Tampilkan postingan dengan label 5 Stars. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 5 Stars. Tampilkan semua postingan

Jumat, 27 April 2018

AVENGERS : INFINITY WAR (2018) REVIEW : The End Begins Here

AVENGERS : INFINITY WAR (2018) REVIEW : The End Begins Here


Tibalah sudah waktu untuk para superhero milik Marvel dalam masa yang berbeda dari yang film-film sebelumnya. Setelah mengalami banyak fase dalam perjalanan filmnya selama sepuluh tahun, sudah waktunya kumpulan superhero untuk menghadapi masa yang jauh lebih sulit dibanding sebelumnya. Konflik dari mereka pun semakin lama semakin pelik di fasenya yang ketiga ini. Sehingga, kompleksitas dalam konflik di setiap stand alone filmnya sudah waktunya untuk disajikan dalam satu film besar.

Avengers : Infinity Wartentu menjadi sebuah film superhero milik Marvel yang sangat ditunggu-tunggu baik fans maupun penikmat film. Komandonya pun berganti dari Joss Whedon ke Anthony & Joe Russo yang selalu dengan baik mengemas film linimasa penting dari Marvel yang datang dari sosok Captain America. Terlebih ketika Captain America : Civil War mampu menjadi salah satu hasil akhir dari film-film Marvel yang dikemas dengan sangat baik.

Dengan adanya dasar ini, lantas tak salah apabila Kevin Feige sebagai produser memilihnya untuk mengarahkan kisah para kumpulan manusia super yang sudah lebih kompleks ini. Avengers : Infinity War tentu sudah memiliki ambisi yang sangat besar terlebih ketika sudah banyak sekali film-film stand alonemilik Marvel yang sudah beredar. Sehingga, Avengers : Infinity War tentu tak akan malu-malu memunculkan berbagai macam superheronya dalam satu frame.


Avengers : Infinity Warmemiliki banyak sekali karakter superhero milik Marvel yang harus tampil di dalamnya. Meski ada beberapa karakter yang akan disimpan untuk film Avengers selanjutnya di tahun 2019 nanti, tentu mengarahkan sebuah film dengan karakter banyak itu bukanlah hal yang mudah. Anthony dan Joe Russo tentu berusaha keras agar apa yang dia arahkan bisa mampu memiliki porsi yang tepat bagi karakter, plot, beserta tempo filmnya.

Inilah Avengers : Infinity Waryang berusaha memberikan kompleksitas yang luar biasa besar dalam konfliknya. Russo Brothers mampu mengarahkan apa yang berusaha disampaikan di dalam film ini dengan porsi yang benar-benar pas. Sehingga dalam durasinya yang mencapai 149 menit, Avengers : Infinity Warmampu menyampaikan pesannya yang sangat ambisius dengan cara yang sudah tepat sasaran dan efektif.  Serta menyematkan film ini sebagai salah satu cinema experience paling dahsyat sebagai sebuah film manusia super milik Marvel Cinematic Universe.


Thanos (Josh Brolin) sudah memiliki rencana untuk menghancurkan alam semesta beserta isinya. Oleh karena itu, dia harus mengumpulkan enam infinity stone yang tersebar di alam semesta. Thanos melakukan berbagai upaya agar bisa mengumpulkan keenam batu tersebut. Hingga akhirnya Thanos mengutus anak buahnya untuk mengambil batu-batu tersebut yang berada di bumi. Batu yang diincar adalah Time Stone yang berada di tangan Doctor Strange (Benedict Cumberbatch) dan Mind Stone yang berada di tangan Vision(Paul Bethany).

Tentu saja para manusia super tak hanya tinggal diam. Tony Stark sekaligus Iron Man (Robert Downey Jr.) yang sedang berusaha melindungi Doctor Strange harus terjebak dalam sebuah pesawat luar angkasa yang sedang menginvasi bumi saat itu. Beserta Spider-Man (Tom Holland), Tony Stark berusaha untuk mengeluarkan Doctor Strange yang sedang menjadi incaran. Tetapi, hal lain malah terjadi ketika mereka berusaha untuk menyelamatkan infinity stone yang tersisa.


Di fasenya yang ketiga, Avengers : Infinity War memang sudah saatnya mengambil jalan yang lebih berbeda dibanding film-film sebelumnya. Anthony dan Joe Russo telah berhasil menjawab keinginan penonton yang ingin melihat manusia super dalam film Marvel sedang berada di dalam kompleksitasnya yang semakin pelik. Ada nada cerita yang lebih kelam dibanding dengan dua film Avengers sebelumnya.Anthony dan Joe Russo sudah membuka awal film ini dengan begitu emosional.

Pintarnya, mereka mampu menjaga keemosionalan tersebut hingga akhir durasi film yang mencapai 149 menit. Bukan hanya itu, mereka juga berhasil menangkap perjalanan terjal dari para manusia super dengan cara yang lebih personal dan intim. Sehingga, penonton bisa merasakan betapa getir dan cemasnya para karakter superhero saat menyaksikan Avengers : Infinity Warini.Hal yang menanti bagi penonton yang sudah secara emosional melekat dengan cerita dalam film ini adalah bagaimana Avengers : Infinity War menyelipkan momen dan elemen yang tak terduga dengan sangat kuat di setiap adegannya.


