Tampilkan postingan dengan label War. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label War. Tampilkan semua postingan

Minggu, 23 Juli 2017

REVIEW : DUNKIRK

REVIEW : DUNKIRK


“You can practically see it from here. Home.” 

Tiada lagi penjelajahan antar galaksi antar dimensi. Tiada lagi perjalanan menyusuri alam mimpi. Tiada lagi manusia kelelawar berkedok pengusaha kaya yang memberantas para kriminal kala malam menyingsing. Dalam film terbarunya bertajuk Dunkirk, sutradara Christopher Nolan memutuskan untuk tetap menjejakkan kaki di semesta yang sangat kita kenal. Menjauhi fantasi yang berada di ranah kekuasaannya, pembesut Inception dan The Dark Knight ini mencoba untuk lebih merangkul realita dengan menghadirkan sebuah retrospektif tentang Perang Dunia II. Diantara setumpuk topik ihwal ‘teror perang, kemanusiaan, dan keajaiban’ yang dapat dipilih dari kurun waktu tersebut, Nolan menjumput topik perihal Evakuasi Dunkirk yang berlangsung sedari 26 Mei hingga 4 Juni 1940. Sebuah bahan obrolan yang terhitung menarik lantaran pahlawan dalam peristiwa ini bukanlah para prajurit yang diterjunkan ke medan peperangan melainkan rakyat sipil yang memenuhi panggilan mendadak dari pemerintah Britania Raya untuk membantu keberlangsungan proses evakuasi sebanyak 400 ribu tentara sekutu yang posisinya terdesak oleh pergerakan pasukan Adolf Hitler dari pesisir pantai di Dunkirk, Prancis. 

Dalam menuturkan kembali peristiwa ini, Nolan mengaplikasikan metode penceritaan non-linear yang digemarinya dengan harapan dapat tersaji lebih menarik. Untuk itu, tuturan Dunkirk dipecah ke dalam tiga narasi yang masing-masing memiliki rentang waktu penceritaan berbeda satu sama lain sebelum akhirnya saling beririsan dalam klimaks. Narasi pertama berlangsung di tanggul selama sepekan dimana para tentara mengantri panjang untuk menaiki kapal-kapal penyelamat yang merapat seraya berharap agar bom kiriman pesawat tempur Nazi tidak jatuh lebih dulu. Karakter yang mendapat sorotan pada bagian ini adalah tiga tentara muda; Tommy (Fionn Whitehead), Gibson (Aneurin Barnard), dan Alex (Harry Styles), yang berjuang mati-matian demi memperoleh jatah tempat di kapal. Lalu narasi kedua berlangsung di atas sebuah kapal kecil selama sehari yang meletakkan fokusnya pada seorang pelayar bernama Pak Dawson (Mark Rylance), putranya Peter (Tom Glynn-Carney) serta sahabat sang putra George (Barry Keoghan) dalam upaya mereka untuk menyelamatkan para tentara yang terdampar di pantai. Dan narasi ketiga yang bertempat di udara selama satu jam menyoroti tiga pilot pesawat tempur Inggris dalam memburu pesawat tempur Jerman yang hendak menjatuhkan bom di Dunkirk. 


