kepada penontonnya bahwa para penjaga galaksi ini bukan sekedar menjadi sebuah tim dengan ketidaksengajaan, tetapi mereka secara tak langusng semakin lama semakin memiliki ikatan emosional dengan para anggotanya. 


Dengan durasi yang mencapai 135 menit, James Gunn memiliki pendalaman karakter yang sangat menarik dan kuat dari setiap karakternya. Dengan begitu, penonton akan bisa mengetahui siapa saja para penjaga galaksi yang mungkin tak begitu ditekankan di film pertamanya. Keputusan untuk menggunakan konflik internal sebagai pion cerita di film keduanya ini tepat guna untuk memberikan pondasi setiap karakternya agar penonton dapat terasa lebih dekat dengan mereka.

Menumbuhkan nilai tentang kekeluargaan menjadi beberapa topik yang sering ada di dalam banyak film akhir-akhir ini. Guardians of The Galaxy Vol. 2 juga mengeksplorasi nilai tentang kekeluargaan itu agar edisi kedua film para penjaga galaksi ini memiliki perbedaan di film pertamanya. Eksplorasi akan sisi humanis yang nantinya akan  berdampak dengan keemosionalan cerita di akhir film. James Gunn berhasil untuk mengeksplorasi itu dan berdampak pada penontonnya. Hanya saja, kembali kepada referensi penontonnya yang mungkin memiliki sensitivitas lain tentang nilai-nilai dan kaitannya dengan sebuah keluarga.

Tentu saja, Guardians of The Galaxy Vol. 2 sudah menghantam penontonnya dengan berbagai spektakel aksi dan visual dari awal hingga akhir. Guardians of The Galaxy Vol. 2 penuh akan visual efek bombastis yang tak hanya sekedar menghibur tetapi juga akan membuat penontonnya berdecak kagum. James Gunn lagi-lagi bisa menghasilkan tensi yang kuat dan bisa membuat penontonnya tak akan memalingkan wajah dari layar. Tentu tak akan ketinggalan bagaimana James Gunn memberikan unsur komedi yang sangat bisa membuat penontonnya menikmati setiap menit dari durasinya. Apalagi dengan iringan lagu-lagu ngetop di era tahun 70 hingga 80an. 


Maka, inilah para penjaga galaksi dari dunia buatan milik Marvel yang telah memiliki babak baru. Guardians of The Galaxy Vol. 2 lebih menjadi sebuah film pelengkap dari edisi pertamanya yang dikemas dengan sangat menyenangkan dengan konflik yang lingkupnya lebih kecil dan lebih personal. Tetapi, James Gunn berhasil menggunakannya sebagai medium untuk memperdalam setiap karakternya dan menjawab setiap pertanyaan yang akan muncul saat menonton film pertamanya. Juga, menyelipkan nilai yang berkaitan dengan keluarga yang muncul sebagai cara memunculkan keemosionalan cerita. Sehingga, Guardians of The Galaxy Vol. 2menjadi sebuah film sekuel yang memiliki pembeda dari film pertamanya. Tak hanya berbeda, tetapi juga meriah dan menyenangkan dengan caranya sendiri.

Rabu, 03 Mei 2017

KARTINI (2017) REVIEW : Refleksi Tentang Emansipasi

KARTINI (2017) REVIEW : Refleksi Tentang Emansipasi


Penikmat film Indonesia seakan tak akan pernah berhenti untuk diberi sebuah film biografi. Memberikan ruang bagi semua orang untuk sesekali mengintip kehidupan sosok penting di sebuah layar perak. Sosok itu bisa beragam, mulai dari yang sering orang kenal hingga siapa saja yang berjasa dalam melakukan perubahan. Hanung Bramantyo, bisa dibilang seorang sutradara yang sudah beberapa kali membuat film biografi. Mulai dari tokoh agama hingga mantan presiden Republik Indonesia telah memiliki memoir yang dibuat oleh tangannya.

Adanya inkonsistensi dalam berkarya membuat Hanung Bramantyo sering kali kehilangan kepercayaan penontonnya. Hingga April tahun ini, Hanung Bramantyo hadir menyapa penonton film Indonesia lewat film biografi tentang salah satu perempuan berjasa dan mahsyur dalam memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Kartini, film ini mendapatkan sorotan yang cukup besar karena menempatkan nama Dian Sastrowardoyo sebagai pemeran Kartini.