Hal tersebut akan berakumulasi dengan baik hingga puncaknya adalah konklusi dari Avengers : Infinity Warini sendiri. Rasa emosional yang sudah tak terbendung sepanjang durasi akan membuat penontonnya akan ikut merasakan pahit dan hancur berkeping-keping perasaan para manusia super sedang merasakan segala keputusasaan, ketakutan, dan sedikit harapan. Inilah sebuah sensitivitas yang dimiliki oleh Russo Brothers yang menjadi poin utama dari Avengers : Infinity War ini sendiri. Dengan begitu, penonton akan dihantui secara psikis untuk menantikan kelanjutan Avengers di tahun 2019 nanti.

Begitu pula dengan bagaimana Thanos sebagai musuh utama Avengers yang sudah disimpan sejak fase pertama ini berhasil memberikan rasa waspada bagi penonton. Karakter Thanos dibangun dengan sangat bagus di Avengers : Infinity War sehingga penonton bisa tahu kenapa musuh para Avengers kali ini benar-benar tak bisa terkalahkan. Dengan begitu, penonton bisa ikut merasa terancam dengan kedatangan Thanos di dalam adegan film dan akan bisa merasakan kepuasan ketika Thanos diserang oleh para manusia super yang ada di dalam Avengers : Infinity War.


Avengers : Infinity War telah menunjukkan bahwa Anthony dan Joe Russo berhasil membawa Marvel Cinematic Universe ke dalam tahapan yang jauh lebih serius. Keputusannya untuk membawa film Avengers : Infinity War lebih kelam dibanding film sebelumnya ini sudah sangat tepat apalagi didukung dengan pengarahannya yang luar biasa kuat dan emosional. Tetapi, Avengers : Infinity War tak melupakan ciri khasnya dalam membuat film-film superhero yang mengandung unsur menyenangkan dan suntikan humor segar seperti biasanya sekaligus berhasil membuat penontonnya berduka ketika credit titlebergulir. Luar biasa!

Senin, 25 Desember 2017

STAR WARS : THE LAST JEDI (2017) REVIEW : An Upgrade With Respectful
Treatment To The Legacy

STAR WARS : THE LAST JEDI (2017) REVIEW : An Upgrade With Respectful Treatment To The Legacy


Menghidupkan kembali sebuah franchise legendaris memang tak mudah. Apalagi ketika franchise tersebut sudah memiliki penggemar yang sangat luar biasa fanatik seperti Star Wars. Disney telah berhasil mengembalikan betapa sakralnya franchise petualangan antar galaksi ini sejak tahun 2015 lalu lewat Star Wars : The Force Awakens. Lalu, disusul dengan menceritakan asal mula pemberontakan dalam Star Wars lewat Rogue One : A Star Wars Story.

Kehadiran kembali sebuah trilogi Star Wars ini menuai pro dan kontra, meskipun mayoritas masih sangat menikmati The Force Awakens. Kemiripan dasar cerita dan pendekatannya dengan A New Hope sebenarnya memiliki tujuan agar dapat menjaring penggemar baru masa kini yang tak pernah mengikuti Star Wars. Lantas, sebuah tantangan untuk membuat Star Wars memiliki pendekatan yang berbeda akan dijawab lewat episode kedelapan dengan tajuk The Last Jedi.

Perbedaan mencolok sudah hadir lewat bagaimana poster film dan warna judul yang berbeda dengan film-film sebelumnya. Selain itu, film ini pun berganti tahta penyutradaraan dari J.J. Abrams kepada Rian Johnson. Serta adanya penambahan karakter-karakter baru yang membuat nuansa Star Wars terbaru kali ini jauh lebih meriah. Hal ini tentu semakin menunjukkan taring kepada banyak orang bahwa Star Wars sedang berusaha mengekspansi dunianya agar jauh lebih besar dari film-film sebelumnya.


Meski penuh dengan banyak sekali perbedaan dan pembaharuan, tak lantas membuat The Last Jedi lancar-lancar saja melakukan perjalanan. Banyak penggemar garis keras yang merasa bahwa The Last Jedi adalah sebuah tindakan penistaan di dalam film-film Star Warskarena berusaha keluar dari zona nyaman. Tetapi, dalam performanya, Star Wars : The Last Jedi tampil sangat luar biasa menghibur penontonnya dengan durasi sepanjang 151 menit.

Star Wars : The Last Jediini memang memiliki pendekatan yang sangat berbeda dibanding dengan film Star Wars sebelumnya. Episode kedelapannya ini memiliki elemen kejutan dengan dosis yang cukup banyak di dalam filmnya. Meski berbeda, apa yang dilakukan oleh Rian Johnson di film kedelapan ini penuh akan penghormatan kepada film-film Star Wars sebelumnya dengan cara yang lebih bersahaja. Selain itu, Star Wars : The Last Jedi berhasil memberikan eskalasi kedigdayaan trilogi terbaru dari franchise legendaris ini. 


Melanjutkan kisah Rey (Daisy Ridley) yang berangkat menemui Luke Skywalker (Mark Hamill) yang sudah lama dia cari. Rey meminta Luke untuk mengajarinya menjadi seorang Jedi yang baik. Sementara itu, Dipimpin oleh Princess Leia (Carrie Fisher), para Resistence berusaha keras untuk melarikan diri dari kejaran First Order yang dipimpin oleh General Hux (Domnhall Gleeson). Sayangnya, First Order berhasil mendeteksi keberadaan Resistance dan mereka sedang terancam bahaya.

Di tengah serangan First Order kepada Resistence, Kylo Ren (Adam Driver) berusaha bangkit dari keterpurukan dan memaksa Rey untuk bergabung di dalam timnya. Tetapi, Rey tetap berusaha melatih dirinya bersama Luke agar tetap bisa menjadi sosok Jedi yang kuat. Hanya saja, latihan untuk menjadi kuat bersama Luke tak berjalan dengan lancar. Ada sesuatu hal yang membuat keduanya menceritakan masa lalu penting yang kelam. 