Sulit ditampik bahwa Christopher Nolan mampu menghadirkan Dunkirk sebagai sebuah pengalaman sinematis yang memikat. Elemen teknisnya berada di kelas teratas dan amat tidak mengherankan apabila nantinya menjadi kontender kuat dalam beragam ajang penghargaan untuk insan perfilman dunia. Lihat bagaimana kinerja Hoyte van Hoytema yang sebelumnya berkolaborasi dengan Nolan dalam Interstellar kala melensakan setiap gambar di darat, air, serta udara secara mengagumkan sehingga rekonstruksi peristiwa Evakuasi Dunkirk dalam bentuk adegan terasa meyakinkan. Penonton seolah-olah ditempatkan berada di tengah-tengah para pejuang yang kelelahan menanti datangnya kapal dan ketakutan akan datangnya ajal. Kegemilangan dari sisi visual yang tak jarang pula tampil puitis ini turut memperoleh sokongan dari departemen tata suara yang berhasil mengkreasi suara gemuruh pesawat, dentuman bom, desingan peluru, sampai deburan ombak dalam tingkatan akurasi yang tinggi serta iringan skoring musik gubahan Hans Zimmer yang membantu mempertajam nuansa meneror medan peperangan dalam Dunkirk. Membuatnya sangat perlu ditonton di layar lebar. Mempunyai kombinasi elemen teknis sekuat ini, jelas bukan perkara sulit untuk mengagumi pencapaian Nolan dalam Dunkirk. Yang kemudian pertanyaan adalah apakah kekaguman ini berakhir sebatas kekaguman atau dapat pula berkembang lebih jauh menjadi cinta? 

Sayangnya, jawaban atas pertanyaan tersebut adalah Dunkirk mudah untuk dikagumi tetapi tidak untuk dicintai. Sulit untuk benar-benar terhubung secara emosional pada film. Saat melangkahkan kaki ke luar bioskop, tidak ada impak apapun yang membuatnya terus terngiang-ngiang dalam pikiran dan meninggalkan kesan mendalam di hati. Ini ditengarai hasil dari keputusan sang sutradara untuk membingkainya dengan gaya tutur bercabang yang mesti diakui beresiko tinggi. Penonton diminta untuk mencerna kisah dari tiga sudut pandang berbeda yang acapkali terasa membingungkan lantaran peralihan antar narasi tidak diberi penanda yang jelas sekaligus terasa melelahkan akibat adanya sederet adegan repetitif tanpa urgensi dan emosi. Apabila kamu sama sekali tidak familiar dengan peristiwa Evakuasi Dunkirk, sangat disarankan untuk menggali informasinya terlebih dahulu sebelum menonton atau kamu akan kian kebingungan di dalam bioskop karena film memang enggan menyediakan banyak penghantar. Disamping itu, Nolan juga memutuskan memilih untuk lebih memberi penekanan pada suasana ketimbang rasa yang menyebabkan lantunan narasi kian menantang buat disimak. Betapa tidak, penonton hanya diberi sedikit kesempatan untuk memiliki ikatan dengan barisan karakter yang ada dalam film. 

Jangan berharap kamu akan memperoleh penokohan memadai dari Tommy, Gibson, Alex, Pak Dawson, Peter, George, apalagi para petarung udara. Mereka tidak ubahnya para figuran dalam film, kecuali mereka mempunyai jatah tampil lebih banyak dan diperankan aktor-aktor ternama dengan kualitas akting mumpuni termasuk Cillian Murphy yang menciptakan ‘drama’ di atas kapal Pak Dawson. Ketidaksanggupan untuk berakrab ria dengan karakter inti (hmmm... mungkin hanya George yang bisa membuat kita sedikit peduli) berdampak munculnya ketidakpedulian atas nasib mereka. Karena tidak mengenal, tidak ada rasa peduli, maka situasi yang mengepung mereka pun kurang memberi daya sentak seperti semestinya. Andai Nolan mempersilahkan film dibubuhi lebih banyak rasa dibalik tema besarnya mengenai ‘kepahlawanan dan kemanusiaan’ tanpa harus menahan-nahan emosi, bisa jadi Dunkirk akan lebih membekas dan montase di ujung film bakal mengendap lama dalam benak. Jika niat si pembuat film adalah agar Dunkirk tetap tersaji realistis, ‘bersihnya’ medan pertempuran tentu susah dimaklumi. Tanpa ada darah, intensitas film tereduksi. Memang masih mencekam, tapi kalau mesti dibandingkan dengan film berlatar Perang Dunia II lain seperti Saving Private Ryan atau Hacksaw Ridge, teror dalam Dunkirk tidaklah seberapa. Itulah mengapa sulit bagi saya untuk mendaulat Dunkirk sebagai film tentang Perang Dunia II terbaik yang pernah dibuat atau karya paling gemilang dari seorang Christopher Nolan. Bagus sih, hanya saja tidak istimewa.