Selain Dian Sastrowardoyo, Kartini juga memiliki nama-nama lain di dunia perfilman Indonesia yang memiliki kredibilitas yang luar biasa kuat. Dengan itulah, Kartini menjadi salah satu film biografi yang patut dinanti oleh banyak pihak. Hanung Bramantyo memang sudah sering mengarahkan film dengan genre serupa, tetapi Kartini memiliki pembeda antara karya yang lainnya. Meski masih ada beberapa ciri khas Hanung Bramantyo yang tak bisa dibendung lagi, Kartini adalah sebuah film Biografi yang sangat digarap dengan teliti. 


Tak bisa dipungkiri, setiap orang akan muncul suatu kekhawatiran tentang sebuah film biografi. Khawatir akan bagaimana mengolah informasi tentang seseorang ini agar tak menimbulkan persepsi dan bagaimana seorang sutradara bisa memiliki alternatif cara untuk menyampaikan informasi itu. Hanung Bramantyo menjadi sosok yang berbeda dalam mengarahkan Kartini. Film terbarunya ini tak berubah menjadi sebuah film biografi yang penting tetapi terasa tak memiliki ambisi apapun untuk disorot berlebih.

Kartini tak hanya sekedar memberikan informasi tentang seseorang, melainkan juga sebagai medium untuk memberitahukan tentang apa yang sedang diperjuangkan oleh sosok R.A. Kartini itu sendiri. Emansipasi, terlebih dalam hal menuntut ilmu yang sebenarnya tak terbatasi oleh gender tertentu menjadi momok penting untuk dibicarakan. Film Kartini adalah sebuah film tentang fenomena sosial yang ada tanpa dramatisasi berlebih tetapi bisa menyentuh hati sekaligus menginspirasi setiap penontonnya. 


Adegan dibuka dengan bagaimana Kartini kecil sedang berusaha agar ibunya, Ngasirah (Nova Eliza) bisa kembali tidur bukan di kamar pembantu. Pertanyaan itu akan membawa penonton menyelami cerita selanjutnya yang terfokus kepada Kartini (Dian Sastrowardoyo) yang sudah tumbuh dewasa. Dia sedang dipingit agar bisa menjadi seorang Raden Ajeng. Di tengah dia sedang jengah atas setiap aturan budaya yang mengekangnya, Kartono (Reza Rahadian) sebagai kakak Kartini memberikan semangat agar diri dan pemikirannya tak ikut dipingit oleh aturan yang ada.

Maka, Kartini mendapatkan warisan ilmu dari buku-buku milik Kartono yang membuatnya bisa merasakan indahnya dunia. Dengan adanya hal tersebut, Kartini berusaha untuk bisa berkarya melalui tulisan-tulisan yang akan mengharumkan namanya. Kartini pun sudah mendapatkan sorotan dari berbagai pihak terutama orang-orang Belanda. Kartini pun mengajak adik-adiknya, Kardinah (Ayushita Nugraha) dan Roekminah (Acha Septriasa) untuk menyuarakan keluh kesahnya agar tumbuh kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. 


Inilah film Kartini yang dibuat dengan nilai produksi yang tak sembarangan, tetapi juga masih memiliki cara bertutur yang pas. Semua orang boleh menertawakan bagaimana rekam jejak karir Hanung Bramantyo di sepanjang karirnya, tetapi Kartini jelas sebuah karya yang tak boleh begitu saja dilewatkan. Dengan durasi sepanjang 115 menit, Kartini memiliki caranya untuk menuturkan segala konflik sekaligus pembagian latar belakang cerita sesuai dengan takaran yang pas.

Semua jajaran pemain di dalam film Kartini bermain sesuai dengan porsinya, tak ada yang berusaha untuk saling mendominasi satu sama lain. Inilah yang menjadi kekuatan utama dari film Kartini yang berhasil membuat filmnya begitu solid. Naskah milik Bagus Bramanti dan Hanung Bramantyo ini juga memberikan alternatif penceritaan lain di dalam sebuah film biografi. Teringat ketika pertama kali Kartini membaca buku milik kakaknya dan muncul sebuah visualisasi dari apa yang terjadi di bukunya. Inilah gambaran ketika buku bisa disebut dengan jendela dunia, dan membaca adalah tiket untuk bisa mengelilingi dunia tersebut. Menegaskan pula bahwa ilmu itu penting dimiliki oleh setiap orang.