Star Wars : The Last Jediini memberikan banyak intrik personal yang lebih punya ruang untuk bergerak. Dengan begitu, karakter-karakter di dalam trilogi terbaru ini punya kesempatan untuk berkembang menjadi sosok yang dapat dikagumi oleh penontonnya. Hingga pada akhirnya, penonton pun bisa menentukan untuk membela siapapun dalam film ini. Menariknya, Star Wars : The Last Jedi ini dipenuhi dengan misteri dan teka-teki yang membuat penontonnya aktif untuk menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya.

Rian Johnson adalah sutradara yang tepat untuk mengarahkan cerita Star Wars ini. Gaya pengarahannya yang bisa membuat karakternya tampak begitu abu-abu ini mencerminkan bagaimana film-film Star Wars menimbulkan spekulasi tersendiri bagi penontonnya. Rian Johnson pintar membuat penonton penasaran hingga mereka rela mengikuti adegan demi adegan dalam Star Wars : The Last Jedi hingga tak terasa 151 menit mereka berlalu begitu saja. Dengan banyak spekulasi itulah, secara tidak sadar membuat penontonnya tak sabar menantikan film selanjutnya.

Memang, Star Wars : The Last Jedi akan terasa begitu berbeda dengan film-film Star Wars sebelumnya dan bahkan dengan The Force Awakens. Mulai dari karakter baru, penuturan cerita, dan juga injeksi komedi yang cukup intens di dalam film ini. Sehingga, penggemar fanatik dari Star Wars mungkin akan merasa bahwa menonton Star Wars : The Last Jedi ini bukan seperti menonton film-film Star Wars pada umumnya. Ada pula beberapa bagian penting dalam The Last Jedi yang membuat penggemarnya merasa marah. 


Tetapi, jika dilihat dengan baik lagi, Star Wars : The Last Jedi sebenarnya melakukan penghormatan atas warisan yang sudah turun temurun ini dengan sangat baik. Setiap tindakan yang dilakukan Rian Johnson di dalam film The Last Jedi ini berdasarkan alasan-alasan yang terjadi di semua film-film Star Wars yang ada. Rian Johnson tentu sudah sangat cermat dan siap untuk menentukan bagaimana nasib karakter-karakter yang ada dalam Star Wars : The Last Jedidi adegan selanjutnya. Dan di setiap perjalanan karakternya, ada rasa emosional yang dihadirkan kepada penontonnya.

Maka, setelah segala drama luar angkasa tentang Force dan Dark Side yang memang menjadi poin utama dari film Star Wars, ada pula adegan-adegan battle yang hadir begitu masif. Tidak hanya menjadi sebuah visual efek yang ekstravaganza, tetapi juga memiliki kadar intensitas yang sangat luar biasa membuat penonton ikut merasakan keseruan di dalamnya. Serta diperkuat dengan bagaimana adegan battle tersebut tertata dalam sebuah bingkai gambar yang begitu indah untuk ditonton. 


Dengan berbagai cara yang dilakukan oleh Rian Johnson dalam Star Wars : The Last Jedi, maka tak salah apabila Disney mendapuknya lagi untuk menjadi bagian dari trilogi terbaru di masa mendatang. Star Wars : The Last Jedi adalah sebuah kepuasan menonton Star Wars yang bisa beradaptasi di masa sekarang dengan tetap menjaga visi dan misi Star Wars sebagaimana hakikatnya. Tak salah apabila beberapa orang mungkin beranggapan bahwa Star Wars : The Last Jedi adalah salah satu film Star Wars terbaik yang pernah ada. Luar biasa!
WONDER (2017) REVIEW : A Message to Choose Kind.

WONDER (2017) REVIEW : A Message to Choose Kind.


Stephen Chbosky kembali hadir menyapa penontonnya setelah memberikan sebuah directorial debut yang menjanjikan lewat The Perks of Being Wallflower yang diadaptasi dari buku yang ditulisnya sendiri dengan judul yang sama. Kali ini, Stephen Chbosky Ingin membuktikan bahwa dirinya adalah sutradara yang mumpuni dengan karya yang berbeda. Tetapi, Stephen Chbosky tetap mencoba peruntungannya dalam adaptasi sebuah buku laris manis di Amerika.

Buku yang diadaptasinya ini adalah tulisan dari R.J. Palacio dengan judul Wonder. Bukunya sendiri sudah memiliki penggemar yang luar biasa besar, sehingga film Wonder ini cukup dinantikan oleh banyak orang. Dengan rekam jejaknya yang cukup menjanjikan, Stephen Chbosky menghadirkan sebuah adaptasi drama keluarga dalam Wonder dengan pemain yang tak kalah luar biasa. Wonderdihiasi dengan pemain-pemain yang luar biasa mulai dari Jacob Tremblay, Owen Wilson, dan Julia Roberts.