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/7_1G60F

Exceeds Expectations (3,5/5)


Minggu, 18 Juni 2017

REVIEW : IN THIS CORNER OF THE WORLD

REVIEW : IN THIS CORNER OF THE WORLD


“Thank you for finding me in this corner of the world.” 

Pada tanggal 6 Agustus 1945, sebuah bom atom uranium jenis bedil yang dikenal dengan nama Little Boy dijatuhkan oleh Amerika Serikat di kota Hiroshima, Jepang. Pengeboman yang menelan ratusan ribu korban jiwa tersebut – sebagian besar diantaranya adalah masyarakat sipil – memberikan pukulan telak bagi Jepang sehingga tidak berselang lama mereka pun menyerah kepada pihak sekutu yang secara otomatis mengakhiri berlangsungnya Perang Dunia II. Inilah salah satu peristiwa penting dan berpengaruh dalam sejarah umat manusia. Saking pentingnya, industri perfilman di Jepang pun tak ingin kelewatan untuk mengabadikannya melalui bahasa audio visual, baik berkenaan langsung dengan sejarahnya atau sekadar menjumputnya sebagai latar belakang penggerak kisah seperti dilakukan oleh film animasi pemenang beragam penghargaan berjudul In this Corner of the World (atau berjudul asli Kono Sekai no Katasumi ni). Ya, film arahan Sunao Katabuchi (Princess Arete, Mai Mai Miracle) yang disarikan dari manga bertajuk serupa ini bukanlah sebentuk rekonstruksi sejarah dengan alur kisah maupun karakter-karakter yang bisa dijumpai di buku teks melainkan sebentuk hikayat dengan bangunan cerita fiktif yang mencoba menawarkan perspektif perihal impak perang terhadap kemanusiaan. 

Karakter utama yang dimanfaatkan In this Corner of the World untuk menggulirkan roda penceritaan adalah Suzu (disuarakan oleh Non), seorang perempuan polos dan kikuk yang menaruh minat tinggi pada menggambar. Dipaparkan secara episodik, penonton mengikuti kehidupan Suzu sedari dia masih kecil dan tinggal bersama keluarganya di Eba, Hiroshima, pada tahun 1930-an hingga tumbuh menjadi perempuan dewasa dan meninggalkan kampung halamannya untuk tinggal bersama keluarga suaminya di Kure yang menjadi markas utama bagi Angkatan Laut Jepang semasa Perang Pasifik pada tahun 1940-an. Kepindahannya ke Kure sendiri tidak pernah diantisipasinya karena sebelum berlangsungnya prosesi pernikahan di usianya yang ke-18, Suzu tidak mengenal pria yang tiba-tiba datang untuk melamarnya, Shusaku (Yoshimasa Hosoya). Segalanya berlangsung begitu cepat dan mendadak bagi Suzu sehingga belum sempat dia mengatasi keterkejutannya, sang karakter utama harus sesegera mungkin beradaptasi dengan rutinitas barunya sebagai ibu rumah tangga. Tidak mudah bagi Suzu untuk menjalani kehidupan barunya ini terlebih dengan adanya pembatasan jatah ransum yang memaksanya berpikir kreatif agar keluarganya dapat makan secara layak dan kehadiran kakak iparnya, Keiko (Minori Omi), yang kerap bersikap dingin kepadanya sekalipun sang putri, Harumi (Natsuki Inaba), menjalin hubungan akrab dengan Suzu. 