Di sinilah cara bagaimana Bagus Bramanti dan Hanung Bramantyo mengemas informasi mereka dengan cara yang dapat menghibur penontonnya. Sehingga, informasi yang disampaikan tak sekedar untuk memberikan afirmasi tentang kebenaran, tetapi juga untuk memberikan pemahaman yang bisa terpatri di pemikiran penontonnya. Beruntungnya, naskah rapi itu bisa diterjemahkan dengan baik pula oleh Hanung Bramantyo secara visual, sehingga tercapailah sudah tujuan tersebut. 


Hanung Bramantyo sebagai sutradara tentu memiliki khasnya sendiri dan tentu Kartini masih memiliki kekhasannya dalam bercerita. Kartini adalah cara Hanung Bramantyo untuk bisa memuaskan setiap orang yang memiliki berbagai paradigma tentang nilai –mulai sosial hingga agama. Dalam hasil akhirnya, ada beberapa bagian cerita yang sedikit terlalu dilantunkan secara eksplisit, yang mungkin bertujuan agar setiap orang bisa mengakses informasi yang berusaha disampaikan oleh Hanung. Tetapi, hal tersebut masih dalam porsi yang wajar dan bisa diterima.

Film Kartini ini juga sebagai refleksi atas keadaan sosial Indonesia yang masih memiliki problematikanya dalam menempatkan seorang perempuan. Raden Ajeng Kartini adalah kiblat bagi para perempuan untuk mendapatkan emansipasi dan digunakan dengan benar. Maka itu pula yang ditekankan dalam film Kartini ini, bahwa perempuan juga bisa menjadi seorang yang mandiri. Bukan berarti terlepas dari sosok laki-laki, tetapi menjadi sosok yang setara karena manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan satu dengan yang lainnya. 


Sebagai sebuah film Biografi dengan pendekatan yang populer, Kartini adalah jawaban dari segala keluh kesah penikmat film. Kartini hadir dengan takaran yang pas tanpa berusaha untuk terlalu mendayu-dayu dan tak menimbulkan kesalahan persepsi tentang sosok tersebut. Inilah Kartini sebagai sebuah film biografi yang bisa memberikan informasi, inspirasi, dan sekaligus dapat dinikmati dengan khidmat oleh penonton dengan segala latar belakangnya yang berbeda. Hanung Bramantyo dan Bagus Bramanti memberikan naskah yang solid dan memberikan alternatif cara untuk menyampaikan informasi yang bisa diterima oleh khalayak luas. Mungkin, hal itu membuat beberapa ceritanya terkesan menggurui di beberapa bagian. Tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa Kartini adalah film penting yang digarap dengan detil, hati-hati, dan akan menggugah hati penontonnya.

Selasa, 25 April 2017

THE GUYS (2017) REVIEW : Komedi Khas Raditya Dika dengan Pembaharuan

THE GUYS (2017) REVIEW : Komedi Khas Raditya Dika dengan Pembaharuan


Setelah hadir mencoba babak baru dalam kemampuan mengarahkan film lewat film Hangout yang rilis Desember lalu, Raditya Dika kembali lagi menyapa para penonton dan juga fans-nya. Di tahun 2017 ini, Raditya Dika kembali bekerjasama dengan rumah produksi Soraya Intercine Films untuk menyelesaikan proyek filmnya yang naskahnya sudah dikembangkan dalam jangka waktu yang panjang. Jeda waktu antara Hangoutdengan proyek terbarunya ini memang terasa terlalu dekat, sehingga bisa jadi hal itu akan mempengaruhi performa Raditya Dika dari kualitas hingga kuantitas.

Proyek terbarunya ini Raditya Dika tak lagi berusaha mengeksplorasi genre baru seperti yang dilakukannya di Hangout. Raditya Dika kembali lagi ke akarnya untuk membuat sebuah komedi romantis seperti apa yang dia lakukan di film-film sebelumnya. The Guys, judul proyek terbaru dari Raditya Dika bersama Soraya Intercine Films setelah berhasil berkolaborasi lewat Single di tahun 2015 lalu. Naskah yang sudah dibuat oleh Raditya Dika cukup lama ini dikembangkan lagi bersama dengan Donny Dhirgantoro dan juga Sunil Soraya. Tetapi, pengarahan filmnya tetap dipegang oleh Raditya Dika.