Banyak yang cukup menantikan film Wonderini dikarenakan oleh dua hal. Pertama, Wonderadalah sebuah buku bestseller yang perlu untuk diadaptasi. Kedua adalah apakah Stephen Chbosky akan berhasil membuktikan bahwa dirinya adalah sutradara yang bisa menjaga konsistensi karya-karyanya. Maka, bagi orang yang mengkhawatirkan kedua poin tersebut bisa bernafas lega. Wonder adalah sebuah karya adaptasi yang sangat hangat dan juga haru untuk para penontonnya


Menceritakan tentang Auggie Pullman (Jacob Tremblay) yang memiliki keterbatasan dalam fisiknya yaitu pada bagian wajahnya. Sehingga, Auggie perlu untuk berada di dalam pengawasan orang tua selama beberapa tahun dia hidup. Hingga suatu ketika, Nate (Owen Wilson) dan Isabel (Julia Roberts), sebagai orang tua memutuskan untuk memasukkan Auggie ke sekolah dasar umum untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Kehidupan Auggie di sekolah memang tak mulus, apalagi dia harus berhadapan dengan banyak temannya yang menganggap dirinya aneh dengan keterbatasan fisiknya. Perjuangan Auggie selama sekolah ini mengubah perilakunya saat di rumah. Sehingga membuat kedua orang tua dan kakaknya, Via (Izabela Vidovic) berusaha untuk mengembalikan semangat Auggie. Meskipun, setiap anggota keluarga Pullman sebenarnya memiliki kisah dan keluh kesahnya masing-masing. 


Wonder memang tak memiliki sebuah konflik yang rumit seperti The Perks of Being Wallflower. Film ini hanya sebuah catatan kisah setiap karakternya yang berusaha menghadapi kehidupannya masing-masing. Mulai dari sang tokoh utama Auggie, hingga tokoh-tokoh lainnya yang berada dalam lingkaran kehidupan milik Auggie. Tanpa begitu kuatnya pengarahan dari Stephen Chbosky, kesederhanaan di dalam kisah milik Wonder tak bisa tampil kuat untuk penontonnya.

Stephen Chbosky mempunyai kemagisannya memunculkan sebuah drama keluarga yang tak terlalu meletup dalam penuturannya tetapi memberikan dampak emosional yang sangat luar biasa besar. Penonton bisa saja masih meraba seperti apa konflik utama dari film Wonderyang ternyata menjadi kekuatan dalam filmnya. Stephen Chbosky mengajarkan penontonnya untuk tak memilih siapa yang lebih berat menanggung masalah, tetapi untuk merangkul semua yang memiliki masalah bahwa masalah sekecil apapun itu penting dan perlu untuk diselesaikan.

Oleh karena itu, ada banyak sudut pandang dalam film ini yang menjadi esensi utama dari bukunya. Memperlihatkan bagaimana setiap karakternya yang memiliki alasan-alasan dalam menentukan perilaku dalam hidupnya. Sehingga, skenario yang diadaptasi oleh Stephen Chbosky beserta dua rekannya, Steve Conrad dan Jack Thorne, ini berhasil mengangkat apa yang perlu untuk diceritakan di dalam filmnya tanpa mengurangi kekuatan asli dalam bukunya. 


Sehingga, Stephen Chbosky yang ikut menuliskan skenarionya memiliki keunggulan untuk memahami keseluruhan film yang diarahkannya. Hal ini berdampak kepada bagaimana performa dari Wondersebagai sebuah film dengan durasi 115 menit. Setiap adegan-adegan pentingnya berhasil dibangun dengan intensitas emosi yang sangat baik, sehingga tanpa perlu menggebu-gebu penonton bisa merasakan rasa emosional yang sangat luar biasa besar saat menonton film ini.

Bahkan, beberapa adegan penting dan emosional dalam film ini hadir tanpa alunan musik sama sekali. Alunan musik biasanya digunakan untuk menekankan adegan-adegan emosional dan bisa jadi sebagai alat manipulasi emosi penonton. Tetapi, Wonder memiliki musik yang sederhana tetapi bisa menghadirkan kehangatan di hati penontonnya dengan sangat luar biasa. Sekaligus, dengan ini membuktikan bahwa Stephen Chbosky adalah sutradara yang memiliki sensitivitas yang sangat hebat. 


Wonder bisa memberikan banyak sekali pesan moral tentang kebaikan dan menjadi kebaikan adalah pilihan hidup dalam kondisi apapun dengan cara yang tak sembarangan. Tanpa adanya sensitivitas dalam pengarahan milik Stephen Chbosky, Wonder akan bisa menjadi sebuah film yang akan tampil sangat menggurui dengan pesan kebaikan yang sangat harfiah. Tetapi, Stephen Chbosky berusaha untuk menyelipkan pesan-pesan itu dengan cara yang lebih implisit. Dengan begitu, pesan besar untuk berbuat kebaikan dalam film ini akan berdampak jauh lebih besar kepada penontonnya.

Segala usaha pengarahan yang sangat detil oleh Stephen Chbosky ini pun diperkuat dengan berbagai performa pemainnya yang sangat luar biasa. Jacob Tremblay, dibalik make-up prostetiknya masih dapat bermain dengan sangat emosional dan memberikan ikatan emosi yang sangat baik dengan semua lawan mainnya. Julia Roberts, Owen Wilson, dan Izabela Vidovic berhasil meyakinkan penontonnya bahwa mereka memang memiliki ikatan darah satu sama lain. Mereka adalah keluarga Pullman yang bahagia hidup di dalam konflik-konflik internal yang ternyata saling menguatkan. 