Dalam menghantarkan kisahnya yang berbincang soal cinta, kemanusiaan, dan harapan di tengah-tengah berkecamuknya perang akbar, In this Corner of the World mengambil pendekatan berbeda dengan sejawatnya, Grave of the Fireflies (1988, Ghibli), yang poros utama kisahnya berada di rentang waktu sama. Alih-alih bermuram durja – meletakkan fokus pada kepedihan hidup tak terperi dari si karakter utama – Sunao Katabuchi memilih untuk melantunkannya dengan nada penceritaan yang bertolak belakang. Tidak meletup-letup, optimis, serta positif dalam memandang kehidupan. Memang sih Suzu kerap dinaungi ketidakberuntungan dalam hidupnya; dari cinta tak sampai, perjodohan, kakak ipar yang jutek bukan main, stok makanan serba terbatas, sampai peperangan yang merenggut kebebasan maupun orang-orang yang dikasihinya, namun ketimbang menggambarkannya secara dramatis sarat air mata, Sunao mentranslasinya ke bahasa gambar secara tenang mengikuti cara Suzu menyikapi persoalannya dengan kepala dingin. Alhasil, In this Corner of the World tidak menjelma sebagai tontonan ‘horor’ (baca: menguras air mata) seperti kerap dibayangkan banyak pihak dan hentakan-hentakan emosi dalam film pun diminimalisir sedemikian rupa sampai pesawat Amerika Serikat menjatuhkan bomnya. Keputusan untuk tidak mengumbar emosi, sedikit banyak berdampak pada alur yang mengalun cenderung tenang-tenang menghanyutkan ala film berjalur slice of life dan bisa jadi akan terasa menjemukan bagi sebagian penonton.

Mengingat kehidupan Suzu sebagai ibu rumah tangga yang repetitif serta jauh dari kata hingar bingar kecuali dari suara gemuruh pesawat perang dan ledakan bom di sekitar tempat tinggalnya maka pilihan si pembuat film dalam menuturkan kisah ini sangat bisa dipahami. Penonton dimaksudkan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Suzu sehingga ada ikatan emosi yang terbentuk antara penonton dengan sang protagonis utama maupun beberapa karakter kunci yang memiliki peranan dalam kehidupannya. Menariknya, Suzu bukanlah sesosok karakter yang lempeng apalagi hambar. Dia terlihat sangat mudah disukai dengan penggambaran pembawaan yang periang, kikuk, dan agak ceroboh sampai-sampai kerap memantik kejadian-kejadian konyol di sekelilingnya seperti tanpa sengaja menyebabkan teman-temannya bergelimpangan atau salah dikira sebagai mata-mata karena menggambar armada angkatan laut Jepang. Rentetan humor-humor segar yang efektif dalam menghadirkan derai tawa ini mewarnai dua pertiga awal durasi yang hampir tidak mempunyai momen dramatik mengikuti garis konflik yang acapkali berada di posisi horizontal. In this Corner of the World mulai menunjukkan geliatnya dari sisi emosi ketika salah satu karakter kunci tewas akibat terkena bom waktu. Keceriaan yang menaungi tahap sebelumnya perlahan mengabur – walau tidak sepenuhnya – dan kemuraman menyelinap masuk. 

Sedari titik ini, kita bisa melihat seberapa besar impak perang terhadap kemanusiaan. Sikap optimis dan positif yang coba dipromosikan oleh In this Corner of the World juga semakin menunjukkan taringnya disini. Bagaimana para karakter bertindak dalam menyikapi duka yang menyelimuti, bagaimana cinta, pengampunan dan kebaikan hati dapat membantu memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh peperangan sekaligus memunculkan harapan. Meski bukan berarti Suzu tidak pernah diperlihatkan terpuruk, namun dia secara cepat mampu bangkit begitu pula beberapa karakter penting yang berhasil selamat. Salah satunya bahkan sempat berujar kepada Suzu, “tidak ada gunanya menangis. Kamu hanya akan membuang-buang garam.” Ucapan yang singkat pula menampar bagi si protagonis, utamanya di kala dirundung kesulitan memperoleh bahan pangan. Tapi penonton tak perlu merasa risau akan dihalang-halangi untuk meluapkan emosi karena seperti disinggung di penghujung paragraf sebelumnya, babak ketiga merupakan awal mula bermunculannya momen-momen merobek hati. 