Proyek The Guys muncul tanpa diduga oleh banyak orang karena bisa dibilang memiliki rentang waktu yang tak begitu lama. Meski begitu, The Guysadalah karya dari seseorang bernama Raditya Dika yang namanya sudah menjadi sebuah brand sendiri ini tentu akan menumbuhkan banyak penonton. The Guys adalah sebuah komedi romantis yang sebagian besar berbicara tentang kesendirian dan harapan tentang cinta. Tetapi, tak disangka adalah The Guysternyata memiliki subplot lain yang berbicara tentang persahabatan dan keluarga yang berkombinasi manis di sepanjang 115 menit. 


Raditya Dika memang bisa dibilang kembali ke zona nyamannya lewat The Guys. Film-film komedi romantis seperti seperti film The Guys ini mungkin sudah menjadi makanannya sehari-hari. Sehingga, penonton akan dengan mudah mempercayai bahwa The Guys akan memiliki performa yang bagus. Meski kembali ke zona nyamannya, The Guys memiliki sesuatu yang berbeda dibandingkan dengan film-film Raditya Dika yang serupa. Ada cita rasa yang menyenangkan, hangat, dan sekaligus manis dalam The Guys yang tak akan ditemui penontonnya di film-film sebelumnya.

Tiga poin cerita tentang cinta, persahabatan, dan keluarga dalam film The Guys bisa diramu menjadi sajian yang sangat menghibur. Pengarahan milik Raditya Dika lewat film The Guys begitu solid, sehingga setiap menit di dalam film ini terasa tak begitu menjemukan. Meskipun tak semua bagian cerita ini tak bisa memiliki porsi yang sama. Ada beberapa bagian yang terpaksa harus mengalah demi menjalankan pion cerita lain yang menjadi benang merah. 


Inilah cerita di dalam The Guystentang 4 orang sahabat yang tinggal di satu rumah. Mereka adalah Alfi (Raditya Dika), Aryo (Indra Jegel), Rene (Marthino Lio), dan Sukun (Pongsiree Buluewon). Mereka adalah karyawan di sebuah agensi kreatif. Di tempat itulah, Alfi merasa bahwa apa yang dilakukannya sudah berada di titik jenuh. Di tengah kejenuhannya, Alfi bertemu dengan Amira (Pevita Pearce) di sebuah presentasi bersama kliennya. Mulai dari sanalah, keduanya semakin dekat.

Sayangnya, kedekatan mereka ternyata tak selancar yang dikira. Amira mengundang Alfi makan malam di rumahnya dan di sanalah Alfi tahu bahwa Amira adalah anak Pak Jeremy (Tarzan) yang sekaligus adalah bosnya. Secara tak sengaja, Alfi merusak acara makan malam di rumah Amira dan sebagai gantinya Alfi mengajak Pak Jeremy untuk makan malam di rumah ibunya. Yang terjadi malah Pak Jeremy jatuh cinta kepada Ibu Alfi (Widyawati) dan membuat Alfi bingung harus berbuat apa. 


Dengan cerita yang pada awalnya bertujuan untuk berfokus kepada empat karakter utamanya yang sedang menjalin persahabatan, The Guys memang masih kurang menggali dalam. Dengan durasi filmnya sepanjang 115 menit, Raditya Dika belum bisa memaksimalkan poin persahabatan yang seharusnya muncul lebih dominan dibanding yang lainnya. Penonton mungkin minim akan koneksi dan juga korelasi antara judul film yang mereka tonton dengan presentasi cerita secara keseluruhan.

Raditya Dika mengalihkan poin utamanya kepada subplot tentang cinta dan kasih di dalam film The Guys. Tetapi meski subplot utama beralih ke poin yang berbeda, di sinilah The Guys tampil dengan sangat prima. Raditya Dika di dalam The Guysberhasil memunculkan rasa manis kisah cinta yang tak pernah ada di film-film sebelumnya. Belum lagi, kisah cinta kali ini memiliki kedewasaan dalam penyampaiannya dan juga rasa hangat yang tak terasa manipulatif.