Dan pada akhirnya, di penghujung film Wonder ini penonton akan memberikan senyum haru terbaiknya. Mengikhlaskan setiap tetes airmatanya untuk ikut terenyuh dengan segala jatuh bangun kehidupan Auggie saat menjalani kehidupannya sebagai anak-anak pada umumnya. Serta, memberikan perasaan hangat dalam hati penontonnya yang sedang terinjeksi pesan ajakan untuk memprioritaskan kebaikan dalam sebuah film yang sangat luar biasa indah. Wonder is really a wonder

Minggu, 17 Desember 2017

MARLINA SI PEMBUNUH DALAM EMPAT BABAK (2017) REVIEW : Gebrakan Baru
Pesan Tentang Perempuan

MARLINA SI PEMBUNUH DALAM EMPAT BABAK (2017) REVIEW : Gebrakan Baru Pesan Tentang Perempuan


Film Indonesia di tahun ini benar-benar memiliki keberagaman dalam tema. Di dalam satu genre saja, terdapat banyak sub genre lain yang bisa mendapatkan perhatian lebih. Begitu pula dengan film arahan dari Mouly Surya ini. Mouly Surya, sutradara perempuan Indonesia memiliki caranya sendiri dalam mendekati penontonnya dengan tema-tema yang sebenarnya berbeda di setiap film-filmnya. Mulai dari Fiksi, What They Don’t Talk About When They Talk About Love, hingga film terbarunya yang dirilis tahun ini.

Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak ini sudah terlebih dahulu melanglang buana ke negeri lain ketimbang di negaranya sendiri. Banyak pujian yang disematkan kepada film ini dan beberapa penghargaan pun diraih oleh sang sutradara dan aktrisnya yang terlibat. Tak salah ketika film ini akan dirilis di dalam negeri, film ini sudah mendapatkan antisipasi yang sangat besar dari para calon penontonnya.

Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak adalah memiliki keunikan dalam segi penyampaian yang akan mirip dengan berbagai film-film Western yang sudah pernah ada dengan pendekatan lokal. Menyematkan berbagai macam simbol kebudayaan yang sangat kental ke dalam filmnya yang tak sekedar sebagai setting belaka. Ada berbagai urgensi pesan muncul dalam film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak ini yang ditampilkan secara ekstrim tetapi punya caranya yang tepat sasaran. 


Inilah kisah tentang seorang perempuan Sumba bernama Marlina (Marsha Timothy) yang harus mengecap pahitnya hidup setelah ditinggal mati suami dan anaknya. Datanglah seorang pria bernama Markus (Egi Fedly) yang berniat untuk merampok harta dari Marlina. Niat Markus tak hanya ingin merampok harta, tetapi juga sekaligus menjamah Marlina ditemani dengan komplotannya yang berjumlah 7 orang.

Marlina yang merasa dalam bahaya, harus segera membela dirinya. Dia berusaha untuk melarikan diri dan melawan para lelaki dengan perilaku menyimpang itu. Markus tetap saja berusaha memperkosa Marlina meski sudah berusaha melawan. Hingga akhirnya, Marlina memiliki tekad yang sangat bulat untuk membunuh Markus. Setelah kejadian itu, Marlina pergi dari rumahnya untuk melaporkan perbuatan Markus ke polisi meski nyawa Markus sudah tak ada. 


Perempuan sudah memiliki beban yang sangat berat dalam perilaku karena berbagai macam sistem yang mendiskreditkan mereka. Sebuah beban berat itu akan menjadi-jadi, ketika seorang perempuan pun harus direnggut pula hak dan kemanusiaannya oleh laki-laki. Inilah yang berusaha ditampilkan oleh Mouly Surya lewat Marlina si Pembunuh Dalam Empat Babak ini. Menceritakan sebuah realita perempuan yang berat dan satu-satunya perlawanan yang bisa mereka lakukan adalah diri mereka sendiri.

Mouly Surya benar-benar berusaha untuk menampilkan segala macam pesannya lewat adegan-adegan yang sangat subtil. Percakapan-percakapan yang metaforik tetapi dengan lantang menunjukkan bahwa perempuan sedang berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Marlina si Pembunuh Dalam Empat Babak adalah sebuah representasi dari berbagai macam isu tentang perempuan yang perlu disoroti akhir-akhir ini.

Budaya pemerkosaan yang selalu merugikan perempuan yang seharusnya menjadi korban, bagaimana betapa terbatas dan susahnya perempuan untuk berperilaku. Juga, yang paling penting adalah betapa semena-menanya laki-laki memberi kontrol terhadap perempuan. Hal-hal itulah yang berusaha digarisbawahi oleh Mouly Surya untuk bisa dijadikan sebagai bahan kontemplasi penontonnya bahwa kesetaraan gender yang diwacanakan selama ini masih saja belum terlaksana dalam praktiknya. 


Sehingga, perlu ada tindak lanjut dari sosok perempuan itu sendiri agar segala haknya hidup sebagai manusia yang sama dengan laki-laki bisa direalisasi. Maka, Marlina ini adalah karakter perempuan yang lagi-lagi menjadi simbol bagi penontonnya memberikan relevansi. Marlina adalah sosok perempuan masa kini yang berusaha membela haknya meski dengan berbagai macam caranya yang digambarkan tak lagi seperti perempuan pada umumnya.

Membunuh Markus dengan cara memotong kepala dan membawanya pergi adalah cara ekstrim yang ditampilkan dengan berbagai macam tafsir pesan. Ini adalah pesan bahwa perempuan pun bisa menggertak maskulinitas laki-laki dan menyematkan bahwa perempuan pun bisa menjadi maskulin. Hal ini juga diperkuat dengan adegan di mana Marlina sedang buang air kecil di tempat terbuka. Sebuah pengadeganan yang sangat unik dan jarang terjadi di sinema Indonesia. Sekaligus, sebagai sebuah adegan yang menguji penontonnya tentang bagaimana perspektfinya tentang perempuan. 


Dengan berbagai adegan dan penyampaiannya yang cenderung lebih sarkastik, Mouly Surya tak hanya pintar dalam sisi penyutradaraannya tetapi juga betapa rapi penulisan naskahnya. Tak perlu khawatir bahwa Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak akan perlu keaktifan penontonnya untuk mengerti seperti film Mouly Surya sebelumnya. Film ini masih punya sebuah satu linimasa cerita yang utuh dan dapat dinikmati siapapun meski punya banyak sekali urgensi pesan yang perlu untuk dimaknai lebih.