Kendati (lagi-lagi) tidak seperti Grave of the Fireflies yang sudah berada di tahapan tanpa ampun menghujam emosi, keberadaannya dalam In this Corner of the World akan tetap mengusik nuranimu. Tengok saja pada adegan seorang pria dengan tubuh terpanggang, orang-orang yang kebingungan mencari keberadaan sanak saudara selepas Hiroshima luluh lantak oleh bom, atau seorang bocah kecil yang kehilangan ibunya. Sulit untuk tidak menitikkan air mata, mengutuk keras peperangan, seraya berkontemplasi untuk menemukan jawab atas tanya, “mengapa sih harus ada peperangan? Adakah urgensi mendesak dibaliknya atau sekadar ajang unjuk ego?.” Pada akhirnya, In this Corner of the World adalah sebuah hikayat memikat mengenai tragedi yang dihamparkan secara indah berkat goresan-goresan gambar yang sederhana namun amat indah, jenaka mengikuti cukup tingginya asupan humor tatkala menyoroti kehidupan rumah tangga Suzu, serta tetap efektif dalam mempermainkan emosi ketika akhirnya keluarga Suzu mulai benar-benar terkena dampak dari peperangan yang sebenarnya sama sekali tidak mereka pahami.

Outstanding (4/5)


Rabu, 07 Juni 2017

REVIEW : MINE

REVIEW : MINE


“My next step will be my last.” 

Coba bayangkan dirimu berada dalam situasi semacam ini: tersesat di padang gurun tanpa membawa persediaan hidup mencukupi, lalu tanpa sengaja menginjak sesuatu yang besar kemungkinan adalah sebuah ranjau. Apa yang akan kamu lakukan? Memutuskan berdiam diri hingga batas waktu tertentu seraya menunggu bala bantuan yang mungkin saja tidak akan pernah datang karena lokasimu amat terpencil dan berada di sekitar area konflik atau nekat memutuskan untuk melangkah dengan resiko akan kehilangan anggota tubuh tertentu? Situasi ini, kemudian pertanyaan-pertanyaan yang melanjutinya merupakan gambaran penceritaan secara garis besar dari film debut penyutradaraan duo Fabio Guaglione dan Fabio Resinaro (memakai nama panggung Fabio & Fabio), Mine, yang promonya mengisyaratkan akan berada di jalur survival thriller. Hanya saja, berbeda dengan film-film yang mempunyai pokok persoalan serupa mengenai bertahan hidup di alam liar semacam 127 Hours (2010), Buried (2010), hingga paling anyar The Shallows (2016), Mine tidak semata-mata berceloteh mengenai upaya sang protagonis untuk bertahan hidup. Si pembuat film turut sibuk menyisipinya dengan muatan filosofis yang membicarakan tentang bagaimana seharusnya menjalani kehidupan. 