Pengarahan Raditya Dika di dalam film The Guys pun terasa memiliki perkembangan. Jalan ceritanya masuk begitu rapi dan halus apabila dibandingkan dengan film-film Raditya Dika sebelumnya. Konfliknya dibiarkan berkembang mengikuti durasinya yang juga cukup panjang. Sehingga, penonton akan dengan rela dan suka cita mengikuti menit demi menit dari film The Guys. Meski komedi di dalam film ini tak terlalu menggebu-gebu, tetapi penonton tetap bisa merasa bahagia.


Ini juga yang menjadi poin pembeda dari film The Guys dengan film-film Raditya Dika yang sebelumnya. The Guys memiliki bangunan nuansa komedi yang jauh lebih tertata dan lebih efektif. Di sinilah Raditya Dika sudah menemukan ritmenya untuk membangun nuansa komedi yang efektif dan pintar. Meski bahan humornya tetap khas ala Raditya Dika, tetapi penonton masih bisa tertawa dengan puas dengan humor yang diberikan. Bukan hanya tertawa, tetapi ada efek hangat dan membuat perasaan merekah sesaat setelah menonton The Guys. Itu semua dikarenakan The Guys memiliki ritme dan pengarahan yang lebih rapi dan tertata dengan kombinasi subplot dalam takaran yang pas.

Dengan sepak terjang Raditya Dika yang sudah mengarahkan banyak judul filmnya, tentu The Guys akan terasa memiliki signifikansi dalam kualitas penyutradaraannya. Dengan mudah The Guys menjadi karya Raditya Dika terbaik sejauh ini. The Guys memang masih memiliki problematika dalam memberikan porsi untuk setiap subplotnya agar terasa seimbang. Tetapi, tak bisa dipungkiri pula, The Guys adalah sebuah film yang diarahkan dengan rapi dan hati-hati oleh Raditya Dika. Sehingga, ritme penceritaannya akan terasa pas dan konfliknya bisa berkembang. The Guysmenjadi sebuah tontonan film komedi yang tak hanya efektif, tetapi juga bisa membuat hati berbunga-bunga. Selain itu, The Guys juga berhasil tampil manis sekaligus menghangatkan hati penontonnya.   

Kamis, 20 April 2017

FAST AND FURIOUS 8 (2017) REVIEW : Spektakel Aksi Seru di Seri Terbaru

FAST AND FURIOUS 8 (2017) REVIEW : Spektakel Aksi Seru di Seri Terbaru


Fast and Furious adalah salah satu franchise lama dan terbesar milik Hollywood. Franchiseini sudah berkembang mulai dari tahun 2001 dan sebagian besar orang selalu menantikan setiap seri film ini. Furious7 adalah titik puncak karena anggota ‘keluarga’ dari Franchise ini meninggal yaitu Paul Walker. Daya tarik penonton untuk menyaksikan Furious 7 semakin besar karena ingin menyaksikan performa terakhir dari Paul Walker di seri ini.

Momen wafatnya Paul Walker juga berdampak pada angka penjualan tiket Furious 7 dan mendapatkan angka pembukaan yang fantastis. Hal ini tentu membuat produser memberikan lampu hijau agar seri ini tetap berjalan. Maka dari itu, tahun ini Fast and Furious memutuskan untuk merilis seri ke delapan dari Franchise-nya. Pergantian sutradara pun terjadi, dari James Wan ke F. Gary Gray dan berpengaruh pada pemilihan judul. The Fate and The Furious adalah judul terbaru dari franchise ini di US, meski judul di Indonesia tetap menggunakan Fast and Furious 8.

Meski kehilangan salah satu anggota keluarga besar di Franchise-nya, tetapi masih ada anggota-anggota lain yang masih memiliki kekuatan yang cukup besar untuk membuat seri ini tetap berdiri. Vin Diesel, Dwayne Johnson, Ludacris, dan baru-baru ini Jason Statham juga ikut hadir dalam seri ini. Mungkin ada yang mengira bahwa momentum dari seri ini akan berakhir pada seri ketujuhnya. Maka, singkirkan pemikiran tersebut, karena Fast and Furious 8 akan dengan mudahnya menyingkirkan pemikiran itu dari penontonnya. 