Tetapi, Mouly Surya pintar untuk meredam ambisinya yang besar sehingga Marlina si Pembunuh dalam Empat Babakini tampil sederhana tetapi sangat lugas dalam penyampaian. Pun, didukung dengan berbagai macam sisi teknis yang juga digarap tak sembarangan. Mulai dari tata artistik, cara pengambilan gambar yang indah sekaligus memperkuat sisi subtil film ini oleh Yunus Pasolang. Juga, musik dari Zeke Khaseli dan Yudhi Arifani yang berhasil memperkuat sisi kultur lokal dengan cita rasa western sesuai pendekatan filmnya. 


Dengan adanya pendekatan film Western ini, ada sebuah istilah baru yang berhasil disematkan kepada film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak sebagai film satay western. Maka, film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak tak hanya sebuah gebrakan baru dalam sinema Indonesia saja melainkan juga, sebuah gebrakan baru sub-genre Western yang sudah ada di dunia. Dengan kemasannya yang masih kuat akan budaya lokal dan urgensi dalam pesannya tentang perempuan, Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak sangat penting untuk disoroti oleh berbagai macam pihak. 

Selasa, 19 September 2017

BABY DRIVER (2017) REVIEW : Baby’s Exciting Life Ride

BABY DRIVER (2017) REVIEW : Baby’s Exciting Life Ride



Menggarap The Cornetto Trilogymembuat Edgar Wright menjadi begitu dikenal oleh banyak orang karena gaya penuturannya yang sangat stylish. Hal ini pun pernah diterapkan di dalam film Marvel berjudul Ant-Man. Edgar Wright memiliki sumbangsih dalam penulisan skenario film Ant-Man sehingga terasa bahwa Ant-Man memliki khas pengarahan milik Edgar Wright. Setelah itu, Edgar Wright hiatus untuk memikirkan sesuatu yang orisinil untuk disajikan kepada penontonnya.

Datanglah proyek terbaru dari Edgar Wright yang mendapatkan antisipasi oleh banyak pihak dan disokong dengan word of mouth yang sangat besar di media sosial. Baby Driver, sebuah film terbaru dari Edgar Wright ini dibintangi oleh Ansel Elgort, Kevin Spacey, Lily James, hingga Jamie Foxx. Mendapatkan resepsi kritik yang begitu bagus lewat pemutaran perdananya di sebuah film festival, tentu mengundang banyak sekali ekspektasi dari penontonnya.

Hingga pada hari pemutarannya, Baby Driver sebagai film dengan budget yang kecil mendapatkan perolehan box office secara domestik yang luar biasa. Hype yang muncul luar biasa besar dari obrolan di sosial media dan berbagai pengalaman langsung dari penonton membuat Baby Driver begitu diminati oleh penonton. Maka, percayalah dengan berbagai omongan banyak orang di media sosial atau di manapun bahwa Baby Driver adalah sebuah film aksi yang sangat menyenangkan. 


Edgar Wright berusaha memberikan sesuatu dalam genre film aksi yang tak sekedar menghibur tetapi juga membuat penontonnya terkagum. Lewat Baby Driverinilah, Edgar Wright ini berusaha membuktikan hal tersebut. Baby Driver bukan sekedar film aksi dengan kemasan yang klise. Tak hanya sekedar menggelegar dengan berbagai ledakan tetapi memiliki penyampaian yang lebih unik dan lebih stylish dibanding dengan film-film aksi lainnya.

Mengombinasikan musik dan aksi di dalam Baby Driver ini adalah suatu kelebihan yang perlu mendapatkan apresiasi. Pengarahan dari Edgar Wright ini bisa memberikan sebuah harmoni agar kedua elemen di dalam film ini bisa berjalan dengan seirama. Musik tak hanya sebagai pemanis agar film Baby Driverterkesan memiliki gayanya sendiri. Tetapi, musik menjadi elemen penggerak cerita untuk karakter utama di film ini.

Mari perkenalkan karakter fiksi dari Edgar Wright bernama Baby (Ansel Elgort), seorang supir yang bukan sekedar supir biasa. Dia adalah seorang supir yang biasa mengantarkan orang-orang jahat untuk melancarkan misi jahatnya. Baby terjebak dalam lingkungan ini karena dia harus berhutang budi kepada Doc (Kevin Spacey) yang juga sebagai bosnya. Baby berusaha mengikuti segala kemauan Doc hingga tugas terakhir yang bisa membuatnya bebas dari cengkraman Doc. 


Sebelum tugas terakhirnya dimulai, dia bertemu dengan seorang perempuan yang memikat hatinya, Debora (Lily James). Di akhir tugasnya sebagai seorang supir pengantar kejahatan, Baby dan Debora pun terlihat semakin akrab dan berencana untuk melarikan diri dari kota tempat tinggal mereka. Tetapi, Doc menghubungi Baby lagi dan menyuruhnya untuk melakukan tindak kejahatan lainnya. Baby tidak bisa berkutik dan kembali menjalankan perannya dengan bantuan tim penjahat baru bernama Bats (Jamie Foxx).