Karakter sentral dalam Mine adalah seorang marinir asal Amerika Serikat bernama Mike Stevens (Armie Hammer). Bersama rekannya, Tommy Madison (Tom Cullen), Mike ditugaskan untuk menjalani misi di padang gurun yakni membunuh pemimpin dari sebuah kelompok ekstrimis di wilayah Afrika Utara. Pertentangan batin lantas menyergap Mike begitu mendapati bahwa targetnya tengah mengantarkan putranya ke tengah gurun guna menjalani prosesi pernikahan. Keragu-raguan untuk melesatkan tembakan berujung pada gagalnya misi yang membuat posisi keduanya terdesak. Guna melarikan diri dari kejaran antek-antek si target dan menjumpai bala bantuan yang konon akan dikirimkan ke desa terdekat, Mike dan Tommy pun melakoni perjalanan selama berjam-jam melintasi padang gurun. Perjalanan ini mengantarkan mereka menuju ke sebuah area yang ditanami ranjau darat. Mengabaikan peringatan karena menganggap ranjau telah berada di sana selama puluhan tahun dan tak lagi berfungsi, ada harga yang harus mereka bayar mahal. Tommy kehilangan kedua kakinya usai ranjau yang diinjaknya meledak seketika, sementara Mike yang sedikit lebih beruntung, harus bertahan di posisinya sampai batas waktu tertentu apabila tidak ingin ranjau di bawah kakinya meluluhlantakkan tubuhnya seperti terjadi pada rekannya.


Mesti diakui, Mine memulai langkah awalnya secara meyakinkan. Adegan menanti datangnya sang buron yang dilanjut kegamangan hati Mike antara ‘menembak atau tidak menembak’ dikonstruksi oleh Fabio & Fabio dengan tingkatan intensitas cukup tinggi dan laju penceritaan yang melesat cepat. Meski kita mengetahui ujungnya – well, kegagalan misi adalah pemantik munculnya rentetan konflik di film dan telah pula dijabarkan di sinopsis – tetap saja muncul sensasi berdebar-debar kala menanti keputusan Mike lantaran was-was pula kalau-kalau keberadaan kedua marinir ini diketahui oleh musuh. Ketegangan yang terbangun dengan baik di adegan pembuka ini lantas berlanjut saat penonton digiring memasuki area penuh ranjau. Detik-detik jelang meledaknya ranjau pertama akan membuatmu mencengkram erat kursi bioskop, begitu pula menit-menit selepasnya tatkala sang karakter sentral mencoba untuk menyesuaikan diri dengan pijakan beserta ‘lingkungan barunya’. Hingga titik ini, Mine masih berada di lajur seperti tersirat dari materi promosinya: survival thriller. Kita melihat Mike berjibaku untuk mendapatkan radio yang posisinya beberapa senti di depannya untuk menghubungi markas yang malah memberi jawaban tak memuaskan, bertahan dari gempuran badai pasir, hingga meminum air seninya sendiri akibat kehabisan stok air. 

Seiring dengan hadirnya karakter lain tanpa nama (Clint Dyer) yang berasal dari desa sekitar, nada pengisahan Mine perlahan tapi pasti mulai beralih. Kilasan-kilasan masa lalu yang bercampur dengan halusinasi datang silih berganti untuk mengenalkan kita pada sosok Mike. Dari sini, film menjelma bak pedang bermata dua. Bagi penonton yang tidak keberatan mendengar lontaran dialog filosofis untuk kemudian diajak berkontemplasi (keengganan Mike memindahkan kaki dari pijakannya adalah metafora bagi ketidakberanian sang protagonis untuk mengambil resiko demi melanjutkan hidup), maka sisa durasi Mine tidak akan kesulitan mencuri perhatianmu. Namun jika pengharapanmu terhadap Mine adalah film ini mengikuti pola pengisahan dari Buried atau The Shallows (which is, bukan sesuatu yang salah), sisa durasi dari film berlangsung kurang mengenakkan. Intensitas menurun drastis, laju mengalun pelan, dan kilasan masa lalu tidak cukup menjerat. Apabila ada jeratan, itu berasal dari performa gemilang yang dipersembahkan oleh Armie Hammer. Kita bisa mendeteksi kegamangannya, ketakutannya, hingga kemarahannya sehingga paling tidak kita peduli terhadap nasib karakter yang dimainkannya. Seandainya keadilan benar-benar ada di dunia ini, rasa-rasanya mudah bagi Armie Hammer untuk bertransformasi menjadi aktor besar dalam beberapa tahun ke depan mengingat bakat yang dipunyainya.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Sabtu, 12 November 2016

REVIEW : HACKSAW RIDGE

REVIEW : HACKSAW RIDGE


“While everybody is taking life I’m going to be saving it, and that’s going to be my way to serve.” 