Menceritakan tentang Dominic Toretto (Vin Diesel) yang ketenangan hidupnya diganggu oleh seorang perempuan bernama Cipher (Charlize Theron). Ada masa lalu tentang Dom yang berusaha diancam oleh Cipher sehingga Dom merasa bahwa ketenangan hidupnya bersama Letty (Michelle Rodriguez) perlu dikorbankan. Ketika pada akhirnya, Dom bersama teman-temannya mendapatkan tugas untuk menyelamatkan sebuah misil, Dom memutuskan untuk menghianati mereka.

Misi yang dijalankan oleh Dom dan tim ini adalah berasal dari Hobbs (Dwayne Johnson). Kejadian ceroboh ini membuat Hobbs mendekam di dalam penjara. Di sana, dia bertemu dengan Deckard Shaw (Jason Statham) yang pernah menjadi salah satu musuh Dom dan teman-temannya. Ternyata, Deckard juga sedang mengincar Cipher yang telah membuat kehidupannya berantakan. Atas dasar itu, mereka berusaha agar bisa keluar dari penjara dan mencari cara agar bisa menangkap Cipher. 


Dengan nomor seri yang sudah tidak sedikit lagi, penonton tentu cukup khawatir apa yang berusaha diberikan oleh franchiseini. Dengan hilangnya Paul Walker, tentu harus mencari cara apa yang berusaha dijual oleh franchise ini, momentum seperti apa lagi yang akan diberikan. Maka, di dalam Fast and Furious 8, F. Gary Gray berusaha menjawab kekhawatiran penontonnya. Sang sutradara melimpahkan sebuah pertunjukkan aksi tanpa henti yang mampu membuat penontonnya berdecak kagum.

Fast and Furious 8 akan memberikan sebuah aksi spektakel yang tidak ada habisnya. Film ini menemukan kegembiraannya sendiri dengan memperlihatkan berbagai macam adegan mobil yang mengalami kedestruktifan yang luar biasa besar. F. Gary Gray tak hanya menggunakan banyak sekali adegan destruktif itu menjadi ajang pamer juga, tapi juga memiliki tensi yang mampu mencengkram penontonnya. Sehingga, penonton akan sangat menikmati setiap menit yang terjadi di Fast and Furious 8.

Poin lain dalam Fast and Furious 8 adalah bagaimana F. Gary Gray memiliki kemampuan untuk merapatkan naskah milik Chris Morgan. Secara cerita, Fast and Furious 8 tak memiliki hal baru dan sesuatu yang perlu untuk dipikir berlebihan. Chris Morgan menuliskan sebuah plot cerita yang linear tentang sisi baik melawan sisi buruk juga disisipi pesan tentang sebuah keluarga. Meskipun, dalam pengarahanya, F. Gary Gray masih belum menemukan kombinasi yang baik antara poin tentang keluarga itu ketika masuk ke dalam plot ceritanya. 


Beberapa bagian dalam Fast and Furious 8 memang terasa berusaha terkesan melankolis untuk menarik simpati penontonnya.  Beberapa bagian mungkin akan berhasil, tetapi kontinuitas yang terjadi muncul cukup berlebihan. Sehingga, akan terasa ada beberapa ketimpangan yang terjadi dalam tone cerita di dalam filmnya yang berdurasi 139 menit ini. Hal ini cukup mendistraksi kemasan Fast and Furious 8 tetapi untungnya film ini masih punya spektakel aksi sebagai senjatanya dan poin lain yang mengembalikan kepercayaan penontonnya.

Ada Charlize Theron yang menjadi seorang villain dengan performa yang sangat kuat dan prima. Charlize Theron berhasil meyakinkan penontonnya bahwa dia adalah seorang musuh yang benar-benar memiliki dampak besar kepada Dom dan timnya. Dengan begitu, karakter-karakter lain akan memiliki upaya yang cukup besar untuk berhasil menangkap atau mengalahkan musuhnya. Dan upaya-upaya itu berhasil ditampilkan sangat kuat oleh F. Gary Gray, sehingga penonton akan dengan mudah percaya dengan apa yang dilakukan oleh setiap karakternya. 