Edgar Wright memang pada dasarnya adalah seorang sutradara yang biasa memberikan alternatif tontonan di dalam setiap filmnya. Begitu pula yang dia berusaha lakukan di dalam Baby Driverini. Meski sebenarnya ceritanya pun tak bisa diklaim begitu saja menjadi sesuatu yang orisinil, tetapi Baby Drivermengemas ceritanya yang generik dengan sebuah pengalaman sinematis yang begitu segar. Cerita-cerita seperti ini sudah bisa ditemui penontonnya lewat film-film seperti Transporter yang dibintangi oleh Jason Statham atau pun Drive yang dibintangi oleh Ryan Gosling.

Cerita sederhana tentang tindak kejahatan dikemas dengan memilih action sebagai genre utama tentu menjadi sesuatu yang pernah ditemui sebelumnya. Pun, Baby Driver tak berusaha untuk tampil begitu berbeda dengan film-film di genreserupa. Pendekatannya tetap saja populer sehingga tetap bisa diakses untuk segala jenis penonton dengan segala referensinya. Sehingga, Baby Driver adalah sebuah tontonan dengan paket komplit dengan dosis kesenangan yang luar biasa besar. 


Film ini penuh akan adegan aksi yang akan menyenangkan para pecinta film penuh adrenalin untuk bersenang-senang. Tetapi juga memiliki plot cerita yang diceritakan dengan baik dan kuat oleh Edgar Wright dan akan memuaskan para penonton yang bosan akan tontonan film aksi tanpa cerita kuat. Pun, dilengkapi pula dengan bumbu kisah romantis dari Baby dan Debora yang semakin mewarnai 115 menit dari Baby Driver ini.

Sebuah kisah cinta yang berbeda dari Baby dan Debora ini tak bisa muncul dengan kuat tanpa performa yang kuat dari Ansel Elgort dan Lily James. Kisah cintanya tak sekedar pemanis tetapi juga digunakan sebagai penggerak agar karakter memiliki perkembangan sekaligus transisi. Ini juga yang mempengaruhi penontonnya agar bisa bersimpati dengan karakter Baby. Sehingga, Baby dan Debora bisa tampil dengan rasa manis yang kuat dan bisa jadi menobatkan mereka sebagai pasangan terbaik tahun ini di dalam sebuah film.

Baby Driver memang paket komplit, tak hanya sekedar film aksi dengan bumbu roman fiksi antara Baby dan Debora untuk pemanis sekaligus penguat cerita. Tetapi, Baby Driver juga menjadi pengalaman sinematis musikal yang unik. Kompilasi lagu-lagu yang didengarkan oleh Baby tak hanya sekedar menjadi referensi saja tetapi juga memiliki keselarasan irama dalam editing filmnya. Segala editing dalam sekuens aksinyan memiliki irama dan ketukan yang sama sesuai dengan lagu yang sedang digunakan di dalam filmnya.


Poin-poin itulah yang membuat Baby Driver menjadi sebuah pengalaman sinematis yang tak akan dilupakan penontonnya. Pengarahan yang begitu pas dalam meramu kompilasi lintas genre ini membuat Baby Driver adalah proyek paket komplit milik Edgar Wright. 115 menit yang menyenangkan sekaligus emosional dan ditutup dengan adegan yang akan menyisakan rasa manis sekaligus pahit bagi siapapun yang berpihak pada Baby dan Debora. What a ride! 

Kamis, 24 Agustus 2017

BAD GENIUS (2017) REVIEW : Kemasan Unik tentang Kecurangan di Dunia
Pendidikan

BAD GENIUS (2017) REVIEW : Kemasan Unik tentang Kecurangan di Dunia Pendidikan

 
Semenjak pecahan dari GTH entertainment berubah menjadi GDH, banyak film-film Thailand ini yang mendapatkan antusias lebih dari penonton. Mulai dari One Day dan A Gift, penonton cukup menanti film-film yang diproduksi dari rumah produksi ini. Penonton menunggu hal terbaru apa yang berusaha ditawarkan agar semua penonton mempercayai film yang dibuat oleh rumah produksi ini. Datanglah film ketiga dari rumah produksi ini yang cukup membuat penontonnya menantikan karena trailernya yang cukup menggugah selera.

Nattawut Poonpiriya menjadi pemegang kunci untuk mengarahkan produk film ketiga dari rumah produksi GDH ini. Berbeda dengan kedua film Thailand lainnya, film ketiganya ini ber-genre suspenseyang sudah biasa dia lakukan lewat debut filmnya Countdown. Proyek  terbarunya kali ini tidak mengombinasikan suspense-nya dengan thriller, tetapi dengan film heist  ala Ocean’s Eleven atau yang paling dekat dengan rentang tahunnya yaitu Now You See Me.

Tetapi, proyek heist-suspensefilm ini tak menggunakan magic trickatau pencurian besar-besaran yang memang akan memberikan problematika yang terlihat serius. Bad Genius, proyek terbaru dari Nattawut Poonpiriya ini fokus tentang kecurangan-kecurangan kecil yang mungkin dilakukan oleh setiap orang saat sekolah dulu. Mencontek, sesuatu yang mungkin akan lumrah terjadi di kehidupan akademis yang terlihat begitu kecil tetapi ternyata efeknya bisa jadi lebih dari itu. 


Inilah Bad Genius yang menceritakan tentang para siswa-siswi Sekolah Menengah Atas di Thailand yang sedang berusaha bertahan hidup di tengah kerasnya ujian sekolah. Lynn (Chutimon Chuengcharoensukying), seorang siswi pintar pindahan dari sekolah lain dan mendapatkan beasiswa di sekolah barunya. Di tengah perasaan asingnya dengan lingkungan sekolah barunya, Lynn menemukan seorang teman bernama Grace (Eisaya Hosuwan). Berbeda dengan Lynn, Grace memiliki problem dengan nilai-nilai di sekolahnya.