Mengistirahatkan diri dari karir penyutradaraan selama satu dekade tercatat sedari Apocalypto (2006) dan lantas mengalihkan energinya ke bidang lakonan maupun produser yang kurang menuai sukses, Mel Gibson akhirnya memutuskan untuk kembali menekuni karir yang telah menghadiahinya satu piala Oscars (berkat Braveheart) lewat Hacksaw Ridge. Masih mengusung elemen epik kolosal seperti ketiga garapan terdahulunya – termasuk pemenang Oscars, Braveheart, dan film kontroversial tentang Yesus, The Passion of the ChristHacksaw Ridge didasarkan pada kisah nyata menakjubkan dari seorang prajurit bagian medis bernama Desmond T. Doss yang dianugerahi Medali Kehormatan atas jasa-jasanya menyelamatkan puluhan nyawa pada Perang Dunia II. Apabila fakta yang menyebutkan dia bisa membawa pulang sebanyak 75 prajurit (malah ada kemungkinan lebih dari itu!) secara selamat dari medan peperangan belum cukup membuatmu takjub, tunggu sampai kamu mengetahui kenyataan bahwa Doss sukses melakukan aksi penyelamatan tersebut sekalipun dirinya sama sekali enggan memanggul senjata selama diterjunkan mengikuti pertempuran melawan Nippon. 

Ya, Doss (Andrew Garfield) telah menyatakan keberatannya untuk memegang senjata sejak berada di kamp pelatihan lantaran membunuh orang bertentangan dengan ajaran agama yang dianutnya – Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh. Selain itu, mengingat Sabtu merupakan hari Sabat, Doss juga memilih tidak mengikuti pelatihan di hari Sabtu. Keteguhan hati Doss untuk mempertahankan keyakinannya tentu mengundang kontroversi terlebih, hey, mana mungkin kamu bisa ikut berperang tanpa dilengkapi senjata dan peluru? Terdengar seperti misi bunuh diri. Nyatanya, sekalipun atasannya, Sersan Howell (Vince Vaughn), dan rekan-rekan infanterinya telah mengerahkan beragam upaya guna menggoyahkan imannya termasuk melancarkan aksi perundungan berbentuk verbal (menyebutnya seorang pengecut, salah satunya) dan fisik, menyeretnya ke pengadilan karena keenggannya berkompromi dengan keyakinannya berpotensi membahayakan nyawa prajurit lain, sampai memenjarakannya yang berdampak ke tertundanya pernikahan Doss dengan sang kekasih, Dorothy (Teresa Palmer), Doss bergeming. Dia tetap menunjukkan tekad bulatnya berpartisipasi dalam Pertempuran Okinawa tanpa sedikitpun bersentuhan dengan senjata karena tujuannya mengikuti perang bukanlah menundukkan musuh melainkan menyelamatkan nyawa orang lain. 