Inilah Fast and Furious 8, sebuah seri terbaru dari franchisebesar milik Hollywood yang semakin lama semakin menjadi. F. Gary Gray mampu untuk menanggapi tuntutan para penggemar seri ini atau bahkan penonton awam yang butuh sebuah hiburan yang menyenangkan. Plotnya yang memang familiar dan linear ini berhasil disampaikan dengan baik dan begitu meyakinkan oleh sang sutradara. Sehingga, penonton akan mudah percaya dengan setiap alasan yang sedang dilakukan oleh setiap karakter di film ini. Meski ketimpangan sisi humanis yang diselipkan terlalu sering di film ini membuat adanya suatu ketimpangan dan mendistraksi, tetapi Fast and Furious 8 tetap menyanggupi ekspektasi penontonnya. Spektakel aksi yang seru dan mampu membuat penontonnya berdecak kagum adalah kunci suksesnya seri terbaru ini.

Jumat, 14 April 2017

GET OUT (2017) REVIEW : Horor Atmosferik Dengan Pesan

GET OUT (2017) REVIEW : Horor Atmosferik Dengan Pesan


Cukup mengagetkan, di awal tahun ada 1 film yang benar-benar mendapatkan pujian di luar sana. Lebih mengagetkan lagi adalah film itu ternyata berasal dari Blumhouse Pictures yang memiliki konsentrasi lebih ke film-film horor. Ditilik lebih dalam lagi, memang film ini adalah film penuh atmosfer menyeramkan ala Horror genre digabung dengan tensi rapat khas genre Thriller. Karya ini lahir dari seorang bernama Jordan Peele yang ternyata baru pertama kali memiliki kesempatan mengarahkan sebuah film.

Dan inilah, Get Out, sebuah film horor yang muncul dari tangan komedian dan mendapatkan pujian di berbagai festival hingga di awal tahun memiliki kesempatan untuk ditonton banyak kalangan. Beruntung juga Indonesia memiliki kesempatan untuk menyaksikan film ini meski baru tayang di bulan April ini. Sehingga, beberapa orang –yang tahu akan adanya film ini –tentu akan menantikan film ini saat diputar. Sehingga, meski tanpa nama-nama besar, Get Outberhasil mengundang rasa penasaran orang dengan pujian yang datang padanya.

Get Out tak hanya diarahkan sendiri oleh Jordan Peele. Naskah film ini pun ditulis sendiri olehnya. Sehingga, Jordan Peele memiliki kuasa untuk mengemas dan mengarahkan sendiri film yang juga ditulis sendiri olehnya. Kritik-kritik luar mengatakan bahwa Get Out menjadi sebuah alternatif tontonan horor dengan penyelesaian yang berbeda. Tak bisa dipungkiri, Get Out memang sebuah pengalaman sinematik genre horor dengan suasana yang sangat mencekam.


Singkirkan ekspektasi bahwa Get Out akan menawarkan cara penyelesaian yang akan membuat penontonnya terperangah. Penonton yang mengharapkan penyelesaian yang jenius harus sedikit menurunkan sedikit ekspektasinya. Tetapi poin penting dalam film Get Out –atau film-film dengan penyelesaian alternatif –adalah bagaimana cara sang sutradara untuk menyampaikan setiap menitnya. Keberhasilan sebuah film adalah bagaimana sang sutradara bisa menyampaikan apa yang diinginkan dengan baik serta diikuti oleh beberapa aspek untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Kejeniusan Get Out malah bertumpu pada bagaimana Jordan Peele berusaha untuk menyampaikan setiap menitnya. Penonton yang minim informasi akan Get Out mulai dari trailer dan sinopsis dan hanya berbekal opini kritikus, tentu akan kebingungan dengan apa yang berusaha disampaikan oleh Jordan Peele. Biasnya tujuan dan maksud dari Jordan Peele oleh penonton ini adalah poin positif dari film ini. Sehingga, penonton bisa merasakan suasana mencekam tentang kisah pasangan Chris dan Rose.


(Skip this two paragraph if you think this is A SPOILER)

Kisah dalam Get Out juga memiliki sebuah kisah yang generik atau sudah pada umumnya. Menceritakan sepasang kekasih beda ras bernama Chris (Daniel Kaluuya) dan Rose (Allison Williams) yang sudah menjalani hubungan yang cukup serius. Suatu ketika Rose harus ke rumah orang tuanya untuk menghadiri sebuah pesta dan memutuskan untuk mengajak Chris untuk datang.  Chris yang memiliki warna kulit berbeda dari Rose, merasa tidak percaya diri dengan hubungan mereka.