Dengan adanya hal tersebut, Lynn berusaha mencari cara agar bisa membuat Grace juga mendapatkan nilai yang bagus. Tetapi, cara yang ditempuh Lynn adalah cara yang salah dilakukan oleh Lynn. Dia berusaha memberikan contekan kepada Lynn di ujiannya dan tentu saja membantu meningkatkan nilai ujian dari Grace. Hal ini dimanfaatkan pula oleh pacar Grace, Pat (Teeradon Supapunpinyo) dan membuatnya menjadi lahan bisnis. Lynn pun menerima penawaran dari Pat dan Grace karena dia juga membutuhkan uang. 


Inilah Bad Genius yang memberikan sebuah realita tentang kehidupan pendidikan yang begitu relevan di berbagai masanya. Sebuah perilaku menyimpang yang dilakukan oleh para siswa di banyak sekolah yang sudah menjadi kebiasaan dan lumrah dilakukan oleh banyak orang. Nattawut Poonpiriya berusaha mengungkap berbagai cara bagi siswa-siswi di sebuah sekolah untuk mendapatkan jawaban dengan cara yang curang.

Mengungkapkan sebuah realita yang terjadi di lingkungan sosial sekitar pun bisa dikemas dengan berbagai genre yang dapat membuat penontonnya tak perlu merasa bosan. Dengan Bad Genius ini, Nattawut Poonpiriya membuat fenomena sosial yang terasa lumrah dilakukan di masyarakat ini menjadi sebuah sajian yang begitu menegangkan di durasinya yang mencapai 129 menit. Di durasinya yang cukup lama itu, Nattawut Poonpiriya memberikan banyak sekali keefektifan dalam pengarahanya.

Dengan premis yang mungkin terlihat begitu kacangan, Nattawut Poonpiriya berhasil menjadikannya sebagai sebuah heist film yang penuh akan komplikasi. Keefektifan yang dilakukan oleh Nattawut Poonpiriya adalah menggunakan 129 menitnya untuk menceritakan kerumitan yang muncul di dalam plot ceritanya. Menggali lebih dalam tentang setiap karakternya sehingga penonton bisa ikut bersimpati dengan para pion penggerak ceritanya. Hal ini penting agar penonton Bad Genius bisa tak memalingkan wajahnya dari layar. 


Terlebih, bagaimana Poonpiriya begitu berhasil membangun tensinya dengan sangat kuat. Dengan cerita yang diarahkan dan penggalian karakternya yang digarap begitu kuat, tensi yang dibangun susah payah oleh sutradaranya akan menambah kekuatan cengkraman kepada penontonnya. Sehingga, Bad Genius tak hanya sekedar menjadi sebuah film yang memberikan realita dan kritiknya terhadap dunia pendidikan dengan kemasan yang begitu-begitu saja. Tetapi sekaligus menjadi sebuah film yang sangat menghibur penontonnya dari awal hingga akhir.

Kerapatan dalam filmnya ini juga dipengaruhi oleh penulisan naskah filmnya yang berhasil memberikan cerita yang penuh komplikasi tetapi tidak basa-basi. Nattawut Poonpiriya, Tanida Hantaweewatana, dan Vasudhorn Piyaroma mengemas naskahnya dengan cara yang segar dengan premis cerita yang terlihat biasa saja. Segala pergerakan ceritanya memiliki alasan dan memiliki hubungan sebab-akibat yang lebih realistis dan memuaskan segala penontonnya. Hal ini terlihat dengan bagaimana cara Bad Genius mengakhiri filmnya. 


Bad Genius di awal film sebenarnya memberikan atribut optimisitik dan heroik kepada karakternya yang melakukan tindak kriminal cukup membuat penontonnya khawatir dengan bagaimana film ini akan berakhir. Tetapi, naskah yang ditulis oleh Nattawut Poonpiriya bersama teman-temannya ini berhasil memberikan penyelesaian yang memuaskan bagi penontonnya. Tak ada kesan glorifikasi atas kecurangan yang dilakukan karakternya dan memunculkan tentang keadilan, konsekuensi atas apapun yang dilakukan oleh setiap karakternya.

Poin itu yang berusaha ditekankan oleh Nattawut Poonpiriya ke dalam Bad Genius. Kritiknya terhadap siapapun yang terlibat di dalam dunia akademis yang memperlihatkan bahwa hasil akhir bukanlah sekedar angka. Tetapi, hasil akhir tersebut adalah hal yang perlu ditanggung jawabkan nantinya di dunia akademis. Kecurangan-kecurangan sekecil apapun yang dilakukan oleh pelaku dunia pendidikan ini pasti akan konsekuensinya. Kecurangan sekecil apapun tetaplah melanggar peraturan, ada konsekuensi yang tak bisa dikompromikan di dalam sebuah aturan tersebut.


Sehingga, Bad Genius tak hanya sekedar sebuah film dengan dosis hiburan yang sangat tinggi lewat heist genre-nya. Tetapi juga menjadi sebuah gambaran tentang realita dunia pendidikan yang masih saja memiliki celah untuk dapat dicurangi oleh para akademisinya. Tetapi, gambaran atas realita tersebut bisa dikemas dengan begitu rapat dan diarahkan dengan sangat baik oleh Nattawut Poonpiriya. Sehingga, efek yang ditimbulkan setelah menonton ini akan sangat kepada penontonnya. Ditutup dengan adegan penutup yang begitu adil sekaligus bisa dijadikan sebuah kontemplasi bagi penontonnya. Terlebih, bagi yang pernah melakukan kecurangan dan pemalsuan di dunia pendidikan.