Diam-diam, ternyata Hacksaw Ridge bermain-main di ranah religi horor, atau setidaknya demikian berdasarkan pandanganku. Sebetulnya, apabila kita berpatokan pada karya terdahulu Mel Gibson – plus fakta bahwa dia adalah penganut Katolik – pendekatan yang diambil oleh si pembuat film untuk menyampaikan kisah hidup penuh keajaibannya Desmond Doss tidak lagi mengejutkan. Apalagi, sang subjek dideskripsikan pula taat beragama. Tapi jangan risau akan diperdengarkan ceramah-ceramah agama berkepanjangan (lengkap dengan kutipan satu dua ayat dari Injil) karena Gibson tak berniat mencekoki penonton dengan dogma-dogma. Dia berusaha sebisa mungkin agar nilai-nilai relijius yang diaplikasikan oleh Doss dalam kehidupannya tidak terlampau tersegmentasi ke agama tertentu, melainkan dapat terkoneksi ke audiens secara universal. Penonton diharapkan memahami pesan yang coba dilontarkan Gibson melalui tindak-tanduk Doss. Bukan semata-mata mengenai patriotisme, keberanian, pembuktian diri, maupun determinasi, tetapi juga bagaimana mempertahankan keyakinan yang kamu miliki ditengah-tengah gempuran pihak-pihak yang mencoba meruntuhkannya. Juga, sedikit banyak menyentil khalayak ramai yang berani mengklaim dirinya ‘beriman’ sekalipun perangainya tergolong kontradiktif – lebih memilih menyebarkan kebencian alih-alih kebaikan. Familiar? 

Dari penjabaran sekelumit ini, telah terkuak sisi religiusitas yang dikulik Hacksaw Ridge. Lalu, dimana letak horornya? Well, untuk sekali ini, istilah ‘horor’ tidak dipegunakan untuk merujuk kepada kehebatan film menggempur emosi pemirsanya sedemikian rupa, melainkan pada visualisasi yang nyata-nyata meneror. Disamping kerap mengusung tema berbau samawi, Gibson dikenal dengan kecintaannya mempresentasikan kekerasan serealistis mungkin. Ingat adegan penyaliban Yesus di The Passion of the Christ yang luar biasa bikin ngilu? Saya bisa meyakinkan, itu tidak ada apa-apanya dibanding apa yang terpampang dalam Hacksaw Ridge. Medan pertempuran yang biasanya terlihat tak ubahnya wahana paintball di kebanyakan film Hollywood – salah satu alasan, demi memperendah batasan klasifikasi usia penonton – disini menunjukkan kengeriannya. Peringatan bagi kalian yang tidak tahan melihat darah, apalagi bagian-bagian tubuh manusia tercecer, visualisasi dalam Hacksaw Ridge mungkin akan menonjok perutmu hebat-hebat. Gibson tak berkeberatan menampilkan pemandangan mengganggu kenikmatan menyantap cemilan semacam semburat otak akibat kepala tertembus peluru, kaki-kaki terpenggal, usus terburai kemana-mana, sampai gelimpangan mayat yang dikerumuni hewan pengurai bangkai. Semuanya dipertahankan atas nama ‘rasa’. 

Kehebatan Hacksaw Ridge setidaknya bersumber dari dua pilar, yakni elemen drama bernafaskan siraman rohani yang merasuk di hati dan elemen laga pada adegan peperangannya yang menggedor jantung. Keduanya bersinergi sempurna, turut terbantu pula oleh performa menakjubkan dari barisan bintang-bintang ternamanya. Kita telah mengetahui kapabilitas seorang Andrew Garfield berolah peran, namun Hacksaw Ridge boleh jadi merupakan ‘game changer’ bagi karir keaktorannya. Dengan keimanannya mendekati level Santo, Doss berpotensi menjelma sebagai sosok out-of-the-world yang sulit didekati (dan diyakini ada) apabila dimainkan aktor yang tak tepat. Di tangan Garfield, kita bisa terhubung dengan Doss sekaligus percaya pada perkembangan karakternya sepanjang film yang berujung ke terinspirasi terhadap tindakan-tindakannya. Selain Garfield, Hacksaw Ridge yang begitu hebat menyentuh sensibilitas kemanusiaan penontonnya melalui tuturan mencerahkan nan mencengkram ini juga menjadi saksi atas kemahiran berlakon dari Vince Vaugh, Sam Worthington, Hugo Weaving, Rachel Griffiths, serta Teressa Palmer. Jika ada yang menyebutnya sebagai film perang terbaik sejak Saving Private Ryan, itu tidaklah berlebihan. 

Outstanding (4/5)