Tetapi, Rose berusaha menumbuhkan rasa percaya diri kepada Chris agar mau untuk datang ke acara pesta orang tuanya. Chris tak tahu pesta seperti apa yang sedang diadakan oleh orang tua dari Rose di rumahnya. Ketika sudah sampai, ketakutan Chris atas respon orang tua Rose ternyata tak terwujud, mereka sangat ramah kepada Chris. Ketidakramahan yang ditemui Chris adalah atmosfir lingkungan sekitar rumah orang tua Rose. Chris merasa mereka sedang dihantui oleh sesuatu yang tak tahu itu apa.

(End of warning)

 
Kisah generik inilah yang dijadikan oleh Jordan Peele sebagai area bermain dalam mengarahkan dan menulis Get Out. Formula usang yang mudah ditebak ini dikemas dengan cara yang sangat baik, sehingga bisa berubah menjadi kuat. Atmosfer yang mencekam adalah kekuatan utama dari Jordan Peele dalam film Get Out. Penonton tak diperbolehkan untuk langsung mengetahui apa yang sedang terjadi, karena Jordan Peele berusaha mengintimidasi penonton akan ketidakpastian yang ada. Akan muncul banyak interpretasi muncul dari penonton yang membuat diri mereka sendiri tak nyaman.

Itulah tujuan yang tertangkap dalam film ini sebagai sebuah film horor, Jordan Peele ingin penonton merasakan apa yang dirasakan oleh Chris. Sehingga, hal itu akan efektif membuat pikiran penontonnya terganggu dan meneguhkan bahwa Jordan Peele berhasil melaksanakan metode horor atmosferik ini berada di level yang lain. Inilah sebuah sarkasme yang muncul dari pikiran Jordan Peele yang berusaha memberikan alternatif cara untuk mengemas formula yang sudah sangat usang.

Muncul pula misi lain yang berusaha disampaikan oleh Jordan Peele dalam Get Out. Rasisme, isu sosial yang sedang sangat dekat di negara Amerika dan Jordan Peele berusaha menyampaikannya lewat medium genre yang berbeda. Jordan Peele menyelipkan pesan tentang propaganda peraturan warga kulit putih tentang penerimaan warga kulit berwarna. Penyesuaian atas warga kulit berwarna atas peraturan itu sudah menjadi budaya dan menjadi hal yang lumrah. Sehingga, Get Out menjadi sebuah medium untuk menyampaikan sebuah statement atas isu sosial.


Get Out dengan karakter Chris yang memiliki kulit berwarna sedang datang ke rumah pacarnya yang kulit putih digunakan sebagai sebuah simbol. Rumah pacar Chris adalah lingkup kecil Amerika tetapi Chris merasa dirinya terintimidasi atas perbedaan warna kulit. Hal ini ditangkap sebagai hal yang mewakili bagaimana warga dengan kulit berwarna tak bisa menjalani hidupnya dengan bebas, merasa terkekang dan bahkan dipaksa harus mengikuti peraturan yang dibuat oleh warga Amerika kulit putih. Sehingga, menunjukkan bahwa warna kulit memiliki kasta dan kuasa yang mampu mengontrol perilaku seseorang di dalam wilayah mana pun dan lingkup sekecil apapun.

Di luar pesannya tentang rasisme yang menjadi konsentrasi penuh di negara Amerika, Get Out adalah sebuah pengalaman sinematis genre horor yang segar. Kejeniusan Jordan Peele bukan melulu tentang memberikan konklusi alternatif yang membuat penontonnya tercengang. Tetapi kejeniusan Jordan Peele adalah membuat mengarahkan Get Out dengan begitu solid dan berhasil menimbulkan efek yang sangat mencekam. Penonton tak beritahu secara gamblang informasi tentang apa yang terjadi di dalam plot ceritanya, hanya memberikan sedikit demi sedikit informasi yang konkrit. Hasilnya, Get Out adalah sajian film horor yang unik dan berbeda. Sekaligus statement sosial dengan cara yang menyenangkan dan mendebarkan.